Rabu, 28 Januari 2015

Maaf, Saya Me-remove Akun Anda

Kemarin dengan terpaksa saya me-remove sebuah akun dari friend list facebook saya. Disebut terpaksa karena ini bukan hal yang biasa saya lakukan, walau sebelumnya pernah juga. Sejak beberapa tahun yang lalu saya menggunakan facebook sebagai tempat mencari makan alias jualan. Sejak itu saya berupaya mereka-mereka yang ada di friend list saya adalah mereka yang bisa jadi pasar untuk produk yang saya jual atau paling tidak adalah mereka yang memang sudah saya kenal secara pribadi. Dengan tujuan itu memang saya beberapa kali remove akun atau ignore friend request yang tidak sesuai. Dan itu sebenarnya saya lakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan karena menurut saya di-remove atau di-ignore walau prakteknya hanya secara virtual bagi orang-orang tertentu tetap menyakitkan.

Nah, kembali ke akun yang saya remove kemarin. Seperti banyak akun di friend list saya, pemilik akun tersebut tidak saya kenal secara pribadi. Saya juga lupa sejak kapan dia ada di friend list saya dan apakah saya pernah bertransaksi dengannya. Yang pasti saya pernah terlibat komen-mengkomen dengannya. Begini ceritanya. Dugaan saya si pemilik akun adalah kader sebuah partai yang tak termasuk koalisi pemenang pilpres tempo hari, tak perlu disebut nama partainya. Dan mungkin dengan maksud mengkritisi, dia sering posting status yang intinya menyorot kebijakan pemerintah dengan segenap jajarannya dan segala atributnya. Sebenarnya sampai disini saya sih oke oke saja, wong waktu pilpres saya mencoblos kedua kandidat. Jelas kan kemana keberpihakan saya secara politik saat itu. Yang kemudian jadi mengganggu adalah postingan status itu makin lama makin terasa negatif dan menafikan logika. Ujung-ujungnya selalu golongan dia yang terbaik. Awalnya saya sekedar mencebik setiap kali membaca statusnya. Tapi kok lama-lama saya terganggu, sangat terganggu malah. Dan sialnya saya tidak bisa begitu saja melewatkan postingan status itu karena seperti yang lain terbaca oleh saya. Akhirnya tiba saat saya tak tahan untuk tidak memberi komentar, sekedar membuatnya berpikir dari sisa yang lain.

Waktu itu pas ramai gonjang-ganjing soal calon Kapolri. Presiden mengajukan ke DPR satu nama calon Kapolri yang dianggap publik bermasalah terkait dengan dugaan rekening gendut. Konon kabarnya si Presiden memilih yang bersangkutan karena desakan politik. Nama sudah masuk DPR dan komisi III bersiap melakukan fit and proper test ketika KPK memberikan status tersangka kepada calon tersebut. Ramailah se-Indonesia Raya. Tak ada penarikan dari Presiden. Fit and proper test dan paripurna terhadap si calon tetap digelar juga. Dan hasilnya adalah si calon mulus disetujui oleh anggota dewan. Menanggapi ini semua si akun yang saat itu belum saya remove berkicau menyalahkan Presiden yang memilih orang yang tak berkualitas seperti itu. Saya yang membacanya langsung tercenung. Ada satu mata rantai yang dia lupakan atau mungkin dia hilangkan dalam hal ini, yaitu kenyataan bahwa partainya ikut menyetujui pilihan Presiden itu. Berkomentarlah saya dengan sindiran bahwa ironisnya Cuma satu partai yang menolak, lainnya mengiyakan pilihan Presiden tersebut. Tak butuh waktu lama untuk mendapat balasannya. Katanya lha wong disodorinnya barang jelek ya salah yang nyodori, makanya sekarang silahkan bingung sendiri. Jujur saya kaget sekali membaca itu sampai berpikir andai dia bukan kader partai manapun seperti saya akankah dia tetap berpendapat begitu? Tak tahan saya balas dengan kalimat yang lebih kasar, intinya saya bilang kalau DPR mengiyakan begitu saja ketika rakyatnya diberi sesuatu yang tak baik berarti itu DPR benar wakil rakyat bukan? Kalau yang begitu diiyakan saja padahal punya hak untuk menolak, terus sebenarnya DPR mewakili siapa? Komentar saya ini memancing teman-teman dia untuk ‘turun’ membantu. Sebuah akun lain langsung menguraikan betapa DPR dalam hal itu sudah benar melakukan tugasnya. Bewrpoin-poin dia menceramahi saya, dan intinya tetap sama DPR sudah berlaku benar. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, jika dia bukan kader partai akankah pendapatnya tetap begitu?  Frontal saya tegaskan dalam komentar saya berikutnya bahwa saya berbeda pendapat dengan mereka. Menurut saya, Presiden salah ketika tak menarik pengajuannya begitu KPK menetapkan si kandidat sebagai tersangka, pun ketika dia beralasan memegang prinsip praduga tak bersalah. Dan saya sepakat dengan seorang pengalamat yang bilang ketika DPR mengiyakan pun seharusnya Presiden tetap bisa berkirim surat menjelaskan kondisi terkini dan mengajukan kembali satu nama. Tapi tak dilakukan dengan alasan yang tentu sebagai jelata saya tak tahu persis. Tapi saya menyalahkan Presiden dalam hal ini. Lalu DPR menurut saya ketika dia mendengar penetapan KPK, seharusnya dia bisa menggunakan haknya untuk menolak dan meminta Presiden memberikan alternatif lain. Ini bukan berarti DPR bisa dikendalikan oleh KPK, tapi ini masalah memberikan yang terbaik untuk rakyat sesuai kewajiban mereka sebagai wakil rakyat. Menolak toh bukan berarti memberikan vonis si calon pasti bersalah. Ada kepentingan yang lebih besar dari sekedar menjaga perasaan satu orang saja. Logikanya jika DPR adalah orang tua dan rakyat adalah anaknya, akankah orang tua yang baik mencekoki anaknya dengan barang yang belum jelas baik buruknya? Tegas saya bilang di komentar balasan saya bahwa dalam hal ini Presiden dan DPR telah sama-sama tak melakukan tugasnya dengan benar. Yang tugasnya menyodorkan ehhhh nyodorin yang kurang jelas baik buruknya. Sementara yang disodori iya-iya aja dengan alasan lha wong itu yang disodori ya glek aja. Lha betapa bodohnya jika logika itu yang digunakan oleh kumpulan wakil rakyat yang terhormat itu!

Ah, jujur saya menulis postingan kali ini dengan kemarahan yang belum surut. Saya marah bukan karena mereka tak sependapat dengan saya. Saya marah karena disaat ada hal yang bisa dilakukan untuk mencegah suatu keburukan, mereka melewatkannya sekedar karena politik yang egois. Jujur saya heran dengan mereka yang ngotot berusaha meraih kekuasaan dengan keyakinan bahwa mereka akan membuat semuanya langsung baik begitu berkuasa. Mereka lupa bahwa mereka tetap manusia. Manusia tak bisa menjamin dirinya tetap sama baik dari waktu ke waktu. Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan mampu membuat orang baik pun jadi kejebur jurang karena lupa dan terlena.

Saya apatis, begitu seorang teman yang politisi sebuah partai. Dia bilang saya tak percaya keadaan bisa diperbaiki. Ya, saya memang tak percaya semua carut marut negara ini bisa diperbaiki. Tapi maksud saya adalah saya tidak percaya itu bisa diperbaiki dalam sekejap. Apalagi jika itu yang bicara adalah sebuah partai. Tidak, Kawan, negara ini tak bisa diperbaiki hanya dengan naiknya satu golongan kepada tampuk kekuasaan tanpa sportivitas dari golongan yang lainnya untuk menerima. Tanpa sportivitas itu golongan yang berhasil naik hanya akan sibuk dengan upaya mempertahankan tahtanya, sehingga lupa akan semua cita-cita baik dan ketulusan untuk merangkul golongan lainnya. Sementara golongan yang belum berhasil meraih kekuasaan hanya akan sibuk mengerahkan energi untuk melengserkan yang ada di atasnya. Tanpa sportivitas adanya cuma yang menang dan kalah belaka.


Jadi, kemarin saya terpaksa me-remove sebuah akun karena tak tahan dengan energi negatifnya.