Sabtu, 30 Mei 2015

Jeprat-Jepret

Saya termasuk yang suka memotret dan menganggap memotret adalah pekerjaan serius  yang susah. Pendapat ini dilandasi bukti bahwa sampai detik ini saya tak bisa menguasai kamera dengan baik. Hasil foto yang saya buat selalu saja ada salahnya. Salah fokus atau malah tidak fokus, komposisi tak betul, terlalu gelap atau sebaliknya terlalu terang, dan sebagainya dan sebagainya. Intinya saya belum mampu menguasai kamera dengan baik. Kadang ada juga foto saya yang dipuji oleh teman. Tentu menyenangkan. Tapi kemudian saya mengerti bahwa foto yang dipuji itu pada dasarnya lebih karena kebetulan saja, bukan karena kepintaran teknis saya memegang kamera sehingga dengan sadar bisa menghasilkan foto yang begitu. Dan lagi pemuji adalah orang awan yang mungkin secara pengetahuan dan ketrampilan fotografinya tak lebih bagus dari saya. Jadi intinya tetap, saya bukan pemotret yang handal. Saya sekedar suka jeprat-jepret tapi tak bertanggung-jawab soal kualitas hasilnya.

Tapi apa iya saya harus selalu mumet memikirkan kualitas hasil jepretan? Sebab saat ini orang memotret dengan sangat aktif. Apa-apa dipotret. Bahkan diri sendiri pun dipotret. Fungsinya apa? Ya apalagi kalau tidak diunggah di media sosial atau grup chatting, lalu para penonton foto tersebut akan memberikan komentar ini itu, baik yang berhubungan dengan foto tersebut ataupun tidak. Kegiatan ini sedang amat sangat marak pakai banget dan sekali saat ini. Jujur saja, tak selamanya saya maklum dan senang hati terhadapa hal ini. Sering malah berpikir kok begini saja pakai difoto sih? Atau di saat yang lain saya malah jengkel dan berpikir negatif terhadap di pengunggah. Misalnya saja ada teman yang mengunggah fotonya saat plesir ke luar negeri, berpose di tempat-tempat terkenal macam menara Eifel, singa Merlion, atau tengah main salju atau memegang sakura. Menanggapi yang begitu bisa saja saya sekedar berpikir wahhhh dia sudah sampai di sana, enak betul ya, terus saya kapan? Tapi di lain waktu dan lain pengunggah saya juga menanggapinya dengan satu kalimat singkat yang negatif : pamer dia! Nah lho jadi dosa kan saya? Lain waktu ada yang mengunggah foto menu makanan yang siap disantapnya yang jelas-jelas menunjukkan dia tak sedang makan di rumah. Yang begini juga bisa positif dan negatif respon saya. Yang positf berupa : eh kok kayaknya enak ya, kapan-kapan nyoba juga ah. Sementara yang negatif wujudnya : halah mentang-mentang lagi makan enak diumumkan ke seluruh dunia! Nah, dosa lagi deh saya.

Terus soal selfi.... Wah, saya sering heran sekaligus kagum dengan mereka yang doyan sekali selfi. Saya kagum dengan kepercayaan diri mereka. Juga ketrampilannya. Karena saya sendiri tak pernah pede untuk berfoto diri kecuali jika memang wajib semisal pas daftar KTP atau semacamnya. Itupun hasilnya juga tak pernah baik dan benar, dengan kata lain tak pernah kelihatan lebih cantik ketimbang aslinya... hahahahaha... Karena itu saya heran dan kagum dengan mereka yang hobi selfi. Kok bisa ya fotonya cantik-cantik begitu? Ngaturnya bagaimana? Posenya kok bisa pas ya? Dan kok ya begitu pedenya. Dan ternyata itu lebih seperti hobi. Seorang teman mengaku menyimpan foto selfi sebanyak dua ribuan di handphone-nya. Saya terbeliak. Wowwww .... Buat apa? Ya buat seneng-senengan saja, jawabnya. Dia berselfi dengan alasan macam-macam. Dia akan berselfi kapanpun merasa cantik. Jadi bisa saja setelah facial, potong rambut, ber-make-up, atau bahakan sebelum tidur asal merasa cantik maka berselfilah dia. Juga ketika sedang ada dalam momen-momen tertentu. Misal pas kumpul-kumpul, berselfilah dia dan mereka sekedar untuk seru-seruan. Ehmmmm begitu ya, pikir saya. Lha terus kenapa saya tak pernah merasa pede dan perlu untuk berselfi? Apa saya tak pernah merasa cantik? Atau tak pernah merasa berada dalam momen yang perlu diseru-serukan dengan selfi? Embuhlah ....

Ah ya, saya punya pengalaman menggelikan soal selfi. Beberapa bulan yang lalu, bersama sahabat yang juga sedang keranjingan memotret, saya ke Yogya. Tujuan utamanya adalah menyaksikan dan memotret Borobudur saat matahari terbit. Jadi, bergabunglah kami dengan rombongan yang bertujuan sama yang ternyata entah mengapa seluruhnya turis dari manca negara. Adzan subuh baru selesai berkumandang ketika kami berangkat ke lokasi. Dan karena modal saya cuma kamera prosumer biasa, maka saya masih harus menunggu ketika yang lain yang bermodal kamera profesional sudah mulai jeprat-jepret. Waktu itu saya sudah senewen, takut kehilangan momen. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Matahari mulai mengintip dan naik pelan-pelan. Semua bergumam kagum dalam bahasanya sendiri-sendiri. Dan memang momen itu indah sekali. Detik-detik awal saya malah bingung memutuskan mana yang lebih baik saya lakukan, memotret atau sekedar menikmatinya terus dengan mata saja saking indahnya. Akhirnya saya angkat juga kamera, mulai menjepret. Demikian juga dengan sahabat saya. Tapi ternyata tak gampang. Saya semula membayangkan foto yang bersih tanpa kepala-kepala penonton. Tapi kenyataan di lapangan ada penonton dimana-mana dan tak bisa dihindari, juga tak bisa disuruh minggir. Nyaris tak mungkin mendapatkan foto yang bersih dari manusia. Tapi kami berdua masih ngotot berusaha. Sampai akhirnya kami menemukan posisi yang bagus yang relatif sepi dari manusia. Kami berdua mulai mengintip di balik kamera dengan serius. Dan pas ketika tombol hampir ditekan seorang turis entah bangsa apa tahu-tahu masuk dalam frame kami, dan dengan tongsis panjang dia berfoto selfi, tersenyum dan bergaya tanpa merasa berdosa. Sementara di depannya, ada dua orang kecewa yang saling berpandangan lalu berteriak ‘asemmmmm!’ ..... Ahahahahah ...

So, memotret sekarang makin jamak. Tak  perlu menjadi fotografer terlebih dahulu untuk bisa melakukannya. Tak perlu ngincang-nginceng di balik kamera profesional karena toh handphone juga sudah dilengkapi dengan kamera yang sangat memadai. Tak perlu berpikir serius tentang teori dan teknik, yang penting jepret aja langsung. Tak perlu repot mencari-cari atau bengong menunggu momen. Toh apa saja bisa jadi obyek, termasuk diri sendiri. Dan tak perlu malu dengan hasilnya, toh begitu diunggah di media sosial ataupun grup ngobrol pasti ada saja yang akan mengomentari. Jadi, tunggu apalagi? Bingung akan apalagi?


Jepret pret pret pretttttt.....