Kamis, 27 Maret 2014

Putih Putih Melati .....

Tahun politik, musim kampanye. Pilihan warna menjadi hal yang sensitif. Musti memilih satu, ga boleh sampai punya lima warna ala lagu Balonku. Yes, you are what color you choose .... Jadi apa pilihan warnamu?

Saya tidak ikut berpesta demokrasi untuk Pemilu Legislatif tahun ini. Pasalnya, nama saya tidak tercantum sebagai daftar pemilih. Dan jujur saja saya sedang tidak punya cukup minat dan semangat  untuk mengurus hak bersuara itu. Jadilah saya masuk yang disebut-sebut sebagai golongan putih, alias mereka yang tak bersuara. Pada awalnya saya tidak masalah digolong-golongkan seperti itu. Tapi kemudian jadi meradang juga ketika ada pernyataan ini itu yang ditujukan pada orang-orang seperti saya, termasuk juga mereka yang pada hari H tidak menunaikan suaranya. Dikatakan orang-orang seperti itu tak bertanggung-jawab, tidak care, tidak peduli dengan masa depan bangsa, cuma mau mengkritik tapi tidak mau bertindak. Terakhir ada indikasi untuk menyatakan pilihan sebagai golput adalah haram. 

Jadi pertanyaan besarnya adalah salahkah menjadi golput? Saya tidak tahu persis jawabannya. Cuma secara pribadi saya tidak menyalahkan mereka yang secara sengaja memilih menjadi golput. Lha bagaimana tidak, wong opsi pilihannya tidak menggugah selera begitu? Ibarat menu makanan, apa yang disajikan adalah makanan kemarin yang dihangatkan untuk dihidangkan hari ini. Kalau orang Jawa bilang makanan ‘nget-ngetan’. Lihat saja siapa-siapa yang maju, lebih banyak muka-muka lama yang prestasinya yaaaaaa begitulah adanya. Ada sih muka baru, yaitu para artis sinetron yang katanya merasa terpanggil hatinya untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Ya monggo lah yaaaa..... silahkan saja. Mau mengabdi kok dilarang.

Tak cuma urusan muka. Urusan janji kampanye ya tak beda-beda amat dengan yang dulu-dulu. Sama penuh manis madunya. Sama yang intinya menjanjikan perjuangan dan pengabdian demi rakyat semesta. Dari tahun ke tahun semuanya begitu kan? Paling kemasannya yang sedikit sedikit diubah. Kalau dulu pakai kemasan pertunjukan dangdut, sekarang ganti mengusung musik pop. Atau sebaliknya. Kalau dulu sawerannya sekian, sekarang dua atau tiga kian karena saingan juga lebih banyak. Seputar itulah. Sementara semua paham bahwa janji manis penuh madu itu bakal segera terlupakan dengan berbagai alasan, seperti janji-janji yang pernah dan telah ditebar tahun-tahun sebelumnya. Menebarnya selalu begitu murah, seakan begitu banyak persoalan bangsa dan negara ini bisa dituntaskan hanya dengan satu tindakan yaitu memilih mereka.

Jujur saja, sering saya mentertawakan mereka yang berkampanye. Mentertawakan mereka yang begitu percaya diri mengklaim telah berbuat banyak untuk negara dan bangsa ini. Mentertawakan mereka yang mengklaim dirinya adalah jawaban atas upaya penuntasan permasalahan negara dan bangsa. Mentertawakan mereka yang bermanis-manis  dan berakrab-akrab dengan rakyat kecil. Ah, betapa dunia politik adalah panggung kedua setelah panggung sandiwara kehidupan itu sendiri.

Seorang teman bilang saya sinis sekali. Juga skeptis. Ya bagaimana saya tidak sinis dan skeptis kalau waktu sudah membuktikan bahwa mereka tetaplah orang-orang yang doyan duit. Dan lihat saja dana kampanye mereka yang belasan, puluhan, dan ratusan juta itu. Bahkan ada yang kabarnya dana yang dibuang untuk kampanye mencapai satuan milyar. Duit semua lhoooo ituuuu.... Logikanya, apakah buang-buang seperti itu akan nutup dengan gaji resmi dan legal yang didapat ketika menjabat kelak? Logikanya lagi, kalau itu dianggap sebagai modal, apa tak mungkin selanjutnya mereka akan menarik profitnya?

Teman saya bilang saya marah karena disebut sebagai warga negara tak banyak guna jadi melampiaskan kemarahan dengan menyerang para manusia percaya diri tinggi itu. Ya ya ya, dia benar, saya memang marah. Dan lebih marah lagi kalau sampai benar disebut golput itu haram. Sebelum mereka mengharamkan golput maka mereka harus lebih dulu menghalalkan darah para legislator yang menyimpang dari janji-janji kampanye, termasuk mereka yang memakan duit rakyat.


Kali ini teman saya tertawa terpingkal-pingkal. Katanya saya hidup di awang-awang, terlalu menginginkan hal ideal yang saat ini jauh dari realitas. Katanya masih ada orang-orang baik dalam golongan itu selain mereka-mereka yang berurusan dengan KPK. Katanya betapapun jeleknya,  penyelenggaraan negara ini butuh mereka. Jadiiiii.... masih katanya, sebagai warga negara tetap diharapkan untuk memilih. Karena ini bagian dari demokrasi, tak peduli pilihannya adalah menu ‘nget-ngetan’. Pilihlah yang terbaik dari yang terburuk. Begitu teman saya berpesan. Ehmmmm..... sebentar, jangan-jangan ..... Teman saya mengangguk sambil mengulum senyum lalu menunjuk dadanya..... Alamakkkkk.... Nyanyi aja ahhh....  Putih-putih melati, merah-merah delima, siapa yang baik hati, tentu disayang Mama .....

Senin, 17 Maret 2014

Tukang Becak Plus Plus

Pak Ji. Begitu saya biasa menyapanya. Orang lain juga memanggilnya begitu. Profesinya resminya sebenarnya penarik becak. Sepanjang ingatan saya, Pak Ji sudah menjalankan profesi itu ketika saya masuk kuliah. Dan selama itu pula tempat mangkalnya tetap, pintu masuk perumahan tempat orang tua saya tinggal. Sekarang usia saya nyaris menyentuh kepala empat. Dan Pak Ji masih di sana, tetap dengan becaknya yang besar dan terawat bersih. Jadi bisa dibayangkan berapa lama beliau berkarya. Anak-anak yang dulu diantarnya ke TK sekarang sudah jauh dewasa. Kadang saya berpikir apa yang dirasakan oleh Pak Ji melihat perubahan kami-kami pelanggannya dulu.

Masa memang berjalan cepat, membuat semua berubah. Dulu orang tua mempercayakan anak-anaknya untuk diantar-jemput oleh Pak Ji. Sekarang saya melihat fenomenanya telah berbalik. Sekarang, banyak anak-anak, yang nota bene telah dewasa, merasa aman ketika Pak Ji yang mengantar jemput orang tua mereka. Ya, saya termasuk salah satu di dalam golongan itu. Dari sekian banyak becak yang telah tahunan mangkal di tempat itu, Pak Ji selalu jadi pilihan pertama. Malah sering-sering ibu saya rela mengurungkan niat bepergian dengan becak jika bukan Pak Ji yang mengantar.

Masa juga membuat peran Pak Ji berkembang, tak hanya sekedar pengantar jemput. Ya, para orang penghuni perumahan terus menua, sementara anak-anak yang telah berkehidupan sendiri. Alhasil keberadaan Pak Ji jadi lebih berarti. Ibu saya selalu mempercayakan urusan ke dokter kepada Pak Ji. Urusan ini meliputi mendaftar, mengantar ke dokter, menebus resep, lalu mengantarkan pulang. Jika ada acara di rumah semisa pengajian, Pak Ji juga yang akan mengambilkan karpet, menyingkirkan kursi, memasang karpet, dan menjemput konsumsi. Lalu ketika usai, beliau juga yang akan membereskan karpet dan mengembalikan kursi-kursi pada tempatnya. Tempo hari satu kusen di area jemur lapuk. Bisa ditebak, Pak Ji dipanggil. Beliau melepas pintu dan kusennya. Mencari tripleks dan papan untuk jadi penutup sementara, lalu mengantarkan pintu ke tukang kusen untuk dibuatkan kusen pengganti yang sesuai. Dan ketika kusen baru datang, Pak Ji juga yang membawa tukang dan sekaligus membantu memasangnya. Terus jika akan ada tamu datang berkunjung dan halaman samping diperlukan sebagai garasi, bisa ditebak siapa yang datang untuk menyingkirkan pot-pot bunga di tempat lain untuk sementara, dan tentu nantinya orang ini juga yang akan mengembalikan ke tempat semula setelah para tamu selesai berkunjung.

Ya, Pak Ji mengerjakan banyak hal, dari yang remeh-remeh hingga yang serius. Dan nyatanya orang tua saya bukan satu-satunya yang mengandalkannya. Ada masa ketika Pak Ji harus datang setiap hari ke rumah seorang tetangga yang lumpuh karena stroke. Tiap hari Pak Ji bertugas memapah si bapak agar bisa dimandikan. Kemudian membawanya ke teras untuk berjemur beberapa saat. Lalu membawanya kembali ke dalam rumah. Itu dilakukan tiap hari si bapak wafat.

Satu lagi kejadian. Suatu ketika bapak saya sakit dan menolak untuk opname walaupun dokter merekomendasikan. Esok paginya, ketika berusaha bangun untuk sholat subuh beliau jatuh. Dan orang pertama yang ditelepon ibu saya adalah Pak Ji. Pak Ji juga yang kemudian menghubungi tetangga dan membawa bapak saya ke rumah sakit. Baru setelah semuanya beres ibu menghubungi kami anak-anaknya yang semuanya ada di luar kota, mengabarkan apa yang terjadi.

Ya, itulah Pak Ji si tukang becak plus plus. Ibu saya selalu bilang beliau tahu bagaimana memperlakukan penumpangnya, seperti merendahkan becaknya agar ibu bisa naik atau turun dengan mudah. Ibu juga bilang beliau bisa mengetahui kemauan si pemberi order tanpa perlu diterangkan detail dan penuh inisiatif. Bapak bilang cuma Pak Ji tukang becak yang pintar dan tidak gampang canggung menghadapi situasi tertentu. Bapak juga bilang Pak Ji tahu bagaimana membawa dirinya, serta bisa dipercaya.

Ya ya ya, itulah Pak Ji. Memang semua memberikan upah atas tenaga yang diberikannya. Cuma jika dipikir-pikir beliau tidaklah sekedar penjual jasa. Beliau seperti telah menjadi bagian dari banyak keluarga. Karenanya ketika beliau bercerita anak perempuannya berhasil masuk sekolah Sandi Negara, bapak dan ibu saya bersama dengan para sepuh yang lain ikut larut dalam bahagia dan syukur, seakan anak kandung merekalah yang memiliki keberhasilan itu.


Terima kasih banyak, Pak Ji...... #bungkuk badan.