Rabu, 29 Januari 2014

SUKSES

Bagaimana cara mengukur sukses? Selalu pertanyaan ini mengganggu saya dari dulu hingga detik ini, teruma ketika sedang galau akan hidup. Ya, hidup kata orang penuh dengan naik turun. Nah pas naik itulah yang namanya sukses. Cuma, naik setinggi apa yang bisa masuk kategori sukses? Ini pertanyaan besarnya.

Akhir-akhir ini saya sering bertemu teman-teman lama, mereka yang kisaran dua puluh tahun silam atau lebih menjadi teman seperjuangan di bangku sekolah. Ketika itu standar ukurannya jelas : nilai raport. Jadi ya yang nilainya selalu buruk berarti masuk kategori, maaf, tidak pandai. Sementara yang nilainya selalu baik tentu dilabeli pintar. Sistem pendidikan memungkinkan hal itu. Karenanya masih jelas dalam ingatan saya yang mana teman yang selalu berada di rangking atas dan mana yang jadi penghuni peringkat bawah. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu, bahkan lebih. Sekarang semuanya telah berubah, termasuk standarnya.

Hidup berjalan terus selepas dari bangku sekolah. Semua berproses. Semua berubah, tak lagi seperti dulu. Dan tak jarang saya jadi terkagum-kagum. Juga iri. Tapi enggak pakai dengki lhoooo.... Ya bagaimana tidak kagum dan iri sekaligus kalau teman yang dulu seperjuangan sekarang sudah jadi orang, punya rumah magrong-magrong, dan bermobil mulus gresssss...? Sementara saya, masih berjarak dari pencapaian tersebut. Lalu biasanya saya bakal memberikan label ‘sukses’ pada teman-teman seperti itu. Terus sejenak nelangsa dan tidak percaya diri untuk hadir di acara reuni .... ha ha ha ...... Tapi ya itu tadi, cuma sebentar. Setelah itu biasanya saya bisa terhibur dengan pikiran ‘ah, biar begini saya bahagia kok’. Naifkah? Atau mencerminkan tingginya tingkat kemalasan saya?

Ya, kekayaan materi adalah yang paling gampang untuk dijadikan tolok ukur kesuksesan seseorang. Dan nyatanya paling banyak digunakan juga. Iya, kan? Saya sering kok mendengar orang bilang ‘eh si fulan sudah punya ini itu. Sudah kaya. Sukses dia sekarang’. Tidak cuma sekali dua kali saya mendengarnya. Seringgggggggg banget. Atau contoh lain sungguh terasa ketika lebaran tiba. Ya, waktu lebaran biasanya generasi anak pulang kampung, sowan kepada orangtuanya. Saat inilah gongnya. Mereka pulang dengan segala atributnya. Pernah saya dengar tetangga saya bilang,”Bapak A enak, anak-anaknya pada sukses. Lihat saja, tiga anak mudik, tiga mobil kinclong berjajar di rumah Bapak A”. Nah, kan? So, kekayaan materi adalah satu tolok ukur kesuksesan. Dan berhubung jelas-jelas saya belum ada apa-apanya jika diukur dengan itu, maka teruslah saya mempertanyakan bagaimana mengukur kesuksesan......  ha ha ha.... Daripada stress gitu lhoooo.....

Sampai suatu hari seorang sahabat yang juga saya semati label ‘sukses’ karena karirnya wow banget berkata bahwa dia menilai kesuksesan seseorang salah satunya dengan indikator ‘life skill’, tidak melulu secara materi. Karena toh banyak orang mendapatkan kekayaan materi dengan cara yang salah. Kontan saya kepengen tahu dan bertanya apa itu life skill. Dia menguraikan intinya life skill adalah ketrampilan seseorang dalam menghadapi segala rintangan dalam hidupnya. Termasuk di dalamnya daya juang untuk hidup, kemauan terus bercita-cita, kemampuan mengatasi masalah-masalah hidup, dan hal-hal lain semacam itulah. Langsunglah hati saya mekar. Karena dengan tolok ukur tak berbau rupiah atau dollar seperti itu semua orang bisa saja masuk kategori sukses, termasuk saya. Saya bilang padanya saya pernah berhasil membebaskan diri dari belitan hutang bertahun-tahun. Katanya berarti bisa jadi saya termasuk orang sukses karena toh hutang adalah salah satu masalah hidup. Ya ya ya..... asyik juga tolok ukur tersebut .... he he he he.... Saya mulai berpikir berarti saya sukses dong.... Yaaa paling tidak pernah sukses membebaskan diri dari belenggu hutang.

Sahabat saya lalu bertanya apakah saya risau karena pandangan penilaian orang? Ehmmmm .... yaaa iyalah.... Bohong bangetlah kalau saya tak ingin merasa sukses dan dinilai orang sukses. Buktinya saya selalu iri dengan mereka yang saya anggap sukses. Tapi sekali lagi, tidak pakai dengki yaaaaa.... Dengan yakin teman saya bilang tak apa mengejar kesuksesan materi asal jangan lupa ada bentuk sukses-sukses yang lain, yang tak melulu berkaitan dengan materi. Contohnya mereka yang berguna bagi orang banyak semisal para relawan biasanya bukan orang-orang yang berlebih secara materi, tapi justru yang biasa-biasa saja. Sementara koruptor nyaris selalu mereka yang sudah kaya raya. Ehmmmm... betul juga, kan?


Jadiiii .... mulai saat itu jika risau saya akan menghibur diri dengan melihat sukses dalam bentuk yang lain. Tapi, tetap mesti bekerja keras untuk mengejar sukses materi dengan cara yang benar, jangan pakai korupsi. Karena pemalas itu hanya membebani orang lain. Begitu pesan lanjutan dari sahabat saya yang sungguh super itu. Okay dehhhhhh .....