Jumat, 06 Februari 2015

A FORT OF NINE TOWERS ~ Review Buku

Judul  buku               : A FORT OF NINE TOWERS
Pengarang                 : Qais Akbar Omar
Penerbit                    : Picador
Tebal                        : 396 halaman
Cetakan                    : 2014


Seorang teman memberikan buku ini kepada saya dengan keterangan bahwa dia sendiri belum sempat membacanya. Bukan hal biasa sebenarnya karena dia adalah termasuk yang sangat rajin membaca. Tapi, lanjutnya, dia yakin buku ini bagus karena ada komentar seorang Khaled Hosseini yang berbunyi ‘poetic, powerful, and unforgettable’ di sampul depan. Kami berdua sama-sama menggemari Khaled Hosseini dan ucapannya membuat saya paling tidak enam puluh persen percaya buku tersebut layak dibaca. Dan jujur saja, ketika mulai membacanya, saya tak tahu bahwa ini sebuah memoar. Sampai hampir sepertiga buku saya masih mengira buku ini adalah sebuah novel. Baru setelahnya saya sadar yang sedang saya baca adalah sebuah memoar dari si penulis. Dan sejak itu pula cara saya memandang buku ini jadi berbeda, karena bagaimanapun sebuah memoar jauh berjarak dengan sebuah novel yang fiksi.

Qais memulai ceritanya dengan hanya sekilas kehidupan masa kininya, dan langsung flash back ke masa ketika umurnya tujuh tahun. Masa yang digambarkan sebagai masa yang penuh kebahagiaan. Berasal dari keluarga terhormat dan berada, Qais kecil tinggal di rumah kebun yang dibangun oleh kakeknya di kawasan pegunungan kota Kabul Afganistan. Disitu Qais dan keluarga besar ayahnya tinggal dengan sang kakek sebagai magnet utama. Gambaran masa kanak bersama sepupu-sepupu laki-laki lengkap dengan layang-layangnya langsung mengingatkan saya pada masa kecil Amir dan saudara tirinya Hasan dalam Kite Runner karya Khaled Hosseini. Sama sekali bukan kemiripan yang mengganggu mengingat keduanya menggunakan latar belakang tempat dan kurun waktu yang saya rasa tak jauh beda. Dan masa kecil yang indah itu akhirnya koyak oleh perang saudara yang pecah di Afganistan, seiring dengan pecahnya Mujahidin yang saat itu berkuasa menjadi faksi-faksi atas dasar etnis dan pandangan politik yang bertikai satu sama lain. Langit kota Kabul tak lagi indah berhias layang-layang, tapi berganti dengan roket yang bisa datang kapan saja, mendarat di mana saja, dan menghancurkan apa saja.

Perang memaksa keluarga Qais meninggalkan rumah kebun kebanggaan mereka. Tempat pengungsian pertama adalah sebuah rumah benteng yang konon mempunyai sembilan menara ketika pertama kali dibangun lebih dari seabad yang lalu, Qala-e-Noborja (fort of nine towers). Dan bahkan di benteng dengan dinding tinggi itu pun mereka tak mendapatkan sekedar keamanan. Qais sekeluarga berubah menjadi keluarga nomaden yang berpindah dari satu tempat ke lainnya, berdesakan dalam sebuah mobil Volga hanya demi bertahan hidup. Perjalanan panjang yang berawal di Qala-e-Noborja; dan kelak berakhir di tempat yang sama; tak hanya memberikan pelajaran hidup bagi Qais, tapi juga membantunya memahami diri juga negaranya, Afganistan.

Perang memang tak pernah membawa kebahagiaan. Pun ketika dikatakan perang adalah jalan terjal menuju perdamaian, tetap saja menyebabkan luka-luka fisik dan yang lebih parah lagi luka-luka batin yang sulit terobati. Dan selalu rakyat yang paling banyak menjadi korban. Lebih ironis lagi, perang saudara kerap membuat rakyat tak sepenuhnya mengerti apa yang dipertikaikan dan bagaimana harus bersikap. Perbedaan, semisal etnis, pada tataran jelata yang tak bersentuhan langsung dengan tampuk kekuasaan sering tak berarti banyak. Namun di tangan pemegang kekuasaan atau yang berambisi untuk berkuasa, adalah hal krusial yang berarti segalanya, bahkan setara dengan pertumpahan darah.  

Membaca memoar ini, saya seakan disadarkan kembali betapa manusia adalah makhluk yang begitu susah untuk menghargai perbedaan. Selalu ada perbedaan yang pada akhirnya memicu perang. Sejarah dunia membuktikan hal itu. Tapi tetap manusia tak juga menjadi cukup pintar ketika dihadapkan kembali dengan persoalan yang sama. Perang, perang, dan perang nyaris terus dianggap sebagai solusi.

Ada hal yang menggelitik saya dalam buku ini. Yaitu kalimat yang diucapkan oleh ayah Qais, “We have long tradition of raiding and plundering each other. But two things unite us: love for Allah, and hatred for our invaders and enemies.....”. Pada akhirnya selalu ada yang menyatukan sebuah bangsa. Namun saya jadi berpikir betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah persatuan jika itu harus menunggu adanya pihak luar yang datang menyerang.

Secara keseluruhan buku ini memang terasa senada dengan karya fiksi Khaled Hosseini. Senada juga keberpihakan keduanya. Namun sebagai memoar, buku ini tetap mempunyai tempat yang berbeda karena perekam semua kejadian adalah mata, telinga, dan hati Qais Akbar Omar sebagai saksi hidup dalam satu babak sejarah sebuah negara bernama Afganistan.

MAYA ~ Review Buku

Judul  buku     : MAYA
Pengarang       : Ayu Utami
Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal              : xii + 249 halaman
Cetakan          : 2013





Kalau diibaratkan pacaran, perasaan saya terhadap karya Ayu Utami penuh dengan pasang surut, naik turun. Saya jatuh cinta setengah mati pada Saman, terus makin cinta saat Larung lahir. Tapi kemudian biasa-biasa saja pada Parasit Lajang, juga Bilangan Fu. Sedikit senang pada Manjali dan Cakrabirawa. Lalu anjlok lagi saat membaca Cerita Cinta Enrico. Yang terakhir ini malah membuat saya kehilangan minat membaca karya Ayu Utami selanjutnya. Sampai satu hari saya ‘terpaksa’ memilih Maya di sebuah toko buku online, sekedar agar paket buku yang saya pesan genap sekilo dan tak membuat saya rugi membayar ongkos kirim. Dan ternyata Maya cukup punya daya untuk menyembuhkan perasaan saya, walau kekuatannya belum seampuh Saman dan Larung.



Melalui Maya, Ayu agaknya bermaksud membuat ‘jembatan’ kecil yang menghubungkan Saman dan Larung ke serial Bilangan Fu. Sebutir batu membawa Yasmin; salah satu karakter di Saman dan Larung; bertemu dengan Parang Jati; salah satu tokoh dalam serial Bilangan Fu. Dan keterhubungan tersebut kemudian makin jelas karena ternyata jauh sebelumnya Saman telah mengenal keluarga Suhubudi, termasuk Parang Jati semasa bocahnya. Seketika itu juga saya bertanya-tanya apakah sebenarnya Ayu Utami telah membuat semacam grand design untuk semua karyanya sehingga mulai membangun ‘jembatan’ untuk kami pembacanya? Jika benar begitu maka nantinya akan karya yang mempertemukan karakter-karakter lain lintas serial. Atau mungkin nantinya akan ada semacam karya final untuk menceritakan peran, fungsi, dan keterhubungan semua karakter dalam satu peristiwa besar entah apa itu. Dan jika memang benar begitu, sungguh saya sangat bergairah untuk menantikan karya final tersebut. Tapi tak tahu lagi kalau Ayu sekedar hendak mengajak pembacanya untuk bernostalgia dengan Saman dan Larung yang sudah lama lewat, sekedar untuk mengenang kisah cinta tersembunyi yang tak pernah selesai karena terpenggal begitu saja dengan hilangnya Saman di akhir cerita Larung. Kalau yang benar adalah kemungkinan kedua ini, ya tak masalah juga sih. Toh, Maya sudah kadung berhasil mengembalikan mood saya terhadap buah karya Ayu Utami.

Maya menyuguhkan kisah tentang orang-orang tak sempurna secara fisik, yang kenyataannya memang kerap tak punya tempat di lingkungan manusia yang menganggap dirinya ‘sempurna’. Pendek kata, mereka terpinggirkan. Saking pinggirnya sampai KTP yang menjadi dokumen pribadi paling standar pun tak ada. Dalam praktek kehidupan masyarakat nyata mereka dianggap tak eksis. Mereka hanya ada dalam ‘dunia’ kecil yang dibuat Suhubudi di lingkungan padepokannya. Hanya di dalam situ mereka diakui keberadaannya. Bahkan Suhubudi juga bisa membuat mereka menjelma menjadi sosok impian masing-masing di kala malam, walau hanya melalui satu pertunjukan. Hanya di saat di panggung itulah mereka menjadi sempurna.

Rasanya bukan Ayu Utami kalau tidak meramu ceritanya dengan latar belakang politik. Begitu juga dengan Maya, Ayu menggunakan setting waktu menjelang keruntuhan Orde Baru. Juga dibumbui dengan pernik klenik berupa sebutir batu yang konon memang cukup dipercaya oleh pucuk tertinggi pemimpin negeri ini saat itu. Akhirnya bahwa seorang yang sebenarnya nyaris mendekati sempurna pun bisa menggantungkan keping akhir kesempurnaannya itu pada sebutir batu. Jika sudah demikian, bagaimana dengan mereka yang jelas tak sempurna?

 Ya, Maya tak dengan cengeng dan melankolis melulu bertutur tentang kisah cinta Yasmin-Saman. Maya jauh melampaui itu, menyuguhkan sebuah perjalanan spiritual, dengan nuansa huru hara politik. Kisah Yasmin-Saman ibarat jalan masuk menuju esensi Maya yang sesungguhnya. Jadi jujur saja, saya termasuk pembaca yang terkecoh karena sempat mengharapkan ada cerita panjang lebar tentang sejoli itu. Terbukti kemudian Ayu tak menyajikan yang saya harapkan. Tapi saya tak kecewa karena Ayu malah memberikan yang lebih baik dari harapan saya. Ayu juga meneguhkan bahwa pun ketika ada unsur Yasmin-Saman di dalamnya, Maya tetaplah Maya yang bagian dari serial Bilangan Fu, bukan Maya yang penuh ‘aroma’ Saman atau Larung. Dan saya yakin ini jelas ditangkap oleh pembaca yang mengikuti kiprah seorang Ayu Utami dari awal. Dan lagi-lagi jika saya saya diminta untuk memeringkatkan, maka saya menempatkan Maya di atas Manjali dan Cakrabirawa dan Bilangan Fu. Tapi tetap, dari sekian banyak karya Ayu Utami, Saman dan Larung-lah pemuncaknya. Paling tidak sampai saat ini belum tergantikan. Mungkin akan datang saatnya nanti.

PULANG ~ Review Buku

Judul  buku               : PULANG
Pengarang               : Leila S. Chudori
Penerbit                   : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal                       : viii + 461 halaman
Cetakan                   : 2012




Saya tidak tahu bagaimana ‘hukumnya’ belajar sejarah dari sebuah novel. Tapi yang pasti membaca Pulang bagi saya serasa membaca sebagian sejarah tak tertulis dari bangsa ini. Rasanya tak banyak buku yang mengisahkan perjalanan hidup para eksil dan keluarga tapol. Dan Leila S. Chudori membuat Pulang sebagai salah satu dari yang sedikit itu. Untuk saya pribadi, tema yang diusung oleh Pulang sangat menarik. Dan untungnya lagi lahir dan terbit setelah masa Orde Baru usai dan bangsa ini masih dirasuki euforia reformasi dan kebebasan.

Adalah Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risyaf, empat sekawan yang tengah berada di luar negeri ketika peristiwa G30S/PKI terjadi. Pemerintah mencabut paspor keempatnya karena alasan politik sebelum mereka sempat pulang. Jadilah mereka empat sekawan tanpa status kewarganegaraan yang jelas, menggelandang, hingga akhirnya mendapatkan suaka dari Perancis dan menetap di Paris. Dan dari sekian cara yang ditempuh demi bertahan hidup, akhirnya Restoran Tanah Air-lah yang berhasil menjadi sandaran. Tak hanya itu, Restoran Tanah Air juga seakan menjadi satu-satunya benang merah bagi keempatnya. Tak peduli betapa mereka telah terusir dari tanah air sendiri dengan cara yang begitu menyakitkan, tetap saja kerinduan hadir kapan saja tak terhindarkan. Apalagi masing-masing sadar banyak hal di masa lalu yang tak begitu saja bersama dengan dicabutnya status kewarganegaraan mereka. Ada keluarga-keluarga di tanah air yang harus mengecap kesusahan karena hubungan darah dengan mereka.



Lintang, generasi berikut dari empat sekawan, menemukan jalan mengenal tanah asal dari sebagian darahnya melalui tugas akhir kuliah yang mengharuskannya benar-benar pergi mengunjungi Indonesia. Dan jika ‘takdir’ yang membuat empat sekawan terpaksa terpental dari tanah kelahiran mereka karena sebuah revolusi, maka ‘takdir’ pula yang membawa Lintang ke Jakarta tepat pada akhir masa pemerintahan Orde Baru. Sejak menginjakkan kakinya di Indonesia, Lintang menemukan banyak hal, tak hanya tentang keping-keping masa lalu empat sekawan, tapi juga realitas kebobrokan masa kini, juga perjuangan untuk meraih masa depan.

Novel ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama mereka yang lahir dalam masa ketentraman Orde Baru seperti saya. Saya yakin generasi saya ke bawah mengenal revolusi bangsa ini yang dipicu peristiwa tahun1965 hanya dari buku-buku sejarah standar. Mungkin ada juga yang mendengar pengakuan dari orang-orang tua yang mengalaminya. Tapi saya yakin tak banyak. Juga tak cukup lengkap karena yang saya tahu para pelakon di jaman itu cenderung berusaha melupakan dalam senyap. Dan memang ada saat ketika sejarah bangsa pada masa tersebut secara politis terlalu sensitif bahkan untuk sekedar dituturkan. Karenanya ketika novel ini hadir, saya merasa bagai orang yang diberikan kado kecil berupa dua babak cerita pasang surut bangsa ini. Babak pertama saya tak menyaksikan langsung. Sementara babak kedua adalah babak yang saya alami. Unik, sekaligus menggugah.

Ya, sejarah. Ibarat sebuah perjalanan panjang, sejarah adalah jejak langkah yang kadang terang terbaca, kadang hanya samar-samar terhapus angin, dan di saat yang lain malah terhapus sama sekali. Saya senang, dari sekian panjang sejarah bangsa ini, Leila memilih menulis bagian yang samar-samar sebagai satu titik berat. Bagian yang didalamnya ada carut marut bangsa yang tengah terbelah, sehingga ada orang-orang yang terpinggirkan bahkan tercerabut dari akarnya. Saya tidak sedang menobatkankan karya ini sebagai sebuah buku sejarah yang sah. Tentu saja tidak. Novel tetaplah novel. Hanya saja novel berlatar sejarah ini bisa jadi satu langkah kecil untuk menengok lebih jauh ke belakang, menerimanya sebagai bagian dari riwayat berbangsa, dan pada akhirnya belajar darinya. Sebab sampai hari inipun jika dicermati masih ada luka-luka yang tersisa. Dan pendekatan dalam bentuk sebuah novel tentu lebih gampang untuk diterima oleh banyak orang ketimbang memoar yang bisa jadi cara pandangnya subyektif. Sebagai novel yang banyak bicara tentang politik, Pulang juga tak jadi membosankan karena ada unsur romantika yang walau getir tapi tetap indah.

Sebelum Pulang, saya membaca karya Leila yang berjudul 9 dari Nadira. Jika diperbandingkan, 9 dari Nadira terasa lebih personal. Dan jika lebih jauh diminta untuk merankingkan keduanya, maka saya menempatkan Pulang dua tingkat lebih tinggi dari 9 dari Nadira karena keluasan cakupannya. Jika ada yang agak kurang memuaskan saya, mungkin hanya ending dari Pulang yang terasa tergesa-gesa karena sebuah kematian, seperti sebuah pintu yang mendadak ditutup. Tapi tak apa, mungkin itu hanya perasaan saya sebagai penikmat yang tak keberatan membacanya lebih lama.

Oh ya, satu lagi yang menjadi nilai plus dari buku ini, ilustrasi grafis di bagian dalam bagus sekali. Acung dua jempol khusus untuk hal istimewa ini.