Rabu, 25 Agustus 2010

Hutang

Seorang teman menjengkelkan saya akhir-akhir ini. Kenapa? Karena beberapa kali menghubungi saya lewat telepon dan urusannya cuma satu yaitu mau meminjam uang alias berhutang pada saya. Dan saya jengkel sekali karena setiap kali dia menelepon dengan tujuan itu, saat itu pula saya dalam kondisi tidak punya uang. Nah ... jengkel kannnnn ...? Tenang pembaca, bukan karena saya sok dermawan sehingga merasa jengkel ketika teman saya meminta pinjaman uang saat saya dalam kondisi bokek. Sama sekali bukan itu masalahnya. Saya cuma selalu mempertimbangkan rasa malu yang harus dia tanggung ketika meminta diberi pinjaman. Dan rasa malu itu harus sia-sia karena saya yang bokek tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan.

Hutang. Seorang teman selalu bilang bahwa manusia tidak luput dari dua hal, yaitu dosa dan hutang. Ehmmmmm... soal dosa rasanya pasti karena toh manusia tak pernah luput dari yang namanya salah. Dan soal hutang rasanya ada benarnya juga, karena toh konglomerat yang dari luarnya terlihat kaya raya ternyata juga mempunyai hutang. Tapi tentu tidak semua manusia di muka bumi ini tak luput dari hutang. Seorang teman yang saya kenal sungguh tampak tenang dan damai hidupnya tanpa hutang. Dannnnnn seorang teman yang lain merasa kurang tantangan ketika hutang-hutangnya lunas .... hehheheh.... Karena itu walau tidak selalu tapi mengaku membuat hutang yang baru setelah yang lama lunas. Tapi ya itu tadi, dia menekankan kata 'tidak selalu' dan bentuk hutang yang biasanya diambilnya adalah membeli sesuatu barang (terutama elektronik karena dia cukup gila dengan yang satu itu) secara mencicil.

Kapan pertama kali mengenal yang namanya hutang? Kalau saya sebenarnya semasa SMP pun rasanya sudah mengenal hutang, yaitu hutang kecil-kecilan. Jadi misal pas di sekolah ternyata perlu fotocopy tapi uang saku tidak cukup. Nahhh berhutanglah saya pada teman lain yang uang sakunya lebih banyak. Kalau hutang besar, seingat saya baru saya kenal semasa SMA. Waktu itu bapak saya sakit dan harus opname di rumah sakit. Uang yang dibawa ibu ternyata tidak cukup. Begitu pula cadangan uang di rumah. Tabungan? Ehmmmm .... masa itu orang tua harus membiayai dua kakak yang kuliah sehingga tabungan juga tak bisa diandalkan. Jadi ibu yang bingung memandatkan kepada saya dan seorang kakak untuk mencari pinjaman. Sebagai pemegang mandat yang belum punya pengalaman berhutang besar tentu saja kami bingung bagaimana melaksanakannya. Akhirnya kami sepakat untuk mendatangi teman sekantor bapak dengan pertimbangan beliau tampak lebih kaya. Dan ternyata perhitungan meleset. Kami ditolak dengan alasan beliau juga sedang tidak ada uang. Jadi kami memutar otak untuk mencari 'sasaran' selanjutnya. Akhirnya kami putuskan untuk mendatangi seorang tetangga yang sesuku dengan bapak saya. Kali ini pertimbangannya adalah kesukuan, bukan kekayaan ... hehehehe mengandalkan ikatan emosional maksudnyaaaaaaa .... Dan ternyata yang ini jitu, alias kami berhasil mendapatkan hutang. Jadi, wahai pencari hutang, datangilah mereka yang lebih kaya atau mereka yang punya ikatan emosional dengan kita .... hahahahahaha..... Jujur kejadian itu tidak hanya membekas di otak saja, tapi membuat saya selalu berhitung masak-masak ketika menentukan 'mangsa' sebab bagaimanapun saya selalu merasa malu dan lebih malu lagi ketika ditolak. Benar kan? Karena itulah saya selalu jengkel ketika tidak bisa memberikan pinjaman kepada mereka yang datang pada saya. Bagi saya menolaknya sama dengan menambah beban malu yang sudah ditanggungnya sejak awal.

Eh iya, saya punya pengalaman buruk soal hutang ini. Seorang teman, sebut saja A berkirim pesan singkat yang isinya meminta pinjaman uang untuk bayi yang baru dilahirkannya. Si bayi mengalami kondisi yang kurang normal sehingga perlu perawatan khusus yang notabene tentu berarti biaya ekstra. Dan sialnya saya juga sedang mencari hutangan. Tak tega menolak mentah-mentah, maka saya berupaya meminta pinjaman dari teman lain; sebut saja B; yang juga mengenal A. Sialnya, walaupun dua unsur pokok sudah terpenuhi (lebih kaya dan punya ikatan emosional), permintaan saya tsb ditolak oleh B. Dengan alasan, takut tak kembali karena toh pinjaman A ke saya sebelumnya juga belum terlunasi. Ya sudah, mau apa lagi, toh B berhak melindungi uang yang diperoleh dengan keringatnya. Terpaksa saya bilang ke A tak bisa menolongnya kali ini. A tentu tak marah. Namun hati saya hancur ketika sekitar tiga hari kemudian sebuah pesan singkat datang mengabarkan si bayi meninggal dunia. Saya merasa sangat bersalah. Sejak itu saya selalu ketakutan jika ada yang datang meminjam uang dengan alasan kesehatan.......

Nah, sejak merasa kebutuhan akan berhutang bisa datang kapan saja, saya merasa senang jika mendengar kabar kesuksesan orang-orang yang saya kenal. Tentu ada rasa iri. Tapi saya punya cara jitu untuk memupus rasa iri itu, yaitu dengan berpikir ah berarti paling tidak saya tahu siapa yang bisa dituju ketika perlu berhutang. Setelah itu biasanya hati saya tak terlalu iri lagi ...... ahahahhahahahaha

Soooooooooo ..... berapa sisa hutangmu yang belum terbayar hari ini? Ehmmm jangan lupa hitung juga hutang puasa Ramadhan yaaaaaa...... sebab sama seperti hutang uang, hutang puasa juga mesti dibayar ...hehehhehehe