Senin, 31 Agustus 2015

Guyonan Yang Jadi Tak Lucu

Beberapa hari setelah lebaran , sebuah pesan singkat berisi ucapan masuk ke ponsel saya, setelah sekali menelepon tapi terlewatkan. Saya tak bisa mengenali siapa pengirimnya karena nomornya tak ada dalam  phone book. Jadilah saya balas dengan ucapan serupa sambil menanyakan identitas pengirimnya. Terkejutlah saya ketika dia mengaku sebagai mantan bos saya di perusahaan yang terakhir saya tinggalkan. Dengan menjaga sopan santun, saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya dan saya menghargai itu. Saya pikir urusannya selesai sampai disitu. Ternyata tidak. Di pesan berikutnya dia memberikan penawaran untuk kembali bekerja di kantornya. Kagetlah saya. Bukan alasan apa-apa, hanya saja saya tidak berpikir untuk kembali bekerja di luar kota lagi karena kondisi yang menurut saya tak memungkinkan. Saya mencoba menolak dengan halus, dengan menjabarkan kondisi dan fokus utama saya saat ini. Tapi ternyata si mantan bos ini terus mendesak. Demi menjaga hubungan baik saya memutuskan untuk tidak menjawab penawaran tersebut malam itu juga. Jadi saya putuskan untuk tidak membalas pesannya.

Pembiaran semalam sebelumnya membebani pikiran saya. Saya menganggap pembiaran sama dengan membuat persoalan menggantung tanpa solusi. Saya tak suka itu. Di sisi lain saya juga merasa wajib untuk menjaga hubungan baik dengan mantan bos. Akhirnya malam hari berikutnya saya kirim pesan permohonan maaf tidak bisa menerima tawarannya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepadanya. Sehari itu berlalu tanpa balasan. Saya lega karena artinya si mantan bos sudah menerima jawaban saya dan mengerti. Saya pikir masalah selesai sudah dan leluasa kembali fokus pada urusan saya.

Ternyata  saya salah. Hari berikutnya ketikas sedang dalam perjalanan ke luar kota bersama seorang teman untuk suatu urusan, ponsel saya berbunyi terus menerus. Si mantan bos menelepon. Sungguh saya tak siap dan tak ingin bernegosiasi di dalam bus yang sedang berjalan dan di depan teman saya. Jadi saya abaikan saja panggilan itu. Dan karenanya dia jadi menghujani saya dengan pesan yang isinya masih seputar penawaran dan malah ditambah dengan ajakan untuk bertemu. Sumpah saya jengah. Saya sedang dalam satu urusan, dan tak siap membicarakan urusan baru dengannya. Seharian itu saya abaikan semua telepon dan pesan darinya, dengan janji pada diri sendiri akan mengirimkan email kepadanya berisi penjelasan lebih detail bahwa saya tak bisa menerima tawaranny. Saya putuskan berkirim email karena dengan masih mengejar-ngejar seperti itu artinya dia tak cukup bisa menerima penjelasan saya lewat pesan singkat. Dengan email saya punya lebih banyak ruang untuk memberikan penjelasan. Alasan lain ya saya enggan bernegosiasi langsung dengannya ketika jawaban saya negatif untuknya.

Dua hari setelah itu, email saya melayang padanya. Saya tunggu beberapa jam ternyata tak ada balasan. Saya pikir sekarang email saya mengena sasaran dengan sempurna. Saya lega. Tapi ternyata tak lama. Menjelang siang ponsel saya kembali berbunyi dan dari nomer yang sama. Mau tak mau saya terimalah itu panggilan. Dan terkejutlah saya ketika ternyata dari suara dan pengakuannya si penelepon bukanlah mantan bos tetapi mantan teman sekantor. Saya gagu seketika, teringat email yang sudah kadung saya kirim pagi sebelumnya. Sementara teman saya di seberang terkekeh-kekeh, merasa berhasil mengerjai saya. Saya marah besar. Sungguh itu guyonan yang sama sekali tak lucu. Saya masih bisa menerima dikerjai seperti itu jika saja tak sampai berlarut-larut begitu.jika dia berniat guyon dengan sehat seharusnya dia berhenti ketika saya benar-benar percaya bahwa si penelepon adalah mantan bos seperti pengakuannya. Seharusnya dia berhenti dan menyelesaikan guyonan itu dengan manis. Tapi yang dilakukannya justru mempermainkan ketidaktahuan dan kepercayaan saya dengan semena-mena, tanpa berpikir efeknya. Saya kecam habis-habisan dia tanpa peduli masih dalam suasana lebaran dimana orang biasa memaafkan segala kesalahan dengan mudah. Kesalahannya terlalu besar untuk dimaafkan secepat itu. Apalagi terbukti dia tak berani ketika saya minta untuk berkirim email ke saya dan bos untuk menjelaskan email yang saya kirimkan itu karena ulahnya. Dengan marah sekali saya bilang padanya bahwa dia cuma tahu berguyon tapi tak tahu kapan harus berhenti. Dari nadanya meminta maaf sekali lagi, saya tahu dia takut dan menyesal. Tapi itu tak cukup untuk meredakan saya. Apa yang dilakukannya buruk sekali. Sejak kejadian itu kami belum berhubungan lagi. Saya masih menganggapnya teman tentu saja, tapi dengan catatan negatif. Bukan mendendam, hanya tak bisa memberi respek padanya seperti sebelum kejadian ini.


Jadi kesimpulannya adalah berguyon boleh, tapi harus tahu kapan harus berhenti. Saya camkan juga hal itu untuk diri saya sendiri.