Rabu, 18 Juni 2014

World Cup 2014 dan Robot

Saya bukan murni penggemar sepak bola. Tapi World Cup selalu jadi event sepak bola  yang lebih istimewa bagi saya, dibanding dengan aneka liga klub. Karena menurut saya dalam World Cup tidak ada belanja pemain seperti yang bisa dilakukan di liga klub. Kalau di liga klub saya meyakini bahwa kemenangan tidak cuma ditentukan oleh kepiawaian pelatih dan pemain saja, tapi juga oleh seberapa kaya kocek klub. Klub yang kaya dengan gampang bisa berburu pemain yang sedang mencorong untuk mengisi posisi-posisi dalam lini permainannya. Juga bisa membayar pelatih yang berkualitas nomor satu untuk meramu permainannya. Duit berpengaruh besar. Lihat saja klub-klub kaya seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, dan sebagainya. Lihat bagaimana serunya bursa transfer pemain. Hitung saja berapa triliun uang yang bermain di dalamnya. Klub kaya tentu lebih berpeluang dibanding klub yang pas-pasan.


Hal yang berbeda di World Cup. Pemainnya ya seadanya saja karena dibatasi oleh identitas asal. Kalaupun ada belanja pemain, paling banter bentuknya naturalisasi. Dan belum tentu juga pemainnya bersedia dinaturalisasi. Paling banter lagi membayar tim pelatih yang kompeten untuk memoles sumber daya yang ‘seadanya’ itu. Memang masih bisa saja satu tim negara bertabur bintang. Sebut saja Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia. Tapi banyak juga yang bintangnya cuma satu dua, atau malah tak ada sama sekali. Justru disini menariknya. Yang bertabur bintang bisa saja malah tidak berhasil padu karena banyak ego yang tak takluk. Akhirnya malah pulang awal. Di sisi lain ada juga yang bintangnya satu dua atau malah tak ada bisa berhasil jadi kuda hitam karena polesan dan kerjasama yang oke. Tapi ada juga bintang yang jadi tak bersinar karena sumber daya sekelilingnya tak cukup mampu mengimbangi. Atau sebaliknya, pemain yang bukan bintang karena mungkin nasionalisme dan patriotisme tinggi jadi bersinar karena mati-matian membela bendera negaranya. Menarik kan?


Dan, tahun ini saya sangat menantikan gelaran World Cup 2014. Sungguh, saya yang bukan murni penggemar sepak bola ini menantikannya dengan sangat tak sabar, lebih dari World Cup-World Cup sebelumnya. Dari awal-awal tahun saya sudah berharap Juni segera datang. Berharap dengan hati penuh kemuakan. Ya, kemuakan akan politik. Tahun 2014 yang juga tahun Pemilu Indonesia ini sungguh memuakkan saya. Kalau sekedar mencoblos tentu tak membuat saya begitu mual. Tahun ini lain. Kampanye politik sangat aktif memanfaatkan dunia maya, masuk ke segala macam lini termasuk media sosial. Dan ironisnya materi kampanyenya tak berkualitas, terlebih ketika masuk ke Pilpres. Sudah materi tak berkualitas masih ditambah dengan penyampainya yang tak berkualitas juga. Lihat saja, semua intinya adalah menjelek-jelekkan kubu lawan, dengan data yang entah datang darimana dan entah bagaimana kebenarannya. Saya yakin tujuannya adalah menarik massa mengikuti pilihan mereka. Tapi mungkin mereka semua lupa bahwa yang punya otak dan hati tak cuma rombongan mereka saja. Semua orang bisa berpikir dan merasa. Dan sampai disini kampanye dengan cara menjelek-jelekkan seperti itu bisa saja jadi tak efektif.


Kondisi Pilpres 2014 menurut saya diperparah dengan adanya simpatisan-simpatisan militan yang cukup puas dan percaya dengan apa yang didoktrinkan oleh elit parpol. Simpatisan robot ini banyak sekali ditemukan di sosial media. Mereka cuma meng-copy paste apa yang disuruhkan oleh elite parpol. Men-share link-link yang isinya ya itu-itu saja. Lalu mendebat tak karuan siapa saja yang punya pemikiran berbeda. Lihat bagaimana mereka membela jagoan masing-masing seakan jagoan itu adalah orang suci yang sempurna. Mereka membeberkan data-data yang tentu saja pasokannya dari parpol. Data-data yang saya yakin mereka sendiri tak pernah tahu validitasnya. Menyedihkan sekaligus menjijikkan karena para robot itu benar-benar lupa bahwa ini adalah politik. Apapun bisa terjadi dalam politik. Sekarang lawan, besok bisa jadi kawan; demikian sebaliknya. Hal benar bisa diplintir jadi salah. Hal salah bisa dipoles penyampaiannya sehingga jadi seperti benar.


Jujur saja, saya sering kasihan melihat para robot militan ini. Rata-rata mereka bukanlah termasuk jajaran elit parpol yang ikut menggariskan kebijakan. Mereka adalah lapisan terluar dari jajaran parpol yang pasti tak akan mendapat panggilan jadi menteri atau dubes jika jagoannya menang. Tapi lihat bagaimana mereka berjibaku membela, sampai menghilangkan nalar dan hatinya. Bagaimana tidak disebut menghilangkan nalar dan hati kalau jelas begitu patuh disuruh menyebarkan materi yang menjelek-jelekkan orang. Tidakkah mereka berpikir bahwa jika materi itu salah berarti fitnah? Tidakkah mereka berpikir bahwa data itu perlu divalidasi kebenarannya sebelum diwartakan? Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka hal yang benar harus diperjuangkan dengan cara yang benar juga? Tidakkah mereka berpikir bahwa para elit parpol bukanlah orang suci sempurna yang benar dalam segala tindakannya?


Melihat para robot berjibaku terutama dalam kampanye saling menjelekkan ini jujur selalu membuat saya tertawa. Ya, saya harus bilang saya mentertawakan kebodohan mereka. Lihat panggung politik bangsa ini. Bersihkah? Sempurnakah? Tanpa manuverkah? Tanpa kongkalikongkah? Dilakoni oleh para malaikatkah?  Halooooooooo Robot, gunakan akal dan hati, dongggggg..... !


Satu hal yang saya nantikan adalah hasil akhir dari ini semua, siapa yang keluar sebagai pemenang. Lalu apa yang terjadi setelahnya. Mari kita lihat apakah kubu yang kalah akan ada yang menyeberang, berintegrasi dengan sang pemenang, yang artinya menjilat ludah sendiri. Hal yang sangat mungkin terjadi dalam politik. Karena ujung dari politik adalah kekuasaan. Lihat sejarah politik bangsa ini, niscaya akan terpampang jelas bagaiman parpol dan elitnya bermanuver dengan segala cara demi terangkul pemegang kekuasaan. Dan sejarah membuktikan menjilat ludah bukan hal yang tabu dalam politik. Jika ada yang seperti ini apalagi yang akan didoktrinkan kepada para robot untuk jadi alasan yang heroik? Dan pertanyaan selanjutnya, apakah para robot yang aslinya manusia itu tetap tak tergugah akal dan hatinya?


Jadi, World Cup 2014 ibarat oase bagi saya. Sungguh saya berharap agar perhatian banyak orang teralihkan ke sepak bola saja. Sehingga dagangan politik tak lagi cukup laku. Biarkan saja semuanya basi di luar lapangan. Agar para robot dan tuannya tahu bahwa untuk membuat laku dagangan mereka tak perlu dengan menjelek-jelekkan kompetitor dengan begitu sengit. Lebih jauh lagi agar semuanya punya waktu untuk berkaca betapa tak ada manusia sempurna yang bisa dipilih untuk memimpin negeri ini. Yang ada tetaplah manusia biasa. Dan justru ketika manusia biasa itu tak pongahlah maka dia bisa menjadi pemimpin yang baik.



SO, IT'S FOOTBALL TIME, ROBOT !