Rabu, 31 Agustus 2016

Penghuni Surga

Saya baru menyadari satu hal beberapa waktu yang lalu bahwa saya sebenarnya adalah penghuni surga. Iya, penghuni surga! Besar kemungkinan juga bahwa sebenarnya saya adalah bidadari.... ahahhahaha....

Soal bidadari rasanya emang ada banyak keraguan. Tapi saya sungguh serius soal surga. Ya, tanah yang saya pijak saat ini sesungguhnya adalah surga. Ingat lagu Koes Plus yang liriknya berbunyi antara lain ‘orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman’? Sebelumnya saya menganggap lagu itu ya sekedar lagu saja, sekedar ekspresi dari seniman yang mencintai tanah airnya. Tapi sejak beberapa hari yang lalu saya berubah pikiran, lagu itu benar adanya. Satu buku yang sudah terbeli bertahun-tahun yang lalu tapi tak kunjung usai membacanya (bahkan sampai hari ini buku itu belum selesai terbaca), memberikan satu kesadaran pada saya. Buku itu sebenarnya bercerita soal meletusnya gunung Krakatau pada hari Senin 27 Agustus 1883 yang sungguh menghebohkan, sekaligus memberi pengaruh terhadap cuaca hingga ke benua biru sana. Di bagian depan buku itu diceritakan tentang pulau-pulau yang kaya akan komoditas alam yang di Eropa bernilai sangat tinggi. Komoditas yang membuat bangsa Eropa mantap menyabung nyawa mengarungi samudera berbekal peta navigasi yang minim. Awalnya bangsa Portugis dan Spanyol yang dianggap sebagai paling mumpuni dalam hal mengarungi samudera. Portugis khususnya pada masa itu dianggap punya data navigasi paling lengkap soal perjalanan ke Timur. Bahkan Cornelis De Houtman sempat ‘berguru’ dua tahun di Lisbon sebelum akhirnya memulai ekspedisinya dengan bendera Belanda. Dan menarik sekali karena apa yang dilakukan oleh De Houtman di Lisbon sebenarnya adalah aksi intelijen untuk mendapatkan data-data navigasi Portugis. Setelah itu secara gradual peta kekuatan soal mengarungi samudera seakan bergeser karena munculnya pemain-pemain baru seperti Belanda dan Inggris. Nah, komoditas apa yang begitu diburu itu? Yes, rempah-rempah. Komoditas yang melimpah ruah di kepulauan Nusantara; saking melimpahnya sampai harganya murah; dan sangat berharga serta didewakan oleh bangsa benua biru. Dan ketika bangsa asing itu harus bertarung dengan kematian demi mendapatkan si rempah-rempah, sebaliknya penghuni surga yang notabene ‘pemilik’ komoditas dewa hidup nyaman bermandi hangat sinar matahari sepanjang tahun. Secara pribadi saya beranggapan bangsa Eropa akhirnya menjajah karena tak tahan iri akan segala kenikmatan itu.

Ya, begitulah surga ini memberikan begitu banyak kepada penghuninya. Mungkin lebih tepatnya alam memanjakan penghuninya. Tak hanya dulu, tapi juga sekarang seharusnya. Lihat saja, ketika bangsa lain harus menderita kedinginan selama paling tidak tiga bulan dalam setahun, maka para bidadari dan penghuni surga ini tak perlu mengalaminya, malah dianugerahi musim-musim lain seperti musim mangga, duren, rambutan, bahkan musim kawin pun ada....  hihihihihiihi.... Dan ketika bangsa lain tak punya cukup sumber energi sehingga harus ‘merampas’ dari yang lain, maka di surga justru banyak pilihannya. Mau minyak bumi, batubara, gas alam, panas bumi, dan entah apalagi. Ketika bangsa lain diberikan sumber minyak bumi tapi disunat sumber airnya dan dibuat gersang tanahnya, eh di surga disediakan semuanya tanpa ada penyunatan. Ketika bangsa lain harus mengkerut dan pucat kulitnya karena tak habis dikelilingi es batu, eh penghuni surga bisa dengan alami tampil kinyis-kinyis dengan warna kulit yang eksotis. Ketika bangsa lain kekurangan sumber daya manusia, eh di surga tak ada sepinya seliweran penghuninya. Nah, kurang apa coba? Mau emas tinggal kerok. Mau ikan tinggal pancing. Mau kayu tinggal renggut. Mau air tinggal ciduk. Pokoknya semuanya adaaaaa....

Sungguh pemikiran iki membuat saya melihat sekeliling. Inilah surga itu saat ini. Rempah-rempah tentu masih ada, bahkan di pawon ibu saya pun tersedia. Tapi surga ini terasa tak lagi sesuai gambaran seharusanya. Air masih tinggal ciduk, tapi seringkali jumlahnya terlalu berlimpah hingga jadi dinamai banjir. Tanah masih tentu masih bertuah untuk ditanami, tapi ada saatnya dia melongsorkan dirinya. Sumber energi masih ada, tapi pengelolaannya penuh skandal. Emas juga masih tinggal keruk, hanya pertanyaannya siapa yang mengeruk? Kayu masih ada, tapi ya gitu deh saking rakusnya yang mau sampai pohon terlambat tumbuh. Sumber daya manusia masih tak pernah kurang, tapi ya gitu, umek dengan kepentingan sendiri..... Ah, terlalu banyak untuk dirinci....


Dengan segala kenyataan itu apa masih bener saya ini penghuni surga, sementara surganya sendiri sudah susah untuk diidentifikasi  kesurgaannya....