Jumat, 30 September 2016

Benda Cair

Sungguh saya membenci satu benda cair yang berjuluk politik. Ya, politik benda cair tho? Para pelakunya sendiri yang bilang begitu kok. Coba saja lihat di televisi bagaimana mereka semua dengan enteng dan sumringah bilang “ya politik itu kan sangat cair, jadi dinamika apapun mungkin terjadi”. Jadi politik termasuk benda cair.

Ya, saya membencinya. Terlebih lagi ketika masa pemilihan umum tiba. Hingar bingar dan panas menyebar ke seluruh penjuru. Katanya itu adalah masa pesta demokrasinya rakyat. Pesta...? Kalau memang pesta seharusnya sih senang-senang, makan minum enak, hati terang dan riang gembira. Tapi kok di pesta demokrasi yang begitu tak terasa ya? Makan minum enak ada sih di beberapa tempat, terutama tempat-tempat yang disulap mendadak ada oleh para kandidat berikut tim suksesnya. Tapi itu bukan makan minum yang gratis lho. Itu penyediaan makan minum yang tendensius alias bermaksud. Ada senang-senang di masa pesta demokrasi? Ehmmm palingan juga jogetan di lapangan, itupun dengan panduan yang lagi-lagi oleh para kandidat dan tim sukses. Sering ada bagi-bagi duitnya, cuma yang ini selalu dianggap tak ada. Dan jogetan itupun nggak gratis lho, tendensius teteppp.... Hati terang dan riang gembira? Haduhhh yang ini juga susah didapat. Coba tengok sosial media. Tak cuma penuh propaganda tapi juga sumpah serapah, pertentangan, silat lidah, dan semacamnya. Jadi apanya yang disebut pesta ya?

Pada saat yang sama bermunculan orang-orang baik. Orang-orang yang begitu cinta pada bangsa dan rakyatnya. Orang-orang yang duduk sebangku ;malah ngelesot; dan  merangkul-rangkul para jelata, mendengarkan dengan intens curhatan mereka, berjanji memperjuangkan kesejahteraan mereka. Orang-orang baik yang bersimpati dan bercucur air mata karena melihat ketidakadilan. Orang-orang baik yang patriotis dan nasionalis, yang sangat peduli dengan masa depan bangsa dan negara. Amboi .... Saya jadi selalu heran, kemana saja mereka selama ini? Kok ya baru sekarang munculnya?

Dan hebatnya, para orang-orang baik ini punya rombongan pendukung fanatik yang tak hanya mengaminkan tapi juga mendukung, menggemakan, menyebarluaskan segala sabdanya. Ruwetnya, antara orang-orang baik ini kerap tak saling akur karena pesta demokrasi dimaknai melulu kompetisi. Alhasil ketidakakuran membuat antar rombongan ikut berlaku sama. Bentrok antar rombongan. Masing-masing membela tuannya dengan mati-matian. Bagi rombongan, sang tuan adalah orang suci yang tak setitikpun punya cela. Ehmmm... mungkin malah sang tuan dianggap malaikat. Padahal setelah masa bulan madu usai sang tuan akan kembali ke bentuk semula. Dan sayangnya bentuk semula itu bukan bentuk malaikat.... Terutama jika sudah berhadapan dengan yang namanya duit. Boro-boro jadi malaikat, jadi manusia baik aja nggak .... yang ada malah jadi setan.

Itulah politik yang benda cair itu. Selayak air bentuknya berubah-ubah menurut tempatnya seperti aportunis. Selayak air dia bisa membeku menjadi es seperti tak berhati. Dia bisa juga menguap tak terlihat  seperti janji yang terlupakan. Dia juga bisa membuat karat pada besi seperti konspirasi....  Air dengan segala macam sifatnya itu tetap membuat manusia tak bisa hidup tanpanya karena sekian banyak gunanya. Sementara politik dan politisi yang meniru sifat air itu memaksa untuk membuat manusia hidup dengannya dan ironisnya menderita karena mereka tak jelas gunanya....


Sungguh saya kehilangan kepercayaan terhadap benda cair yang satu ini ....