Sabtu, 20 Agustus 2011

ANAK SEKARANG

Saya sedang berjaga di warnet tempat saya mencari uang tambahan di luar gaji ketika dialog ini terjadi. Seorang anak seumuran kelas 6 SD menghampiri meja saya dengan kedua tangan di kantung celananya. “Mbak, saya mau ngeprint”, katanya. Saya tanyakan file mana yang perlu di-print. Katanya masih dengan kedua tangan di kantung, “ Ya nyarikan dulu di google, mbak. Temanya soal ...”. Dia tidak sempat menyelesaikan kalimat itu karena saya keburu memontong dengan judesnya, “Itu tugas sekolah! Ya kamu yang cari sendiri! Emang yang sekolah saya?!”. Kentara nyalinya ciut dengan jawaban saya itu. Lalu duduklah dia di depan komputer dan mulai mencari apa yang dia perlukan. Dasar anak sekarang, sungut saya dalam hati.

Lain waktu seorang gadis seumuran SMA mendatangi meja operator ketika saya sedang asyik browsing. Katanya,” Mbak, tolong kerjakan soal di CD ini. Terus nanti save lagi di CD yang ini.” Ehmmmm..... saya gampang sekali meradang dengan urusan semacam ini. Dengan tegas saya jawab, “Disini tidak melayani pengerjaan tugas sekolah. Jadi silahkan kerjakan sendiri!” Dia tidak menyerah dengan penolakan saya. “Wah Mbak, saya minta tolong deh. Saya lagi ulangan nih...ga ada waktu buat ngerjain tugas ginian. Saya perlu belajar. Jadi Mbak aja yang kerjain, ntar saya bayar kok.” Hadeeehhhhhhh ...... jengkelnya saya. “Lha kalau yang mengerjakan saya apa gunanya tugas itu? Tugas itu dibuat untuk melatih kemampuanmu. Jadi ya harus kamu sendiri yang kerjakan.” Saya menolak pekerjaan semacam itu dengan pertimbangan 'mulia' ehhhh kok ditawar dengan uang. Saya bersikukuh dengan keputusan tsb walau si gadis terus merengek. Untung sang ibu yang menyertainya mau mengerti alasan saya. Lagi-lagi saya bersungut-sungut, dasar anak sekarang!

Seorang teman kantor bercerita tentang perilaku anaknya yang dimintai tolong ke warung. Katanya jawaban si anak adalah “ya ntar aja Bu kalau saya mau”. Ahahhahahaha ..... Saya tertawa melihat wajah gemasnya. “Lha wong ibunya yang nyuruh kok jawabannya begitu.... Dasar anak sekarang! Mereka kurang mengerti sopan santun.” lanjutnya. Di lain waktu teman yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris meradang karena muridnya mengerjakan tugas yang diberikan dengan bantuan Google Translate. Lagi-lagi saya geli dan menggodanya dengan menyebut si murid cerdas dalam menggunakan kemajuan teknologi informasi. Jawaban teman saya, “Halah mereka mau enaknya saja! Bahkan hasil terjemahan yang tidak karuan itu tidak mereka baca ulang apalagi diperbaiki! Ahhh sebal saya! Anak sekarang tidak seperti jaman kita dulu!”

Ahhh sebenarnya keluhan tentang 'anak sekarang' selalu muncul dari mulut generasi yang lebih tua terhadap yang lebih muda. Dulu orang tua saya juga mengeluhkan perilaku 'anak sekarang', dan yang dimaksud disini adalah generasi saya. Sekarang saya mengeluhkan generasi di bawah saya. Jadi mungkin saja dulu generasi kakek nenek buyut mengeluhkan generasi kakek nenek. Dan mungkin juga generasi kakek nenek mengeluhkan generasi bapak ibu saya. Lhaaa kayak kereta api yang sambung menyambung dong keluahannya.... Dan kalau keluhan itu benar-benar sambung menyambung, apakah berarti generasi yang lebih muda tak pernah lebih baik dari generasi yang lebih tua? Entahlah ....

Jujur saya selalu heran dengan mereka-mereka yang lahir di era penjajahan dulu. Begitu banyak orang pandai lahir di jaman yang konon luar biasa susah itu. Dan di logika saya, pada masa itu jumlah balita kurang gizi tak terhitung. Tapi sebut saja Sukarno sebagai contoh yang brilian. Berapa bahasa asing yang dia kuasai, kita semua tahu pasti. Belum lagi konsep-konsep pemikirannya. Apakah yang begitu bisa lahir dari bayi yang kurang gizi? Contoh lain Agus Salim. Ahhh sungguh saya mengidolakan pahlawan yang satu ini lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Dan seperti Sukarno, dia juga menguasai berbagai bahasa asing. Walaupun dia lahir dari keluarga yang terpandang, tapi kondisi sebagai bangsa terjajah tentu tidak membuatnya berlimpah fasilitas ini itu dalam menuntut ilmu. Tapi lihat hasilnya. Sukarno dan Agus Salim cuma dua contoh dari kegemilangan generasi masa itu. Dan saya membandingkan satu unsur saja dari mereka dengan diri saya sendiri, yaitu kemampuan berbahasa asing. Boro-boro menguasai tujuh bahasa asing, bahasa Inggris saja saya masih belepotan dan sering 'mati gaya' di depan klien perusahaan. Kalaupun sampai sekarang saya masih saja pe-de menemui mereka karena rata-rata para buyer tersebut masih sanggup tersenyum 'mengerti', malah kadang membantu melengkapi kalimat saya. Dan kalau sudah begitu saya akan menimpali dengan ''yeahhhh that's what I mean...”

Itu tadi baru soal bahasa. Bagaiman dengan soal perilaku? Ehmmmmmm .... ibu saya pernah bercerita betapa dulu kakek menggemblengnya dengan aturan tata krama yang ketat. Ibu selalu berbahasa Jawa halus alias 'boso' terhadap kakek dan nenek. Ibu tidak pernah duduk mengangkat kaki. Tidak pernah juga duduk di atas kursi ketika yang lebih tua duduk di lantai. Selalu patuh dan tidak pernah ada cerita membantah apalagi beradu mulut dengan orang tua. Nah nah nah .... saya bercermin dan hasilnya betapa beda dengan diri saya...... Boro-boro patuh, bahkan berbantahan pun seringkali saya anggap sebagai 'kebebasan berpikir dan berpendapat'. Boro-boro berbahasa Jawa halus, wong kebisaan saya menggunakan bahasa Jawa yang standard pun dianggap ibu saya menyedihkan... hehehheeheheh....

Ketika membicarakan hal ini dengan seorang teman, dia sempat berkata, “masa' sih generasi muda tak pernah lebih baik dari yang diatasnya? Padahal kan yang muda otomatis adalah hasil didikan yang lebih tua?” Ehmmmm ...saya terpikir akan sesuatu. “Waahhhh berarti generasi yang lebih tua salah mendidik yang lebih muda?” Teman saya langsung mendelik, “ Tidak bijak menyalahkan begitu. Sudahlah, kita anggap saja setiap generasi lahir di jaman seharusnya!” Ehhhmmm ..... okay dehhhhh ......

Senin, 15 Agustus 2011

Kartu Lebaran

Sebentar lagi lebaran. Sudah mempersiapkan kartu lebaran untuk dikirimkan pada sanak saudara dan handai tolan yang jauh disana? Pasti banyak yang bakal menjawab pertanyaan tadi dengan “hari gini pakai kartu lebaran....?”. Heheheeh .... memang rasanya saat ini kartu lebaran tak lagi banyak digunakan. Paling tidak seingat saya sejak enam tahun terakhir tak pernah lagi mengirim atau menerima kartu lebaran. Gantinya ya apalagi kalau bukan SMS dan e-mail. Malah sering-sering pakai ucapan 'berjamaah' yaitu menumpang pada gambar atau foto bertulis selamat lebaran bla bla bla yang di-posting teman di Facebook dan di-tag ke banyak orang. Disitulah, bersama banyak orang, saya 'bermaaf-maafan'. Ahhhhh .....demikianlah era digital.....

Saya ingat sekali dulu ketika lebaran menjelang, bapak saya akan mencetak kartu lebaran untuk dikirimkan ke kerabat dan teman. Ini dilakukan karena kalau dihitung-hitung cukup banyak juga yang perlu dikirimi kartu lebaran. Jadi mencetak sendiri adalah pilihan yang selain untuk menghasilkan kartu ucapan dengan tampilan yang cukup formal, juga secara biaya lebih murah. Pada saat itu biasanya akan terjadi sedikit perdebatan pemilihan warna dan kalimat yang tertera di dalamnya, karena ini adalah kartu lebaran personal, dengan nama, alamat rumah, dan alamat kantor tertera di dalamnya. Lalu bapak saya membubuhkan tanda-tangan dan kami bergotong-royong menuliskan alamat dan menempelkan perangko di masing-masing amplop lalu membawanya ke Kantor Pos kira-kira dua minggu sebelum hari H. Dan ketika lebaran datang kami akan menerima kartu yang kurang lebih sejenis. Oh iya, dulu ibu saya seringkali mengukur seberapa 'ingat' kerabat dan teman kepada keluarga kami dengan melihat siapa saja yang mengirimkan kartu lebaran. Tentu yang memberikan tambahan ucapan yang lebih personal lagilah (seperti menanyakan keadaan keluarga kami) yang dianggap ibu paling 'ingat'. Tentu yang tidak mengirimkanlah yang paling tidak 'ingat'. Dan semakin sedikit kartu lebaran yang kami terima, maka artinya semakin sedikit pula yang 'ingat' kepada kami ...... demikian logika sederhananya ... ahhahahaha..... Oh iya, dulu ibu saya selalu memilih kartu lebaran dengan ukuran yang agak besar dengan gambar yang elegans serta kalimat sederhana yang santun untuk dikirimkan kepada seorang yang sangat dihormati. Menurut ibu saya, tidak cukup sopan mengirimkan kartu lebaran berupa kartu cetak kepada orang-orang seperti ini. Nah nah nah .... berkirim kartu lebaranpun menimbang soal adat kesopanan.

Saya sendiri mulai berkirim kartu lebaran ketika kuliah. Yang saya kirimi tentu saja teman-teman kuliah yang pada pulang kampung ke daerahnya masing-masing. Dan karena kantong saya cukup cekak, maka kartu lebaran yang murah meriahlah yang saya pilih ... hehheehehe .... asal bisa menghantarkan perhatian ke sahabat-sahabat. Nah berawal dari kantong yang cekak inilah, bersama beberapa teman, saya membuat jasa pembuatan kartu ucapan handmade. Sebenarnya awalnya tidak sengaja. Iseng-iseng saya membuat map dari karton tebal dan kertas sisa. Pada masa itu ketentuan di kampus bahwa konsep dan tugas gambar harus dikerjakan di atas kertas tebal, bukan kalkir. Konon ini untuk meminimalkan penjiplakan. Jadi setiap semester selalu saja kertas tebal warna-warni menjadi kebutuhan pokok. Karton tebal saya kombinasikan dengan kertas warna mencolok, jadinya lumayan manis. Dan melihat itu entah bagaimana tahu-tahu kami sudah mengumpulkan sisa-sisa kertas tugas lalu membuat desain kartu ucapan. Bahannya macam-macam dan karena semuanya sisa jadi tidak ada standar yang jelas. Malah kami cenderung menambahkan apapun yang tampak oleh mata sebagai elemen pemanis, seperti busa topi, ranting kering, bunga semak, karton bekas, rumput kering, dan lainnya. Pendek kata kami cuma beli lem dan tinta warna-warni saja. Lainnya barang sisa. Bahkan kalimatnya pun kami tulis dengan tulisan tangan biasa. Karena itulah oleh pembeli kartu kami dicap bergaya natural yang rustic .... ahhahahahaah.....

Itu dulu. Sekarang saya tak merasa perlu kartu lebaran lagi. Karena semua terasa sudah ada di 'genggaman' alias bisa digantikan oleh produk hasil perkembangan teknologi yang bernama handphone. Mau kirim ucapan selamat lebaran ya tinggal ketik SMS lalu kirim secara 'berjamaah' ke mereka. Jauh lebih sederhana dibandingkan keruwetan yang timbul ketika bapak saya berkirim kartu lebaran dulu. Tapi kalau dulu ketepatan sampai tergantung pada Kantor Pos, sekarang harus menggantungkan diri pada provider teleponnya. Sebab, berkirim ucapan dengan SMS sudah jadi hal yang sangat umum. Jadi bisa dibayangkan berapa juta manusia yang saling berkirim SMS pada saat yang bersamaan. Maka sering-sering macetlah si jalur karena kelebihan beban. Efeknya, si SMS kalau tidak tertunda dan bakal sampai berhari-hari setelahnya, ya hilang di 'jalan'.

Soal konten SMS, ehmmmm sangat beragam. Mulai dari yang 1000% serius hingga yang konyol-konyolan. Dari yang berbahasa asing, sampai yang berbahasa daerah. Dari yang polos tanpa gambar, hingga yang full berhias. Dari yang singkat padat jelas, hingga yang panjang bertele-tele. Mengenai konten ini saya pernah punya pengalaman agak lucu. Suatu saat saya membuat ucapan yang benar-benar saya karang sendiri dan mengirimkannya ke banyak teman. Lalu tahu-tahu saya menerima ucapan yang persis sama kalimat dan titik komanya dari teman saya. Iseng saya tanyakan, jawabannya “Iya tadi belum buat ucapan, eh sudah terima dari kamu. Bagus sih, jadi aku forward saja teman-temanku. Jadi balik ke kamu juga ya ...” Heehheheeheh .... untung ya saya tidak menarik royalti dari ucapan itu.

Oh iya, seperti yang saya bilang di awal tadi, SMS bukanlah satu-satunya pengganti kartu lebaran di era digital ini. Ada yang lebih praktis lagi, yaitu dengan memasang status ucapan selamat lebaran dan seterusnya di akun Facebook, Twitter, dan messenger. Alhasil tersebarlah ke mereka yang ada di list kita. Dan rasanya sah-sah saja, dalam artian bisa diterima dengan mahfum, tanpa berpikir kurang sopanlah, atau apalah. Malah bisa dipastikan akan ada saja yang ikut numpang di wall kita itu, dan jadilah ajang halal bihalal maya. O la la praktisnya..... Dan yang penting murah pula.

Nah, lebaran sebentar lagi. Dan seperti tahun-tahun yang lalu saya tidak menyiapkan kartu lebaran. Yang penting selama ada pulsa di handphone pasti amannnnnnnnn ....... Soal apakah benar-benar permintaan maaf itu keluar dari hati dan diterima dengan sepenuh hati pula, ehmmmmmm hanya Allah yang tahu......

Kamis, 11 Agustus 2011

ANTI AGING

Tempo hari saya rasakan satu bagian di kepala saya gatal sekali. Cuma ada satu penyebab gatal yang terpikir di benak saya, yaitu ketombe. Karena memang yang namanya ketombe jujur saja datang dan pergi dari kepala saya, karena ketidaksetiaan saya terhadap satu jenis shampo. Juga kebiasaan mengenakan kerudung pas ketika kepala masih kuyup sisa keramas. Nah nah nah ... berbekal persepsi itu keramaslah saya dengan shampo anti ketombe yang katanya paten dan memang saya pernah membuktikannya. Tapi kali ini tidak. Bagian itu tetap gatal kedati tadi saya sempat bershampo dua kali. Iseng-iseng mengacalah saya untuk melihat bagian tersebut. Daaannnnnn olalala .... ternyata ada uban disana! Tidak cuma satu, tapi lima dan bergerombol di area yang sama. Setelah tuntas mencabutinya satu persatu saya tercenung.

Uban, kata orang memang menyebabkan gatal. Dan identik dengan tua. Jujur saja, saya miris menjadi tua. Bukan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh industri kosmetik dalam iklan televisi. Bukan, saya tidak memikirkan tua dalam artian muka berkeriput, mata berkantung, dan kulit yang bercorak. Saya memikirkan tentang tua yang sebenarnya, bukan sekedar tua yang mengarah pada 'bungkus' atau casing saja. Tua yang mengacu pada 'bungkus' dan 'casing' rasanya sudah diberikan solusinya oleh industri kecantikan dan kosmetika. Lihat saja berapa banyak iklan kosmetik yang mengusung jargon 'anti aging'. Coba hitung pula jumlah salon yang menawarkan perawatan ini itu untuk menghilangkan keriputlah, mengencangkan wajahlah, operasi plastiklah, dan tetek bengek lainnya yang berujung pada 'terlihat kembali muda'. Terlihat ..... saya selalu menggaris bawahi kata ini untuk semua cara dan formula itu. Lalu, jika wajah tetap kinclong kinyis kinyis ala bayi apakah berarti kita tak lagi menjadi tua?

Tua. Ehmmm sampai detik ketika menemukan uban di kepala, saya selalu berpikir saya tak cukup tua, walaupun juga tidak muda sekali. Sebenarnya itu cuma kalimat panjang untuk mengatakan bahwa saya percaya saya masih muda. Apalagi sayalah yang termuda dalam keluarga inti selama ini Tapi rasanya kepercayaan itu terpatahkan dengan bukti uban di kepala saya. Jika saya sudah beruban, lalu apa bedanya saya dengan bapak dan ibu saya yang kepalanya sudah putih rata? Ya ya ya memang sekarang baru ditemukan lima helai, tapi bukankah yang lima itu bukti bahwa ada proses yang sedang aktif berjalan?

Sebenarnya ini kedua kalinya saya merasa tua. Dulu ketika kakak perempuan saya melahirkan anaknya yang pertama, yang berarti keponkan pertama saya, saya tersadarkan oleh satu hal : generasi baru telah lahir tepat di bawah saya. Tapi waktu itu saya tidak tercenung karena toh yang saya hadapi masih berupa bayi tak berdaya yang menggemaskan. Tapi sekarang, ketika saya temukan uban itu, si generasi baru ini ternyata sudah menginjak bangku SMP dan tingginya pun sudah melampaui bahu saya. Ahhhh .... proses yang bernar-benar aktif bergerak.

Jadi intinya, saya cukup resah. Benar-benar bukan masalah takut keriput. Tapi takut menjadi tak berdaya. Saya mulai berhitung apa yang saya lakukan sekarang. Saya produktif bekerja. Saya juga sibuk berencana ini itu dan mulai merintisnya. Saya mengerahkan energi dengan satu pikiran ada waktu yang masih terasa luang dan panjang. Sering-sering saya berangkat tidur lewat tengah malam dengan kepala yang masih berputar akan apa yang harus dan akan dikerjakan esok. Sering-sering juga masih berandai-andai hal indah yang ingin saya lakukan. Saya hidup dengan semua itu. Dan rasanya itu bukti bahwa sebuah kemudaan walau hanya berupa harapan dan cita-cita.

Harapan dan cita-cita. Rasanya masa muda penuh dengan keduanya. Karena ya itu tadi, ada waktu di depan yang terasa panjang, walau sebenarnya belum tentu juga panjang. Beda dengan mereka yang sudah berumur tua. Apalagi yang diharapkan wong kita sudah tua, kalimat ini sering sekali saya dengar dalam pembicaraan orang tua saya dengan teman-teman seangkatannya. So, kalau sudah tua berarti tak punya harapan lagi? Atau tidak patut berharap? Karena ada waktu yang secara logika manusia cuma tinggal sejengkal? Mungkin kurang lebih seperti itu. Dan yang paling kentara adalah tak ada lagi kegiatan harian yang padat. Contoh nyata akan hal ini saya temuai di rumah setiap kali pulang kampung. Bapak saya yang dulu setiap hari berangkat ke kantor dan sering kali masih membawa pulang pekerjaannya dalam berbagai bentuk, kini adalah orang rumahan yang bisa bangun atau berangkat tidur seenaknya. Tak ada lagi target atau dead line kerja. Enakkah seperti itu? Entahlah. Kalau Bapak saya bilang sih, yaaaaa beginilah masa pensiun. Dan saya membandingkannya masa pensiun itu dengan ritme hidup saya sekarang. Ehmmmmm .....

Nah nah nah ..... tua. Kata seorang teman saya terlalu mendramatisir masalah penemuan uban. Ehmmmm ... mungkin juga dia benar. Tapi saya sudah kadung merasa gelisah dan jadi mulai menafsirkan ungkapan seorang filsuf Yunani 'berungtunglah mereka yang mati muda'. Mungkin memang berurntung karena paling tidak mati muda berarti mati tidak dalam kondisi tak bisa berharap dan bercita-cita lagi. Teman saya membantah. Katanya ya malah rugi besar, wong masih asyik-asyiknya produktif kok mati. Apalagi kalau matinya melalui proses panjang seperti sakit parah lama. Tambah tidak enak lagi, katanya, masih muda tapi tak produktif eh malah membebani yang lain. Ehmmmmmm ..... benar juga..... Lalu teman saya bilang, mungkin yang benar adalah 'beruntunglah mereka yang mati mendadak'. Kontan saya mendelik. Katanya, karena yang mati mendadak tak akan sempat berpikir ruwet-ruwet seperti saya.

So...... akhirnya saya pikir industri kecantikan telah salah membuat provokasi. Mereka sibuk mengompori konsumen terutama perempuan untuk melakukan perawatan anti aging pada mukanya. Tujuannya apalagi kalau tidak melawan proses tua. Tapi apa yang mengalami penuaan cuma muka saja? Tidak bukan? So seharusnya yang perlu diawetkan tidak cuma muka! Apa gunanya muka masih muda kinyis-kinyis tanpa keriput jika hati dan pikiran telah layu tanpa harapan? Untuk pernyataan ini paling tidak teman saya tadi membuat statement yang mati mendadaklah yang beruntung, setuju dengan saya .....