Minggu, 31 Januari 2016

Dia Tak Perlu Tahu

Namanya Pramudya. Di kantor ini dia biasa dipanggil Pram, Mas Pram, ataupun Pak Pram. Tentu saja tergantung siapa yang memanggil. Dan aku termasuk yang memanggilnya Pram aja. Sementara gadis-gadis itu termasuk yang memanggilnya Mas Pram. Ya, gadis-gadis di ruang administrasi dan logistik itu yang kumaksud. Mereka yang nyaris selalu manis terhadap si Mas Pram. Manisnya kadang melebihi manis terhadap yang lain. Termasuk kepadaku, bahkan kepada pak Bos Besar sekalipun. Ah, tapi siapa juga yang bisa tidak bersikap seperti itu padanya? Toh Pram memang seorang yang baik hati dan tidak sombong. Dia ramah dan sopan, tak pernah berkata kasar, pun ketika marah. Semua tahu jika marah dia akan berbicara dengan kalimat singkat-singkat tapi penuh tekanan lalu diam. Ini membuat lawan bicaranya segan sekaligus tahu keadaan. Dan marahnya juga tak pernah lama. Dengan segala kebaikan itu, dia masih punya kelebihan tampang. Komplit sudah. Jadilah dia Manager kesayangan.
Ya, dia kesayangan semua. Semua selalu peduli. Termasuk ketika dia jatuh cinta pada Reina dulu. Reina yang staf ekspor impor itu memang si cantik segar, bagai burung kutilang yang selalu berkicau dengan merdunya. Reina yang menyedot perhatian banyak lelaki. Dan Reina yang dengan riang dan ringan menikmati semua itu. Tanpa beban dia menyambut uluran tangan satu laki-laki sebelum kemudian berpindah ke yang lain. Hingga akhirnya mulai banyak bisik-bisik tak enak tentangnya. Cukup banyak bujangan di kantor saat itu. Yang aku tak mengerti adalah mengapa Reina mengabaikan Pram dan lebih memilih berkencan dengan yang lain terlebih dulu. Pram memang tak sevulgar yang lain dalam hal menunjukkan perhatiannya. Dia tak bisa menggoda di depan banyak orang. Itu bukan gaya Pram. Dia adalah si pemalu yang mengirimkan sinyal lewat pandangan yang berhenti beberapa detik lebih lama, lewat senyum tipis yang mudah terkembang ketika mereka berada dalam ruang yang sama. Seharusnya Reina mengerti itu. Tapi entah mengapa dia mengabaikannya. Dan baru membalas ketika semua mulai berbisik-bisik tentangnya. Dan pangeran yang nyaris sempurna itu tentu girang luar biasa dan tak peduli dengan gunjingan apapun.
Tak butuh waktu lama bagi Pram untuk membuat keputusan. Ketika semua sibuk bertaruh berapa lama Reina bertahan sebelum kembali melompat, Pram sudah melingkarkan cincin pertunangan ke jari Reina. Dan tak sampai tiga bulan kemudian undangan pernikahan telah tersebar. Heboh. Para gadis patah hati. Para bujangan tertawa getir. Semua memberi selamat. Tapi di balik itu tak sedikit yang menyayangkan dan memulai pertaruhan baru berapa lama mereka bertahan dalam satu pernikahan. Semua karena Reina yang dipilih. Terlalu banyak yang bilang itu pilihan salah. Pram terlalu cinta. Juga terlalu naif. Reina terlalu berjiwa bebas. Diam-diam aku sepakat. Tapi pernikahan tetap berlangsung. Reina tak lagi bekerja setelahnya.
Awalnya indah adanya. Ditandai dengan penampilan Pram yang jelas tampak lebih terawat. Ini sudah pasti pengaruh Reina. Pram jadi lebih rapi. Tak pernah telat bercukur ataupun potong rambut. Kemejanya juga jadi kenal warna, tak lagi melulu seputaran putih, biru, kelabu, dan hitam. Dia jadi tahu warna merah muda, kuning, hijau, juga ungu. Model celananya juga  up to date. Baunya lebih wangi, dengan aroma yang berganti-ganti. Dan yang paling penting adalah dia jadi rajin pulang sejam lebih cepat dari masa bujang dulu. Semua karena Reina tentu saja. Dan semua mata menyaksikan semua itu dengan cemburu, tapi tak bisa apa-apa. Toh di luar semua itu dia tetaplah Pram yang baik.
Itu tahun pertama. Menginjak tahun kedua mulai ada suara tentang mereka berdua. Entah dari mana sumbernya, tapi kabarnya Reina menolak untuk hamil. Sementara Pram sudah kepingin sekali punya bayi kecil mungil yang lucu. Dia sudah rindu dipanggil Ayah atau Bapak atau Papa. Orang mulai berbisik-bisik menyalahkan Reina, menudingnya terlalu cinta pada bentuk tubuhnya yang memang spesial sehingga tak rela kehamilan membuatnya berubah. Dan dalam satu acara plesir karyawan dan keluarga aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana Pram yang baik itu gemar menggoda balita Pak Dahlan yang baru saja mampu berjalan, juga balita Cik Mei yang berkucir tinggi dan berpipi gembul. Sementara Reina tak tampak tertarik dengan itu dan asyik berkumpul dengan teman-teman lamanya. Ketika kugoda dia sudah pantas menggendong bocah macam itu, Pram cuma tersenyum getir. Aku jadi tak tega bertanya lebih dalam. Biarlah itu jadi urusan mereka berdua saja. Tak ada untungnya juga aku ikut merecoki. Tapi tak urung aku kasihan padanya.
Sekarang sudah masuk tahun keempat. Bajunya masih warna-warni. Celananya juga masih model terkini. Cukur dan potong rambut walau sesekali telat tapi tak memperburuk rupanya. Tapi ada yang jadi beda. Roman mukanya tak lagi secerah dulu serinya. Sering tampak berkabut. Sering tampak merenungi sesuatu dan menggeleng lemah ketika ditanya kenapa. Jelas dia sedang tak sepenuhnya bahagia. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang itu mulai berbisik-bisik, Pram dan Reina banyak bertengkar. Soal anak. Soal uang. Soal kekurangan masing-masing. Dan Pram jadi mulai lambat lagi meninggalkan kantor, mulai kembali ke kebiasaannya semasa bujang dulu. Seperti malam itu.
Kutemukan ruangannya masih menyala ketika aku hendak pulang. Dia tergeragap kaget saat kuketuk kaca pintunya.
“Masih memikirkan soal perubahan jadwal yang diminta si Javier tadi?” Javier adalah buyer yang kutangani. Bule gemblung itu suka sekali memaju-majukan jadwal pengiriman ordernya.
Senyumnya sekilas saja, entah apa artinya.
“Asal kau bisa sedikit memundurkan order EcoKane maka Javier tak akan jadi masalah. Terserah alasan apa yang akan kau suguhkan ke orang EcoKane. Atau aku akan membuat line baru khusus untuk Javier. Tapi kau harus pastikan dia segera turun order lagi setelah ini sesuai jumlah yang dijanjikannya. Jangan sampai kurang. Bagus kalau bisa lebih banyak. Jangan sampai line itu kekurangan pekerjaan.”
Suaranya jernih seperti biasa. Sudah ada solusi di kepalanya. Seharusnya tak ada masalah yang menahannya tetap duduk disana.
“Lalu?”
“Apa?”
“Lalu kenapa kau masih ada disini, itu maksudku.”
Dia mengusap wajahnya kuat-kuat, seperti sedang berusaha mengenyahkan semua yang menempel di sana.
“Sebentar lagi aku pulang.”
Entah kenapa aku bukannya pergi tapi malah duduk di kursi di depan mejanya, menatapi kedua matanya yang ternyata berkantong. Kemarin-kemarin rasanya tak ada kantong-kantong itu. Kini mata itu keruh. Aku jadi berpikir mungkin apa yang dibisikkan orang-orang itu benar, bahwa ada yang tidak seindah dulu. Ah, apakah mata Reina juga berkantong dan keruh seperti itu? Bagaimana jadinya rupanya? Masih cantikkah? Susah juga membayangkan karena Reina yang kutahu selalu sempurna.
“Kenapa kau tak segera menikah?”
Pertanyaannya datang tiba-tiba. Tapi aku tak kaget. Juga sudah terbiasa dengan pertanyaan macam itu. Pertanyaan yang bisa datang dari siapa saja ketika umur sudah melampaui angka tiga puluh enam. Bahkan dari seorang yang baik hati sepertinya.
“Belum ada yang cocok di hati. Dan aku juga belum cocok di hati perempuan manapun.”
Dia nyengir, seperti sedikit terhibur dengan jawaban kliseku.
“Memang yang bagaimana yang cocok untukmu?”
“Yang tidak bawel. Yang tidak penuntut. Yang tidak materialistis.”
“Ada yang seperti itu?”
Tahu-tahu kami tergelak bersama.
“Kau tak kepingin ada yang menunggumu di rumah? Ada yang mengurus keperluan hidupmu. Ada yang kau  hidupi. Ada yang menyandang namamu. Dan ada ada yang lain .....?”
Jika pertanyaan ini benar keluar dari hatinya maka aku bisa memastikan bisik-bisik di balik punggungnya itu salah belaka. Artinya hidupnya baik-baik saja. Artinya Reina yang cantik benar membahagiakannya. Artinya dia adalah Pram yang baik dan bahagia. Betapa sempurna dan indah hidupnya.
“Kau masih ingat hidupmu ketika bujang dulu, Pram?”
Dia mengerutkan kedua alisnya hingga bertaut.
“Ya, masa ketika kau bebas tidur dan bangun kapan saja kau mau. Bebas mengenakan baju apapun, bahkan ketika warna dan motifnya tabrak lari tak karuan. Tak ada yang mengomel walau seharian tak mandi sekalipun. Pulang kerja bebas mampir kemanapun yang kau mau. Bebas menghamburkan uangmu untuk gadget, buku, atau sekedar dongkrak mobil. Bebas menonton bola jam berapapun dan dimanapun kau mau. Yakin kau tak pernah kangen dengan masa itu?”
Tawanya kecil saja. Dia menudingku. Katanya, “Kau memang liberalis! Di matamu perempuan jadi seperti penjajah.”
“Tidak juga. Perempuan yang tepat pasti akan membahagiakan. Karena itu aku perlu yang tepat.”
“Tepat? Padahal tak ada yang sempurna........”
Tak ada yang sempurna. Siapa yang tak sempurna? Reina termasuk yang tak sempurna? Yang kutahu orang-orang menganggap dirinya tak cukup punya kekurangan sebagai laki-laki. Dan aku sepakat dengan mereka.
Selepas kalimat itu dia membereskan mejanya lalu mengajakku pergi. Kami tak berkata-kata lagi. Aku jadi tak punya alasan untuk mendetail apa yang tak sempurna tadi. Dia membunyikan klakson satu kali sebelum melajukan mobilnya.
Lalu kini mukanya tambah sering keruh. Lalu kabar baru mulai berhembus. Reina minta cerai. Pram mengabulkan. Tapi mestinya tak dengan hati ringan. Karena jika demikian mukanya tak akan sekeruh comberan. Mulutnya tetap terkunci. Tapi seperti biasa, bisik-bisik terus beredar seperti lebah yang tak bosan menggumam. Ada yang menghujat Reina tak tahu bersyukur, terus menuntut ini itu pada pangeran yang baik hati itu. Yang lain bercerita Pram memaksa ingin anak, tapi Reina tetap tak mau. Mulut yang lain lagi bilang Pram tak bisa lagi mengendalikan istrinya yang cantik jelita itu. Dan seperti biasa, mulut Pram tetap terkatup. Tak berusaha membuat mereka berhenti mendengung. Tak peduli apa yang mereka bisikan dan tinggal di kantor lebih lama. Lalu ketika tak juga ada penjelasan mulai ada saja yang kulihat berusaha mendekat padanya, para gadis di ruang administrasi dan logistik itu. Bahkan Yessi; janda manis, bagian akunting yang pendiam dan pemalu; juga ikut tertarik urun perhatian. Beberapa kali dengan sengaja dia mengambil tempat semeja dengan Pram saat makan siang, hal yang selama ini tak pernah dilakukannya. Bukti daya tarik Pram masih tak melemah. Tapi si magnet itu tetap keruh wajahnya, tetap terkunci rapat mulutnya, juga tak merespon apa-apa. Kurasa hatinya terkunci masih pada Reina.
Sudah lebih dari jam tujuh malam ketika aku lewat ruangannya. Sebenarnya aku tak hendak mampir tapi dia melambaikan tangannya, memanggilku masuk.
“Kau pulang sekarang?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku numpang ya? Mobilku ada di bengkel.”
Hal yang tak biasa, tapi biar saja. Toh, tak ada ruginya mengangkut dia walau sampai rumahnya sekalipun. Aku malah senang. Sepanjang jalan dia lebih banyak bisu. Kalaupun bicara cuma pendek-pendek saja. Lalu terus-terusan menatap ke luar lewat kaca samping. Kubiarkan saja dia begitu, kadang orang perlu waktu untuk merenung.
“Kau tak ada janji dengan kekasihmu malam ini?”
Hehh, kekasih ....?! Pertanyaan yang mengejutkan. Karena isinya, juga karena terlontar setelah bermenit-menit mulutnya diam.
“Tak ada. Kenapa?”
“Makan dulu, yuk? Aku lapar sekali.“
“Boleh. Makan apa?”
Katanya apa saja. Ah, mereka yang sedang berkabung memang biasanya tak punya cukup selera untuk memilih makanan. Kubawa dia ke sop kaki kambing langgananku. Kupikir uap panasnya bisa membantu sedikit menghangatkan hatinya.
“Mau?”
Dia mengangguk, lalu pelan-pelan duduk di salah satu bangku.
“Reina juga suka makan disini.”
            Aku jadi menyesal. Seharusnya aku membawanya ke tempat lain. Mukanya sendu ketika meniup-niup kuah di sendoknya. Mungkin dia juga tengah berusaha meniup pergi kenangan Reina pernah duduk di satu bangku disitu.
            “Bagaimana kabarnya?”
            “Siapa?”
            “Reina.”
Kuusahakan sehati-hati mungkin menyebut nama itu. Aku berjanji tak akan mengulangi pertanyaanku jika dia tutup mulut. Tapi ternyata setelah menghela nafas dia menjawab.
            “Dia di rumah orangtuanya sekarang. Kau sudah dengar soal kami, kan? Aku tahu orang-orang membicarakanku.”
            “Jadi benar berita itu?”
            Dia mengangguk sambil menyingkirkan mangkuk sopnya ke samping; sisa separuh. Begitu juga nasinya.
            “Kenapa?”
            “Aku juga tak cukup mengerti..... Kupikir aku tak bodoh. Tapi dalam hal ini aku bodoh sekali.”
            Wajahnya memang tampak tolol dan lelah. Dia bukan si pintar yang biasanya.
            “Terus bagaimana?”
            Dia mengendikkan bahunya, membayar makanan kami, lalu mengajakku beranjak. Kupikir saatnya aku antar dia pulang. Tapi ternyata tidak. Malam ini sungguh dia mengejutkan. Tak dinyana dia minta ditemani ke klab. Hal yang tak pernah kubayangkan. Katanya dia kepingin minum sedikit. Kubawa dia ke hotel. Dan aku takjub melihatnya meneguk cairan itu. Meneguknya lagi, lagi, dan lagi. Lalu dengan badan bersandar di sofa dia mulai bicara. Matanya tertutup.
            “Susah sekali mengertinya .... Selalu ada yang tak betul...... Apa perempuan semua begitu?”
            Aku tak tahu. Aku tak punya pengalaman.
            “Perempuan itu aneh sekali ....”
            “Aneh bagaimana?”
            Jawabannya berupa gumaman, tapi aku masih bisa menangkap jelas.
            “Padaku dia bilang belum siap punya anak. Katanya nanti saja ketika rumah sudah lebih besar dan kita tak lagi banyak bertengkar. Tapi sekarang dia minta cerai karena ada anak laki-laki itu di perutnya. Dia sungguh menghinaku! Padahal aku mencintainya setengah mati......”
            Aku diam karena kaget. Dia juga diam, mungkin karena tambah mabuk. Tak ada lagi kata-kata dari mulutnya. Kubiarkan begitu lebih dari sejam. Lalu kupapah dia keluar.
            “Kepalaku pusing,” keluhnya di dalam mobil.
            “Kau mabuk.”
            Tanpa meminta persetujuannya, kubawa dia ke tempatku. Dia muntah-muntah di kamar mandi sebelum akhirnya lelap di kasurku.
            Pagi dia bangun dengan kusut dan awut-awut, menghampiriku di meja makan.
            “Untung kau membawaku kesini. Rumahku kosong.”
            Persis seperti yang kuduga. Kusorongkan kopi panas untuknya. Juga roti dan selai.
            “Cuma ada itu untuk sarapan.”
            “Tak apa. Maaf, aku merepotkanmu semalam.”
            “Tak masalah. Aku juga mabuk kadang-kadang.”
            “Aku mengoceh apa saja?”
            “Cuma soal Reina minta cerai darimu. Kau banyak bergumam, aku tak bisa jelas mendengar.” Kuputuskan sedikit berbohong. Dia bukan tipikal yang gampang menceritakan masalahnya. Pasti dia tak bermaksud mengungkap soal kehamilan Reina. Pasti itu aib yang ingin dia tutup rapat. Aib yang menyangkut harga dirinya sebagai laki-laki.
            Dia mengangguk. “Begitulah ...”
            “Terus?”
            “Biarlah, kuberikan saja apa maunya. Tak ada yang perlu dipertahankan.” Matanya mengamati sekeliling. “Rumahmu rapi sekali. Kau membersihkannya sendiri?”
            Aku mengerti itu sebuah pengalihan pembicaraan.
            “Ya. Aku tinggal sendiri. Juga jarang ada tamu. Jadi gampang membersihkannya.”
            Dia menatap arlojinya. Setengah jam lagi kami harus berangkat ke kantor.
            “Mandilah. Pakai kemejaku. Ambil sendiri di almari. Rasanya ukuran kita tak jauh beda. Pakai celanaku kalau kau mau. Ada satu yang masih baru dan belum pernah kupakai. Masih ada labelnya menempel.”
            Diteliti badannya. “Aku pinjam kemeja saja. Celana tak usah, masih bisa pakai ini.”
            “Ada handuk bersih rak itu. Juga sikat gigi baru.”
            Keluar dari kamar mandi, lagi dia mengeluh kepalanya sakit. Juga loyo. Kutawarkan obat pusing. Tapi dia menggeleng, meneguk sisa kopinya, mengambil lagi selembar roti.
            “Bagaimana kalau aku agak siang saja ke kantornya?”
            “Terserah kau. Nanti kusampaikan kau sedang tak enak badan.”
            “Aku tiduran dulu disini tidak apa-apa ya?”
            Tentu aku tak keberatan.
Jadilah aku berangkat sendiri. Katanya nanti dia akan memanggil taksi. Seandainya tak ada janji factory visit dengan Chester Hogan pasti aku temani dia leyeh-leyeh di rumah.
            Sepanjang hari itu aku menikmati hangat hatiku. Dan lebih hangat lagi melihatnya datang dengan kemejaku, putih bergaris biru. Standar sekali warna pilihannya. Dia menekuk lengannya hingga sesiku, mungkin karena kepanjangan. Ketika menjabat tangan Chester, kulihat wajahnya sedikit lebih cerah. Pasti efek tidur tambahan tadi, di kasurku.
            Sore hampir gelap. Dia masuk ke ruanganku.
            “Terima kasih untuk semalam. Aku kacau akhir-akhir ini. Jungkir balik rasanya.”
            “Tak apa. Aku pernah jauh lebih mabuk darimu.”
            “Ehmm.... apapun yang kau dengar dariku semalam tolong simpan untukmu saja.”
            “Ya. Aku mengerti itu urusan pribadimu.”
            Dia bangkit dari kursi, mencangklongkan tas ke bahunya.
            “Kau pulang sekarang?”
            “Ya. Kepingin tidur awal.”
            “Mau menumpang lagi? Aku tinggal menunggu satu e-mail keluar dari outbox-ku.”
            Dia menggeleng. “Terima kasih. Tapi tadi siang orang bengkel sudah mengantar mobilku kemari. Lagipula, aku takut akan memaksamu ke klab kalau menumpang lagi.” Dia mencoba bercanda.
            “Tak apa, asal kau masih betah tidur di rumah bujanganku.”
Senyumnya terkembang cukup lebar. “Kapan-kapan kalau perlu aku akan menumpang kau lagi. Asal kau tak kapok saja.”
            Dia mungkin sudah melaju dalam mobilnya di jalan sana sekarang. Tapi aku masih duduk, mengingat, dan melihatnya jelas di pikiranku. Dia yang kupapah. Dia yang tidur bergelung di kasurku, memeluk erat gulingku. Dia yang mereguk kopi buatanku dari mugku, dan mengunyah roti di meja makanku. Dia yang menyeka badannya dengan handukku, lalu mengenakan kemejaku...... Ya, memang cuma itu, tapi sungguh sekelumit yang menyenangkan. Sungguh menghangatkan hati. Seperti sebuah kado indah yang tiba-tiba saja kudapatkan setelah sekian lama menata sikap terhadapnya. Ah, tapi dia tak perlu tahu .....


***