Kamis, 30 Juni 2016

Kabar Burung

Tempo hari saya mengobrol ngalor-ngidul tak karuan dengan seorang teman lama. Awalnya sekedar topik nostalgia, lalu akhirnya merembet ke apa-apa yang sedang up to date. Dia mengulik soal kasus Ibu Guru yang dipenjarakan setelah mencubit muridnya. Lha wong cuma dicubit saja kok reaksinya gitu ya, demikian dia berujar. Lalu kembali kami bernostalgia, kali ini soal hukuman yang pernah kami terima semasa sekolah dulu. Saya pernah diceples dengan penggaris kayu yang lumayan besar dan panjang waktu kelas dua SD dulu. Seingat saya waktu itu tengah bercanda tentang sesuatu dengan teman sebangku dan Bu Guru yang tak tengah menerangkan menganggap kami nakal karena tak memperhatikan penjelasannya. Alhasil beliau mengayunkan penggaris kayu tersebut dan mendarat di lengan atas saya. Sakit sih sebenarnya tak terlalu sakit, tapi perasaan malu lebih mendominasi. Pada masa itu saya bukan termasuk siswa yang bandel. Nilai saya pun cukup bagus dan ada di jajaran peringkat atas kelas. Sementara diceples Bu Guru bukan hal yang biasa bagi saya. Rasanya itu pertama kali dan sakitnya tak seluar biasa malunya. Pun saya sadar bahwa itu kesalahan saya. Sampai detik ini saya tak pernah menceritakan peristiwa itu pada orangtua saya. Kini saya mengenangnya sambil tersenyum-senyum, bertanya dalam hati apa kabarmu Bu Guru.

Lalu ada lagi kasus cubit-mencubit itu, kata teman saya kali ini Pak Guru mencubit siswanya yang tak patuh. Konon si anak mengadu pada bapaknya yang notabene aparat dan mulailah kasus bergulir. Si bapak yang tak terima dengan perlakuan sang guru pada anaknya mengadukannya ke Polisi. Alhasil Pak Guru pencubit harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di ruang pengadilan. Selanjutnya yang saya tahu ada gerakan perlawanan dan solidaritas dari sesama guru terhadap si Pak Guru. Saya cuma memantau sekilas kasus dan  gerakan itu di sosial media. Dan karena sedang malas baca koran maka saya juga tak berusaha mencari detail beritanya.

Ada apa dengan siswa itu? Begitu tanya teman saya. Alih-alih menjawabnya, saya malah ikut bertanya : ada apa dengan para orangtua murid itu? Lalu kami sama-sama mengendikkan bahu dan kembali bernostalgia soal hukuman-hukuman yang saat kami sekolah dulu terasa wajar saja diterima sebagai balasan atas kesalahan. Berdiri di depan kelas selama jam pelajaran atau malah dikeluarkan sekalian, lari mengelilingi lapangan, push up sekian kali, jeweran di telinga, dilempar kapur tulis, dan sejenisnya. Pada jaman itu ada juga guru yang terkenal dengan hukuman tempeleng, dan memang terjadi, tapi kami siswa cenderung berusaha untuk sedapat mungkin menghindari berbuat salah terhadap beliau.

Jadi ada apa dengan siswa saat ini? Dan ada apa dengan orangtua jaman sekarang? Kali ini kami nyaris serempak mengendikkan bahu tanda tak tahu. Lalu teman ngobrol saya ini merunduk, merendahkan suara, dan bertanya apakah saya tahu kabar soal kabar adanya transaksi terkait bangku siswa saat tahun ajaran baru. Bukannya itu bukan kabar baru, balas saya. Menurutnya memang sepertinya bukan hal baru, cuma cara prakteknya sepertinya menyesuaikan kondisi dan perkembangan jaman. Bersama kami tertawa tapi dengan getir. Berdasarkan kabar burung yang dia dengar, seorang teman kami membayar sepuluh juta rupiah demi menyediakan bangku di SMU bagi anaknya yang secara nilai tak tertolong. Benar itu, tanya saya. Dia mengendikkan bahu, begitu berdasarkan kabar burung yang dia dengar. Soal benar dan tidaknya ya siapa juga yang tahu wong praktek seperti itu pasti hanya pihak yang terlibat yang persis tahu. Kalaupun diungkap pasti juga penyangkalannya bakal luar biasa. Dan kabarnya jenis bangku yang seperti itu jumlahnya banyak juga karena tes masuk yang lebih dari satu cara itu leluasa diatur oleh pihak sekolah dan dinas terkait.

Lagi-lagi kami bernostalgia, kali ini tentang cara masuk sekolah dulu. Masa itu ada NEM alias Nilai Ebtanas Murni yang merupakan hasil ujian akhir yang diselenggarakan secara nasional. Ujian ini diikuti oleh semua siswa yang duduk pada jenjang terakhir setiap tahapan sekolah. Dan sekolah di tahap selanjutnya menggunakan nilai ini untuk menyaring masuk murid barunya. Sederhana saja sistemnya. Calon siswa tinggal daftar ke sekolah baru dengan memperkirakan kecukupan nilai, lalu pihak sekolah meranking nilai yang masuk. Yang diterima tentu saja dari ranking pertama hingga sejumlah siswa yang diperlukan. Karena sederhana caranya maka pada masa itu kami tak pernah melibatkan orangtua untuk urusan daftar mendaftar. Waktu lulus SD dulu pendaftaran ke SMP dikoordinir oleh guru SD, jadi saya tinggal menyetor data kepada Bu Guru sesuai SMP yang saya tuju. Setelah melakukan proses pendaftaran beliau membagikan nomor dan bukti pendaftarannya. Selanjutnya saya tinggal melihat pengumuman di SMP dan melakukan proses daftar ulang sendiri. Sedang pas lulus SMP saya melakukan proses pendaftaran ke SMA secara mandiri, bareng dengan teman-teman yang pilihan SMA-nya sama. Proses seleksi sama saja, menggunakan NEM dan diranking. Jadi daftar sekolah yang diantar-antar orangtua hanya saya alami waktu masuk TK dan SD saja. Beda jauh kan dengan saat ini yang begitu banyak melibatkan orangtua murid?

Tapi saat itu soal bangku yang bisa dibeli kayaknya sudah ada, kata teman saya mengingatkan. Dia sepertinya benar karena jaman itu saya juga menjumpai teman-teman yang setahu saya NEM-nya tak mencukupi tapi akhirnya bisa masuk juga. Waktu itu di antara kami berbisik-bisik mereka yang seperti ini masuk lewat pintu belakang. Ada juga yang caranya dengan terlebih dahulu masuk ke sekolah  rayon di bawahnya barang beberapa bulan atau paling lama satu semester, kemudian pindah ke sekolah rayon utama. Jadi statusnya murid pindahan. Kabar burungnya praktek seperti ini juga melibatkan rupiah. Tapi untuk membuktikan kebenarannya ya embuhlah ....

Karena menyinggung soal NEM teman saya jadi teringat kabar burung soal nyontek bersama masa maraknya UN tempo hari. Saya juga mendengar kabar itu, juga sempat membaca soal murid yang dikucilkan di lingkungannya gegara sang murid pintar ini menolak memberikan contekan pada rekan-rekan seruangannya pada saat UN. Dan seingat saya tak hanya rekan sesama siswa yang protes akan ‘kepelitan’ itu, pihak keluarga teman-temannya itu juga turut tak terima. Makanya si murid pintar dan keluarganya dikucilkan di daerah mereka tinggal. Nah lho, jadi ruwet kan masalahnya? Nilai moralnya juga jadi terbalik-balik.

Lagi teman saya mengusik dengan kabar burung bahwa pihak sekolah merestui soal nyontek bersama itu. Kabar burungnya malah mereka terlibat aktif dengan menyediakan kunci jawaban demi tetap mendapatkan murid di tahun ajaran berikutnya. Sebab kalau satu saja ada yang tak lulus UN maka reputasi sekolah bakal tercoreng dan susah mendapatkan murid baru. Tapi itu kabar burung lhooo, buru-buru teman saya menambahkan. Artinya tentu saja tak ada bukti yang mengesahkannya menjadi sebuah kebenaran.

Setelah diam sejenak teman saya kembali membuka mulut. Katanya kok sepertinya sekarang masalahnya tambah banyak ya. Dan semua pihak rasanya bermasalah, timpal saya. Ada murid dan orangtuanya yang tak sepakat dengan cara pendidikan di sekolah yang tampak mengorbankan guru dan menimbulkan reaksi solidaritas rekan sejawatnya. Tapi di sisi lain ada juga kabar burung tentang praktek yang tak seharusnya dilakukan oleh pihak sekolah. Ya memang masih kabar burung sih, belum jelas burung mana yang menyebarkan kabar. Tapi apakah burung juga keisengan dan begitu kurang kerjaan sehingga menyebarkan kabar khayalan? Lha kalau kurang kerjaan mbok ya burung itu terbang plesir kemana gitu ..... hehehehehe.

Ada untungnya juga ternyata belum punya anak jaman sekarang, begitu komentar akhir dari teman saya sebelum dia pamit pulang. Ya, belum punya anak membuat saya dan dia sama-sama tak repot soal pendidikan. Tapi tak urung semua kabar burung tadi membuat saya bertanya dalam hati ada apa dengan dunia pendidikan di negara ini. Entahlah.....

Eh, tapi ketika semua pihak terindikasi tak sempurna, bukankah berarti waktunya masing-masing untuk berkaca?