Tempo hari saya bilang pada seorang teman betapa inginnya
saya mempunyai sebuah perpustakaan pribadi. Saya ingin punya satu ruangan yang
keempat dindingnya penuh dengan buku dari bawah sampai ke langit-langit. Lalu di
tengah ruangan itu ada coffee table dan sofa empuk yang nyaman dengan lampu
baca di dekatnya. Jadi saya bisa membaca sambil berselonjor dengan cemilan dan
teh di meja. Atau saya bisa dengan tekun mengetik di laptop sembari membaca
buku untuk bahan riset tulisan saya. Amboi indahnya ......
Tapi teman yang mendengar khayalan saya itu justru tersenyum dengan sudut bibir ke bawah alias mencibir. Katanya saya ketinggalan jaman kalau di masa sekarang masih memimpikan tempat semacam itu. Pasalnya; masih menurut teman saya; kemajuan teknologi telah mengubah buku cetak menjadi bentuk digital. Jadi tak perlu dicetak, tak perlu kertas, dan jadinya makin ringkas alias cuma berupa data file. Bacanya dengan gadget. Jadi bukan lagi jamannya orang membawa buku-buku tebal yang berat kemana-mana. Tinggal masukkan saja datanya di gadget dan beres, bisa dibaca dimana saja.Katanya perpustakaan di USA pun mulai merintis untuk berubah format seperti itu.
Tapi teman yang mendengar khayalan saya itu justru tersenyum dengan sudut bibir ke bawah alias mencibir. Katanya saya ketinggalan jaman kalau di masa sekarang masih memimpikan tempat semacam itu. Pasalnya; masih menurut teman saya; kemajuan teknologi telah mengubah buku cetak menjadi bentuk digital. Jadi tak perlu dicetak, tak perlu kertas, dan jadinya makin ringkas alias cuma berupa data file. Bacanya dengan gadget. Jadi bukan lagi jamannya orang membawa buku-buku tebal yang berat kemana-mana. Tinggal masukkan saja datanya di gadget dan beres, bisa dibaca dimana saja.Katanya perpustakaan di USA pun mulai merintis untuk berubah format seperti itu.
Saya tercenung, berpikir, enakkah menikmati buku dengan
cara seperti itu? Teman saya menjawab ya enak saja, yang penting gadget-nya
cukup canggih dan layarnya cukup besar untuk keperluan membaca. Ehmmmm .....
jujur saya tidak yakin saya bisa menikmati cara membaca seperti itu. Paling tidak
untuk saat ini, saat dimana saya belum punya gadget seperti yang dimaksud teman
saya. Dan terbukti saya tidak pernah tahan membaca ebook di depan komputer. Saya
tidak tahan duduk di kursi kerja dengan mata ke layar monitor. Saya betah
berjam-jam di depan komputer selama jam kerja. Saya juga betah berjam-jam di
depan komputer untuk browsing. Tapi jika itu urusannya untuk membaca buku
ehmmmmmm tidakkkk..... Saya tidak tahan!
Buku bagi saya adalah satu barang personal. Setiap bulan
saya berkeliaran di toko buku dan browsing ke aneka toko buku online. Dan setiap
kali punya uang lebih, buku dan makanan selalu jadi sasaran utama. Selalu saya
upayakan untuk beli baru, tapi sama sekali tidak haram bagi saya untuk membeli
yang bekas. Dan setiap kali menambah koleksi saya akan membubuhkan nama, tanggal
pembelian, dan tanda tangan di buku
tersebut. Itu baru ritual dalam hal memiliki buku. Masih ada ritual membaca. Saya
punya kebiasaan buruk dalam hal membaca, yaitu membaca beberapa buku pada satu
kurun waktu. Ini saya anggap buruk karena jadinya ada saja buku yang tidak
selesai karena pesonanya dikalahkan oleh yang lain. Saya juga sering membuat
kusut sampul buku. Dulu juga sering menandai halaman dengan melipat kertasnya. Jadi
ketika selesai akan ada beberapa lipatan di buku tersebut. Akhir-akhir ini saya
mengganti kebiasaan itu dengan memakai paper clip warna-warni.
Satu lagi kebiasaan buruk saya dalam hal membaca, yaitu
saya tidak tahan membaca dengan cara yang sesuai standar kesehatan. Bagi saya
membaca itu harus dengan pewe alias posisi wuenak. Jadi membacalah saya dengan
tiduran, atau melungker, atau semacamnya. Ini yang selalu membuat ibu saya
mengomel karena menurutnya itu merusak mata. Ehmmmmm, merusak mata ya....
mungkin iya. Buktinya dulu saya tidak memerlukan kacamata. Tapi sekarang mau
tidak mau saya harus mulai tergantung pada barang kecil itu. Ah, tapi kan itu
bisa juga karena faktor U alias umur, jadi bisa jadi bukan kebiasaan membaca
sambil tiduran penyebabnya.... Ngeles terusssssss .... begitu komentar ibu saya
... hehhehheheehehe....
Nah nah nah ..... jujur saja saya risau kalau buku cetak diganti
dengan format digital. Sebab saya bukan termasuk yang selalu up date dengan
gadget. Saya baru berganti handphone dan komputer jika memang sudah rusak saja.
Tak pernah saya membeli gadget sekedar karena ingin mencoba fitur atau teknologi
terbaru. Lagipula kalau bentuknya file seperti itu terus dimana saya bakal
membubuhkan coretan berupa penanda berupa nama, tanggal, dan tanda tangan? Bagaimana
orang tahu bahwa ‘buku’ itu milik saya? Bagaimana saya menyelipkan paper clip
untuk menandai halaman yang saya baca? Kalau misal saya ingin tandatangan
pengarangnya, dimana dia akan membubuhkannya? Teman saya menjawab semua
kebawelan saya itu dengan tatapan judes. Sebelum berlalu dia mendesis, “Ga
penting banget .....!”