Tahun politik, musim kampanye. Pilihan warna menjadi hal yang sensitif. Musti
memilih satu, ga boleh sampai punya lima warna ala lagu Balonku. Yes, you are
what color you choose .... Jadi apa pilihan warnamu?
Saya tidak ikut berpesta demokrasi untuk Pemilu Legislatif tahun ini.
Pasalnya, nama saya tidak tercantum sebagai daftar pemilih. Dan jujur saja saya
sedang tidak punya cukup minat dan semangat
untuk mengurus hak bersuara itu. Jadilah saya masuk yang disebut-sebut
sebagai golongan putih, alias mereka yang tak bersuara. Pada awalnya saya tidak
masalah digolong-golongkan seperti itu. Tapi kemudian jadi meradang juga ketika
ada pernyataan ini itu yang ditujukan pada orang-orang seperti saya, termasuk
juga mereka yang pada hari H tidak menunaikan suaranya. Dikatakan orang-orang
seperti itu tak bertanggung-jawab, tidak care,
tidak peduli dengan masa depan bangsa, cuma mau mengkritik tapi tidak mau
bertindak. Terakhir ada indikasi untuk menyatakan pilihan
sebagai golput adalah haram.
Jadi pertanyaan besarnya adalah salahkah menjadi golput? Saya tidak tahu
persis jawabannya. Cuma secara pribadi saya tidak menyalahkan mereka yang
secara sengaja memilih menjadi golput. Lha bagaimana tidak, wong opsi pilihannya
tidak menggugah selera begitu? Ibarat menu makanan, apa yang disajikan adalah makanan
kemarin yang dihangatkan untuk dihidangkan hari ini. Kalau orang Jawa bilang
makanan ‘nget-ngetan’. Lihat saja siapa-siapa yang maju, lebih banyak muka-muka
lama yang prestasinya yaaaaaa begitulah adanya. Ada sih muka baru, yaitu para
artis sinetron yang katanya merasa terpanggil hatinya untuk mengabdi pada
bangsa dan negara. Ya monggo lah yaaaa..... silahkan saja. Mau mengabdi kok
dilarang.
Tak cuma urusan muka. Urusan janji kampanye ya tak beda-beda amat dengan
yang dulu-dulu. Sama penuh manis madunya. Sama yang intinya menjanjikan
perjuangan dan pengabdian demi rakyat semesta. Dari tahun ke tahun semuanya
begitu kan? Paling kemasannya yang sedikit sedikit diubah. Kalau dulu pakai kemasan
pertunjukan dangdut, sekarang ganti mengusung musik pop. Atau sebaliknya. Kalau
dulu sawerannya sekian, sekarang dua atau tiga kian karena saingan juga lebih
banyak. Seputar itulah. Sementara semua paham bahwa janji manis penuh madu itu
bakal segera terlupakan dengan berbagai alasan, seperti janji-janji yang pernah
dan telah ditebar tahun-tahun sebelumnya. Menebarnya selalu begitu murah,
seakan begitu banyak persoalan bangsa dan negara ini bisa dituntaskan hanya
dengan satu tindakan yaitu memilih mereka.
Jujur saja, sering saya mentertawakan mereka yang berkampanye.
Mentertawakan mereka yang begitu percaya diri mengklaim telah berbuat banyak
untuk negara dan bangsa ini. Mentertawakan mereka yang mengklaim dirinya adalah
jawaban atas upaya penuntasan permasalahan negara dan bangsa. Mentertawakan
mereka yang bermanis-manis dan
berakrab-akrab dengan rakyat kecil. Ah, betapa dunia politik adalah panggung
kedua setelah panggung sandiwara kehidupan itu sendiri.
Seorang teman bilang saya sinis sekali. Juga skeptis. Ya bagaimana saya
tidak sinis dan skeptis kalau waktu sudah membuktikan bahwa mereka tetaplah
orang-orang yang doyan duit. Dan lihat saja dana kampanye mereka yang belasan,
puluhan, dan ratusan juta itu. Bahkan ada yang kabarnya dana yang dibuang untuk
kampanye mencapai satuan milyar. Duit semua lhoooo ituuuu.... Logikanya, apakah
buang-buang seperti itu akan nutup dengan gaji resmi dan legal yang didapat
ketika menjabat kelak? Logikanya lagi, kalau itu dianggap sebagai modal, apa
tak mungkin selanjutnya mereka akan menarik profitnya?
Teman saya bilang saya marah karena disebut sebagai warga negara tak banyak
guna jadi melampiaskan kemarahan dengan menyerang para manusia percaya diri
tinggi itu. Ya ya ya, dia benar, saya memang marah. Dan lebih marah lagi kalau
sampai benar disebut golput itu haram. Sebelum mereka mengharamkan golput maka
mereka harus lebih dulu menghalalkan darah para legislator yang menyimpang dari
janji-janji kampanye, termasuk mereka yang memakan duit rakyat.
Kali ini teman saya tertawa terpingkal-pingkal. Katanya saya hidup di
awang-awang, terlalu menginginkan hal ideal yang saat ini jauh dari realitas.
Katanya masih ada orang-orang baik dalam golongan itu selain mereka-mereka yang
berurusan dengan KPK. Katanya betapapun jeleknya, penyelenggaraan negara ini butuh mereka.
Jadiiiii.... masih katanya, sebagai warga negara tetap diharapkan untuk
memilih. Karena ini bagian dari demokrasi, tak peduli pilihannya adalah menu
‘nget-ngetan’. Pilihlah yang terbaik dari yang terburuk. Begitu teman saya
berpesan. Ehmmmm..... sebentar, jangan-jangan ..... Teman saya mengangguk
sambil mengulum senyum lalu menunjuk dadanya..... Alamakkkkk.... Nyanyi aja
ahhh.... Putih-putih melati, merah-merah
delima, siapa yang baik hati, tentu disayang Mama .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar