Jumat, 27 Maret 2015

Yang Tak Akan Putus....

Dalam dua bulan ini saya menonton tiga film yang semuanya punya dua kesamaan, yaitu bicara tentang hubungan keluarga dan ceritanya benar menyentuh hati. Film-film tersebut adalah The Judge, After Shock, dan Still Alice. Mungkin sebenarnya menonton ketiganya adalah ketidaksengajaan karena toh alasannya juga beda-beda. The Judge memang saya tonton karena si pemain; Robert Downey Jr; adalah aktor gandrungan saya. Bukan secara kualitas akting, tapi lebih ke fisiknya .... Pendek kata, ganteng nian gitu lhooohh.... Sementara After Shock dikirimkan oleh seorang sahabat dengan embel-embel musti nonton karena efek buatan untuk peristiwa gempanya menurut dia bagus. Agak heran juga dengan kata pengantar itu karena toh saya bukan orang yang tergila-gila dengan efek-efek film seperti itu. Tapi saya tonton juga. Sementara Still Alice juga saya dapatkan dari sahabat yang lain sebagai gift bersama dua film lain berikut dua bungkus biskuit coklat yang enak. Dan sebenarnya film tersebut hanya sebagai pengganti karena film yang saya inginkan tak bisa didapatkannya.

Mulai dari The Judge ya. Ehmmmm, tak perlulah membahas betapa ganteng dan keren si RDJ di situ. Yang satu itu dikalahkan oleh makna dari keseluruhan cerita tentang hubungan ayah dan anak lelakinya. Seorang ayah pada dasarnya tak jauh beda dengan ibu. Ayah juga punya kecintaan terhadap anak-anaknya walau mungkin tak seekspresif ibu. Dengan caranya sendiri, seorang ayah mencintai dan melindungi keluarganya, bahkan terhadap anak yang dirasa tak mampu diatasinya sekalipun. Dan seperti biasa, butuh waktu bagi anak untuk mengerti semua itu dengan bijak. Dan sering waktu disini berarti belasan tahun.

After Shock. Saya tak tahu film ini diputar di bioskop Indonesia atau tidak. Saya meragukannya karena sebelumnya saya tak pernah mendengar judulnya dan lagi film ini produksi Tiongkok. Tapi mungkin juga saya salah. Film ini bercerita tentang akibat gempa besar di Tiongkok. Akibat tertimbun puing, seorang ibu harus memilih mana di antara dua anaknya yang diselamatkan karena tak mungkin menyelamatkan keduanya dalam kondisi minim bantuan dan tak ada alat berat. Sebuah permintaan yang muskil tapi harus diputuskan. Setelah mengulur waktu akhirnya sang ibu memilih menyelamatkan anak lelakinya yang berarti mengorbankan si anak perempuan. Putusan yang menyakitkan bagi semuanya, tak hanya bagi si ibu tapi juga untuk kedua anak yang di dalam puing masih mendengar itu. Mukjizat bekerja, si anak perempuan yang terpaksa ditinggalkan di bawah puing dan dikira mati ternyata bisa selamat ketika bala bantuan yang lebih besar dan lengkap datang. Namun pilihan sang ibu membuatnya memutuskan hidup tanpa keluarga kandungnya. Puluhan tahun kemudian baru terbukti tak ada yang menjalani hidup dengan normal dan bahagia setelah itu. Tidak sang ibu, tidak si saudara laki-laki, dan tentu tidak pula si anak perempuan.

Film ketiga, Still Alice, tentang seorang intelektual terkemuka, ahli linguistik yang kemudian mendapati dirinya mengidap alzheimer. Pukulan yang berat, tak hanya untuknya yang kasarnya mengandalkan kemampuan otaknya untuk bekerja. Dan lebih berat lagi ketika ternyata alzheimer yang dideritanya termasuk langka dan bisa menurun ke anak-anaknya. Tragedi berlanjut. Alice tak lagi punya kuasa atas memori di otaknya, semua hilang dengan bertahap tapi pasti. Saat seperti itulah kekuatan sebuah hubungan diuji. Kekuatan hubungan pernikahan dengan suaminya, kekuatan hubungan darah dengan anak-anaknya. Dan Alice termasuk yang menurut saya cukup beruntung dalam hal ini. Ada suami yang relatif tetap ada disampingnya, ada anak-anak yang dengan sadar pulang kepadanya.

Menonton ketiganya membuat saya tersindir, lalu diam-diam mengevaluasi hubungan dengan orangtua. Saya termasuk yang percaya bahwa hubungan orangtua dan anak itu hubungan tak putus. Naik turun iya, tapi tak akan putus. Saya melihat apa yang terjadi pada diri sendiri. Sungguh saya merasa bukan pribadi yang sama dengan yang dulu keluar dari rumah orangtua saya. Lebih dari dua puluh tahun hidup sendiri membuat saya berubah. Dan sebagai manusia biasa tentu tak semua perubahan itu baik. Salah satu yang menonjol adalah keras kepala dan temperamental. Saya sadar betul ini tapi juga kesulitan mengendalikannya. Ketika akhirnya memutuskan pulang kembali tinggal bersama orangtua, hal itu langsung terasa oleh orangtua saya. Dan terjadilah apa yang tadi saya sebut hubungan yang fluktuatif naik turun. Kadang saya percaya bahwa sebenarnya bukan cuma saya yang berubah, tapi orangtua saya juga. Tapi saya tak bisa memastikan itu. Yang jelas inilah saya sekarang. Saya tetap anak mereka walau sudah mengalami aneka ragam modifikasi sesuai masa hidup saya. Hal yang saya yakini tak terelakkan.

Yes, sampai detik ini saya berusaha memperbaiki diri demi hubungan yang harmonis dengan orangtua. Ah, mari saya luruskan dulu tentang kualitas hubungan yang saya maksud. Dari dulu memang saya bukan termasuk anak baik yang selalu patuh. Saya termasuk yang nakal walau masih jauh dari kriminal. Orangtua masih punya kekuasaan penuh atas saya dan mengakui itu. Lalu tiba saatnya untuk keluar dari rumah demi kuliah, terus bekerja dan mampu menghidupi diri sendiri. Apapun yang saya lalui selama kurun waktu itu membuat saya berproses menjadi pribadi hari ini. Dan saya percaya orangtua saya juga berproses ketika kami tak sedang bersama. Dan ketika berkumpul kembali jadinya mesti belajar lagi mengenali satu sama lain, memetakan perubahan yang terjadi. Lalu terjadi debat-debat yang dulu tak pernah terjadi. Tak sampai fatal, tapi bagaimanapun pasti menyisakan kecewa di masing-masing dari kami. Sungguh, sampai detik ini saya percaya it takes two to tango, butuh kontribusi dua belah pihak untuk mebuat hubungan yang harmonis. Tapi sungguh saya juga sadar posisi saya sebagai anak. Bukan posisi yang subordinat sebenarnya, hanya posisi yang membuat saya seharusnya lebih merendahkan ego karena mereka; orangtua saya; telah berbuat jauh lebih banyak ketimbang yang pernah saya lakukan untuk mereka. Balas budi? Saya termasuk yang tak percaya orangtua yang baik meminta balas budi dari anaknya. Tapi saya termasuk yang percaya seorang anak harus menghargai banyak hal yang dilakukan orangtuanya.

Sekali lagi, saya sangat percaya hubungan orangtua dan anak tak akan putus, hanya naik dan turun. Lihat contoh di adegan di The Judge ketika seorang Hank yang membenci ayahnya akhirnya luluh juga ketika mendapati yang dibenci bahkan tak cukup mampu membersihkan ceceran kotorannya sendiri. After Shock juga mencontohkan bagaimana seorang Deng berbalik membenci dirinya ketika melihat sang ibu menepati janji, puluhan tahun menaruh tomat di meja saji bersama dupa di depan foto ayah dan dirinya yang disangka telah mati. Lihat juga adegan terakhir di Still Alice yang menggambarkan Alice yang tak mampu lagi mengerti kata-kata Lidya dan ngawur menjawab bahwa apa yang diucapkan anaknya adalah tentang cinta. Dan Lidya pun menyetujuinya, yes, it’s about love.
 

Ya, ini adalah jenis cinta yang tak pernah putus, hanya saja seperti laut, dia mengalami pasang surut. Saya percaya ini. Setuju? 

gambar ilustrasi dipinjam dari http://www.clipartpanda.com/clipart_images/mother-daughter-conflict-56266909

Sabtu, 14 Maret 2015

Menanti Sebuah Grand Design

Judul  buku               : GELOMBANG
Pengarang                : Dee Lestari
Penerbit                     : Bentang
Tebal                          : x + 482 halaman
Cetakan                     : 2014




            Sampai hari ini, hanya satu buku yang sanggup memaksa saya untuk pre-order. Dan satu buku itu adalah Gelombang karya Dee Lestari. Ya, Gelombang, bukan sekuel-sekuel Harry Potter, bukan Inferno-nya Dan Brown. Dan begitu menyelesaikan halamana terakhir saya juga langsung mengirimkan kicauan pada sang penulis berupa pertanyaan dimana saya bisa pre-order sekuel selanjutnya. Cuma sayangnya tak dibalas.

            Dee Lestari, atau aslinya Dewi Lestari, termasuk yang disebut kalangan kritikus sebagai bagian dari sastra wangi ketika pertama kali muncul dengan Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Dan dari sekian para sastra(wan) wangi itu hanya Dee Lestari dan Ayu Utami yang saya ikuti sampai sekarang. Tapi bukan berarti saya selalu puas dengan semua buku Dee. Jujur saja, ketika banyak yang memuji Perahu Kertas, saya tidak termasuk di dalamnya walau tak juga bilang itu jelek. Saya cuma menganggap tidak menemukan seorang Dee yang sesungguhnya di dalam Perahu Kertas. Atau mungkin kalimat seharusnya adalah saya tidak menemukan Dee yang saya inginkan di dalam sana? Entahlah. Yang pasti, Dee yang sesungguhnya menurut saya dan tentu yang saya inginkan adalah Dee yang ‘melahirkan’ sekian keping Supernova.

            Kini Gelombang telah lahir. Begitu menerima dari kurir ekspedisi, saya tak tahan untuk segera menuntaskan semua tanggungan pekerjaan hari itu, lalu naik ke tempat tidur, menyangga kepala dengan tiga bantal, dan membacanya. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya (sehari lebih sedikit) walau sebenarnya saya berniat mengirit-irit. Hasilnya? Ehmmmmm ... ingin sekali melihat sosok hidup dari Alfa, dr Kalden, dan Nicky.

            Alfa dan dunia mimpinya lagi-lagi membius. Dan seperti sebelum-sebelumnya, saya mempercayai setiap kata yang ditulis oleh Dee. Membuat saya memandang tidur dan mimpi dengan persepsi yang berbeda dari biasanya. Tidur tak lagi sekedar rebah lalu vakum selama beberapa jam. Dan mimpi jadi tak lagi sekedar bunga dari tidur yang tak berarti banyak. Saya jadi kagum pada yang namanya tidur dan mimpi. Lalu bertanya-tanya, darimana Dee punya ide untuk menulis tentang dua hal itu? Dan selanjutnya, bagaimana dia bisa begitu pintar mengolahnya menjadi cerita ratusan halaman yang akhirnya membius saya? Bagaimana risetnya? Bagaimana mikirnya? Bagaimana...? Bagaimana ...? Berapa banyak bagaimana saya tak tahu persis. Yang pasti banyak!

            Tapi sebenarnya saya juga punya uneg-uneg tentang Gelombang walau tetap menyanjung dan menyukainya. Gelombang bagi saya agak terlalu kental kesamaannya dengan Partikel. Ketebalan yang mirip-mirip tentu tak masuk hitungan. Saya tak tahu apa sebutan yang tepat, yang pasti saya merasa menemukan pola yang sama dalam Partikel dan Gelombang, hal yang tak saya rasakan dalam tiga buku terdahulunya. Buku pertama, Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh jelas sekali beda. Mudah dipahami karena dia adalah buku pertama, ibarat peletak dasar segalanya. Lalu Akar, Petir, dan Partikel. Sampai empat buku saya tak merasakan rasa yang sama ataupun pengulangan. Sampai akhirnya Gelombang membuat saya merasakannya.

            Ya, saya merasakan Zarah dan Alfa punya banyak kesamaan. Keduanya punya sifat ngotot yang setara, juga kecerdasan di atas rata-rata. Jalan hidup yang digariskan untuk mereka juga tak berbeda: sukses di usia muda di negeri orang. Di Partikel Zarah punya Paul dan Zach sebagai teman-teman sejati. Sementara di Gelombang seorang Alfa punya Troy dan Carlos. Soal percintaan pun mirip. Lihat saja bagaimana Paul diam-diam berharap pada Zarah, persis seperti Nicky diam-diam berharap pada Alfa. Bahkan ada adegan ciuman yang lokasi dan adegan yang prinsipnya sama. Paul mencium Zarah di terminal bus lalu melangkah pergi. Sementara Nicky mencium Alfa di bandara lalu lari berurai air mata karena kesal. Dan bahkan pada prinsipnya Zarah dan Alfa sama-sama travelling ke dimensi lain.  Bukankah semua itu kesamaan?

            Anggap saja jawaban dari pertanyaan saya di atas adalah ya. Muncul pertanyaan berikutnya: untuk apa? Nah untuk pertanyaan lanjutan tersebut sementara seri lanjutannya; Inteligensi Embun Pagi; belum terbit saya merasa harus puas dengan jawaban rekaan sendiri yaitu karena Dee mendesainnya seperti itu. Ya, Dee menginginkan kesamaan itu. Secara keseluruhan saya yakin Dee telah membuat sebuah grand design untuk Supernova. Grand design itu dituangkan detail-detailnya dalam lima buku yang telah lahir. Ibarat sebuah desain rumah, lima buku itu adalah ruang-ruang di dalamnya. Mereka mungkin mewakili ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur, dan kamar mandi. Keterhubungannya  membentuk sebuah rumah. Ketika masih berada dalam tiap-tiap ruang, tentu tak terlihat bentuk rumah itu. Baru ketika keluar dan menjelajah, lalu berdiri di halamannya maka tampaklah rumah utuh itu. Bisa jadi saat itu adalah ketika Inteligensi Embun Pagi lahir.


            Ya, apapun kesan saya setelah membaca Gelombang, saya tetap yakin semuanya by design, bukan kecelakaan tak terencana. Artinya itu adalah pertanda yang ditebar Dee demi menuju ke grand design yang telah disiapkannya. Semua ada artinya, semua ada alasannya. Saya yakin Dee menghidupkan semua karakternya dengan peran uniknya masing-masing. Dan semuanya akan terlihat pada waktunya. Yes, in Dee I trust.