Tempo hari saya mengobrol ngalor-ngidul tak karuan dengan
seorang teman lama. Awalnya sekedar topik nostalgia, lalu akhirnya merembet ke
apa-apa yang sedang up to date. Dia mengulik soal kasus Ibu Guru yang
dipenjarakan setelah mencubit muridnya. Lha wong cuma dicubit saja kok
reaksinya gitu ya, demikian dia berujar. Lalu kembali kami bernostalgia, kali
ini soal hukuman yang pernah kami terima semasa sekolah dulu. Saya pernah
diceples dengan penggaris kayu yang lumayan besar dan panjang waktu kelas dua
SD dulu. Seingat saya waktu itu tengah bercanda tentang sesuatu dengan teman
sebangku dan Bu Guru yang tak tengah menerangkan menganggap kami nakal karena
tak memperhatikan penjelasannya. Alhasil beliau mengayunkan penggaris kayu
tersebut dan mendarat di lengan atas saya. Sakit sih sebenarnya tak terlalu
sakit, tapi perasaan malu lebih mendominasi. Pada masa itu saya bukan termasuk
siswa yang bandel. Nilai saya pun cukup bagus dan ada di jajaran peringkat atas
kelas. Sementara diceples Bu Guru bukan hal yang biasa bagi saya. Rasanya itu
pertama kali dan sakitnya tak seluar biasa malunya. Pun saya sadar bahwa itu
kesalahan saya. Sampai detik ini saya tak pernah menceritakan peristiwa itu
pada orangtua saya. Kini saya mengenangnya sambil tersenyum-senyum, bertanya dalam
hati apa kabarmu Bu Guru.
Lalu ada lagi kasus cubit-mencubit itu, kata teman saya
kali ini Pak Guru mencubit siswanya yang tak patuh. Konon si anak mengadu pada
bapaknya yang notabene aparat dan mulailah kasus bergulir. Si bapak yang tak
terima dengan perlakuan sang guru pada anaknya mengadukannya ke Polisi. Alhasil
Pak Guru pencubit harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di ruang
pengadilan. Selanjutnya yang saya tahu ada gerakan perlawanan dan solidaritas
dari sesama guru terhadap si Pak Guru. Saya cuma memantau sekilas kasus
dan gerakan itu di sosial media. Dan
karena sedang malas baca koran maka saya juga tak berusaha mencari detail
beritanya.
Ada apa dengan siswa itu? Begitu tanya teman saya.
Alih-alih menjawabnya, saya malah ikut bertanya : ada apa dengan para orangtua
murid itu? Lalu kami sama-sama mengendikkan bahu dan kembali bernostalgia soal
hukuman-hukuman yang saat kami sekolah dulu terasa wajar saja diterima sebagai
balasan atas kesalahan. Berdiri di depan kelas selama jam pelajaran atau malah
dikeluarkan sekalian, lari mengelilingi lapangan, push up sekian kali, jeweran
di telinga, dilempar kapur tulis, dan sejenisnya. Pada jaman itu ada juga guru
yang terkenal dengan hukuman tempeleng, dan memang terjadi, tapi kami siswa
cenderung berusaha untuk sedapat mungkin menghindari berbuat salah terhadap
beliau.
Jadi ada apa dengan siswa saat ini? Dan ada apa dengan
orangtua jaman sekarang? Kali ini kami nyaris serempak mengendikkan bahu tanda
tak tahu. Lalu teman ngobrol saya ini merunduk, merendahkan suara, dan bertanya
apakah saya tahu kabar soal kabar adanya transaksi terkait bangku siswa saat
tahun ajaran baru. Bukannya itu bukan kabar baru, balas saya. Menurutnya memang
sepertinya bukan hal baru, cuma cara prakteknya sepertinya menyesuaikan kondisi
dan perkembangan jaman. Bersama kami tertawa tapi dengan getir. Berdasarkan
kabar burung yang dia dengar, seorang teman kami membayar sepuluh juta rupiah
demi menyediakan bangku di SMU bagi anaknya yang secara nilai tak tertolong.
Benar itu, tanya saya. Dia mengendikkan bahu, begitu berdasarkan kabar burung
yang dia dengar. Soal benar dan tidaknya ya siapa juga yang tahu wong praktek
seperti itu pasti hanya pihak yang terlibat yang persis tahu. Kalaupun diungkap
pasti juga penyangkalannya bakal luar biasa. Dan kabarnya jenis bangku yang
seperti itu jumlahnya banyak juga karena tes masuk yang lebih dari satu cara
itu leluasa diatur oleh pihak sekolah dan dinas terkait.
Lagi-lagi kami bernostalgia, kali ini tentang cara masuk sekolah
dulu. Masa itu ada NEM alias Nilai Ebtanas Murni yang merupakan hasil ujian
akhir yang diselenggarakan secara nasional. Ujian ini diikuti oleh semua siswa
yang duduk pada jenjang terakhir setiap tahapan sekolah. Dan sekolah di tahap
selanjutnya menggunakan nilai ini untuk menyaring masuk murid barunya.
Sederhana saja sistemnya. Calon siswa tinggal daftar ke sekolah baru dengan
memperkirakan kecukupan nilai, lalu pihak sekolah meranking nilai yang masuk.
Yang diterima tentu saja dari ranking pertama hingga sejumlah siswa yang
diperlukan. Karena sederhana caranya maka pada masa itu kami tak pernah
melibatkan orangtua untuk urusan daftar mendaftar. Waktu lulus SD dulu
pendaftaran ke SMP dikoordinir oleh guru SD, jadi saya tinggal menyetor data
kepada Bu Guru sesuai SMP yang saya tuju. Setelah melakukan proses pendaftaran
beliau membagikan nomor dan bukti pendaftarannya. Selanjutnya saya tinggal
melihat pengumuman di SMP dan melakukan proses daftar ulang sendiri. Sedang pas
lulus SMP saya melakukan proses pendaftaran ke SMA secara mandiri, bareng
dengan teman-teman yang pilihan SMA-nya sama. Proses seleksi sama saja,
menggunakan NEM dan diranking. Jadi daftar sekolah yang diantar-antar orangtua
hanya saya alami waktu masuk TK dan SD saja. Beda jauh kan dengan saat ini yang
begitu banyak melibatkan orangtua murid?
Tapi saat itu soal bangku yang bisa dibeli kayaknya sudah
ada, kata teman saya mengingatkan. Dia sepertinya benar karena jaman itu saya
juga menjumpai teman-teman yang setahu saya NEM-nya tak mencukupi tapi akhirnya
bisa masuk juga. Waktu itu di antara kami berbisik-bisik mereka yang seperti
ini masuk lewat pintu belakang. Ada juga yang caranya dengan terlebih dahulu
masuk ke sekolah rayon di bawahnya
barang beberapa bulan atau paling lama satu semester, kemudian pindah ke
sekolah rayon utama. Jadi statusnya murid pindahan. Kabar burungnya praktek
seperti ini juga melibatkan rupiah. Tapi untuk membuktikan kebenarannya ya
embuhlah ....
Karena menyinggung soal NEM teman saya jadi teringat
kabar burung soal nyontek bersama masa maraknya UN tempo hari. Saya juga
mendengar kabar itu, juga sempat membaca soal murid yang dikucilkan di
lingkungannya gegara sang murid pintar ini menolak memberikan contekan pada
rekan-rekan seruangannya pada saat UN. Dan seingat saya tak hanya rekan sesama
siswa yang protes akan ‘kepelitan’ itu, pihak keluarga teman-temannya itu juga
turut tak terima. Makanya si murid pintar dan keluarganya dikucilkan di daerah mereka
tinggal. Nah lho, jadi ruwet kan masalahnya? Nilai moralnya juga jadi
terbalik-balik.
Lagi teman saya mengusik dengan kabar burung bahwa pihak
sekolah merestui soal nyontek bersama itu. Kabar burungnya malah mereka
terlibat aktif dengan menyediakan kunci jawaban demi tetap mendapatkan murid di
tahun ajaran berikutnya. Sebab kalau satu saja ada yang tak lulus UN maka
reputasi sekolah bakal tercoreng dan susah mendapatkan murid baru. Tapi itu
kabar burung lhooo, buru-buru teman saya menambahkan. Artinya tentu saja tak
ada bukti yang mengesahkannya menjadi sebuah kebenaran.
Setelah diam sejenak teman saya kembali membuka mulut.
Katanya kok sepertinya sekarang masalahnya tambah banyak ya. Dan semua pihak
rasanya bermasalah, timpal saya. Ada murid dan orangtuanya yang tak sepakat
dengan cara pendidikan di sekolah yang tampak mengorbankan guru dan menimbulkan
reaksi solidaritas rekan sejawatnya. Tapi di sisi lain ada juga kabar burung
tentang praktek yang tak seharusnya dilakukan oleh pihak sekolah. Ya memang
masih kabar burung sih, belum jelas burung mana yang menyebarkan kabar. Tapi
apakah burung juga keisengan dan begitu kurang kerjaan sehingga menyebarkan
kabar khayalan? Lha kalau kurang kerjaan mbok ya burung itu terbang plesir
kemana gitu ..... hehehehehe.
Ada untungnya juga ternyata belum punya anak jaman
sekarang, begitu komentar akhir dari teman saya sebelum dia pamit pulang. Ya,
belum punya anak membuat saya dan dia sama-sama tak repot soal pendidikan. Tapi
tak urung semua kabar burung tadi membuat saya bertanya dalam hati ada apa
dengan dunia pendidikan di negara ini. Entahlah.....
Eh, tapi ketika semua pihak terindikasi tak sempurna,
bukankah berarti waktunya masing-masing untuk berkaca?