Yesssssss.... itu rumah saya. Ehmmmm sudah boleh belum ya disebut milik
saya sementara cicilannya masih harus ditempuh sembilan tahun lagi? Aih aih....
masih lama. Berarti bisa dihitung deh aslinya berapa persen darinya yang sudah
saya lunasi .... hehehehhe ....
Memang saya termasuk kategori yang terlambat dalam hal kepemilikan rumah. Beberapa
teman begitu selesai kuliah dan dapat kerja kantoran langsung memutuskan untuk
mengambil KPR, tak peduli gajinya cuma cukup untuk perumahan di pinggiran kota.
Sementara saya saat itu lebih menikmati euforia punya uang sendiri dengan
membeli buku dan makanan yang sebelumnya tak terjangkau. Saat itu juga terpikir
bahwa untuk sebuah rumah saya belum mampu karena toh saya tak punya apa-apa
untuk bayar DP-nya. Saya merasa tak layak untuk berhutang atau malah meminta
dana hibah pada orang tua, seperti yang orang lain lakukan untuk memenuhi DP.
Itu satu alasan. Alasan lainnya adalah saya waktu itu belum merasa terikat
dengan satu kota sehingga tak merasa perlu sarang disana. Entah mengapa waktu
itu saya merasa tak akan selamanya tinggal di Surabaya. Jadi tak perlu sarang
yang berupa rumah, sebuah kamar kos cukuplah sudah. Dan tinggalah saya di kamar
kos dengan daerah kekuasaan cuma sekitar sembilan meter persegi selama belasan
tahun. Bayangkan, belasan tahun!
Sampai suatu hari saya tiba pada satu kesadaran bahwa saya sangat yakin
saatnya pulang ke kampung halaman. Lalu seorang teman mengingatkan untuk ambil
KPR sebelum meninggalkan kerja kantoran karena bank suka ga percaya dengan
pekerja rumahan. Benar juga ide itu. Sekaligus menyadarkan saya bahwa sekian
tahun bekerja penghasilan saya tak terlihat wujudnya selain berupa buku
berkardus-kardus. Itu momen saat saya yakin saatnya untuk bersarang. Toh sudah
jelas dimana saya akan terikat. Jadilah saya berburu. Cukup singkat, cuma butuh
kisaran tiga bulan untuk menemukannya. Kebetulan ada teman juga yang membantu
segala prosesnya. Orang bilang membeli rumah itu mirip dengan mencari jodoh,
tidak bisa dipaksa, dan kalau sudah ‘jatahnya’ maka semua akan lancar jaya. Seperti
itulah yang saya alami.
Nah, itu sarang saya. Sebenarnya masih belum benar-benar jadi sarang saya
sesungguhnya karena toh saya masih tinggal di rumah orang tua. Kondisinya juga
masih standar sekali, belum berbagar, apalagi berperabot. Ukurannya kecil saja
(mampunya masih segitu), dan berembel-embel ‘subsidi pemerintah’. Tapi menyebutnya
sebagai ‘rumah saya’ terasa menyenangkan. Membuat saya merasa lebih layak untuk
disebut manusia dewasa yang mampu mengatur hidup.