Beberapa hari setelah lebaran , sebuah pesan singkat berisi ucapan masuk ke
ponsel saya, setelah sekali menelepon tapi terlewatkan. Saya tak bisa mengenali
siapa pengirimnya karena nomornya tak ada dalam phone book. Jadilah saya balas dengan ucapan
serupa sambil menanyakan identitas pengirimnya. Terkejutlah saya ketika dia
mengaku sebagai mantan bos saya di perusahaan yang terakhir saya tinggalkan. Dengan
menjaga sopan santun, saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya dan saya
menghargai itu. Saya pikir urusannya selesai sampai disitu. Ternyata tidak. Di pesan
berikutnya dia memberikan penawaran untuk kembali bekerja di kantornya. Kagetlah
saya. Bukan alasan apa-apa, hanya saja saya tidak berpikir untuk kembali
bekerja di luar kota lagi karena kondisi yang menurut saya tak memungkinkan. Saya
mencoba menolak dengan halus, dengan menjabarkan kondisi dan fokus utama saya
saat ini. Tapi ternyata si mantan bos ini terus mendesak. Demi menjaga hubungan
baik saya memutuskan untuk tidak menjawab penawaran tersebut malam itu juga. Jadi
saya putuskan untuk tidak membalas pesannya.
Pembiaran semalam sebelumnya membebani pikiran saya. Saya menganggap
pembiaran sama dengan membuat persoalan menggantung tanpa solusi. Saya tak suka
itu. Di sisi lain saya juga merasa wajib untuk menjaga hubungan baik dengan
mantan bos. Akhirnya malam hari berikutnya saya kirim pesan permohonan maaf
tidak bisa menerima tawarannya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepadanya. Sehari
itu berlalu tanpa balasan. Saya lega karena artinya si mantan bos sudah
menerima jawaban saya dan mengerti. Saya pikir masalah selesai sudah dan
leluasa kembali fokus pada urusan saya.
Ternyata saya salah. Hari berikutnya
ketikas sedang dalam perjalanan ke luar kota bersama seorang teman untuk suatu
urusan, ponsel saya berbunyi terus menerus. Si mantan bos menelepon. Sungguh saya
tak siap dan tak ingin bernegosiasi di dalam bus yang sedang berjalan dan di
depan teman saya. Jadi saya abaikan saja panggilan itu. Dan karenanya dia jadi
menghujani saya dengan pesan yang isinya masih seputar penawaran dan malah
ditambah dengan ajakan untuk bertemu. Sumpah saya jengah. Saya sedang dalam
satu urusan, dan tak siap membicarakan urusan baru dengannya. Seharian itu saya
abaikan semua telepon dan pesan darinya, dengan janji pada diri sendiri akan
mengirimkan email kepadanya berisi penjelasan lebih detail bahwa saya tak bisa
menerima tawaranny. Saya putuskan berkirim email karena dengan masih
mengejar-ngejar seperti itu artinya dia tak cukup bisa menerima penjelasan saya
lewat pesan singkat. Dengan email saya punya lebih banyak ruang untuk
memberikan penjelasan. Alasan lain ya saya enggan bernegosiasi langsung
dengannya ketika jawaban saya negatif untuknya.
Dua hari setelah itu, email saya melayang padanya. Saya tunggu beberapa jam
ternyata tak ada balasan. Saya pikir sekarang email saya mengena sasaran dengan
sempurna. Saya lega. Tapi ternyata tak lama. Menjelang siang ponsel saya
kembali berbunyi dan dari nomer yang sama. Mau tak mau saya terimalah itu
panggilan. Dan terkejutlah saya ketika ternyata dari suara dan pengakuannya si
penelepon bukanlah mantan bos tetapi mantan teman sekantor. Saya gagu seketika,
teringat email yang sudah kadung saya kirim pagi sebelumnya. Sementara teman
saya di seberang terkekeh-kekeh, merasa berhasil mengerjai saya. Saya marah
besar. Sungguh itu guyonan yang sama sekali tak lucu. Saya masih bisa menerima
dikerjai seperti itu jika saja tak sampai berlarut-larut begitu.jika dia
berniat guyon dengan sehat seharusnya dia berhenti ketika saya benar-benar
percaya bahwa si penelepon adalah mantan bos seperti pengakuannya. Seharusnya dia
berhenti dan menyelesaikan guyonan itu dengan manis. Tapi yang dilakukannya
justru mempermainkan ketidaktahuan dan kepercayaan saya dengan semena-mena,
tanpa berpikir efeknya. Saya kecam habis-habisan dia tanpa peduli masih dalam
suasana lebaran dimana orang biasa memaafkan segala kesalahan dengan mudah. Kesalahannya
terlalu besar untuk dimaafkan secepat itu. Apalagi terbukti dia tak berani
ketika saya minta untuk berkirim email ke saya dan bos untuk menjelaskan email
yang saya kirimkan itu karena ulahnya. Dengan marah sekali saya bilang padanya
bahwa dia cuma tahu berguyon tapi tak tahu kapan harus berhenti. Dari nadanya
meminta maaf sekali lagi, saya tahu dia takut dan menyesal. Tapi itu tak cukup
untuk meredakan saya. Apa yang dilakukannya buruk sekali. Sejak kejadian itu
kami belum berhubungan lagi. Saya masih menganggapnya teman tentu saja, tapi
dengan catatan negatif. Bukan mendendam, hanya tak bisa memberi respek padanya
seperti sebelum kejadian ini.
Jadi kesimpulannya adalah berguyon boleh, tapi harus tahu kapan harus
berhenti. Saya camkan juga hal itu untuk diri saya sendiri.