Sabtu, 04 April 2015

Ilmu dari Dee Lestari

What I Talk About When I Talk About Running. Itu judul memoar Haruki Murakami yang saya tuntaskan kisaran dua bulan lalu. Buku yang tipis-tipis saja, tapi kemudian menjadi salah satu favorit saya. Di dalamnya seorang Haruki Murakami yang tersohor itu merelasikan menulis dengan lari, hal yang digemarinya. Untuk jadi kuat lari jarak jauh musti latihan bertahap. Setengah kilometer, terus sekilometer, terus nambah sampai akhirnya kuat bermaraton. Penulis juga begitu. Menulis, menulis, dan menulis. Siapkan waktu yang terjadwal, dan fokus. Seorang Haruki Murakami tidak pusing memikirkan apakah bukunya akan jadi bestseller atau tidak. Dia mulai menulis buku pertama ketika ide itu datang. Lalu mengirimkan ke satu kompetisi bahkan tanpa membuat salinannya. Katanya: After I finished it I felt great. I had no idea what to do with the novel once I finished it, but I just sort of let the momentum carry me and sent it in to be considered for a literary magizine’s new-writers prize. I shipped it off without making a copy, so it seems I didn’t much care if it wasn’t selected and vanished forever. Kemudian ternyata novel pertama itu; Hear The Wind Sing; berhasil menang. Sungguh saya tercerahkan oleh buku ini. Dan kisaran dua bulan setelahnya, pada 29 Maret 2015 di Perpustaan Bank Indonesia yang luar biasa indah, Dee seakan mengulang pencerahan itu, dan ibarat sebuah masakan, dia sekaligus memberikan ‘bumbu-bumbu’ tambahannya melalui Dee’s Coaching Clinic.

Mengkonkritkan apa yang abstrak. Berpikir kreatif adalah memperluas medan kesadaran. Menggali sampai menemukan unique voice. Ade Rai tak jadi kekar dalam semalam. Gatal yang tak kunjung usai. Celengan ide. Verisimilitute. Pemetaan. Struktur tiga babak. Teknik ciprat-ciprat. Tidak ada alter ego. Bersahabat dengan deadline..... Dan hari itu, di dalam gedung Perpustakaan Bank Indonesia yang sangat mengesankan, Dee mendetailkan semuanya, berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Dan sungguh ini jadi jauh lebih menarik dari sekedar membaca memoar Haruki Murakami karena apa yang disampaikan sangat bisa diterapkan oleh siapa saja yang menyimpan cita-cita menjadi penulis.

Mau jadi penulis? Ya mulailah menulis. Jangan sekadar berhenti di cita-cita yang abstrak. Konkritkan. Menulis, menulis, dan menulis. Seperti Ade Rai yang mengangkat barbel demi membentuk otot-ototnya. Apa yang ditulis? Ya apa saja. Tulis apa yang ingin ditulis, atau apa yang ingin sekali dibaca. Setiap penulis punya unique voice. Cuma seringnya si unique voice itu bagai harta karun yang tertanam di dalam tanah. Butuh usaha ekstra untuk menemukannya. Dan bentuk usaha itu tak lain dan tak bukan adalah terus menulis. Menulislah, tanpa beban macam-macam, termasuk ambisi menjadi bestseller. Seperti Haruki Murakami yang menulis buku pertamanya sekedar mengikuti kata hati. Seperti Dee menulis Supernova : Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sekedar untuk memberi kado ulangtahun ke-25 bagi diri sendiri. Keduanya tak dengan sengaja menulis untuk jadi bestseller. Dan ketika akhirnya menjadi seperti itu adalah buah dari kesungguhan mengkonkritkan apa yang abstrak. Tujuan tetap harus ada, terukur dan jelas, sehingga jalan menuju kesana terpetakan dengan mudah. Mengikuti dan memuaskan kata hati dan membuat kado untuk diri sendiri contohnya. Tapi beban wajib dihilangkan. Karena beban hanya akan membuat macet segalanya. Intinya mau jadi penulis ya menulislah. Tulis yang apa yang kita sangat ingin tulis. Tulis apa yang kita sangat ingin baca. Tulis saja, tak perlu menunggu alter ego muncul. Dan ketika itu terwujud maka yang terasa adalah kelegaan karena seakan telah menuntaskan gatal yang selama ini tak kunjung usai.

Soal ide bagaimana? Jangan memitoskan ide. Ide datang darimana saja. Tak perlu sibuk dengan ritual khusus untuk mencari ide termasuk semedi dan termenung-menung. Penulis adalah pengamat. Amati sekitar. Perluas medan kesadaran. Karena pada dasarnya menjadi kreatif bukanlah semuluk membuat sesuatu yang berbeda sama sekali dan belum pernah ada. Menjadi kreatif bisa berupa keluar dari rutin, menjadi yang bukan kita biasanya. Dan ide akan hadir dengan sendirinya. Ide datang bertubi-tubi ketika tengah berhasil fokus menulis? Tak masalah. Ide-ide itu bukan musuh yang merusak fokus kita. Mereka adalah teman. Kumpulkan saja dan catat. Masukan dalam celengan ide. Lalu kembali fokus pada yang mempunyai deadline di depan mata. Begitu deadline tercapai, buka celengan ide. Pilah-pilih ide-ide yang di dalam sana untuk proyek menulis selanjutnya. Jadi tak ada ide yang terbuang pecuma kan?

Ah, soal deadline juga dikulik secara khusus.  Tentukan deadline dan pegang komitmentnya. Deadline bukan untuk mengancam, tapi untuk memberikan kepastian bahwa tujuan akan tercapai. Pecah deadline menjadi satuan terkecil berupa target harian. Jadi semisal berniat membuat tulisan 25000 kata. Jelas bahwa setahun ada 52 minggu. Jadi seminggu tanggungan Cuma 500 kata. Kalau di-break-down lagi misal seminggu cuma menulis 5 hari saja maka sehari hanya harus menulis 100 kata. Bayangkan, cuma 100 kata sehari dan di tahun berikutnya sudah ada satu buku siap tangan! Ehmmm, kalau sudah begitu apa yang menakutkan dari sebuah deadline? Tak ada.
Meramu cerita. Bagian ini sangat menarik karena Dee mengingatkan pada kebencian bersama akan yang namanya kerangka karangan. Okay, baiklah, mari sadari bahwa kerangka karangan itu mutlak perlu ketika yang ditulis sepanjang novel. Biar bisa mulai mencintai kerangka karangan, mari sebut saja namanya jadi pemetaan. Bentuknya terserah masing-masing. Yang harus diingat adalah fungsi pentingnya yaitu sebagai pulau-pulau transisi. Ibarat renang jarak jauh, pulau transisi adalah tempat tempat perhentian sejenak agar tak kehabisan nafas. Pulau-pulau ini juga turut menjaga perenang tetap ada di dalam jalur menuju tujuan. Oh iya, buat pemetaannya berdasarkan struktur tiga babak, yaitu :
1.       Babak I, yang isinya segala macam ‘perkenalan’ juga ‘dunia yang seharusnya’. Ini adalah babak awal cerita
2.       Babak II terbagi dalam babak IIA dan IIB. Babak IIA adalah ketika konflik mulai merambat naik dan sang tokoh terlempar keluar zona amannya. Sementara babak IIB berisi pertikaian seru antara ‘dunia seharusnya’ versus ‘dunia yang tak seharusnya’
3.       Babak III adalah ‘jawaban’ atas semua pertanyaan atau persoalan yang telah dimunculkan dalam babak-babak sebelumnya. Bisa meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban di babak ini jika memang berencana membuat sekuelnya.
Dee punya cara jitu untuk pembabakan itu, yaitu divisualkan menjadi empat karton (I, IIA, IIB, III). Tempel keempatnya di dinding. Lalu setiap kali mendapatkan ide adegan, kalimat, kata, dialog, atau apapun, tuliskan di kertas post it, lalu tempelkan di karton pada babak mana itu akan kita taruh. Kenapa post it? Untuk memudahkan kita menukar atau mengatur ulang urutannya jika memang diperlukan. Praktis sekali!

Mau tips-tips lain? Pertama, teknik ciprat-ciprat. Apaan tuh? Ini teknik ajib menulis darimanapun. Tak perlu selalu dari depan ke belakang. Dari tengah pun boleh. Dari ujung akhir pun oke. Toh nanti bisa digabung-gabungkan dengan edit. Berikutnya riset. Riset tak selalu harus datang mendatangi obyek walau mungkin itu yang terbaik. Mendapatkan data bisa dilakukan dengan riset pustaka (termasuk film), browsing di internet, dan wawancara terhadap orang-orang yang berkompeten. Lalu padukan semuanya, uji kebenarannya, baru masukkan ke dalam cerita. Ingat selalu bahwa fiksi dengan penggabungan sedikit fakta akan meningkatkan kepercayaan pembaca. Risetlah untuk mendapatkan fakta-fakta yang akan menguatkan fiksimu. Verisimilitute. Buat cerita seakan nyata bagi pembaca, tak hanya dengan ramuan fakta, tapi juga melibatkan panca indera. Gunakan dan libatkan panca indera dalam menulis cerita dan ternyata indera penciuman paling kuat untuk merangsang pembaca berimajinasi. Terapannya bisa berupa deskripsi sesuatu tak hanya berdasarkan pengamatan mata tapi juga dari penciuman (bau, tekstur). Penting untuk membawa pembaca berimajinasi sebab bagaimanapun pembaca perlu ruang untuk membentuk sendiri bayangannya sendiri tanpa terlalu didoktrin penulis.

Sekarang tips tentang pembentukan karakter. Buat karakter yang masih lekat dengan ciri-ciri kemanusiawiannya. Artinya, dia punya kebiasaan, keistimewaan, dan juga kelemahan. Lalu buat dia beraksi. Karakter yang sama sekali sempurna seringkali malah tak dipercaya nyata oleh pembaca. Sementara karakter yang bersifat selfness dan berkorban justru sangat mudah menarik hati dan perhatian.

Sekarang tips pamungkas. Buat naskah rapi, baik dalam hal ketikan maupun tanda baca. Pastikan halaman pertama sudah mampu merebut hati penerbit atau dewan juri jika naskah itu akan dikirimkan ke penerbit atau kompetisi. Sebab untuk kondisi seperti ini halaman pertama adalah segalanya.

Nah, bagaimana? Sekarang merasa sangat berenergi untuk menuliskah? Itulah yang saya rasakan!


Untuk Dee, terima kasih pakai banget nget nget nget.... *bungkukin badan*. 
Terima kasih Bentang Pustaka.... *bungkukin badan lagi*.