Dolly bakal segera ditutup. Pemkot Surabaya serius dengan hal itu dan
penutupannya bakal dilakukan pada tanggal 19 Juni 2014. Aihhhh... tepat di hari
ulang tahun saya. Mungkin karena itu saya jadi merenungkan kabar itu lebih
dalam.
Bulan Agustus 2013 saya menuntaskan masa 12 tahun tinggal di Surabaya. Yes,
12 tahun. Masa yang tak terlalu pendek tapi juga tidak panjang. Paling tidak
tak cukup panjang untuk mengenal Surabaya sampai ke akar-akarnya. Tapi cukup
untuk mengenali searea Dolly, area prostitusi yang kabarnya terbesar se-Asia
Tenggara itu. Dolly adalah nama gang yang padat dengan perumahan. Sementara
nama area yang lebih luas adalah Jarak. Selama 12 tahun saya tinggal di tiga
rumah kos di daerah Sukomanunggal yang tak jauh-jauh amat dari Dolly dan Jarak.
Posisi itulah yang sering kali dijadikan alasan oleh teman-teman, seakan itulah
satu-satunya akses jalan menuju kos saya.
Saya sendiri pertama kali melewatinya kisaran dua minggu setelah ngekos.
Seorang teman yang motornya saya tumpangi melalui ruas jalan itu tanpa
memberi-tahu sebelumnya, kecuali meminta saya menurunkan kaca helm. Sekejab
kemudian saya terkagum-kagum dengan pemandangan rumah berkaca-kaca dengan para
perempuan yang rata-rata mengenakan rok mini, gincu merah, dan alas kaki tinggi
duduk berderet-deret. Sementara para laki-laki berkeliaran di jalan, sebagian
menontoni para perempuan itu, sebagian yang lain menunjuk-nunjuk mereka dengan
mata berkilat sambil berteriak, “Mampir, Bos?”. Tak hanya rumah berkaca, ruas
jalan itu juga di sesaki dengan aneka klab yang dari jalan sudah terdengar
hingar-bingar musiknya. Loggo merk minuman beralkohol ada dimana-mana. Juga
rombong penjual obat dengan tempelan stiker merk kondom. Ruas jalan itu sibuk
luar biasa. Kendaraan harus merambat. Begitu sampai di kos dengan senyum tengil
teman saya berkata, “Sekarang kamu sudah tahu Dolly. Welcome to Surabaya.” Jadi
itukah Dolly? Katanya sebenarnya kami tadi cuma melewati mulut gang terkenal
itu. Jadi itu tadi masih area sekitar mulut gang kondang itu saja. Nah klo
masih di mulutnya saja seperti itu, terus bagaimana di dalam gang Dolly
sebenarnya? Tawa teman saya berderai-derai lalu pergi setelah mewanti-wanti
untuk tidak pernah melewati jalan itu sendirian.
Itu bukan kali terakhir saya melewatinya. Selanjutnya saya jadi sering
melewatinya, tak sendirian tentu saja. Awalnya karena teman yang asal Jakarta
minta ditunjukkan, akhirnya kami jadi sering iseng melewatinya, sekedar untuk
melihat perbedaan suasana siang, sore, dan malam. Siang sepi, mungkin pada
tidur menyimpan tenaga. Agak sore mulai tampak yang duduk-duduk santai di teras,
tentu masih belum dalam kondisi sedang ‘bertugas’. Wajah-wajah mereka masih
pucat tanpa pulasan warna. Rambut diikat seadanya. Baju juga masih pakai baby
doll atau celana pendek. Tampak tak jauh beda dengan perempuan lain. Mungkin
gestur dan sorot mata yang agak beda. Satu kali teman saya menyetir sambil
menontoni satu orang yang tengah menumpang becak dengan celana pendek dan
singlet longgar. Merasa diperhatikan, si cantik langsung mengirimkan kerlingan menggoda
yang membuat teman saya kontan blingsatan tak keruan.Oh iya, soal makelar yang berfungsi sebagai sales di Dolly menurut saya cukup unik juga. Mereka para laki-laki yang menyambut pengunjung, menawarkan para perempuan di balik kaca. Mereka yang mempromosikan. Dan tentu saja mereka dapat komisi untuk pekerjaan itu. Awal-awal dulu saya lihat para 'pager bagus' ini tidak menggunakan dress code tertentu. Tapi kemudian terakhir-terakhir saya lewat mereka mengenakan baju batik, rata-rata lengan panjang, persis seperti mau menghadiri kondangan.
Surabaya setahu saya tak cuma punya Dolly. Masih ada Moro Seneng yang biasa diplesetkan jadi 'Morse', juga Kremil yang suka diguyonknan sebagai 'Kremlin'. Selain itu ada area pekuburan Kembang Kuning yang menurut saya realatif lebih horor daripada yang lain. Bukan lokasi pekuburannya yang membuat saya ngeri, tapi karena mereka yang menjajakan diri relatif berumur, dan konon tempat praktiknya pun di antara nisan-nisan itu. Lalu ada juga 'perdagangan bebas' di daerah tengah kota (seputaran jalan Panglima Sudirman). Pemandangan perempuan-perempuan berdiri di trotoar atau di boncengan motor makelar adalah hal lumrah ketika malam menjelang. Lalu akan ada mobil-mobil yang melaju pelan, merepet ke trotoar, untuk apalagi kalau bukan memilih mangsa.
Itulah Dolly di mata saya. Tak spesial, cuma sekedar iseng-isengan.
Sementara kenyataannya begitu banyak jiwa yang menggantungkan hidupnya pada
perputaran uang di daerah itu. Tak hanya germo, pelacur, dan makelarnya. Tapi
juga para tukang parkir, buruh cuci,
pedagang, dan entah profesi apalagi yang yang terkait. Karena itu ada gerakan
menolak penutupan lokalisasi itu. Gerakan yang pasti sangat mudah untuk
disalahkan. Toh jelas-jelas prostitusi itu tak ada dalil pembenarannya. Ya,
mereka hanyalah orang-orang yang merasa terancam terenggut zona nyamannya.
Sangat mudah bagi orang-orang tak terlibat seperti saya untuk mendukung
penutupan Doly. Bagi saya esensinya adalah adanya tubuh-tubuh yang ditransaksikan
diluar kehendak. Ada yang diakui atau tidak tengah dirudapaksa. Alasan
kebutuhan memang susah untuk ditolak. Tapi tetap saja tak ada perempuan yang
dengan enteng mengangkangkan kakinya dan mengijinkan sembarang laki-laki
memasuki tubuhnya. Yang begitu normalnya selalu butuh konektivitas perasaan. Tak
sekedar kebutuhan akan rupiah. Bayangkan jika diri kita sendiri yang harus
melayani sepuluh orang dalam semalam. Sepuluh orang yang tak dikenal. Sepuluh orang
aneka rupa. Sepuluh orang aneka perilaku dan karakter. Sepuluh orang aneka bau,
aneka keringat. Betapa horornya suatu malam jika yang dilayani adalah
orang-orang kasar, berwajah menyeramkan, berbau badan, berbau mulut, kotor, dan
entah apalagi. Membayangkan itu saja rasanya sungguh ngeri. Sementara itu hal
yang pasti dialami oleh perempuan-perempuan itu. Belum lagi pembagian hasil
yang tak adil yang membuat mereka susah lepas dari lingkaran. Tambah lagi di luar
sana tak pernah ada posisi mulia untuk profesi itu. Yang ada cuma cibiran dan
caci maki.
Ya, mereka adalah perempuan-perempuan yang menggerakkan roda perputaran uang dengan selangkangannya. Tak banyak yang peduli bagaimana rasanya. Saya tak
hendak menyalahkan mereka-mereka yang terhidupkan dari gerakan selangkang itu.
Cuma mungkin kini saatnya mereka melihat dari sisi yang lain, dari sisi si
pemilik selangkang, sebelum mengatakan bahwa menolak penutupan Dolly adalah
harga mati.