Judul buku : A FORT
OF NINE TOWERS
Pengarang :
Qais
Akbar Omar
Penerbit : Picador
Tebal : 396 halaman
Cetakan : 2014
Seorang teman memberikan
buku ini kepada saya dengan keterangan bahwa dia sendiri belum sempat
membacanya. Bukan hal biasa sebenarnya karena dia adalah termasuk yang sangat
rajin membaca. Tapi, lanjutnya, dia yakin buku ini bagus karena ada komentar
seorang Khaled Hosseini yang berbunyi ‘poetic,
powerful, and unforgettable’ di sampul depan. Kami berdua sama-sama
menggemari Khaled Hosseini dan ucapannya membuat saya paling tidak enam puluh
persen percaya buku tersebut layak dibaca. Dan jujur saja, ketika mulai
membacanya, saya tak tahu bahwa ini sebuah memoar. Sampai hampir sepertiga buku
saya masih mengira buku ini adalah sebuah novel. Baru setelahnya saya sadar
yang sedang saya baca adalah sebuah memoar dari si penulis. Dan sejak itu pula
cara saya memandang buku ini jadi berbeda, karena bagaimanapun sebuah memoar
jauh berjarak dengan sebuah novel yang fiksi.
Qais memulai ceritanya
dengan hanya sekilas kehidupan masa kininya, dan langsung flash back ke masa ketika umurnya tujuh tahun. Masa yang
digambarkan sebagai masa yang penuh kebahagiaan. Berasal dari keluarga
terhormat dan berada, Qais kecil tinggal di rumah kebun yang dibangun oleh
kakeknya di kawasan pegunungan kota Kabul Afganistan. Disitu Qais dan keluarga
besar ayahnya tinggal dengan sang kakek sebagai magnet utama. Gambaran masa
kanak bersama sepupu-sepupu laki-laki lengkap dengan layang-layangnya langsung mengingatkan
saya pada masa kecil Amir dan saudara tirinya Hasan dalam Kite Runner karya Khaled Hosseini. Sama sekali bukan kemiripan yang
mengganggu mengingat keduanya menggunakan latar belakang tempat dan kurun waktu
yang saya rasa tak jauh beda. Dan masa kecil yang indah itu akhirnya koyak oleh
perang saudara yang pecah di Afganistan, seiring dengan pecahnya Mujahidin yang
saat itu berkuasa menjadi faksi-faksi atas dasar etnis dan pandangan politik
yang bertikai satu sama lain. Langit kota Kabul tak lagi indah berhias
layang-layang, tapi berganti dengan roket yang bisa datang kapan saja, mendarat
di mana saja, dan menghancurkan apa saja.
Perang memaksa keluarga Qais meninggalkan rumah kebun kebanggaan
mereka. Tempat pengungsian pertama adalah sebuah rumah benteng yang konon
mempunyai sembilan menara ketika pertama kali dibangun lebih dari seabad yang
lalu, Qala-e-Noborja (fort of nine towers). Dan bahkan di
benteng dengan dinding tinggi itu pun mereka tak mendapatkan sekedar keamanan. Qais
sekeluarga berubah menjadi keluarga nomaden yang berpindah dari satu tempat ke
lainnya, berdesakan dalam sebuah mobil Volga hanya demi bertahan hidup. Perjalanan
panjang yang berawal di Qala-e-Noborja;
dan kelak berakhir di tempat yang sama; tak hanya memberikan pelajaran hidup bagi
Qais, tapi juga membantunya memahami diri juga negaranya, Afganistan.
Perang memang tak pernah membawa kebahagiaan. Pun ketika
dikatakan perang adalah jalan terjal menuju perdamaian, tetap saja menyebabkan
luka-luka fisik dan yang lebih parah lagi luka-luka batin yang sulit terobati. Dan
selalu rakyat yang paling banyak menjadi korban. Lebih ironis lagi, perang
saudara kerap membuat rakyat tak sepenuhnya mengerti apa yang dipertikaikan dan
bagaimana harus bersikap. Perbedaan, semisal etnis, pada tataran jelata yang
tak bersentuhan langsung dengan tampuk kekuasaan sering tak berarti banyak. Namun
di tangan pemegang kekuasaan atau yang berambisi untuk berkuasa, adalah hal
krusial yang berarti segalanya, bahkan setara dengan pertumpahan darah.
Membaca memoar ini, saya seakan disadarkan kembali betapa
manusia adalah makhluk yang begitu susah untuk menghargai perbedaan. Selalu ada
perbedaan yang pada akhirnya memicu perang. Sejarah dunia membuktikan hal itu.
Tapi tetap manusia tak juga menjadi cukup pintar ketika dihadapkan kembali
dengan persoalan yang sama. Perang, perang, dan perang nyaris terus dianggap
sebagai solusi.
Ada hal yang menggelitik saya dalam buku ini. Yaitu
kalimat yang diucapkan oleh ayah Qais, “We
have long tradition of raiding and plundering each other. But two things unite
us: love for Allah, and hatred for our invaders and enemies.....”. Pada
akhirnya selalu ada yang menyatukan sebuah bangsa. Namun saya jadi berpikir betapa
mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah persatuan jika itu harus menunggu
adanya pihak luar yang datang menyerang.
Secara keseluruhan buku ini memang terasa senada dengan
karya fiksi Khaled Hosseini. Senada juga keberpihakan keduanya. Namun sebagai memoar,
buku ini tetap mempunyai tempat yang berbeda karena perekam semua kejadian
adalah mata, telinga, dan hati Qais Akbar Omar sebagai saksi hidup dalam satu
babak sejarah sebuah negara bernama Afganistan.