What I Talk About When I Talk About
Running. Itu judul memoar Haruki
Murakami yang saya tuntaskan kisaran dua bulan lalu. Buku yang tipis-tipis
saja, tapi kemudian menjadi salah satu favorit saya. Di dalamnya seorang Haruki
Murakami yang tersohor itu merelasikan menulis dengan lari, hal yang
digemarinya. Untuk jadi kuat lari jarak jauh musti latihan bertahap. Setengah
kilometer, terus sekilometer, terus nambah sampai akhirnya kuat bermaraton.
Penulis juga begitu. Menulis, menulis, dan menulis. Siapkan waktu yang
terjadwal, dan fokus. Seorang Haruki Murakami tidak pusing memikirkan apakah
bukunya akan jadi bestseller atau tidak. Dia mulai menulis buku pertama ketika
ide itu datang. Lalu mengirimkan ke satu kompetisi bahkan tanpa membuat
salinannya. Katanya: After I finished it
I felt great. I had no idea what to do with the novel once I finished it, but I
just sort of let the momentum carry me and sent it in to be considered for a
literary magizine’s new-writers prize. I shipped it off without making a copy,
so it seems I didn’t much care if it wasn’t selected and vanished forever. Kemudian
ternyata novel pertama itu; Hear The Wind Sing; berhasil menang. Sungguh saya
tercerahkan oleh buku ini. Dan kisaran dua bulan setelahnya, pada 29 Maret 2015 di Perpustaan Bank Indonesia yang luar biasa indah,
Dee seakan mengulang pencerahan itu, dan ibarat sebuah masakan, dia sekaligus
memberikan ‘bumbu-bumbu’ tambahannya melalui Dee’s Coaching Clinic.
Mengkonkritkan apa yang abstrak. Berpikir kreatif adalah memperluas medan
kesadaran. Menggali sampai menemukan unique voice. Ade Rai tak jadi kekar dalam
semalam. Gatal yang tak kunjung usai. Celengan ide. Verisimilitute. Pemetaan. Struktur tiga babak. Teknik
ciprat-ciprat. Tidak ada alter ego.
Bersahabat dengan deadline..... Dan hari itu, di dalam gedung Perpustakaan Bank
Indonesia yang sangat mengesankan, Dee mendetailkan semuanya, berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya. Dan sungguh ini jadi jauh lebih menarik dari
sekedar membaca memoar Haruki Murakami karena apa yang disampaikan sangat bisa
diterapkan oleh siapa saja yang menyimpan cita-cita menjadi penulis.
Mau jadi penulis? Ya mulailah menulis. Jangan sekadar berhenti di cita-cita
yang abstrak. Konkritkan. Menulis, menulis, dan menulis. Seperti Ade Rai yang
mengangkat barbel demi membentuk otot-ototnya. Apa yang ditulis? Ya apa saja.
Tulis apa yang ingin ditulis, atau apa yang ingin sekali dibaca. Setiap penulis
punya unique voice. Cuma seringnya si
unique voice itu bagai harta karun
yang tertanam di dalam tanah. Butuh usaha ekstra untuk menemukannya. Dan bentuk
usaha itu tak lain dan tak bukan adalah terus menulis. Menulislah, tanpa beban
macam-macam, termasuk ambisi menjadi bestseller.
Seperti Haruki Murakami yang menulis buku pertamanya sekedar mengikuti kata
hati. Seperti Dee menulis Supernova : Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sekedar
untuk memberi kado ulangtahun ke-25 bagi diri sendiri. Keduanya tak dengan
sengaja menulis untuk jadi bestseller.
Dan ketika akhirnya menjadi seperti itu adalah buah dari kesungguhan
mengkonkritkan apa yang abstrak. Tujuan tetap harus ada, terukur dan jelas,
sehingga jalan menuju kesana terpetakan dengan mudah. Mengikuti dan memuaskan
kata hati dan membuat kado untuk diri sendiri contohnya. Tapi beban wajib
dihilangkan. Karena beban hanya akan membuat macet segalanya. Intinya mau jadi
penulis ya menulislah. Tulis yang apa yang kita sangat ingin tulis. Tulis apa
yang kita sangat ingin baca. Tulis saja, tak perlu menunggu alter ego muncul. Dan
ketika itu terwujud maka yang terasa adalah kelegaan karena seakan telah
menuntaskan gatal yang selama ini tak kunjung usai.
Soal ide bagaimana? Jangan memitoskan ide. Ide datang darimana saja. Tak
perlu sibuk dengan ritual khusus untuk mencari ide termasuk semedi dan
termenung-menung. Penulis adalah pengamat. Amati sekitar. Perluas medan
kesadaran. Karena pada dasarnya menjadi kreatif bukanlah semuluk membuat
sesuatu yang berbeda sama sekali dan belum pernah ada. Menjadi kreatif bisa
berupa keluar dari rutin, menjadi yang bukan kita biasanya. Dan ide akan hadir
dengan sendirinya. Ide datang bertubi-tubi ketika tengah berhasil fokus
menulis? Tak masalah. Ide-ide itu bukan musuh yang merusak fokus kita. Mereka
adalah teman. Kumpulkan saja dan catat. Masukan dalam celengan ide. Lalu
kembali fokus pada yang mempunyai deadline
di depan mata. Begitu deadline tercapai, buka celengan ide. Pilah-pilih ide-ide
yang di dalam sana untuk proyek menulis selanjutnya. Jadi tak ada ide yang
terbuang pecuma kan?
Ah, soal deadline juga dikulik
secara khusus. Tentukan deadline dan
pegang komitmentnya. Deadline bukan untuk mengancam, tapi untuk memberikan
kepastian bahwa tujuan akan tercapai. Pecah deadline
menjadi satuan terkecil berupa target harian. Jadi semisal berniat membuat
tulisan 25000 kata. Jelas bahwa setahun ada 52 minggu. Jadi seminggu tanggungan
Cuma 500 kata. Kalau di-break-down lagi misal seminggu cuma menulis 5 hari saja
maka sehari hanya harus menulis 100 kata. Bayangkan, cuma 100 kata sehari dan
di tahun berikutnya sudah ada satu buku siap tangan! Ehmmm, kalau sudah begitu
apa yang menakutkan dari sebuah deadline? Tak ada.
Meramu cerita. Bagian ini sangat menarik karena Dee mengingatkan pada
kebencian bersama akan yang namanya kerangka karangan. Okay, baiklah, mari
sadari bahwa kerangka karangan itu mutlak perlu ketika yang ditulis sepanjang
novel. Biar bisa mulai mencintai kerangka karangan, mari sebut saja namanya
jadi pemetaan. Bentuknya terserah masing-masing. Yang harus diingat adalah
fungsi pentingnya yaitu sebagai pulau-pulau transisi. Ibarat renang jarak jauh,
pulau transisi adalah tempat tempat perhentian sejenak agar tak kehabisan
nafas. Pulau-pulau ini juga turut menjaga perenang tetap ada di dalam jalur menuju
tujuan. Oh iya, buat pemetaannya berdasarkan struktur tiga babak, yaitu :
1.
Babak I, yang
isinya segala macam ‘perkenalan’ juga ‘dunia yang seharusnya’. Ini adalah babak
awal cerita
2.
Babak II
terbagi dalam babak IIA dan IIB. Babak IIA adalah ketika konflik mulai merambat
naik dan sang tokoh terlempar keluar zona amannya. Sementara babak IIB berisi
pertikaian seru antara ‘dunia seharusnya’ versus ‘dunia yang tak seharusnya’
3.
Babak III
adalah ‘jawaban’ atas semua pertanyaan atau persoalan yang telah dimunculkan
dalam babak-babak sebelumnya. Bisa meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban di
babak ini jika memang berencana membuat sekuelnya.
Dee punya cara jitu untuk pembabakan itu, yaitu divisualkan menjadi empat
karton (I, IIA, IIB, III). Tempel keempatnya di dinding. Lalu setiap kali
mendapatkan ide adegan, kalimat, kata, dialog, atau apapun, tuliskan di kertas post it, lalu tempelkan di karton pada
babak mana itu akan kita taruh. Kenapa post it? Untuk memudahkan kita menukar
atau mengatur ulang urutannya jika memang diperlukan. Praktis sekali!
Mau tips-tips lain? Pertama, teknik ciprat-ciprat. Apaan tuh? Ini teknik ajib menulis darimanapun. Tak perlu selalu
dari depan ke belakang. Dari tengah pun boleh. Dari ujung akhir pun oke. Toh nanti
bisa digabung-gabungkan dengan edit. Berikutnya riset. Riset tak selalu harus
datang mendatangi obyek walau mungkin itu yang terbaik. Mendapatkan data bisa
dilakukan dengan riset pustaka (termasuk film), browsing di internet, dan
wawancara terhadap orang-orang yang berkompeten. Lalu padukan semuanya, uji
kebenarannya, baru masukkan ke dalam cerita. Ingat selalu bahwa fiksi dengan
penggabungan sedikit fakta akan meningkatkan kepercayaan pembaca. Risetlah
untuk mendapatkan fakta-fakta yang akan menguatkan fiksimu. Verisimilitute. Buat cerita seakan nyata
bagi pembaca, tak hanya dengan ramuan fakta, tapi juga melibatkan panca indera.
Gunakan dan libatkan panca indera dalam menulis cerita dan ternyata indera
penciuman paling kuat untuk merangsang pembaca berimajinasi. Terapannya bisa
berupa deskripsi sesuatu tak hanya berdasarkan pengamatan mata tapi juga dari
penciuman (bau, tekstur). Penting untuk membawa pembaca berimajinasi sebab
bagaimanapun pembaca perlu ruang untuk membentuk sendiri bayangannya sendiri
tanpa terlalu didoktrin penulis.
Sekarang tips tentang pembentukan karakter. Buat karakter yang masih lekat
dengan ciri-ciri kemanusiawiannya. Artinya, dia punya kebiasaan, keistimewaan,
dan juga kelemahan. Lalu buat dia beraksi. Karakter yang sama sekali sempurna
seringkali malah tak dipercaya nyata oleh pembaca. Sementara karakter yang
bersifat selfness dan berkorban justru sangat mudah menarik hati dan perhatian.
Sekarang tips pamungkas. Buat naskah rapi, baik dalam hal ketikan maupun
tanda baca. Pastikan halaman pertama sudah mampu merebut hati penerbit atau
dewan juri jika naskah itu akan dikirimkan ke penerbit atau kompetisi. Sebab untuk
kondisi seperti ini halaman pertama adalah segalanya.
Nah, bagaimana? Sekarang merasa sangat berenergi untuk menuliskah? Itulah
yang saya rasakan!
Untuk Dee, terima kasih pakai banget nget nget nget.... *bungkukin badan*.
Terima kasih Bentang Pustaka.... *bungkukin badan lagi*.