Kamis, 31 Desember 2009

31 Desember 2009

Ini hari terakhir di tahun 2009. Besok kalender sudah berganti. Tapi jujur saya malah belum menyiapkan kalender. Biasanya rekanan kantor ada saja yang memberikannya pada saya. Ooohhh baru ingat.... tempo hari seorang teman memberikan file kalender 2010 lewat e-mail. Cuma saya belum mencetaknya.

Ehmmmm ...2009 sebentar lagi lewat. Kemarin Gur Dur menandai akhir tahun ini dengan menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan Gus, semoga 'jalanmu' terang di sana. Amin. Hari ini hiruk pikuk negeri ini terutama di Jakarta dan Jombang karena urusan pemakaman Gus Dur. Penghormatan terakhir untuk seorang yang mencetuskan frasa 'gitu aja kok repot'. Ahhhhh .... sungguh Gus Dur dalam benak saya adalah selalu Gus Dur yang 'gitu aja kok repot', sementara tadi malam banyak orang tampil di televisi dengan deskripsi masing-masing tentang seorang kharismatik itu.

Banyak yang terjadi di negeri ini selama 2009. Ada dua kali Pemilu dengan segala kericuhannya hingga pelantikan pemenangnya. Ada gempa dan banjir. Ada bom di Jakarta yang membuat rombongan MU batal datang. Ada serentetan operasi terhadap mereka yang disebut sebagai teroris, lengkap dengan siaran langsung drama penggerebekannya. Ada pertarungan sengit antara cicak dan buaya. Ada pemunculan para makelar kasus yang ternyata lebih sakti daripada penegak hukumnya sendiri. Ada gonjang-ganjing uang Century. Ada rentetan kasus pembunuhan seorang Nasrudin yang menyeret beberapa pejabat negara. Ada masalah Prita lengkap dengan fenomena pengumpulan koinnya. Ada Luna Maya yang dimurka wartawan karena status di Twitternya. Ada sidang-sidang terhadap pencuri coklat dan semangka yang putusannya dirasa tak memenuhi rasa keadilan. Pnerbitan buku George Junus Adhiconndro yang menghebohkan seperti biasanya..... ehmmmmm ada banyak yang terjadi di negara ini.....

Lalu apa yang terjadi pada hidup saya selama 2009? Ahahhahahaha ..... penting enggak sihhhhhhh membuat tulisan tentang hidup saya disini? Karena saya yang menulis maka biarlah saya yang menjawabnya. Jawabannya : PENTING. Ahahhahaha ......

Ehmmmm .... di 2009, ada sebuah tulisan saya yang dimuat di sebuah media. Sebuah, tapi ini sangat menyenangkan karena ini tulisan terpanjang yang pernah dimuat di media. Dan sampai sekarang saya kadang-kadang masih membuka situs media tsb hanya untuk membaca nama saya disana. Jiahhhhhh ......

Laluuuuuu .... ada hobi baru saya di tahun ini : merajut. Nahhhh hobi baru ini cukup fenomenal bagi saya karena dulu-dulu tak pernah terbayangkan saya bisa melakukan pekerjaan tangan yang disebut merajut. Karena saya bukanlah termasuk dalam golongan mereka yang sabar dan telaten. Saya kebalikan dari mereka, alias temperamental. Jadi begitu berhasil bisa merajut wooowww... saya jadi sangat heran bisa melakoni duduk bersandar berkutat dengan haken dan benang. Sekarang malah saya berani menawarkan jasa. Tapiiii jangan salah, untuk yang terakhir ini saya melakukannya karena menemukan teman-teman yang lebih pintar merajut dibanding saya. Jadi coba tebak siapa yang akan saya andalkan jika orderan rajutan benar-benar datang? :D

Kemudian ada Azza Moslem Wear. Ini adalah satu upaya untuk mewujudkan mimpi untuk berdiri di atas kaki sendiri .. hehheehehhe .... Embrio yang merupakan hasil kerjasama dengan seorang sahabat. Saya menanamkan banyak harapan pada embrio ini. Juga banyak belajar untuk bisa terus membesarkannya. Juga satu langkah untuk membuat embrio yang lain nantinya, insyaallah ....

Dan satu keajaiban terjadi di tahun 2009 yang berupa saya akhirnya benar-benar ikut kursus menjahit. Ahahaahahah ..... bagi kebanyakan orang mungkin hal ini sesuatu yang biasa saja. Tapi bagi saya ini satu hal besar. Alasannya adalah lagi-lagi saya bukan orang sabar dan telaten yang cocok untuk kegiatan semacam ini. Tapi sungguh saya sudah menyimpan keinginan ini dari beberapa tahun lampau. Dan ini juga jadi salah satu langkah pendukung untuk cita-cita bisa berdiri di kaki sendiri. Jadiiii.... jangan kaget jika nanti beberapa bulan ke depan ada blog baru dengan judul ina dress maker atau ina tailor atau semacamnya .... ahhahahaha .... serius iniiiii ....

Satu lagi keajaiban terjadi dalam hidup saya tahun ini. Yaitu hijrahnya saya dari ina yang selalu memakai celana panjang menjadi ina yang memakai rok .....hehehhehehe ..... Sungguh seorang sahabat berjasa besar dalam hal ini karena dialah yang memberi inspirasi dan dorongan kuat. Dan jadilah sejak Ramadan kemarin saya memutuskan menanggalkan celana-celana saya dan menggantinya dengan rok panjang. Ehmmmm ... tentu saja awalnya menuai banyak komentar juga rasa canggung. Tapi persis sesuai kata teman saya, semuanya itu cuma akan sementara dan paling-paling hanya dalam hitungan hari saja. Dannnnnnn .... dradraaaaaaaaa..... sekarang saya sudah mulai merasakan nyamannya menjadi perempuan dengan pakaian perempuan.... hahhahahaha....

Nahhh... 31 Desember sekarang. Di luar saya lihat beberapa orang mulai beranjak keluar rumah yang mestinya untuk perayaan tahun baru Masehi ini. Ada juga anak kecil yang sudah meniup terompetnya. Sebentar lagi jalan-jalan akan ramai. Beberapa tahun yang lalu saya pernah keluar rumah dengan teman di malam tahun baru seperti ini. Niatnya sebenarnya adalah melihat Surabaya di malam pergantian tahun. Tapi ternyata kami tak bisa banyak bergerak karena jalan jadi sangat padat dan akhirnya menyerah dengan memilih masuk ke sebuah resto cepat saji dan tinggal di sana sampai keramaian itu reda. Malam ini mungkin akan terjadi keramaian yang kurang lebih sama dengan keramaian tahun-tahun lalu. Apalagi hujan sepertinya tidak akan turun. Mungkin nanti orang-orang di kampung saya akan keluar, menggelar tikar di depan rumah dan berbincang dengan para tetangga sambil mengudap ini itu. Yaaaa... perayaan malam tahun baru Masehi saya rasa tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Tidak pula mengejutkan. Justru yang banyak mengejutkan adalah apa yang terjadi di hari-hari sesudahnya .......

Kamis, 17 Desember 2009

Laki-Laki Biasa

Hari ini ulang tahun Bapak saya, laki-laki yang sebagian darahnya mengalir di tubuh saya. Sebagai salah satu anak perempuannya, saya selalu diidentifikasi oleh Ibu saya sebagai 'pendukung setia Bapak'. Hehheheehe ...saya akui Ibu saya tidak sepenuhnya salah dengan pernyataan itu. Tapi bukan berarti saya tidak pernah berada di pihaknya. Saya cuma berusaha untuk seimbang terhadap mereka berdua, sebab kedua kakak biasanya lebih condong ke Ibu. Jadi kalaupun sampai diperlukan voting, dengan atau tanpa suara saya Bapak saya sudah kalah. Saya cuma berfungsi untuk memperkecil jarak skor saja.... hehehhehee ....

Bapak. Begitu saya selalu memanggil laki-laki biasa itu. Dan sebagai anak bungsunya, saya punya banyak ingatan tentang dia. Dan ingatan-ingatan itulah yang membuatnya lebih dari sekedar laki-laki biasa di mata saya.

Setiap orang tua pasti mengajarkan banyak hal pada anaknya. Dan pelajaran tentang rasa keadilan paling besar saya dapatkan dari dia. Dia mengajarkan pada saya rasa keadilan seorang manusia biasa. Dan dia tak pernah mungkir ketika saya memprotesnya lantaran menganggapnya telah menyalahi apa yang telah diajarkannya pada saya. Tidak mungkir, tidak juga berdalih. Pada saat seperti itu saya boleh menunjuknya sebagai yang bersalah, tak peduli dia adalah bapak saya. Pelajaran tentang kesetaraan :)

Ibu saya pernah bilang, sayalah anak yang paling dia sayang. Tapi jujur saya tidak pernah sepakat dengan hal ini karena saya lihat dia membagi sayangnya rata pada kami bertiga, anak-anaknya. Kalau dia menyayangi saya tentu dia tidak memaksa saya mengenakan sepatu olah raga bekas kakak .... Saya ingat kejadian itu. Sepatu olah raga saya rusak. Sedangkan ada satu acara olah raga se-Kecamatan, yang entah untuk peringatan hari apa saya lupa, mengharuskan pesertanya mengenakan sepatu olah raga warna putih. Sepatu punya saya rusak dan kalaupun bisa dipakai warnanya hitam. Jadi melaporlah saya pada Bapak. Dengan enteng Bapak saya bilang pakailah yang ada karena belum ada uang untuk membeli sepatu baru. Saya bilang adanya sepatu bekas kakak saya yang ukurannya 2 nomer di atas kaki saya. Jawabnya, masih dengan enteng,"berarti cukup kan dipakai? Ayolah, jangan membuat Bapak susah cuma karena tak punya uang untuk membelikanmu sepatu baru". Ehmmmmmmm..... jadilah saya mengenakan sepatu kebesaran yang talinya diikat erat-erat agar bisa tetap bertahan di kaki ketika saya berlari. Dan ternyata setelahnya saya jadi betah memakai sepatu kebesaran. Sampai sekarang setiap kali membeli sepatu kets, saya selalu mengambil ukuran mnimal satu nomor di atas ukuran normal saya :)

Ehmmmm ..... rasanya Bapak saya juga orang yang pertama menghargai kegemaran saya menulis. Waktu itu saya masih kelas 5 SD. Guru menyuruh saya membuat karangan dua ribu kata yang ceritanya tentang sebuah desa. Saya buatlah karangan itu, mengalir begitu saja. Ternyata karangan itu membuat saya menjadi juara kedua lomba mengarang tingkat SD sekecamatan. Tanpa memahami makna dari predikat itu, saya memberitakan pada Bapak. Dan dia terbeliak lalu bilang "waahhhh ..berarti besok-besok kamu bisa jadi penulis terkenal. Penulis itu bisa hebat loh .... sama hebatnya dengan dokter dan insinyur". Kata-kata itu tidak berarti banyak bagi saya karena lagi-lagi saya tidak terlalu memahaminya. lalu saya bilang bahwa menurut guru saya harus bertanding di tingkat Kabupaten. Wajahnya sumringah. Pada hari H, dia mengantarkan saya ke lokasi. Dan betapa kecewanya dia ketika ternyata guru saya salah informasi. Ternyata hanya juara pertama saja yang harus bertanding di tingkat Kabupaten. Bapak saya nggondok berat, merasa anaknya didiskrimasikan. Sedangkan saya, ehmmmmmm .... belum juga paham arti semua itu .... hehehhheeheh .... Tapi syukur walau tak paham saya masih ingat ucapannya bahwa menjadi penulis sama hebatnya dengan menjadi dokter ataupun insinyur.

Di masa kuliah lagi-lagi Bapak memotivasi saya dengan caranya sendiri. Sebagai pegawai negeri biasa, membiayai tiga anak kuliah adalah beban yang lumayan beratnya. Tapi dia tetap mengirim kami semua untuk kuliah dengan wanti-wanti dilarang kuliah sambil bekerja. Dan alasannya adalah orang yang bekerja dan merasakan enaknya cari dan dapat duit akan cenderung menyepelekan masalah pendidikan. Saya sempat memprotes hal itu karena toh bayak orang yang kuliah sambil bekerja dan hasilnya beres-beres saja. Tapi keputusannya bulat, tanpa tawar-menawar. Jadilah uang gajinya habis dibagi antara kami bertiga dan membayar cicilan bank (karena setiap kali anaknya masuk kuliah, Bapak akan mengambil pinjaman untuk membayar uang gedung dsb). Saya tahu persis betapa susahnya hidup Bapak dan Ibu waktu itu. Dan sebenarnya kami bertiga pun kuliah dengan fasilitas yang tak berlebihan. Setiap awal bulan, Bapak mengharuskan kami bertiga pulang untuk mengambil uang jatah bulanan. Dan pada hari itu, di depan kami Bapak akan membeber uang gajinya yang sudah terpotong oleh cicilan bank, lalu membagikan kepada kami. Saat itu kami tak hanya tahu berapa rupiah yang kami dapat, tetapi juga jadi tahu berapa rupiah yang tersisa untuk Bapak dan Ibu di rumah. Rupiah yang tersisa di rumah tak pernah lebih banyak dari yang Bapak genggamkan ke tangan saya. Dan saya merasa berdosa, walaupun jumlah yang diberikannya tidak membuat saya kuliah dengan dukungan fasilitas yang sempurna. Malah di akhir bulan seringkali saya berhutang pada teman untuk membeli kertas gambar, atau mengganti menu makan dengan mie instant karena uang jatah harus terkuras untuk sebuah mata rapido. Rasa berdosa inilah yang membuat saya rela-rela saja menambah beban kredit per-semester cuma dengan satu tujuan : cepat lulus. Dan komentar Bapak waktu itu adalah : "jangan cuma cepat lulus tapi nilai ngepas!" Ehmmmmmm ....beruntung saya bisa lulus dalam 4 tahun dengan nilai yang cukup pula.

Gaji pertama.... ehmmmm.... saya ingat sekali betapa senangnya mendapat gaji pertama. Dengan gaji pertama, saya membelikan sehelai kemeja untuk Bapak. Warnanya putih dengan garis-garis vertikal biru tegas. Saya tahu Bapak senang. Tentu saja dada saya nyaris meledak karenanya. Tapi ternyata masih ada hal lain yang membuat dada saya pecah. Ternyata berbulan-bulan Bapak menyimpan kemeja hasil keringat pertama saya itu di tumpukan teratas bajunya, lengkap dengan plastik pembungkusnya, dan sesekali menengoknya seolah itu adalah harta berharga yang tak ternilai. Ahhhhhh.... waktu itu air mata saya turun satu-satu..... terlebih hal seperti ini pernah saya alami sebelumnya. Ketika itu dia berulangtahun, saya lupa yang keberapa. Saya kirimkan kartu ucapan untuknya, tapi isi dalam seluruhnya saya tulis pakai bahasa Inggris, walau saya tahu dia tidak mengerti bahasa Inggris. Waktu itu saya melakukannya karena terpikir dia tidak akan percaya jika membaca kalimat sanjungan saya. Jadi saya buatlah semua kalimat itu dalam bahasa yang dia tak mengerti. Dannnnnnnnnn berminggu kemudian ketika saya pulang, saya dapati ada kamus bahasa Inggris di dekat tempat tidurnya, dan kartu saya terselip di dalamnya. Lalu berbulan kemudian ketika saya pikir kartu itu sudah terbuang ternyata saya temukan kembali di dalam tas kerjanya ...... Dan sekarang, setiap kali menggenggamkan sedikit rupiah ke tangannya dan dari mulutnya keluar ucapan terima kasih, saat itulah saya merasa malu sekali. Kata itu tak pantas keluar dari mulutnya dan saya juga tak pantas menerimanya. Apa yang saya genggamkan ke tangannya hanyalah sekedar pembeli koran atau remeh temeh yang diinginkannya, sama sekali tak sebanding dengan tahun-tahun susahnya bersama Ibu berbuat sesuatu untuk saya......

Ahhh itulah Bapak saya. Manusia tak sempurna. Lelaki biasa. Tapi demi Allah saya beruntung menjadi salah satu anaknya.

Selamat ulang tahun, Bapak......

Rabu, 16 Desember 2009

Hari Ini Surabaya Banjir (Lagi)

Surabaya sore tadi mendung tebal lalu hujan lebat. Sebenarnya saya tidak terlalu memperhatikan berapa lama hujan turun. Berada dalam ruang kerja dengan horisontal blind dan membelakangi jendela membuat saya kurang peka dengan hal itu. Yang pasti ketika reda pun saya masih menunda pulang dengan memilih menunaikan sholat Magrib terlebih dahulu. Begitu keluar kantor, langit masih jingga, bagus sekali. Hati jadi ikut jingga ehhehehehe....

Tapi jingganya hati saya tak berlangsung lama. Ban angkot yang saya tumpangi mulai berkecipak dengan air. Sekitar 6 kilometer dari kantor, jingga di hati saya hilang sama sekali, berganti dengan resah. Cuma satu yang ada di dalam otak saya : BANJIR. Dan benar.... begitu berganti angkot, genangan air mulai tampak. Lalu lintas merambat. Makin ke arah daerah tempat tinggal saya genangan air makin tinggi dan lalu lintas makin lambat. Makin banyak sepeda motor digiring pengendaranya ke pinggir karena busi yang sudah basah dan knalpot kemasukan air. Doa semoga angkot yang saya tumpangi diberi kemampuan lebih untuk terus berjalan mulai memenuhi hati dan otak saya.

Surabaya..... ehmmmmm waktu kemarau panas bukan main. Tapi begitu musim penghujan tiba, hawa panas tak terhalau sepenuhnya dan masih berbonus banjir pula. Tapi itulah Surabaya adanya. Saya pernah begitu putus asa karena kipas angin yang saya pasang tak mampu membuat saya tidur dengan nyaman (seorang teman berkomentar "ya pasang AC donggggg..."). Tapi di lain waktu saya juga pernah dipaksa berjalan kaki dari kantor dalam genangan air rata-rata mencapai lutut saya. Waktu itu paling tinggi genangan airnya nyaris mencapai pinggang saya. Olala...... Dan begitu mencapai rumah, yang saya rasakan adalah lelah, dingin, dan lapar luar biasa.

Jadi, kalau diminta untuk memilih antara musim kemarau dan musim hujan untuk Surabaya, terus terang saya tidak punya jawaban. Keduanya punya konsekuensi masing-masing yang saya sama-sama pernah merasa tak nyaman.

Tempo hari saya menonton acara televisi yang mengurai masalah perubahan iklim. Dan salah satu bukti perubahan iklim adalah musim kemarau makin panjang, dan musim hujan makin pendek. Ehmmm lalu bagaimana dengan Surabaya? Akan lebih panaskah? Woooowww..... Dan bagaimana dengan banjirnya? Logika saya alam yang kian rusak akan membuat banjir makin tak terkendali. Jadi akan berapa tinggi lagi banjirnya? Akankah Surabaya akan jadi versi 'lain' dari Venesia? Jadi mungkin suatu saat nanti rumah di Surabaya menjadi berupa rumah panggung dan angkot akan berganti dengan perahu kota. Aiihhhhhh ......

Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu memperbaiki kondisi Surabaya? Saya tak tahu persis jawaban jitu untuk pertanyaan ini. Yang pasti hal yang sudah saya lakukan adalah membayar tanggungan pajak saya (apakah ini akan masuk ke pos yang tujuannya memperbaiki Surabaya? entahlah), membuang sampah pada tempatnya (bukan di selokan atau sungai), dan menggunakan kendaraan umum kemana-mana agar tidak menambah kandungan emisi di udara (alasan sebenarnya belum kuat beli kendaraan pribadi kaliiiii..., ini komentar teman saya). Ehmmmm sedikit sekali ya yang sudah saya lakukan? Wah wah wah ....... tapi tetap saja saya tidak merasa cukup pantas mendapat bonus bajir!!!! Dan karena itu tadi sewaktu di angkot, di sela-sela doa, saya sempat berharap semoga suatu waktu Presiden SBY terjebak banjir pada saat ada acara penting di Surabaya. Lalu Pak Presiden marah dan Pemerintah Daerah jadi tak lagi menunda-nunda untuk bergiat menanggulangi masalah banjir ini. Sebab kadang perlu sentilan dari yang ada di atas untuk membuat sesuatu dikerjakan secara serius, tak melulu berkilah atas nama dana yang terbatas. Dannnnn saya berharap yang menyentil itu cukup yang ada di atas dalam artian yang kedudukannya maksimal setara dengan Presiden. Sebab kalau yang menyentil itu lebih tinggi lagi, yaitu yang berkuasa atas langit dan bumi widiiihhhhhhhhhhhhh betapa menakutkannya .....

Iya ga?

Senin, 30 November 2009

Rumah Idaman

Anda sudah punya rumah? Kalau jawabannya sudah, saya ucapkan selamat. Sedangkan kalau belum, ehmmmm mari terus berjuang bersama-sama, karena saya juga belum berhasil memilikinya :-)


Rumah. Katanya sih termasuk kebutuhan primer, karena merupakan tempat berlindung dari panas, hujan, dingin, mara bahaya, dsb. Sedangkan kalangan yang lain menganggapnya sebagai kebutuhan sekunder karena kebutuhan primernya sudah terlampaui jadi tinggal mencari rumah untuk investasi. Ehmmmmmm ....... Dan terus terang saya iri dengan kalangan yang kedua ini, karena sampai detik ini saya masih tinggal di kamar kos dengan daerah kekuasaan seluas 7,5 m2.


Sejatinya, dulu saya pernah membuat denah dan sketsa rumah idaman saya. Waktu itu saya baru saja melepas titel sebagai mahasiswa yang notabene penangangguran, berganti menjadi karyawan swasta. Saya buat denah dengan gaya apartemen kelas studio karena saya pikir kemampuan awal saya pastilah hanya rumah kecil. Sekarang setelah bertahun-tahun belum juga tercapai, saya tak tahu dimana desain tersebut saya simpan. Mungkin malah sudah terbuang hhahahahaaha......


Rumah. Ehmmmm .... tempo hari saya ikut seorang teman survei rumah. Teman saya ini termasuk dalam kategori kalangan kedua alias membeli rumah lebih untuk investasi. Jadi ikutlah saya keluar masuk rumah tipe menengah hingga atas. Hasilnya? Ehmmmm ....ya jelas ngilerlah saya! Hhahaahahahha ..... Ketika menjajal masuk ke rumah berharga hitungan milyar rupiah, saya berpikir perlukan saya bermimpi untuk sebuah rumah seperti ini, sementara yang 21 m2 saja belum tercapai? Tapi dasar saya pemimpi, maka bertambahlah mimpi saya .... hhahhaahhaa


Rumah...ahhhhh saya jadi ingat satu hal. Seorang teman sempat menuduh saya sok ketika saya bilang lebih ingin tinggal di apartemen daripada di landed house. Mereka bilang saya sok 'Friends'. Ehmmmmm ...sebenarnya bukan itu alasannya walau memang saya cukup gandrung dengan serial Hollywood itu. Saya lebih berpikir karena rasanya hampir tak ada jengkal tanah di Surabaya yang tidak terkena banjir. Kalaupun ada yang tidak kebanjiran tapi pasti rute menuju ke daerah tsb yang kebanjiran. Jadi rumahnya tidak banjir tapi tetap dikelilingi banjir. Pasti akan sama repotnya kan? Itulah Surabaya. Tidak bermaksud menjelekkan kota tempat saya mencari nafkah jika saya berkata demikian. Ini soal kenyataan. Jadi karena kenyataan itulah saya berpikir saatnya untuk digalakkan hunian masal vertikal seperti rumah susun, flat, apartemen, atau jenis yang lain. Memaksa membuat landed house cuma akan membabat tanah resapan air. Itupun masih ditambah dengan ketidakpedulian developer untuk membuat sistem pengaliran air yang baik. Kalau sistem pengaliran air saja tidak direncanakan dan dibuat secara baik, tentu tak bisa berharap banyak untuk masalah resapan air. Jadi menurut saya, dengan kondisi Surabaya yang makin lama makin tak lebih 'sehat' itu, pilihan tinggal di hunian masal vertikal sangat masuk akal. Paling tidak kalau banjir sampai setinggi satu meter, tinggal di lantai dua masih amanlah. Lantas seorang teman nyeletuk,” iya kalau banjir, kalau gempa bagaimana?” Nah lho ..... ya bangunannya harus dibuat yang aman buat gempa dong...... Teman yang nyeletuk tadi cuma geleng-geleng karena katanya banyak korupsi di proyek dengan cara mengurangi spesifikasi bangunan secara diam-diam. Ehhmmmmmm ...jadi bagaimana dong? Perlukah saya mengkandaskan cita-cita untuk tinggal di apartemen? Teman saya yang lagi-lagi menjawab. Katanya, yang penting nekad dulu beli, tak peduli berapapun uang di kantong. Sebab harga tanah dan rumah tak akan pernah turun kecuali ada bencana macam lumpur Lapindo. Jadi kesimpulannya, mau landed house ataupun apartemen, yang penting : BELI SEKARANG! Caranya? BERHUTANG! Ehmmmm ..... ya ya ya ...

Minggu, 16 Agustus 2009

Sol....

sol,
semalam diam-diam ku bertukar rindu tentangmu dengan selembar bulan yang terus angkuh merajuk
kubilang, semua rindu tak lagi alun dan lama terus menyembilu
lalu bulan mentertawakanku
katanya, darimana kucuri rindu semacam itu?
kujawab, dari embun-embun subuh,
dari nadiku,
dari hembus nafas pertamaku,
dariMu

sol,
ku tahu waktu yang harus kutunggu
karena waktulah yang menyertaimu
takdir

sol,
satu....

Minggu, 28 Juni 2009

Tulang Rusuk atau Tulang Punggung?

Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Ehmmmm ...betapa itu begitu lazim digunakan baik dalam tuturan ilmiah maupun sebgai lirik lagu atau larik puisi. Yaaa.... perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Tulang rusuk. Saya tak hendak memperdebatkan ini. Saya cuma mau melihat satu titik realita.

Jaman membuat peran perempuan banyak berubah. Industrialisasi. Edukasi. Ekonomi. Teknologi. Emansipasi. Entah apa lagi. Yang pasti sekarang perempuan ada di hampir semua lini. Apa yang tidak bisa dilakukan perempuan? Sekarang, dalam kondisi seperti ini, pertanyan itu tadi bukanlah jenis yang gampang dijawab. Perempuan ada dimana-mana. Perempuan bisa mengerjakan semuanya, mulai jadi pelacur, buruh, bankir, top management, sampai presiden. Walau kadang masih dipandang sebelah mata, diragukan dan dicibir, tapi tetap saja apa yang dilakukan perempuan tak lagi bisa dianggap enteng. Dan harus diakui, laki-laki mulai terancam posisinya ...... hehhehe iya enggak sehhh ....?

Nah, setelah semuanya dilakukan perempuan, terus bagaimana? Adakah yang setuju kalau saya bilang si tulang rusuk itu telah bertransformasi menjadi tulang punggung? Tentu tidak semua mengalami transformasi itu. Banyak perempuan yang bekerja demi gengsi dan sekedar mengisi waktu luang. Tapi realitasnya, tak terhitung pula yang mengambil peran sebagai tulang punggung si penopang badan. Dan itu adalah sekumpulan nyawa yang disebut keluarga.

Salahkah fenomena ini? Salah transformasi itu? Ehmmm .... perlukah dipermasalahkan, sementara hidup memang harus dipertahankan? Salah atau tidak saya tidak tahu. Tapi terus terang saya tercenung ketika seorang laki-laki bercerita pada saya bahwa istrinya sedang ke Hongkong dan dia tetap tinggal di tanah air untuk mengurus anak-anak mereka. sudah dua tahun mereka hidup terpisah seperti itu dan komunikasi dijalin lewat telepon dan internet. Sebenarnya saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan kepada si bapak itu kenapa istrinya yang berangkat, kenapa bukan dia. Tapi saya tak sampai hati mengeluarkan pertanyaan itu pada yang bersangkutan. Teman saya yang lain memberi jawaban yang terdengar cukup 'membela'. Kata teman saya,"ya karena kesempatan yang sedang ada adalah kesempatan untuk istrinya." Ehmmmm begitu ya .... Saya jadi teringat para perempuan-perempuan bangsa saya yang menjadi buruh migran di berbagai belahan dunia. Mereka yang dijuluki pahlawan devisa. Mereka yang sering mengalami nasib naas di negeri orang. Mereka yang bisa menjadi obyekan petugas-petugas di bandara saat pulang. Ahhh .... rasanya saya jadi kurang rela dengan jawaban teman saya tadi. Tapi teman saya berargumentasi lagi. Katanya,"dalam satu keluarga pasti ada kesepakatan, nah kebetulan ini kesepakatannya adalah istrinya yang berangkat karena kesempatan untuk dia yang ada. Sedangkan si suami tinggal. Ingat, ada mulut-mulut yang harus diberi makan." Ehmmmm ...gitu ya ......

Ya, benar kata teman saya tadi. Bahwa ketika ada hidup yang harus dipertahankan dan ada mulut-mulut yang harus diberi makan maka transformasi dari tulang rusuk ke tulang punggung terjadi. Itulah realitas. Soal salah atau tidak, tak lagi cukup penting untuk dipermasalahkan. Sebab ada hal yang dirasa lebih penting untuk diurus dan diutamakan : hidup.

Dan adakah hidup yang membuat tulang rusuk bertransformasi menjadi tulang punggung?



Jumat, 22 Mei 2009

Kesehatan, Persahabatan, dan Umur

Tiga minggu penuh Allah SWT mengajarkan kepada saya tentang kesehatan, persahabatan, dan umur. Lewat seorang sahabat yang terbaring sakit Allah menunjuk.

Awalnya saya tak berprasangka ketika satu Sabtu pagi sahabat mengirim pesan singkat, kabar bahwa dia sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Siang itu juga saya pergi menengoknya. Saya terkejut. Yang saya temui adalah tubuh kurus yang tak banyak daya. Padahal dia adalah seorang yang saya kenal sebagai pribadi yang aktif, supel, energik, dan cerdas bertahun lalu. Apa yang terjadi, tanya saya dengan air mata yang nyaris jatuh. Sahabat bilang, dia terlalu banyak aktifitas hingga urusan kesehatan agak terbengkalai, jadi levernya menjadi korban. Saya tercenung, teringat kecerewetan ibu saya saat mengingatkan untuk makan teratur. Kecerwetan yang biasanya saya pungkas dengan kalimat "iya...ngerti ..saya kan sudah bukan bayi yang tidak bisa urus diri sendiri ...." Pelajaran pertama.


Sepulang dari sana saya berpikir betapa mahalnya menjadi sakit. Betapa tak ada harganya uang ketika sakit menyerang, karena yang diperebutkan adalah nyawa. Lalu sahabat lain yang tinggal nun jauh disana tiba-tiba menelepon. Dan ide yang disampaikannya pada saya membuat saya berpikir betapa cerdasnya dia dan betapa bebalnya saya. Sahabat ini berinisiatif mengabarkan sakitnya sahabat kami ke sahabat-sahabat yang lain agar sama-sama berdoa dan membantu. Dengan bodoh saya bertanya "akankah mereka mau menyisihkan sebagian hasil keringat untuk membantu?" Dia menukas "percaya saya, pasti banyak yang peduli!" Ahhhh .... lihat hinanya saya ketika meragukan nurani sahabat-sahabat yang lain. Lalu kami mulai bergerilya, berkabar kepada banyak sahabat lewat SMS, Facebook, e-mail, chatting. Dan saya memang layak percaya pada sahabat saya. Tumpah ruah air mata saya ketika sahabat-sahabat merespon dengan sangat cepat kabar kami. Perhatian, doa, dan bantuan mengalir di luar prediksi saya. Dengan bukti respon seperti itu pikiran saya bahwa tak akan ada yang peduli terpatahkan sudah. Saya malu. Maafkan saya, sahabat-sahabat. Betapa saya nyaris tak ingat bahwa ada banyak hati nurani dalam diri sahabat-sahabat, tak peduli berapa lama tak bersua. Pelajaran kedua.

Lalu di depan mata saya, sahabat saya mengalami masa kritis. Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menangis dan ling lung. Dan betapa dalam ling lung itu saya lupa bagaimana memanjatkan doa. Saya cuma pintar mematung sambil terisak. lalu saya teringat sahabat-sahabat. Merekalah yang saya minta berdoa karena saya tak mampu. Beruntung hari itu saya tidak perlu menyaksikan yang lebih buruk. Lima hari kemudian kembali saya menengoknya. Dan rupanya tak ada daya yang tersisa dari sahabat saya. Saya tercenung menangisi kemudaannya. Betapa waktu begitu cepat berjalan, tanpa banyak jejak, tanpa banyak rasa pula. Kemarin-kemarin saya tidak menghitung umur. Tapi hari itu saya berhitung dengan miris. Tapi umur adalah rahasiaNya. Kita cuma tahu pertanda. Dan dalam pertanda itupun seringkali masih ada mukjizat kuasaNya. Saya berharapNya menimbang kemudaan sahabat saya. Tapi Dia menunjukkan lain. Sore ini sebuah pesan singkat membuat tangis saya pecah. Dia mengambilnya, di umur yang belum genap 34 tahun. Begitu pendek. Atau sudah cukup panjang menurutNya? Ahhh ..... itu kuasaNya. Pelajaran ketiga.

Life is too short. Katanya begitu. Mungkin benar, mungkin tidak. Panjang atau pendeknya relatif. Tapi dalam hidup ada banyak hal pastinya. Kesehatan. Persahabatan. Umur. Tiga minggu saya belajar itu. Dan dalam sedih itu saya mulai menyadari benang merah yang ditarikNya.

Minggu, 03 Mei 2009

diam

bukankah sudah kukatakan padamu berulang bahwa rasa selayak bongkah kapur barus, menghablur, menukar massa dengan kabut.
dan bukankah sudah kau pahami bahwa waktu adalah sesuatu yang menggerus ? membubukkan raksasa, membungkam ada

sementara yang kau punya hanyalah renik tak daya

rasa,
waktu

diam.



surabaya, 3 mei 2009 untuk sang hujan

Minggu, 26 April 2009

Tas Rajut ....(Lagi)


Ehmmmmm .... satu produk hasil ketrampilan tangan ...tapi bukan tangan saya, melainkan tangan teman saya, teman yang tempo hari saya sebut sebagai duo dalam hal rajut merajut (karena sama-sama sedang keranjingan). Nahhhhhh ...tolong disimak ... barangkali ada yang berminat, bisa hubungi saya. Murah kok .......boleh pesan warna lain juga kalau memang kurang cocok dengan warna yang ada ....

Sabtu, 25 April 2009

Berbagi Daya

Krisis ekonomi global. Begitu kata para orang pintar, yaitu mereka yang paham ekonomi makro dan mikro lengkap dengan segala macam variabelnya. Mereka dengan lugas dan intelek menjabarkan arti rangkaian tiga kata itu. Sedangkan bagi saya uraian mereka tergolong hal yang tidak terlalu mudah untuk dipahami. Jadi yang 'nyantol' di otak saya hanya bahwa kondisi ekonomi sedang susah, nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar sehingga semua barang melambung harganya. Kalau kondisi susah maka perusahaan akan susah juga untuk meningkatkan penjualan sehingga imbasnya akan langsung pada orang-orang semacam saya yang menggantungkan hidup dari kegiatan usaha yang dijalankan sang juragan. Bentuk imbasnya bisa macam-macam, mulai gaji tidak naik (sedangkan harga barang konsumsi semuanya naik), sampai pemutusan hubungan kerja. Ehmmmm ..... dan jujur sebagai karyawan sungguh saya merasakan bahwa dunia usaha tidak sedang dalam kondisi baik. Sedangkan begitu banyak hidup yang harus dipertahankan. Ehmmmm .....

Tapi kesulitan sungguh obat mujarab untuk membuat manusia giat berusaha. Lihat sekitar kita. Coba hitung berapa jumlah usaha kecil yang ada di sekitar rumah. Di lingkungan saya ada paling tidak ada 6 penjual pulsa telepon genggam, 2 depot air isi ulang, 2 warung kopi, 2 salon, lebih dari 7 warung penjual sembako, 4 warung makan, 1 laundry, 1 tempat bilyard, 1 wartel, 1 toko bahan bangunan, 1 distro kecil, dan 1 warnet. Semua itu belum termasuk para penduduk sekitar yang berdagang keliling dengan gerobak atau semacamnya. Jadi saya pastikan orang-orang disekitar saya sedang sibuk bergulat dan berikhtiar demi hidupnya, tentu dengan caranya masing-masing. Dan entah berapa rupiah yang berputar di semua usaha kecil itu.

Dunia sedang susah. Tapi ada hidup yang harus diteruskan. Ketika bentuk usaha besar tak lagi mampu menyerap tenaga kerja, maka usaha kecil adalah jawabannya.
Karenanya mari berbagi daya secara sederhana. Maksud saya, mari saling menghidupi. Jadi ketika ada warung sembako di sebelah rumah, kenapa harus berkendaraan ke supermarket besar nun jauh di sana? Mungkin saja hara barang lebih murah, namun bukankah ada biaya tambahan untuk sampai kesana? Dan dengan tambahan biaya itu maka bukanlah harga barang tak lagi semurah sebelumnya? Dengan berbelanja di warung sebelah maka kita sudah berbagi daya dengan tetangga sebelah. Dan jika saja berbagi daya ini dilakukan banyak orang di lingkungannya masing-masing bukankah akan hebat hasilnya?

Berbagi daya. Terus terang itu cara yang realistis dan masuk akal bagi saya. Jadi bagaimana kalau mulai hari ini amati lingkungan dan mulai berbagi daya? Rasanya tidak akan ada ruginya karena toh kata orang bijak salah satu hakekat hidup adalah untuk berbagi. Ehmmmmm ......tinggi ya filosofinya ...tapi tak perlu dipikirkan setinggi itu ....Yang penting, mari berbagi daya. Setuju?

Kamis, 16 April 2009

Pesta Atau Dagang?

Pemilu katanya pesta demokrasi, katanya pesta rakyat. Jadi tanggal 9 April tempo hari seluruh rakyat Indonesia berpesta. Merayakan apa? Merayakan demokrasi, mungkin. Yang pasti sebelum tanggal tersebut, begitu banyak manusia-manusia berbudi luhur dimana-mana, termasuk di televisi dan sekitar lingkungan hidup saya. Ada yang mengirim pasir, batu, dan semen untuk perbaikan jalan desa. Ada yang memberikan pelayanan kesehatan gratis. Ada yang jadi senang 'cangkrukan' jajan bakso bareng warga kampung. Ada yang memberikan televisi untuk pos keamanan. Ada yang merelakan lahannya dijadikan pasar pagi. Ada yang dengan riang memberikan bantuan alat musik untuk kegiatan kampung. Ada yang jadi rajin bertamu dari satu rumah ke rumah yang lain. Di televisi tak kalah ramainya. Banyak orang berbicara dengan mimik penuh perhatian dan sungguh-sungguh betapa mereka cinta dan akan berbuat semua hal baik untuk negeri dan rakyat ini. Tiap hari mereka berdebat, berusaha menunjukkan pada pemirsa yang satu lebih berbudi dari yang lainnya. Dan kadang saking ramainya perdebatan itu sampai-sampai host-nya malah tidak kebagian waktu bicara sehingga perlu berkata "boleh saya bicara?" berkali-kali hanya untuk membuat mereka semua diam sejenak dan mendengarkan orang lain. Nah ..... kalau sekarang saja mereka susah mendengarkan orang lain, apalagi nanti .....

Sekarang satu tahapan pesta sudah berakhir walau dengan carut marut yang konon tak karuan. Dan itupun masih ditambah dengan tingkah aneh-aneh dari para caleg yang tidak dapat suara cukup. Ada yang menarik kembali televisi yang sudah diberikan. Ada yang menutup lahan pasar. Ada yang stress sehingga membuat keluarganya melarikan ke paranormal terdekat. Ada yang malah meninggal karena shock dan kecewa. Ehmmmmmm .........

Jadi sebenarnya apakah ini benar pesta? Pesta yang menelan korban? Pesta yang cuma keriaan sementara dan beberapa saat kemudian kembali ke realitas bahwa rakyat ya tetap saja rakyat, yaitu obyek penderita. Jadi kalau sudah begitu apa yang dirayakan?

Seorang teman menjawab dengan cepat ketika saya bertanya apakah dia menggunakan hak contrengnya tempo hari. Dia bilang, "Jelasssss ...saya kan warga negara yang baik. Lagian kan saya kepengen tahu rasanya salah pilih ..." Sebenarnya awalnya saya merasa tertohok oleh kalimat pertama dari jawabannya, karena saya tidak bernapsu untuk melakukannya sehingga memilih untuk mengerjakan side job di hari H pesta akbar itu. Tapi setelah mendengar kalimat kedua, saya jadi tidak terlalu merasa berdosa. Salah pilih. Ehmmmmm ....... hebat ya teman saya itu. Dia bisa dengan legowo menerima kenyataan bahwa mencontreng nyaris identik dengan salah pilih tapi tetap bulat menunaikan haknya. Kanapa para caleg itu tidak bisa bersikap sama seperti teman saya? Oooohhhhh ... karena teman saya tidak keluar modal, sedangkan para caleg itu semua keluar modal, banyak pula. Ya ya ya ....... Tapi siapa juga ya yang suruh bagi-bagi uang, kaos, dan pasang iklan diri?


Menurut saya, ini sebenarnya bukanlah pesta. Mungkin baru suatu saat nanti akan bisa jadi pesta, ketika rakyat sudah benar-benar mengerti apa itu demokrasi, ketika caleg benar-benar sadar bahwa menjadi anggota lembaga legislatif itu bukanlah profesi dimana dia bisa menarik untung sebesarnya, ketika KPU benar-benar tahu apa yang harus dilakukan, ketika partai sepakat bahwa pengabdian pada bangsa dan negara bukanlah jargon omong kosong semata, ketika ........... , ketika ........., dan entah berapa ketika lagi.....


Jadi, sementara ini belum bisa dilabeli sebagai pesta demokrasi maka bagaimana kalau kita labeli saja sebagai dagang demokrasi?

Minggu, 05 April 2009

Merajut ..... Saya Bisa Lhooo ....

Pernah coba merajut? Beberapa bulan yang lalu terpikir untuk melakukannya. Lalu dengan sangat niat saya beli satu buku tentang merajut untuk pemula. Dan masih dengan semangat penuh saya membeli beberapa hakken dan benang wol. Lalu mulai membuka buku, memegang hakken dan benang.....ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Jari-jari saya sudah terasa pegel linu tapi alhasil saya cuma bisa bikin rantai ..... Penasaran, saya beli satu buku lagi. Dan mencoba lagi berdasarkan buku baru tersebut yang saya rasa lebih mudah karena lebih banyak gambarnya. Tapi ternyata lagi-lagi tidak cukup mudah bagi saya..... Masih juga belum beranjak dari tusuk rantai.

Tapiiiiiii ternyata kemudian saya beruntung. Karena seorang dewi penolong datang ...hhehehehe .... Ternyata seorang teman pernah diajari ketrampilan itu dulu, puluhan tahun yang lalu, semasa di SD. Jadi saya paksa dia untuk me-refresh ingat
annya. Dannnnnnnnnnnn ...berhasil berhasil ...... Dan satu lagi ..... teman saya jadi ikutan keranjingan. Jadilah kami seperti dua sekawan yang rajin mendatangi toko benang. Terlebih lagi akhirnya kami menemukan sebuah toko benang yang seluruh pramuniaganya bisa merajut, baik dengan satu jarum ataupun lebih. Jadi kami bisa saja beli satu dua gulung benang tapi minta ajar merajutnya sekitar sejam ..... hehhehehee....

Dannnn ...lihatlah saya sekarang..... Saya sudah bisa merajut ...horreeeee...tapi masih dengan satu jarum. Duo kami; saya dan teman saya; bertekad bulat akan segera belajar merajut dengan dua jarum.

Oh iya, lihatlah first project saya di foto ini, sebuah tas kecil yang sebenarnya saya sendiri agak bingung akan diisi dengan apa. Dan sebenarnya saya sendiri berpendapat, model tas itu agak terlalu kekanak-kanakan. Tapi tak apalah yaaaa..... Rasanya sudah hebat saya bisa menyelesaikannya. Sebenarnya saya punya dua first project, yaitu tas kecil tadi dan sajadah. Cuma sajadahnya belum selesai.

Nahhhh kemarin teman duo saya bertanya, terus kalau sudah selesai mau diapakan? Ya ya ya , mau diapakan ya? Ehmmmmm ..... barang kali ada yang mau membelinya? Atau mau warna lain? Boleh pesan kok .....hehhehehehe ....Pesannya lewat blog ini saja...... Harganya murah kokkkkkk ..... Bagaimana, ada yang mau pesan?

Senin, 23 Maret 2009

Glenn Doman, Anat Baniel, dan Ponari

Kemarin kakak saya berkirim pesan singkat, bertanya apa itu metode Anat Baniel. Karena saya sendiri merasa asing dengan nama itu jadi saya balas pesannya dengan janji akan mencarikan informasi melalui internet. Dan dengan Google ketemu juga apa itu Anat Baniel Methode, lengkap dengan testimonial dan tayangan youtube-nya. Cuma saya tidak menemukan apa yang saya cari disana, yaitu dimana dokter atau terapi atau rumah sakit yang menggunakan metode itu di Indonesia. Alamat yang saya temukan cuma seputaran USA. Lalu ketika saya sampaikan itu ke kakak saya jawaban dia adalah "iya, memang itu katanya adanya cuma di Amerika saja ..." Ehmmmmmmm ...... saya meneguk ludah.

Sebelumnya saya juga kelimpungan mencari mereka-mereka yang menggunakan metode Glenn Doman di Indonesia. Dan setelah mencari-cari, akhirnya ketemu juga nama sebuah lembaga/yayasan di Jakarta yang sedikit banyak merujuk ke metode itu. Juga setelah menghubungi website The Institute For Achievement of human Potential, akhirnya saya mendapat himbauan untuk menghubungi Singapura. Beberapa hari kemudian seseorang menelepon saya menginformasikan adanya lecturing dari Douglas Doman di Surabaya dan Jakarta.

Oh iya, saya belum menjelaskan kenapa saya membutuhkan itu semua. Beberapa tahun yang lalu seorang keponakan terkena enchepalitis. Karenanya keponakan saya mengalami gangguan pada fungsi otaknya dan membuat dia menjadi anak berkebutuhan khusus.

Kembali ke Anat Baniel Methode. Kemarin akhirnya saya menonton aksi Bu Anat Baniel di youtube. Seorang teman yang ikut menonton di belakang saya menyeletuk, "bukannya ini kayak pijat refleksi atau gabungan segala macam terapi modern dan pijat tradisional Indonesia?' Saya bingung menjawabnya karena toh kami sama-sama awam dengan hal itu. Tapi dalam hati saya berpikir," iya juga yaaaa..." Teman saya masih mengoceh lagi,"moso' kita bisanya cuma pijat mesum aja sih dan pijat-pijat ilmiah gini enggak ada yang mau belajar?" Lagi-lagi saya tidak tahu jawaban dari komentar yang sebenarnya terdengar seperti komentar bodoh itu.

Jadi kenapa semuanya ada di Amerika dan luar negeri lainnya? Bagaimana jika semua orang yang membutuhkan hal-hal yang ada di luar negeri itu tidak punya cukup uang? Untuk pertanyaan itu teman saya tadi punya jawaban jitu, yaitu "makanya, yang namanya sakit itu mahallll ...." Ehmmmmmm ...sebenarnya agak tidak nyambung ya jawaban 'jitu' ini. Tapi bukankah benar adanya bahwa menjadi sehat itu memang mahal? Dan seorang teman bule Amerika pun memberikan tips jitu yang cukup mengejutkan, yaitu "jika tidak punya asuransi, terus sakit di Amerika, maka lebih baik mati saja deh...." Ini masih ditambahi embel-embel cerita tenang istrinya yang tempo hari sakit dan perlu operasi dan biaya yang dia sebutkan membuat saya buru-buru mengambil kalkulator, mengalikan sekian ribu dolar dengan kurs yang saya buat dua belas ribu rupiah. Lalu saya mendelik. Wahhh .... yang Amerika saja bilang seperti itu, lha apalagi saya ........

Nahhhh ..... jadi bagaimana kalau seorang Indonesia mengalami sakit dan ternyata hal yang sekiranya bisa membantunya sembuh adanya di lur negeri nan mahal dan dia tidak punya cukup uang untuk mengejarnya? Kata teman saya (masih orang yang sama tadi),"ya nyari tahu di internet siapa yang pernah melakukan metode itu dan minta dia menyedekahkan ilmu itu..." Ehmmmm ...mungkin bisa kalau ini bentuknya semacam terapi fisik. Tapi bagaimana kalau itu berupa perawatan yang si pasien mau tak mau harus kesana? Teman saya bilang,"yaaaa.... mungkin Ponari bisa bantu ....." Ehmmmmmm .......

Minggu, 01 Maret 2009

Ibu Saya

Hari ini ibu saya berulang-tahun. Dan saya baru meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun sekitar setengah lima sore tadi. Tanpa kado dan kehadiran pula, cuma suara. Dan doa tentu saja. Dari suaranya saya tahu dia senang, walau mungkin juga berpikir saya terlambat. Lalu beliau bercerita dengan nada riang tentang cucu-cucunya yang menelepon tadi pagi. Saya merasa bersalah, merasa menjadi anak yang tidak cukup baik.

Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Konon dulu pernah bekerja kantoran tapi kemudian berhenti ketika memutuskan menikah dengan bapak saya. Jadi, yang ada dalam benak saya dari kecil hingga sekarang adalah bahwa ibu yang bukan perempuan berseragam, tanpa riasan wajah rapi, dan tanpa sepatu dan tas kantor. Ibu juga bukan perempuan yang sehari-hari duduk di depan meja, berkutat dengan komputer, dan sibuk memeriksa aneka berkas. Ibu saya jauh dari gambaran itu. Ibu saya adalah perempuan yang sehari-hari ada di rumah, membersihkannya, merawatnya, memasak, dan tetek bengek yang dengan bahasa sekarang diistilahkan sebagai berada dan berkutat dalam lingkungan domestik. Ibu adalah perempuan yang bergumul dengan panci, sapu, detergen, dan sesekali keluar untuk keperluan organisasi sederhana macam PKK dan Dharma Wanita.

Ibu saya juga bukan tipikal perempuan yang sibuk dengan urusan badan dan penampilan. Beliau tidak banyak memikirkan efek detergen pencuci baju dan piring untuk kulitnya. Beliau tidak menelan vitamin E dan mengoles anti aging untuk mencegah penuaan. Beliau juga tidak menjauh dari asap kompor karena takut kelembaban wajahnya rusak. Beliau tidak banyak berhitung tentang ostheoporosis ketika mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk ketika menggendong kami bertiga. Padahal jujur saja di masa mudanya ibu saya adalah perempuan yang sungguh cantik. Bahkan beberapa teman saya sempat berkomentar " kok kamu tidak minta turunan cantik dari ibumu?"

Itulah ibu saya. Perempuan yang seumur hidup saya kenal sebagai perempuan yang begitu-begitu saja. Dan kepada perempuan yang 'begitu-begitu saja' itu saya diam-diam sering berkaca dan bertanya dalam hati tentang banyak hal. Sering saya berpikir, akankah saya seperti dia ketika telah berkeluarga nantinya? Akankah saya mampu mengerjakan semuanya sendirian seperti yang dia mampu melakukannya bertahun-tahun? Akankah saya mampu menjadi tempat pulang yang menyenangkan bagi keluarga saya? Akankah saya mampu menjadi sosok yang kepadanya anak-anak saya memberikan respeknya? Akankah saya mampu membuat masakan yang mengenyangkan sekaligus menyenangkan? Akankah saya mampu dengan sengaja mendahulukan kepentingan keluarga saya di atas kepentingan pribadi saya? Ehmmmmm ..... masih banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya setiap kali saya ada di dekatnya. Dan setiap kali pula hati saya ciut, karena sadar betapa banyak hal yang saya lakukan dalam hidup saya sungguh berbeda dengan hal yang beliau lakukan dalam hidupnya. Rutinitas, pendidikan, cara pandang, pergaulan, cita-cita, ambisi, keinginan, ego, emosi, ........ sungguh berbeda. Dan saya merasa ngeri.

Semua mahfum dan percaya adanya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Manusia ; meminjam istilah seorang teman; tidak ada seimpit-impitnya. Tapi terus terang ada kalanya saya tidak sepakat dengan hal ini. Karena saya melihat ada yang sempurna, paling tidak di mata saya : ibu saya.

Selamat ulang tahun, bu. Semoga panjang umur, sehat, dan rahmat Allah senantiasa bersamamu. Dan tolong selalu buka pintu maafmu untuk semua hal salah yang saya lakukan, karena nanti, besok, lusa, dan lain waktu pasti saya akan bersalah kepadamu.

You're perfect.

Minggu, 15 Februari 2009

Sepeda

Siang tadi, seorang teman menyeret anaknya ke depan pintu kamar saya. Terang saja saya kaget. Ada apa ya, tanya saya dengan muka bodoh. Ternyata, teman saya ini bermaksud minta saya memarahi anaknya lantaran seringnya memakai sepeda saya tanpa ijin dan menggunakannya untuk berkeliaran ke sana kemari tanpa bisa dicegah oleh siapapun termasuk ibunya sendiri. Saya jadi termangu, bingung mau marah seperti apa pada bocah laki-laki tujuh tahun yang duduk meringkuk di lantai dengan badan mengkilat berkeringat hasil bersepeda barusan. Dan saya tidak tega melihatnya, walau saya tahu dia sudah melakukan kesalahan, termasuk membuat khawatir ibunya.

Jujur, kemarin-kemarin saya cukup terganggu dengan tingkah bocah itu, yang mengambil sepeda saya tanpa permisi walaupun pintu kamar saya jelas-jelas terbuka dan saya ada di dalamnya. Saya sempat berpikir sepatutnya orang-tuanya mengajarkan sopan santun kepadanya, bahwa meminjam barang orang lain harus didahului dengan permintaan ijin kepada si empunya. Ketika sempat menegurnya satu kali, saya bilang padanya bahwa itu milik saya dan dia harus minta ijin saya untuk bisa memakainya. Waktu itu si bocah cuma tersenyum, lalu berlari menuntun sepeda saya kembali ke tempat semula. Tapi itu cuma sekali terjadi. Setelahnya saya tak lagi ambil pusing dengan ketidaksopanan itu, sampai seorang tetangga memanggil ketika saya tengah berjalan pulang dari kantor. Si ibu tetangga bilang bahwa sepeda itu sering dibawa kemana-mana, termasuk ke jalan besar. Dia khawatir terjadi apa-apa, baik pada sepedanya maupun pada anaknya. Dia berpesan agar saya segera membeli kunci untuk sepeda itu. Waktu itu saya cuma tersenyum karena tak tahu harus bagaimana.

Apakah saya tidak peduli dengan keselamatan anak itu jika sampai hari ini tidak membeli kunci? Ahhhh .....demi Allah bukan itu maksud saya. Jujur saya tidak tega melakukannya. Saya ingat di masa kecil saya, sepeda adalah sebuah kesenangan, sebuah alat permainan yang sungguh menyenangkan sekaligus menyehatkan. Dulu hampir setiap minggu pagi saya bersepeda dengan teman-teman kecil saya, berkeliling kemana-mana, termasuk ke jalur-jalur yang biasanya dilalui kendaraan besar seperti bus dan truck. Memang cuma waktu itu saja orang tua kami semua mengijinkan melewati rute itu karena pada pagi buta jalur-jalur tersebut sepi. Jadi kalau sekarang seorang bocah seperti dia menikmati bermain dengan sepeda, walau bukan miliknya, sungguh saya bisa memakluminya. Wong saya sendiri masih suka kemana-mana pakai sepeda, termasuk ke kantor. Saya baru berhenti bersepeda ke kantor ketika laptop mulai terasa berat di punggung saya. Karena itu si bocah punya kesempatan paling tidak delapan jam untuk bebas bermain dengan sepeda itu, tanpa saya mengetahuinya.

Jadi, tadi saya cuma bisa bilang "jangan jauh-jauh, bawa sepedanya, sebab mobil banyak di luar sana, takutnya kamu tertabrak'. Mungkin bukan jenis marah yang diinginkan oleh ibunya. Tapi sungguh saya tidak tega lebih dari itu. Kemarin-kemarin sempat berniat untuk menguncinya. Tapi saya kasihan kepada si bocah. Sepeda saya adalah barang mainannya, barang yang mungkin bisa membuatnya sedikit senang. Dan saya merasa jahat sekali kalau sampai menguncinya, sementara saya tahu persis si bocah tidak punya cukup banyak mainan lainnya.

Jadi yaaaaa saya relakan saja, sambil diam-diam berharap si bocah mampu bertanggung-jawab dan menjaga keselamatan, terutama keselamatan dirinya. Ahhhhh ....mungkin saya berharap terlalu banyak pada seorang bocah tujuh tahun. Tapi saya juga tidak sampai hati merusak kesenangannya. Jadi bagaimana dong? Jadi, ya saya doakan saja semoga semuanya selamat dan semoga doa saya manjur adanya. Cukup bijakkah?

Senin, 09 Februari 2009

Sepasang Alis Yang Aduhai

Ehmmmm ...... hari ini saya dapat rejeki nomplok. Menyenangkan. Saya jadi diam-diam bersyukur hari ini tetap masuk kantor walau mata saya masih terasa seperti terganjal sesuatu dan merah akibat terciprat saus sambel malam sebelumnya. Awalnya asaya malas masuk kantor dengan mata seperti itu. Tambahan lagi hujan terus mengucur dari dini hari, membuat meringkuk di kasur terasa sungguh seperti di surga. Jadilah saya pergi ke kantor dengan setengah hati. Lalu seorang rekan kerja meminta saya menemaninya ke sebuah meeting dengan seorang customer potensial. Dannnnnn ...eng ing engggggg ...... hehehehehheeh.....

Nah .... singkat kata kami berdua sampai di lokasi yang dijanjikan untuk pertemuan itu. Begitu keluar dari kotak lift mata saya langsung tersandung oleh adegan dua orang duduk santai di sebuah bangku yang diperlakukan bak sebuah sofa empuk nyaman. Keduanya malah setengah mengangkat satu dengkul masing-masing, salah satu malah membuat posisi duduk yang setengah meringkuk. dan kepada yang meringkuk ini mata saya bertahan beberapa detik. Kenapa? Karena alis di atas matanya sungguh aduhai .... hahahahahhaa .... Benar-benar alisnya, bukan mata, hidung, atau wajahnya, tapi justru alisnya yang menyedot perhatian saya. Keduanya tebal, melengkung dengan biasa, tapi mampu menciptakan kontras yang sempurna dengan warna kulit disekitarnya. Dan dalam hati saya berkomentar "indah sekali, ya Allah...." hhehehhehehe..... lalu segera menyusul langkah patner saya yang rupanya tak terpengaruh dengan kedua alis itu. Sesama jeruk gitu lohh ....

Nah .... singkat kata lagi ....... kami dipersilahkan menunggu di sebuah ruang, sebab yang bersangkutan belum siap menerima kami. Dan setelah menunggu agak lama, akhirnya kami digiring masuk ke sebuah ruang pertemuan, dengan segerombolan orang mengekor di belakang kami. Dan...... eng ing enggggggggg..... ternyata si alis aduhai ada dalam gerombolan tersebut. Dia malah yang memyeretkan dua kursi buat kami, kursi yang rupanya sebenarnya ada di depan meja kerjanya. Dan kemudian dia mengambil tempat persis di seberang saya. Dan ..... ternyata dia ketua dari gerombolan tersebut, alias si pengambil keputusan. Ehmmmmm...... hehhehee ..... dengan noraknya saya jadi kehilangan kata-kata selama beberapa menit, bahkan kehilangan semangat untuk menjabat tangan gerombolan itu. Untung tak ada yang sadar bahwa saya tidak mengulurkan tangan. Asli 100% norak..... hehehhehee.

Yaaaa.... jadi itulah rejeki nomplok saya hari ini. Hal remeh tapi lumayan untuk membuat hari saya terasa lebih oke....... Dan semoga si alis aduhai itu mendapat pahala atas hal ini. Yaaa ...mungkin makhluk-mkhluk seperti itu diciptakan dengan salah satu tujuan membahagiakan yang lain dengan keindahannya? Hehehehe ....

Anyway ...... Alisnya memang sungguh aduhai :-)

Jumat, 09 Januari 2009

Tentang Gaza

Mengikuti apa-apa yang terjadi di Palestina terutama Gaza akhir-akhir ini? Ehmmmmm ....menyedihkan. Tempo hari sepulang kantor, seperti biasa saya menyalakan televisi dan menonton berita-berita dengan sepiring makan malam di tangan. Dan sebenarnya saya sangat menikmati menu seadanya yang hanya terdiri dari nasi putih, telur asin, dan kecap manis dan memakannya dengan intensitas tinggi karena lapar. Sampai kemudian televisi memperlihatkan wajah sedih dan berdarah-darah dari anak-anak Palestina, dengan latar lagu When The Children Cry. Tiba-tiba saya merasa berdosa enak-enak makan seperti itu padahal banyak muka-muka kecil menderita di sana.

Lalu sebuah stasiun televisi menyajikan acara debat antar partai. Dan kebetulan yang maju adalah dua partai berbasis Islam, yaitu PKS dan PPP. Dan PKS mendapat banyak serangan terkait dengan pernyataan politiknya tentang Palestina yang ditunjukkan dengan demo besar-besaran di banyak daerah. PKS dianggap terlalu mem-blow up isyu Palestina, sementara kondisi bangsa sendiri masih tak keruan.

Saya tidak bermaksud membela PKS dan menuduh PPP tidak sensitif terhadap isyu dunia dengan membuat tulisan ini. Saya tidak punya cukup kepentingan untuk itu. Cuma sebagai manusia biasa, saya berpendapat harus ada yang menghentikan Israel melakukan genosida ini. Dan saya senang ada yang mau berusaha, lebih dari yang saya lakukan.

Lalu apa yang saya sendiri lakukan? Tempo hari teman-teman mengirimkan daftar produk yang berkaitan dengan zionisme. Dan dengan penuh semangat saya memutuskan untuk memboikot dengan tidak membeli dan menggunakan produk-produk tersebut. Sempat terpikir bahwa jika semua orang yang menentang tindakan Israel melakukan hal yang sama dengan saya, maka berapa banyak perusahaan yang mendukung zionisme yang akan tersendat? Berapa banyak pekerja tak berdosa yang akan terimbas? Tapi lalu terpikir juga bahwa tersendatnya mereka berarti peluang usaha bagi yang lain. Maka pekerja yang terimbas insyaallah pasti akan menemukan jalan keluarnya. Jadi, BOIKOT JALAN TERUSSSSSSSS ......!!!!

Seorang teman bertanya, untuk apa saya melakukan itu. Saya cuma menyarankan teman saya untuk melihat wajah-wajah kecil itu. Wajah-wajah kecil yang tak mengerti dan hanya bisa menangis mencari orang-tuanya atau mengacungkan tangan minta digendong ketika suara bom dan tembakan menakuti dan melukainya. Lihat bagaimana wajah mereka mereka yang kosong karena campur aduk antara kaget, takut dan kesakitan. Mungkin para petinggi Israel itu tak pernah punya anak atau malah tak pernah menjadi anak-anak jadi tak merasa apa-apa ketika memuntahkan amunisi dan menjatuhkan bom-bom. Jika saja mereka berpikir apa yang akan mereka rasakan bila itu terjadi pada anak-anak terkasih mereka, mungkin tindakannya akan bisa lain.

Terus terang kemarin saya jadi jahat, karena berharap salah satu saja negara yang punya nuklir melepaskan barang itu ke arah Israel dan bummmmmmmm ...... Ehmmmmm .......... seperti ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki puluhan tahun lalu. Atau mungkin dengan menyebarkan virus-virus flu burung dan cikunguya pada mereka. Sehingga mereka tak lagi kuasa menerbangkan pesawat dan menjatuhkan bom-bom. Ehmmmm .....jahat ya saya? Tapi mereka sudah benar-benar jahat dengan perbuatannya sekarang!

Katanya tidak ada perdamaian tanpa peperangan. Katanyaaaa..... Tapi bagaimana dengan wajah-wajah kecil itu? Mungkin oleh Israel pernyataan tersebut diubah menjadi tidak ada perdamaian tanpa genosida ......... Dan mungkin mereka tak punya hati dalam relung badannya......... Dan mungkinkah ada pengampunan untuk hal seperti ini?

Jumat, 02 Januari 2009

Kepada Bang Andrea Hirata

Bang Andrea, dua minggu yang lalu, ketika saya pulang menemuinya, Bapak saya curhat. Rupanya beliau jengkel dengan karena stasiun televisi yang cukup disukainya raib dari peredaran alias tak tertangkap siarannya. Stasiun televisi yang dimaksud adalah Metrotv. Saya mahfum, karena Bapak saya adalah penyuka berita dan penggemar berat Kick Andy. Beliau tipikal pemirsa televisi yang selalu mengomel kalau menonton sinetron, kebiasaan yang membuat Ibu saya selalu tak nyaman duduk bersamanya ketika Cinta Fitri mengudara. Bapak selalu memberi komentar-komentar yang mengganggu kenikmatan Ibu. Menurut Bapak, cerita sinetron itu dangkal dan cenderung mencederai kemampuan otak pemirsanya. Ehmmmmm ...tentu saja Ibu saya tersinggung karena omongan itu. Jika Bapak mempunyai pendapat 'kejam' seperti itu, Ibu juga punya pendapat sendiri tentang sinetron. Menurutnya sinetron cuma untuk hiburan ringan saja, sehingga tak perlu dibuat susah hingga peras otak segala. Menonton berita orang memutilasi kekasihnya, ekonom beranalisa dengan macam-macam variabel susah, atau politikus berkicau berbusa-busa, tidak selamanya menyenangkan. Jadi, intinya Ibu memilih sinetron sebagai jeda dari itu semua.

Ehmmmmm ... itulah pendapat kedua orang tua saya. Dan, tanpa menghilangkan segala hormat saya terhadap perempuan yang telah melahirkan saya, saya berdiri di belakang pendapat Bapak tentang sinetron. Saya sepakat ketika Bapak menggerutu "apa hidup ini cuma berisi rebutan laki dan harta? Apa tidak ada tema lain yang lebih bagus dan logis dari itu? Masa' semua orang Indonesia kerjanya cuma rebutan laki dan harta sih?"

Jadi, begitulah Bang Andrea, gerutuan bapak saya itu membuat saya teringat dengan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Bagaimana Bang, kalau buku-buku itu dijadikan sinetron saja? Saya yakin sinetron yang bagus bermula dari ide cerita yang bagus. Dan keempat buku tadi saya yakin bisa merupakan ide yang hebat. Dan saya pribadi merasa sayang ketika melihat bagaimana Laskar Pelangi yang inspiratif dan ratusan halaman itu dimampatkan menjadi film yang hanya sekitar dua atau tiga jam saja. Terlebih lagi bagian favorit saya di buku itu, yaitu bagian cerdas cermat direnovasi sedemikian rupa, mungkin demi alasan komersialitas. Terus terang ketika mendengar Laskar Pelangi difilmkan, satu adegan yang saya setengah mati ingin lihat adalah ketika Lintang beradu ilmu fisika dengan si Bapak Guru sekolah elit. Sungguh saya masih menyimpan keinginan itu ketika berdesakan di loket bersama berpuluh orang-tua yang menggandeng anak-anaknya. Dan ternyata kemudian terbukti saya kecewa. Tapi paling tidak saya tidak sendirian. Teman saya pun sama kecewanya dengan saya karena kehilangan adegan itu.

Jadi Bang, bagaimana kalau buku-buku itu disinetronkan saja? Agar tak banyak bagian yang harus tergerus, agar makin banyak yang bisa mengambil inspirasi dari dalamnya. Tapi Bang, jika memang Abang setuju, tolong jangan dibuat ala India yang seringkali ruwet melingkar-lingkar tak keruan. Tolong buatlah tetap sederhana ala Belitong. Mungkin seperti Surat Untuk Sahabat, Para Pencari Tuhan, Si Doel Anak Sekolahan, atau Kiamat Sudah Dekat. Bukankah akan cantik itu Bang?

Tolong ya Bang, dipikirkan usulan saya ini. Jika Abang setuju dan menemukan penggarap yang sederhana tapi oke, tentu saya akan bisa melihat Bapak dan Ibu saya duduk berdampingan di depan telebisi dengan tenang tanpa berdebat. Dan juga tema sinetron kita tak akan lagi cuma melulu rebutan laki dan harta.

Jadi bagaimana, Bang? Setujukah?