Kemarin dengan terpaksa saya me-remove sebuah akun dari friend list
facebook saya. Disebut terpaksa karena ini bukan hal yang biasa saya lakukan,
walau sebelumnya pernah juga. Sejak beberapa tahun yang lalu saya menggunakan
facebook sebagai tempat mencari makan alias jualan. Sejak itu saya berupaya
mereka-mereka yang ada di friend list saya adalah mereka yang bisa jadi pasar
untuk produk yang saya jual atau paling tidak adalah mereka yang memang sudah
saya kenal secara pribadi. Dengan tujuan itu memang saya beberapa kali remove
akun atau ignore friend request yang tidak sesuai. Dan itu sebenarnya saya
lakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan karena menurut saya di-remove
atau di-ignore walau prakteknya hanya secara virtual bagi orang-orang tertentu
tetap menyakitkan.
Nah, kembali ke akun yang saya remove kemarin. Seperti banyak akun di
friend list saya, pemilik akun tersebut tidak saya kenal secara pribadi. Saya
juga lupa sejak kapan dia ada di friend list saya dan apakah saya pernah
bertransaksi dengannya. Yang pasti saya pernah terlibat komen-mengkomen
dengannya. Begini ceritanya. Dugaan saya si pemilik akun adalah kader sebuah
partai yang tak termasuk koalisi pemenang pilpres tempo hari, tak perlu disebut
nama partainya. Dan mungkin dengan maksud mengkritisi, dia sering posting
status yang intinya menyorot kebijakan pemerintah dengan segenap jajarannya dan
segala atributnya. Sebenarnya sampai disini saya sih oke oke saja, wong waktu
pilpres saya mencoblos kedua kandidat. Jelas kan kemana keberpihakan saya
secara politik saat itu. Yang kemudian jadi mengganggu adalah postingan status
itu makin lama makin terasa negatif dan menafikan logika. Ujung-ujungnya selalu
golongan dia yang terbaik. Awalnya saya sekedar mencebik setiap kali membaca
statusnya. Tapi kok lama-lama saya terganggu, sangat terganggu malah. Dan
sialnya saya tidak bisa begitu saja melewatkan postingan status itu karena
seperti yang lain terbaca oleh saya. Akhirnya tiba saat saya tak tahan untuk
tidak memberi komentar, sekedar membuatnya berpikir dari sisa yang lain.
Waktu itu pas ramai gonjang-ganjing soal calon Kapolri. Presiden mengajukan
ke DPR satu nama calon Kapolri yang dianggap publik bermasalah terkait dengan
dugaan rekening gendut. Konon kabarnya si Presiden memilih yang bersangkutan
karena desakan politik. Nama sudah masuk DPR dan komisi III bersiap melakukan
fit and proper test ketika KPK memberikan status tersangka kepada calon
tersebut. Ramailah se-Indonesia Raya. Tak ada penarikan dari Presiden. Fit and
proper test dan paripurna terhadap si calon tetap digelar juga. Dan hasilnya
adalah si calon mulus disetujui oleh anggota dewan. Menanggapi ini semua si
akun yang saat itu belum saya remove berkicau menyalahkan Presiden yang memilih
orang yang tak berkualitas seperti itu. Saya yang membacanya langsung
tercenung. Ada satu mata rantai yang dia lupakan atau mungkin dia hilangkan
dalam hal ini, yaitu kenyataan bahwa partainya ikut menyetujui pilihan Presiden
itu. Berkomentarlah saya dengan sindiran bahwa ironisnya Cuma satu partai yang
menolak, lainnya mengiyakan pilihan Presiden tersebut. Tak butuh waktu lama
untuk mendapat balasannya. Katanya lha wong disodorinnya barang jelek ya salah
yang nyodori, makanya sekarang silahkan bingung sendiri. Jujur saya kaget
sekali membaca itu sampai berpikir andai dia bukan kader partai manapun seperti
saya akankah dia tetap berpendapat begitu? Tak tahan saya balas dengan kalimat
yang lebih kasar, intinya saya bilang kalau DPR mengiyakan begitu saja ketika
rakyatnya diberi sesuatu yang tak baik berarti itu DPR benar wakil rakyat
bukan? Kalau yang begitu diiyakan saja padahal punya hak untuk menolak, terus
sebenarnya DPR mewakili siapa? Komentar saya ini memancing teman-teman dia
untuk ‘turun’ membantu. Sebuah akun lain langsung menguraikan betapa DPR dalam
hal itu sudah benar melakukan tugasnya. Bewrpoin-poin dia menceramahi saya, dan
intinya tetap sama DPR sudah berlaku benar. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati,
jika dia bukan kader partai akankah pendapatnya tetap begitu? Frontal saya tegaskan dalam komentar saya
berikutnya bahwa saya berbeda pendapat dengan mereka. Menurut saya, Presiden
salah ketika tak menarik pengajuannya begitu KPK menetapkan si kandidat sebagai
tersangka, pun ketika dia beralasan memegang prinsip praduga tak bersalah. Dan
saya sepakat dengan seorang pengalamat yang bilang ketika DPR mengiyakan pun
seharusnya Presiden tetap bisa berkirim surat menjelaskan kondisi terkini dan
mengajukan kembali satu nama. Tapi tak dilakukan dengan alasan yang tentu
sebagai jelata saya tak tahu persis. Tapi saya menyalahkan Presiden dalam hal
ini. Lalu DPR menurut saya ketika dia mendengar penetapan KPK, seharusnya dia
bisa menggunakan haknya untuk menolak dan meminta Presiden memberikan
alternatif lain. Ini bukan berarti DPR bisa dikendalikan oleh KPK, tapi ini
masalah memberikan yang terbaik untuk rakyat sesuai kewajiban mereka sebagai
wakil rakyat. Menolak toh bukan berarti memberikan vonis si calon pasti
bersalah. Ada kepentingan yang lebih besar dari sekedar menjaga perasaan satu
orang saja. Logikanya jika DPR adalah orang tua dan rakyat adalah anaknya,
akankah orang tua yang baik mencekoki anaknya dengan barang yang belum jelas
baik buruknya? Tegas saya bilang di komentar balasan saya bahwa dalam hal ini
Presiden dan DPR telah sama-sama tak melakukan tugasnya dengan benar. Yang
tugasnya menyodorkan ehhhh nyodorin yang kurang jelas baik buruknya. Sementara
yang disodori iya-iya aja dengan alasan lha wong itu yang disodori ya glek aja.
Lha betapa bodohnya jika logika itu yang digunakan oleh kumpulan wakil rakyat
yang terhormat itu!
Ah, jujur saya menulis postingan kali ini dengan kemarahan yang belum
surut. Saya marah bukan karena mereka tak sependapat dengan saya. Saya marah
karena disaat ada hal yang bisa dilakukan untuk mencegah suatu keburukan,
mereka melewatkannya sekedar karena politik yang egois. Jujur saya heran dengan
mereka yang ngotot berusaha meraih kekuasaan dengan keyakinan bahwa mereka akan
membuat semuanya langsung baik begitu berkuasa. Mereka lupa bahwa mereka tetap
manusia. Manusia tak bisa menjamin dirinya tetap sama baik dari waktu ke waktu.
Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan mampu membuat orang baik pun jadi kejebur
jurang karena lupa dan terlena.
Saya apatis, begitu seorang teman yang politisi sebuah partai. Dia bilang
saya tak percaya keadaan bisa diperbaiki. Ya, saya memang tak percaya semua
carut marut negara ini bisa diperbaiki. Tapi maksud saya adalah saya tidak
percaya itu bisa diperbaiki dalam sekejap. Apalagi jika itu yang bicara adalah
sebuah partai. Tidak, Kawan, negara ini tak bisa diperbaiki hanya dengan
naiknya satu golongan kepada tampuk kekuasaan tanpa sportivitas dari golongan
yang lainnya untuk menerima. Tanpa sportivitas itu golongan yang berhasil naik
hanya akan sibuk dengan upaya mempertahankan tahtanya, sehingga lupa akan semua
cita-cita baik dan ketulusan untuk merangkul golongan lainnya. Sementara
golongan yang belum berhasil meraih kekuasaan hanya akan sibuk mengerahkan
energi untuk melengserkan yang ada di atasnya. Tanpa sportivitas adanya cuma
yang menang dan kalah belaka.
Jadi, kemarin saya terpaksa me-remove sebuah akun karena tak tahan dengan energi negatifnya.