Jumat, 09 Januari 2009

Tentang Gaza

Mengikuti apa-apa yang terjadi di Palestina terutama Gaza akhir-akhir ini? Ehmmmmm ....menyedihkan. Tempo hari sepulang kantor, seperti biasa saya menyalakan televisi dan menonton berita-berita dengan sepiring makan malam di tangan. Dan sebenarnya saya sangat menikmati menu seadanya yang hanya terdiri dari nasi putih, telur asin, dan kecap manis dan memakannya dengan intensitas tinggi karena lapar. Sampai kemudian televisi memperlihatkan wajah sedih dan berdarah-darah dari anak-anak Palestina, dengan latar lagu When The Children Cry. Tiba-tiba saya merasa berdosa enak-enak makan seperti itu padahal banyak muka-muka kecil menderita di sana.

Lalu sebuah stasiun televisi menyajikan acara debat antar partai. Dan kebetulan yang maju adalah dua partai berbasis Islam, yaitu PKS dan PPP. Dan PKS mendapat banyak serangan terkait dengan pernyataan politiknya tentang Palestina yang ditunjukkan dengan demo besar-besaran di banyak daerah. PKS dianggap terlalu mem-blow up isyu Palestina, sementara kondisi bangsa sendiri masih tak keruan.

Saya tidak bermaksud membela PKS dan menuduh PPP tidak sensitif terhadap isyu dunia dengan membuat tulisan ini. Saya tidak punya cukup kepentingan untuk itu. Cuma sebagai manusia biasa, saya berpendapat harus ada yang menghentikan Israel melakukan genosida ini. Dan saya senang ada yang mau berusaha, lebih dari yang saya lakukan.

Lalu apa yang saya sendiri lakukan? Tempo hari teman-teman mengirimkan daftar produk yang berkaitan dengan zionisme. Dan dengan penuh semangat saya memutuskan untuk memboikot dengan tidak membeli dan menggunakan produk-produk tersebut. Sempat terpikir bahwa jika semua orang yang menentang tindakan Israel melakukan hal yang sama dengan saya, maka berapa banyak perusahaan yang mendukung zionisme yang akan tersendat? Berapa banyak pekerja tak berdosa yang akan terimbas? Tapi lalu terpikir juga bahwa tersendatnya mereka berarti peluang usaha bagi yang lain. Maka pekerja yang terimbas insyaallah pasti akan menemukan jalan keluarnya. Jadi, BOIKOT JALAN TERUSSSSSSSS ......!!!!

Seorang teman bertanya, untuk apa saya melakukan itu. Saya cuma menyarankan teman saya untuk melihat wajah-wajah kecil itu. Wajah-wajah kecil yang tak mengerti dan hanya bisa menangis mencari orang-tuanya atau mengacungkan tangan minta digendong ketika suara bom dan tembakan menakuti dan melukainya. Lihat bagaimana wajah mereka mereka yang kosong karena campur aduk antara kaget, takut dan kesakitan. Mungkin para petinggi Israel itu tak pernah punya anak atau malah tak pernah menjadi anak-anak jadi tak merasa apa-apa ketika memuntahkan amunisi dan menjatuhkan bom-bom. Jika saja mereka berpikir apa yang akan mereka rasakan bila itu terjadi pada anak-anak terkasih mereka, mungkin tindakannya akan bisa lain.

Terus terang kemarin saya jadi jahat, karena berharap salah satu saja negara yang punya nuklir melepaskan barang itu ke arah Israel dan bummmmmmmm ...... Ehmmmmm .......... seperti ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki puluhan tahun lalu. Atau mungkin dengan menyebarkan virus-virus flu burung dan cikunguya pada mereka. Sehingga mereka tak lagi kuasa menerbangkan pesawat dan menjatuhkan bom-bom. Ehmmmm .....jahat ya saya? Tapi mereka sudah benar-benar jahat dengan perbuatannya sekarang!

Katanya tidak ada perdamaian tanpa peperangan. Katanyaaaa..... Tapi bagaimana dengan wajah-wajah kecil itu? Mungkin oleh Israel pernyataan tersebut diubah menjadi tidak ada perdamaian tanpa genosida ......... Dan mungkin mereka tak punya hati dalam relung badannya......... Dan mungkinkah ada pengampunan untuk hal seperti ini?

Jumat, 02 Januari 2009

Kepada Bang Andrea Hirata

Bang Andrea, dua minggu yang lalu, ketika saya pulang menemuinya, Bapak saya curhat. Rupanya beliau jengkel dengan karena stasiun televisi yang cukup disukainya raib dari peredaran alias tak tertangkap siarannya. Stasiun televisi yang dimaksud adalah Metrotv. Saya mahfum, karena Bapak saya adalah penyuka berita dan penggemar berat Kick Andy. Beliau tipikal pemirsa televisi yang selalu mengomel kalau menonton sinetron, kebiasaan yang membuat Ibu saya selalu tak nyaman duduk bersamanya ketika Cinta Fitri mengudara. Bapak selalu memberi komentar-komentar yang mengganggu kenikmatan Ibu. Menurut Bapak, cerita sinetron itu dangkal dan cenderung mencederai kemampuan otak pemirsanya. Ehmmmmm ...tentu saja Ibu saya tersinggung karena omongan itu. Jika Bapak mempunyai pendapat 'kejam' seperti itu, Ibu juga punya pendapat sendiri tentang sinetron. Menurutnya sinetron cuma untuk hiburan ringan saja, sehingga tak perlu dibuat susah hingga peras otak segala. Menonton berita orang memutilasi kekasihnya, ekonom beranalisa dengan macam-macam variabel susah, atau politikus berkicau berbusa-busa, tidak selamanya menyenangkan. Jadi, intinya Ibu memilih sinetron sebagai jeda dari itu semua.

Ehmmmmm ... itulah pendapat kedua orang tua saya. Dan, tanpa menghilangkan segala hormat saya terhadap perempuan yang telah melahirkan saya, saya berdiri di belakang pendapat Bapak tentang sinetron. Saya sepakat ketika Bapak menggerutu "apa hidup ini cuma berisi rebutan laki dan harta? Apa tidak ada tema lain yang lebih bagus dan logis dari itu? Masa' semua orang Indonesia kerjanya cuma rebutan laki dan harta sih?"

Jadi, begitulah Bang Andrea, gerutuan bapak saya itu membuat saya teringat dengan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Bagaimana Bang, kalau buku-buku itu dijadikan sinetron saja? Saya yakin sinetron yang bagus bermula dari ide cerita yang bagus. Dan keempat buku tadi saya yakin bisa merupakan ide yang hebat. Dan saya pribadi merasa sayang ketika melihat bagaimana Laskar Pelangi yang inspiratif dan ratusan halaman itu dimampatkan menjadi film yang hanya sekitar dua atau tiga jam saja. Terlebih lagi bagian favorit saya di buku itu, yaitu bagian cerdas cermat direnovasi sedemikian rupa, mungkin demi alasan komersialitas. Terus terang ketika mendengar Laskar Pelangi difilmkan, satu adegan yang saya setengah mati ingin lihat adalah ketika Lintang beradu ilmu fisika dengan si Bapak Guru sekolah elit. Sungguh saya masih menyimpan keinginan itu ketika berdesakan di loket bersama berpuluh orang-tua yang menggandeng anak-anaknya. Dan ternyata kemudian terbukti saya kecewa. Tapi paling tidak saya tidak sendirian. Teman saya pun sama kecewanya dengan saya karena kehilangan adegan itu.

Jadi Bang, bagaimana kalau buku-buku itu disinetronkan saja? Agar tak banyak bagian yang harus tergerus, agar makin banyak yang bisa mengambil inspirasi dari dalamnya. Tapi Bang, jika memang Abang setuju, tolong jangan dibuat ala India yang seringkali ruwet melingkar-lingkar tak keruan. Tolong buatlah tetap sederhana ala Belitong. Mungkin seperti Surat Untuk Sahabat, Para Pencari Tuhan, Si Doel Anak Sekolahan, atau Kiamat Sudah Dekat. Bukankah akan cantik itu Bang?

Tolong ya Bang, dipikirkan usulan saya ini. Jika Abang setuju dan menemukan penggarap yang sederhana tapi oke, tentu saya akan bisa melihat Bapak dan Ibu saya duduk berdampingan di depan telebisi dengan tenang tanpa berdebat. Dan juga tema sinetron kita tak akan lagi cuma melulu rebutan laki dan harta.

Jadi bagaimana, Bang? Setujukah?