Saya bukan murni penggemar sepak bola. Tapi World Cup selalu jadi event
sepak bola yang lebih istimewa bagi
saya, dibanding dengan aneka liga klub. Karena menurut saya dalam World Cup
tidak ada belanja pemain seperti yang bisa dilakukan di liga klub. Kalau di
liga klub saya meyakini bahwa kemenangan tidak cuma ditentukan oleh kepiawaian
pelatih dan pemain saja, tapi juga oleh seberapa kaya kocek klub. Klub yang
kaya dengan gampang bisa berburu pemain yang sedang mencorong untuk mengisi
posisi-posisi dalam lini permainannya. Juga bisa membayar pelatih yang
berkualitas nomor satu untuk meramu permainannya. Duit berpengaruh besar. Lihat
saja klub-klub kaya seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea,
dan sebagainya. Lihat bagaimana serunya bursa transfer pemain. Hitung saja
berapa triliun uang yang bermain di dalamnya. Klub kaya tentu lebih berpeluang
dibanding klub yang pas-pasan.
Hal yang berbeda di World Cup. Pemainnya ya seadanya saja karena dibatasi
oleh identitas asal. Kalaupun ada belanja pemain, paling banter bentuknya
naturalisasi. Dan belum tentu juga pemainnya bersedia dinaturalisasi. Paling
banter lagi membayar tim pelatih yang kompeten untuk memoles sumber daya yang ‘seadanya’
itu. Memang masih bisa saja satu tim negara bertabur bintang. Sebut saja
Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia. Tapi banyak juga yang bintangnya cuma satu
dua, atau malah tak ada sama sekali. Justru disini menariknya. Yang bertabur
bintang bisa saja malah tidak berhasil padu karena banyak ego yang tak takluk.
Akhirnya malah pulang awal. Di sisi lain ada juga yang bintangnya satu dua atau
malah tak ada bisa berhasil jadi kuda hitam karena polesan dan kerjasama yang
oke. Tapi ada juga bintang yang jadi tak bersinar karena sumber daya
sekelilingnya tak cukup mampu mengimbangi. Atau sebaliknya, pemain yang bukan
bintang karena mungkin nasionalisme dan patriotisme tinggi jadi bersinar karena
mati-matian membela bendera negaranya. Menarik kan?
Dan, tahun ini saya sangat menantikan gelaran World Cup 2014. Sungguh, saya
yang bukan murni penggemar sepak bola ini menantikannya dengan sangat tak
sabar, lebih dari World Cup-World Cup sebelumnya. Dari awal-awal tahun saya
sudah berharap Juni segera datang. Berharap dengan hati penuh kemuakan. Ya,
kemuakan akan politik. Tahun 2014 yang juga tahun Pemilu Indonesia ini sungguh
memuakkan saya. Kalau sekedar mencoblos tentu tak membuat saya begitu mual.
Tahun ini lain. Kampanye politik sangat aktif memanfaatkan dunia maya, masuk ke
segala macam lini termasuk media sosial. Dan ironisnya materi kampanyenya tak
berkualitas, terlebih ketika masuk ke Pilpres. Sudah materi tak berkualitas
masih ditambah dengan penyampainya yang tak berkualitas juga. Lihat saja, semua
intinya adalah menjelek-jelekkan kubu lawan, dengan data yang entah datang darimana
dan entah bagaimana kebenarannya. Saya yakin tujuannya adalah menarik massa
mengikuti pilihan mereka. Tapi mungkin mereka semua lupa bahwa yang punya otak
dan hati tak cuma rombongan mereka saja. Semua orang bisa berpikir dan merasa. Dan
sampai disini kampanye dengan cara menjelek-jelekkan seperti itu bisa saja jadi
tak efektif.
Kondisi Pilpres 2014 menurut saya diperparah dengan adanya
simpatisan-simpatisan militan yang cukup puas dan percaya dengan apa yang
didoktrinkan oleh elit parpol. Simpatisan robot ini banyak sekali ditemukan di
sosial media. Mereka cuma meng-copy paste apa yang disuruhkan oleh elite
parpol. Men-share link-link yang isinya ya itu-itu saja. Lalu mendebat tak
karuan siapa saja yang punya pemikiran berbeda. Lihat bagaimana mereka membela
jagoan masing-masing seakan jagoan itu adalah orang suci yang sempurna. Mereka
membeberkan data-data yang tentu saja pasokannya dari parpol. Data-data yang
saya yakin mereka sendiri tak pernah tahu validitasnya. Menyedihkan sekaligus
menjijikkan karena para robot itu benar-benar lupa bahwa ini adalah politik. Apapun
bisa terjadi dalam politik. Sekarang lawan, besok bisa jadi kawan; demikian
sebaliknya. Hal benar bisa diplintir jadi salah. Hal salah bisa dipoles
penyampaiannya sehingga jadi seperti benar.
Jujur saja, saya sering kasihan melihat para robot militan ini. Rata-rata
mereka bukanlah termasuk jajaran elit parpol yang ikut menggariskan kebijakan. Mereka
adalah lapisan terluar dari jajaran parpol yang pasti tak akan mendapat
panggilan jadi menteri atau dubes jika jagoannya menang. Tapi lihat bagaimana
mereka berjibaku membela, sampai menghilangkan nalar dan hatinya. Bagaimana
tidak disebut menghilangkan nalar dan hati kalau jelas begitu patuh disuruh
menyebarkan materi yang menjelek-jelekkan orang. Tidakkah mereka berpikir bahwa
jika materi itu salah berarti fitnah? Tidakkah mereka berpikir bahwa data itu
perlu divalidasi kebenarannya sebelum diwartakan? Tidakkah mereka berpikir
bahwa mereka hal yang benar harus diperjuangkan dengan cara yang benar juga?
Tidakkah mereka berpikir bahwa para elit parpol bukanlah orang suci sempurna
yang benar dalam segala tindakannya?
Melihat para robot berjibaku terutama dalam kampanye saling menjelekkan ini
jujur selalu membuat saya tertawa. Ya, saya harus bilang saya mentertawakan
kebodohan mereka. Lihat panggung politik bangsa ini. Bersihkah? Sempurnakah? Tanpa
manuverkah? Tanpa kongkalikongkah? Dilakoni oleh para malaikatkah? Halooooooooo Robot, gunakan akal dan hati,
dongggggg..... !
Satu hal yang saya nantikan adalah hasil akhir dari ini semua, siapa yang
keluar sebagai pemenang. Lalu apa yang terjadi setelahnya. Mari kita lihat
apakah kubu yang kalah akan ada yang menyeberang, berintegrasi dengan sang
pemenang, yang artinya menjilat ludah sendiri. Hal yang sangat mungkin terjadi
dalam politik. Karena ujung dari politik adalah kekuasaan. Lihat sejarah
politik bangsa ini, niscaya akan terpampang jelas bagaiman parpol dan elitnya
bermanuver dengan segala cara demi terangkul pemegang kekuasaan. Dan sejarah
membuktikan menjilat ludah bukan hal yang tabu dalam politik. Jika ada yang
seperti ini apalagi yang akan didoktrinkan kepada para robot untuk jadi alasan
yang heroik? Dan pertanyaan selanjutnya, apakah para robot yang aslinya manusia
itu tetap tak tergugah akal dan hatinya?
Jadi, World Cup 2014 ibarat oase bagi saya. Sungguh saya berharap agar
perhatian banyak orang teralihkan ke sepak bola saja. Sehingga dagangan politik
tak lagi cukup laku. Biarkan saja semuanya basi di luar lapangan. Agar para
robot dan tuannya tahu bahwa untuk membuat laku dagangan mereka tak perlu
dengan menjelek-jelekkan kompetitor dengan begitu sengit. Lebih jauh lagi agar
semuanya punya waktu untuk berkaca betapa tak ada manusia sempurna yang bisa
dipilih untuk memimpin negeri ini. Yang ada tetaplah manusia biasa. Dan justru
ketika manusia biasa itu tak pongahlah maka dia bisa menjadi pemimpin yang
baik.
SO, IT'S FOOTBALL TIME, ROBOT !