Selasa, 31 Mei 2016

Cuma Anak Biasa



Seorang teman bercerita soal mamanya yang dalam sehari itu jatuh dua kali. Kami, teman-temannya dalam grup percakapan, kontan bereaksi. Yang tinggal sekota dengannya menawarkan memanggilkan tukang pijat langganan. Sementara yang lain memberikan aneka macam saran, termasuk mengukur tekanan darahnya dan membawa ke dokter sesegera mungkin. Dan ketika dia menuruti dengan memanggil dokter dan hasilnya adalah sang mama terkena gejala stroke akibat hipertensi, maka aneka saran pun bermunculan kembali. Ada yang menyarankan menggunakan garam khusus untuk penderita hipertensi. Yang lain menyarankan agar dia ketat memonitor sang Mama soal asupan obat dan makanan. Yang lain menawarkan alternatif obat herbal sebagai pendamping yang telah diresepkan dokter. Lainnya menyarankan alternatif akupuntur. Lainnya lagi menyarankan dia siap dengan peralatan standar untuk mengecek tensi, kadar gula, kolesterol, dan asam urat, lengkap dengan informasi merk alat dan harganya. Dan saat dia bilang tak menemukan garam khusus yang disebutkan, seorang teman dengan sigap menyanggupi membelaikan dan mengirimkannya lewat jasa kurir.

Saat yang lain teman yang lain lagi mengunggah foto dalam grup. Katanya dengan nada bercanda itu foto terapis akupuntur mama mertuanya. Sang terapis disebutnya cantik mirip artis Korea. Agenda acaranya beberapa hari itu padat dengan mengurusi sang mama mertua; mulai dari menungguinya bergantian dengan suaminya, membawa kontrol ke dokter dan konsultasi ke psikiater, dan terapi akupuntur tadi. selang beberapa lama dia mengunggah foto kedua, tampak sang mama mertua tengah tidur di jok samping pengemudi. Katanya dia sedang menunggu kedatangan suaminya yang akan membawa beliau pulang, sementara dia harus terus ke satu tempat untuk urusan memenuhi stock tokonya.

Lain waktu seorang teman bercerita bahwa dia harus bersitegang dengan atasannya soal pengambilan cuti. Dia sudah jauh-jauh hari berencana membawa ibunya pergi umroh. Membawa disini tentu saja termasuk membiayai. Dan tak tanggung-tanggung, dia bersedia membayar mahal demi mendapatkan fasilitas kelas satu untuk ibunya. Ketika saya tanya kenapa tidak ambil paket yang sedang-sedang saja harganya, jawabnya demi kenyamanan sang ibu yang baru pertama kali ini keluar negeri dan jarang naik pesawat. Tak hanya itu, dia juga mempersiapkan aneka kebutuhan pendamping lain, seperti mukena, koper, sampai kaos kaki. Halangannya cuma satu : cuti yang mundur-mundur akibat ketatnya target yang ditentukan pihak kantor. Sudah dua kali mundur, keluh teman saya, dia berharap yang perubahan jadwal ketiga ini benar-benar bisa dilakukan agar sang ibu tak jadi kecewa. Akhirnya berhasil juga di berangkat. Saya ikut bernafas lega. Kemudian ketika pulang teman saya bercerita bahwa dia terpaksa membawa PR pekerjaan dan mengerjakannya di sela-sela kegiatan umroh tersebut. Mestinya Allah mengerti dan memaafkan, katanya sambil nyengir. Sementara sang ibu begitu antusias bercerita pengalaman selama di sana kepada saya. Ketika tinggal berdua saja dengan saya, dia berbisik akan segera mulai menabung lagi agar bisa membawa beliau pergi haji. Lagi-lagi dia akan membayar yang kelas satu, demi kenyamanan ibunya.

Saat yang lain lagi seorang teman bercerita bahwa hampir tertidur di kantor pajak karena antri panjang demi mewakili sang bapak menyampaikan laporan pajak untuk pensiunan. Teman yang lain menimpali bahwa hari sebelumnya dia juga mengalami hal yang  persis sama. Lalu berbagilah mereka pengalaman soal pengurusan laporan pajak untuk pensiunan yang isiannya bisa dilakukan dengan mengakses website tertentu tapi ternyata pelaporannya belum bisa disampaikan lewat email. Alhasil mengantrilah mereka.



Cerita-cerita yang saya sampaikan di atas tentu hanya sedikit cerita kecil yang saya ketahui. Tentu masih ada banyak cerita-cerita kecil yang lain yang dilakukan mereka-mereka yang tidak saya kenal. Sebenarnya intinya hanyalah saya ingin mencontohkan bahwa disamping kenyataan banyaknya anak yang kurang ajar atau malah durhaka pada orangtuanya, masih ada anak-anak yang berusaha untuk tulus melakukan hal-hal kecil untuk orangtuanya. Mereka yang saya sebut di atas bukan anak-anak yang sempurna. Ada saatnya mereka bercerita tentang perdebatan dan selisih paham ini itu dengan orangtuanya. Kadang harus bersitegang juga. Tapi semuanya segera reda dan mereka kembali berusaha menjalankan perannya sebagai anak dari orang tua yang telah menjelang sepuh. Ya, mereka cuma anak biasa, mungkin belum cukup layak dilabeli anak yang berbakti.... Dan saya beruntung mengenal mereka, juga berkaca.  



















http://www.shutterstock.com/pic-381379189/stock-vector-mothers-day-daughter-or-granddaughter-with-mother-grandmother-march-postcard.html