Bagaimana cara mengukur sukses? Selalu pertanyaan
ini mengganggu saya dari dulu hingga detik ini, teruma ketika sedang galau akan
hidup. Ya, hidup kata orang penuh dengan naik turun. Nah pas naik itulah yang
namanya sukses. Cuma, naik setinggi apa yang bisa masuk kategori sukses? Ini
pertanyaan besarnya.
Akhir-akhir ini saya sering bertemu teman-teman
lama, mereka yang kisaran dua puluh tahun silam atau lebih menjadi teman
seperjuangan di bangku sekolah. Ketika itu standar ukurannya jelas : nilai raport.
Jadi ya yang nilainya selalu buruk berarti masuk kategori, maaf, tidak pandai.
Sementara yang nilainya selalu baik tentu dilabeli pintar. Sistem pendidikan
memungkinkan hal itu. Karenanya masih jelas dalam ingatan saya yang mana teman
yang selalu berada di rangking atas dan mana yang jadi penghuni peringkat
bawah. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu, bahkan lebih. Sekarang semuanya
telah berubah, termasuk standarnya.
Hidup berjalan terus selepas dari bangku sekolah.
Semua berproses. Semua berubah, tak lagi seperti dulu. Dan tak jarang saya jadi
terkagum-kagum. Juga iri. Tapi enggak pakai dengki lhoooo.... Ya bagaimana
tidak kagum dan iri sekaligus kalau teman yang dulu seperjuangan sekarang sudah
jadi orang, punya rumah magrong-magrong, dan bermobil mulus gresssss...?
Sementara saya, masih berjarak dari pencapaian tersebut. Lalu biasanya saya
bakal memberikan label ‘sukses’ pada teman-teman seperti itu. Terus sejenak
nelangsa dan tidak percaya diri untuk hadir di acara reuni .... ha ha ha ......
Tapi ya itu tadi, cuma sebentar. Setelah itu biasanya saya bisa terhibur dengan
pikiran ‘ah, biar begini saya bahagia kok’. Naifkah? Atau mencerminkan
tingginya tingkat kemalasan saya?
Ya, kekayaan materi adalah yang paling gampang
untuk dijadikan tolok ukur kesuksesan seseorang. Dan nyatanya paling banyak
digunakan juga. Iya, kan? Saya sering kok mendengar orang bilang ‘eh si fulan
sudah punya ini itu. Sudah kaya. Sukses dia sekarang’. Tidak cuma sekali dua
kali saya mendengarnya. Seringgggggggg banget. Atau contoh lain sungguh terasa
ketika lebaran tiba. Ya, waktu lebaran biasanya generasi anak pulang kampung,
sowan kepada orangtuanya. Saat inilah gongnya. Mereka pulang dengan segala
atributnya. Pernah saya dengar tetangga saya bilang,”Bapak A enak, anak-anaknya
pada sukses. Lihat saja, tiga anak mudik, tiga mobil kinclong berjajar di rumah
Bapak A”. Nah, kan? So, kekayaan materi adalah satu tolok ukur kesuksesan. Dan
berhubung jelas-jelas saya belum ada apa-apanya jika diukur dengan itu, maka
teruslah saya mempertanyakan bagaimana mengukur kesuksesan...... ha ha ha.... Daripada stress gitu lhoooo.....
Sampai suatu hari seorang sahabat yang juga saya
semati label ‘sukses’ karena karirnya wow banget berkata bahwa dia menilai
kesuksesan seseorang salah satunya dengan indikator ‘life skill’, tidak melulu
secara materi. Karena toh banyak orang mendapatkan kekayaan materi dengan cara
yang salah. Kontan saya kepengen tahu dan bertanya apa itu life skill. Dia menguraikan
intinya life skill adalah ketrampilan seseorang dalam menghadapi segala
rintangan dalam hidupnya. Termasuk di dalamnya daya juang untuk hidup, kemauan
terus bercita-cita, kemampuan mengatasi masalah-masalah hidup, dan hal-hal lain
semacam itulah. Langsunglah hati saya mekar. Karena dengan tolok ukur tak
berbau rupiah atau dollar seperti itu semua orang bisa saja masuk kategori
sukses, termasuk saya. Saya bilang padanya saya pernah berhasil membebaskan diri
dari belitan hutang bertahun-tahun. Katanya berarti bisa jadi saya termasuk
orang sukses karena toh hutang adalah salah satu masalah hidup. Ya ya ya.....
asyik juga tolok ukur tersebut .... he he he he.... Saya mulai berpikir berarti
saya sukses dong.... Yaaa paling tidak pernah sukses membebaskan diri dari
belenggu hutang.
Sahabat saya lalu bertanya apakah saya risau karena
pandangan penilaian orang? Ehmmmm .... yaaa iyalah.... Bohong bangetlah kalau
saya tak ingin merasa sukses dan dinilai orang sukses. Buktinya saya selalu iri
dengan mereka yang saya anggap sukses. Tapi sekali lagi, tidak pakai dengki
yaaaaa.... Dengan yakin teman saya bilang tak apa mengejar kesuksesan materi
asal jangan lupa ada bentuk sukses-sukses yang lain, yang tak melulu berkaitan
dengan materi. Contohnya mereka yang berguna bagi orang banyak semisal para
relawan biasanya bukan orang-orang yang berlebih secara materi, tapi justru yang
biasa-biasa saja. Sementara koruptor nyaris selalu mereka yang sudah kaya raya.
Ehmmmm... betul juga, kan?
Jadiiii .... mulai saat itu jika risau saya akan
menghibur diri dengan melihat sukses dalam bentuk yang lain. Tapi, tetap mesti
bekerja keras untuk mengejar sukses materi dengan cara yang benar, jangan pakai
korupsi. Karena pemalas itu hanya membebani orang lain. Begitu pesan lanjutan
dari sahabat saya yang sungguh super itu. Okay dehhhhhh .....