Senin, 14 November 2011

PAK MUS DAN SEPAKBOLA

Namanya Pak Mus. Lengkapnya saya sudah lupa karena dulu seluruh keluarga saya selalu memanggilnya Pak Mus saja, tanpa pernah embel-embel lengkapnya. Saya masih ingat sosoknya yang gempal akibat seringnya mengangsu (menimba air sumur) dan mengangkutnya ke kamar mandi dan dapur rumahnya dengan kaleng kotak yang dipikul di bahunya. Sumur yang berada di bagian depan rumah orangtua saya berjarak sekitar 40 meter dari rumahnya sendiri. Kepalanya sepanjang ingatan saya selalu gundul walau tidak licin. Kulitnya coklat gelap dan pembawaannya cenderung gampang tertawa. Hal yang paling lekat di ingatan saya adalah celana komprang hitam yang selalu dikenakannya setiap kali menjalankan pekerjaannya di peternakan ayam milik orangtua saya. Waktu itu saya masih kanak-kanak dan seringkali dia menggoda saya selayaknya seorang paman menggoda keponakannya. Ya itulah Pak Mus.

Mengapa tiba-tba ingat Pak Mus? Ehmmmm .... ceritanya saat ini saya semakin gandrung dengan sepakbola Indonesia. Perlu saya tekankan 'Indonesia'-nya karena sebenarnya saya sepakbola sudah menarik bagi saya, tapi sepakbola dalam artian World Cup, Liga Spanyol, dan Liga Italia. Indonesia baru masuk ke 'wilayah' saya ketika euphoria AFF tempo hari. Saya waktu itu sunguh terpesona dengan Timnas 'hasil karya' Alfred Riedl yang di mata awam saya terlihat begitu berbeda dengan permainan di liga-liga Indonesia yang pernah saya tonton sekilas-sekilas. Saya jadi jatuh cinta dan jadi penggemar yang menunggu jam permaianan mereka. Saya juga jadi ikut bersorak dan mengepalkan tinju ketika permainan indah mereka tampilkan tak peduli itu membuahkan gol ataupun tidak. Saya juga menjadi penggemar yang ikut mengumpat ketika PSSI kisruh tak keruan dan didominasi muatan-muatan politis dan pertikaian antar kubu yang tak ada kaitannya dengan masalah Timnas sendiri. Saya juga menangis sangat sedih ketika akhir dari pertikaian panjang itu membuahkan Riedl dipecat dengan alasan yang tidak masuk akal. Saya juga jadi pengumpati pelatih sekarang ketika menonton Timnas senior bolak-balik dicukur oleh lawan-lawannya tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti. Nah sekarang ketika Sea Games berlangsung maka cabang olah raga yang paling menarik adalah sepokbola dan tentu saja saja menjadi supporter tim Garuda Muda yang sampai Minggu malam bermain dengan cantik dan berstrategi.

Nah nah, lalu apa hubungannya dengan Pak Mus? Ya, begini. Saya tinggal bertetangga dengan beliau pada awal tahun 80an. Pada masa itu desa kami di Ngawi adalah desa kecil dengan tanah yang pada saat kemarau berbutir-butir seperti beras hitam dan pada saat musim hujan jadi lengket hingga sandal jadi seperti bersol tebal. Saat itu belum banyak yang punya pesawat televisi di desa kami. Televisi kami pun hanya hitam putih. Tapi yang begitu tetap mampu membuat para tetangga berkumpul di ruang tamu . Dan ketika ada siaran pertandingan sepakbola (jaman itu rasanya yang disiarkan cuma sepakbola Indonesia) ada satu orang yang tak pernah absen, yaitu Pak Mus. Beliau pasti duduk di barisan terdepan serta dengan tekun dan ekspresif mengikuti jalannya pertandingan. Setelah pertandingan usai Pak Mus akan mengulas pertandingan tadi. Ibu saya yang bukan pecinta sepakbola pernah berkomentar, seburuk apapun jika itu masih bernama sepakbola maka Pak Mus akan tetap menonton dan menemukan kenikmatan di dalamnya. Dan benar saja, pernah suatu ketika semua orang menolak untuk menonton dan cuma beliau seorang diri yang tetap bertahan di depan televisi. Malah suatu ketika kami semua keluar rumah dan pada saat pulang saya melihat Pak Mus duduk di balai-balai terasnya dengan radio transistor kecil di tangannya, ramai mengumandangkan pertandingan sepakbola.

Ya, itulah Pak Mus yag saya kenal. Waktu itu bola bekel lebih menarik bagi saya jauh ketimbang sepakbola. Dan jujur baru-baru ini saja saya mulai bisa memahami kesenangannya. Saya tidak tahu apakah beliau masih hidup saat ini karena semenjak pindah dari desa itu 29 tahun yang lalu, saya tak banyak mendengar kabar tentang beliau. Mungkin jika masih hidup, beliau akan jadi kurang tidur karena sibuk menonton macam-macam liga yang nyaris setiap hari ada di televisi. Dan mungkin juga beliau sama seperti saya ikut menangis, bersorak, dan tertawa, larut dalam euphoria kebangkitan Tinmas Indonesia. Mungkin juga beliau ikut menyesalkan didepaknya Riedl, serta marah akan kekacauan PSSI dan membodohkan pelatih pengganti Riedl. Mungkin beliau membelikan cucunya kaus merah bertulis Gonzales, Bonai, Nasuha,Andik,atau Patrich. Mungkin minggu-minggu ini , seperti saya, beliau akan berteriak “Ayo, Indonesia bisa!”