Dalam dua bulan ini saya menonton tiga film yang semuanya punya dua
kesamaan, yaitu bicara tentang hubungan keluarga dan ceritanya benar menyentuh
hati. Film-film tersebut adalah The Judge, After Shock, dan Still Alice.
Mungkin sebenarnya menonton ketiganya adalah ketidaksengajaan karena toh
alasannya juga beda-beda. The Judge memang saya tonton karena si pemain; Robert
Downey Jr; adalah aktor gandrungan saya. Bukan secara kualitas akting, tapi
lebih ke fisiknya .... Pendek kata, ganteng nian gitu lhooohh.... Sementara
After Shock dikirimkan oleh seorang sahabat dengan embel-embel musti nonton
karena efek buatan untuk peristiwa gempanya menurut dia bagus. Agak heran juga
dengan kata pengantar itu karena toh saya bukan orang yang tergila-gila dengan
efek-efek film seperti itu. Tapi saya tonton juga. Sementara Still Alice juga
saya dapatkan dari sahabat yang lain sebagai gift bersama dua film lain berikut
dua bungkus biskuit coklat yang enak. Dan sebenarnya film tersebut hanya
sebagai pengganti karena film yang saya inginkan tak bisa didapatkannya.
Mulai dari The Judge ya. Ehmmmm, tak perlulah membahas betapa ganteng dan
keren si RDJ di situ. Yang satu itu dikalahkan oleh makna dari keseluruhan
cerita tentang hubungan ayah dan anak lelakinya. Seorang ayah pada dasarnya tak
jauh beda dengan ibu. Ayah juga punya kecintaan terhadap anak-anaknya walau
mungkin tak seekspresif ibu. Dengan caranya sendiri, seorang ayah mencintai dan
melindungi keluarganya, bahkan terhadap anak yang dirasa tak mampu diatasinya
sekalipun. Dan seperti biasa, butuh waktu bagi anak untuk mengerti semua itu
dengan bijak. Dan sering waktu disini berarti belasan tahun.
After Shock. Saya tak tahu film ini diputar di bioskop Indonesia atau
tidak. Saya meragukannya karena sebelumnya saya tak pernah mendengar judulnya
dan lagi film ini produksi Tiongkok. Tapi mungkin juga saya salah. Film ini
bercerita tentang akibat gempa besar di Tiongkok. Akibat tertimbun puing,
seorang ibu harus memilih mana di antara dua anaknya yang diselamatkan karena
tak mungkin menyelamatkan keduanya dalam kondisi minim bantuan dan tak ada alat
berat. Sebuah permintaan yang muskil tapi harus diputuskan. Setelah mengulur
waktu akhirnya sang ibu memilih menyelamatkan anak lelakinya yang berarti
mengorbankan si anak perempuan. Putusan yang menyakitkan bagi semuanya, tak
hanya bagi si ibu tapi juga untuk kedua anak yang di dalam puing masih
mendengar itu. Mukjizat bekerja, si anak perempuan yang terpaksa ditinggalkan
di bawah puing dan dikira mati ternyata bisa selamat ketika bala bantuan yang
lebih besar dan lengkap datang. Namun pilihan sang ibu membuatnya memutuskan
hidup tanpa keluarga kandungnya. Puluhan tahun kemudian baru terbukti tak ada
yang menjalani hidup dengan normal dan bahagia setelah itu. Tidak sang ibu, tidak
si saudara laki-laki, dan tentu tidak pula si anak perempuan.
Film ketiga, Still Alice, tentang seorang intelektual terkemuka, ahli
linguistik yang kemudian mendapati dirinya mengidap alzheimer. Pukulan yang
berat, tak hanya untuknya yang kasarnya mengandalkan kemampuan otaknya untuk
bekerja. Dan lebih berat lagi ketika ternyata alzheimer yang dideritanya
termasuk langka dan bisa menurun ke anak-anaknya. Tragedi berlanjut. Alice tak
lagi punya kuasa atas memori di otaknya, semua hilang dengan bertahap tapi
pasti. Saat seperti itulah kekuatan sebuah hubungan diuji. Kekuatan hubungan
pernikahan dengan suaminya, kekuatan hubungan darah dengan anak-anaknya. Dan
Alice termasuk yang menurut saya cukup beruntung dalam hal ini. Ada suami yang relatif
tetap ada disampingnya, ada anak-anak yang dengan sadar pulang kepadanya.
Menonton ketiganya membuat saya tersindir, lalu diam-diam mengevaluasi
hubungan dengan orangtua. Saya termasuk yang percaya bahwa hubungan orangtua
dan anak itu hubungan tak putus. Naik turun iya, tapi tak akan putus. Saya
melihat apa yang terjadi pada diri sendiri. Sungguh saya merasa bukan pribadi
yang sama dengan yang dulu keluar dari rumah orangtua saya. Lebih dari dua
puluh tahun hidup sendiri membuat saya berubah. Dan sebagai manusia biasa tentu
tak semua perubahan itu baik. Salah satu yang menonjol adalah keras kepala dan
temperamental. Saya sadar betul ini tapi juga kesulitan mengendalikannya.
Ketika akhirnya memutuskan pulang kembali tinggal bersama orangtua, hal itu
langsung terasa oleh orangtua saya. Dan terjadilah apa yang tadi saya sebut
hubungan yang fluktuatif naik turun. Kadang saya percaya bahwa sebenarnya bukan
cuma saya yang berubah, tapi orangtua saya juga. Tapi saya tak bisa memastikan
itu. Yang jelas inilah saya sekarang. Saya tetap anak mereka walau sudah
mengalami aneka ragam modifikasi sesuai masa hidup saya. Hal yang saya yakini
tak terelakkan.
Yes, sampai detik ini saya berusaha memperbaiki diri demi hubungan yang
harmonis dengan orangtua. Ah, mari saya luruskan dulu tentang kualitas hubungan
yang saya maksud. Dari dulu memang saya bukan termasuk anak baik yang selalu
patuh. Saya termasuk yang nakal walau masih jauh dari kriminal. Orangtua masih
punya kekuasaan penuh atas saya dan mengakui itu. Lalu tiba saatnya untuk keluar
dari rumah demi kuliah, terus bekerja dan mampu menghidupi diri sendiri. Apapun
yang saya lalui selama kurun waktu itu membuat saya berproses menjadi pribadi
hari ini. Dan saya percaya orangtua saya juga berproses ketika kami tak sedang
bersama. Dan ketika berkumpul kembali jadinya mesti belajar lagi mengenali satu
sama lain, memetakan perubahan yang terjadi. Lalu terjadi debat-debat yang dulu
tak pernah terjadi. Tak sampai fatal, tapi bagaimanapun pasti menyisakan kecewa
di masing-masing dari kami. Sungguh, sampai detik ini saya percaya it takes two
to tango, butuh kontribusi dua belah pihak untuk mebuat hubungan yang harmonis.
Tapi sungguh saya juga sadar posisi saya sebagai anak. Bukan posisi yang
subordinat sebenarnya, hanya posisi yang membuat saya seharusnya lebih
merendahkan ego karena mereka; orangtua saya; telah berbuat jauh lebih banyak
ketimbang yang pernah saya lakukan untuk mereka. Balas budi? Saya termasuk yang
tak percaya orangtua yang baik meminta balas budi dari anaknya. Tapi saya
termasuk yang percaya seorang anak harus menghargai banyak hal yang dilakukan
orangtuanya.
Sekali lagi, saya sangat percaya hubungan orangtua dan anak tak akan putus,
hanya naik dan turun. Lihat contoh di adegan di The Judge ketika seorang Hank
yang membenci ayahnya akhirnya luluh juga ketika mendapati yang dibenci bahkan
tak cukup mampu membersihkan ceceran kotorannya sendiri. After Shock juga
mencontohkan bagaimana seorang Deng berbalik membenci dirinya ketika melihat
sang ibu menepati janji, puluhan tahun menaruh tomat di meja saji bersama dupa
di depan foto ayah dan dirinya yang disangka telah mati. Lihat juga adegan
terakhir di Still Alice yang menggambarkan Alice yang tak mampu lagi mengerti
kata-kata Lidya dan ngawur menjawab bahwa apa yang diucapkan anaknya adalah
tentang cinta. Dan Lidya pun menyetujuinya, yes, it’s about love.
Ya, ini adalah jenis cinta yang tak pernah putus, hanya saja seperti laut,
dia mengalami pasang surut. Saya percaya ini. Setuju?
gambar ilustrasi dipinjam dari http://www.clipartpanda.com/clipart_images/mother-daughter-conflict-56266909