Sabtu, 13 Februari 2010

Jalan Dan Galah

Hari ini saya bertemu dan berbincang panjang lebar dengan seorang ibu. Dan pembicaraan kami membuat saya tercenung karena kepala saya mendadak penuh dengan satu pertanyaan besar plus kekangenan yang luar biasa kepada kedua orang sepuh yang dua minggu lalu saya kunjungi.

Sebenarnya saya mengenal ibu ini sudah sejak tiga bulan yang lalu dan setiap minggu secara rutin saya bertandang ke rumahnya karena satu urusan. Sejak pertama kali kenal kami langsung banyak bicara, hal yang agak luar biasa bagi saya karena saya bukan tipikal orang supel yang mudah akrab dengan orang lain, terlebih lagi mereka yang usianya agak jauh di atas saya (malah banyak orang mengecap saya sebagai si judes … eheheheeh). Waktu itu si ibu bercerita tentang kelima anaknya (sebenarnya enam orang, tapi satu orang meninggal ketika bayi) yang sudah dewasa dan cukup sukses di bidang pekerjaannya masing-masing. Dan si ibu, yang sekarang menjadi janda, tentu sangat bangga dengan kesuksesan tersebut sehingga bercerita segala hal dengan wajah penuh binar. Sama sekali saya tidak menganggap itu sebagai bentuk kesombongan. Sebaliknya saya anggap itu sangat wajar adanya, karena prestasi terbesar orang-tua sebenarnya adalah ketika mereka bisa mengantarkan anak-anaknya ke kehidupan yang baik, bahkan melebihi kehidupan yang telah mereka alami. Penuh semangat si ibu bercerita tentang anak bungsunya yang berkali-kali memberikan kebanggaan dengan prestasi akademiknya yang luar biasa sehingga menjadi andalan di kampusnya, sebuah institut teknologi negeri ternama di Surabaya. Sang ibu menyebutnya sebagai 'si pintar luar biasa'. Dan dalam masa kuliahnya ini si anak telah mengantongi status pegawai di sebuah perusahaan swasta sehingga otomatis biaya kuliahnya dibayar dengan beasiswa plus tambahan gaji bulanan sebagai pegawai. Si nomor lima, seorang perempuan semata wayang, saat ini mempunyai jabatan tinggi di sebuah sekolah internasional di Bali. Tiga anak laki-laki lainnya tak kalah membanggakan. Si nomor dua berkarir di sebuah hotel di Jakarta. Sukses juga. Si nomor tiga, seorang pegawai swasta, ehmmmm sukses juga. Sedangkan si sulung selain bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal di Surabaya juga menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Ehmmmmm..... bisa dibayangkan orang-tua mana yang tak meluap hatinya melihat keadaan anak-anak yang mereka perjuangkan sejak kecil. Lalu masih dengan wajah bersinar-sinar, si ibu berkata bahwa secara finasial anak-anaknya menjamin, terutama si perempuan semata wayang. Namun seperti banyak orang-tua lain, dia tetap bekerja, walau katanya tidak sengoyo dulu, karena tak enak hati menadah tangan pada mereka semua. Sempat saya bilang bahwa sudah sewajarnya mereka menjamin kehidupan orang yang telah menjamin kehidupan mereka di masa kecil, apalagi mereka dalam kondisi berkecukupan semua. Tapi si ibu tetap pada pendiriannya untuk tidak merepotkan anak-anaknya. Secara guyon saya bilang,”Wah ibu menghalangi anak-anak untuk berbakti membalas budi orang-tua nih ….. “ Dia tertawa. Di hari-hari selanjutnya, masih ada saja cerita tentang anak-anak yang membanggakan itu. Di sela-sela mendengarkan sering saya berpikir apakah orang-tua saya punya bahan cerita seperti itu ketika berkumpul dengan teman-temannya. Dalam hari saya agak nelangsa.

Lalu tiba-tiba hari ini saya lihat wajahnya agak mendung. Cerita mengalir dari bibirnya. Tentang seorang anak (lebih baik saya tidak sebut yang nomor berapa) yang menurutnya tidak berperilaku pantas terhadap dirinya. Si anak karena keperluan dinas mesti tinggal di Surabaya dan memilih tinggal di rumah ibunya. Sudah beberapa lama hal itu berjalan. Dan sekarang karena sang istri sedang repot dengan bayi kedua mereka, maka si anak membawa serta anak sulungnya yang nota bene adalah cucu si ibu untuk tinggal bersama sang nenek. Sampai disitu saya tidak melihat hal yang membuat sedih si ibu, karena saya bandingkan dengan orang-tua saya yang selalu sumringah ketika cucu-cucunya datang. Lalu titba-tiba munculah sang cucu. Nahhhhh disini saya baru melihat masalahnya. Ternyata si cucu manja dan cukup nakal sehingga sang nenek kuwalahan menghadapinya. Di depan saya si bocah laki-laki itu mengamuk karena suatu hal kecil dan mulai memukul menendang si nenek. Sontak saya pegang si kecil agar tidak berhasil meneruskan misinya. Dia meronta-ronta dalam pegangan saya. Saat itu anak si ibu datang melihat kelakuan anaknya. Tapi melihat dalam arti yang sebenarnya, berdiri di jarak lima meter dari saya yang kerepotan menghalangi bocah itu memukuli neneknya. Dengan nada yang cukup biasa dia bicara pada anaknya, “ Kenapa sih? Hayo berhenti!” Jujur saya mengharapkan tindakan yang lebih dari sekadar kata-kata darinya. Tapi tak terjadi. Beruntung si bocah tak lama kemudian jadi lebih tenang.

Setelah itu justru si ibu ganti yang 'bereaksi'. Dengan air mata yang turun susul menyusul dia menceritakan tingkah sang anak, alias si orang tua bocah. Mulai dari sikap sangat perhitungan terhadap setiap rupiah yang diberikan kepada sang ibu untuk mengasuh bocah yang dititipkannya, sikap pasangannya yang tak pernah mencintai ataupun menghargai ibu mertuanya, kelakuan 'membedindekan' sang ibu dengan menyuruh membereskan keperluan pribadinya (termasuk mencuci pakaian mereka, memasak, sampai membuatkan kopi), hingga mengeluarkan kata-kata kasar seperti bodoh dan menyebut sang ibu pelacur karena sang ibu cuma menikah siri dengan ayah tiri mereka.

Air mata si ibu terus susul-menyusul merambati pipinya. Sungguh nelangsa saya melihatnya. Nelangsa karena kemarin-kemarin saya cuma mendengar hal yang 'luar biasa' tentang anak-anaknya. Saya jadi mengerti bahwa kemarin-kemarin si ibu sedang melakukan apa yang oleh Pak Harto dulu disebut sebagai mikul duwur mendem jero. Artinya kurang lebih memperlihatkan hal-hal yang baik dan menutupi hal-hal yang buruk. Ahhh tipikal orang-tua.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Demikian dulu ibu saya pernah berujar ketika saya di bangku TK. Waktu itu saya bertanya kenapa sepanjang jalan. Jawaban ibu, karena jalan itu tak pernah ada putusnya, selalu menyambung, berurai kesana kemari, tak hingga panjangnya. Lalu kenapa galah, tanya saya penasaran. Dengan lirih ibu saya menjelaskan betapa terbatasnya panjang sebuah galah. Dulu saya tak cukup paham dengan hal itu. Sekarang saya sangat paham.

Hari ini kepala saya penuh dengan pertanyaan, anak seperti apakah saya? Baikkah? Sedangkah? Burukkah? Apa yang dipikirkan oleh orang-tua tentang saya?

Ah andai cuma galahlah yang pantas untuk mengukur kasih saya sebagai seorang anak, saya berharap bisa menyambung setiap galah yang saya temui dalam hidup saya hingga panjangnya tak beda jauh dengan jalan ….....