Rabu, 30 April 2014

Sarang

Yesssssss.... itu rumah saya. Ehmmmm sudah boleh belum ya disebut milik saya sementara cicilannya masih harus ditempuh sembilan tahun lagi? Aih aih.... masih lama. Berarti bisa dihitung deh aslinya berapa persen darinya yang sudah saya lunasi .... hehehehhe ....

Memang saya termasuk kategori yang terlambat dalam hal kepemilikan rumah. Beberapa teman begitu selesai kuliah dan dapat kerja kantoran langsung memutuskan untuk mengambil KPR, tak peduli gajinya cuma cukup untuk perumahan di pinggiran kota. Sementara saya saat itu lebih menikmati euforia punya uang sendiri dengan membeli buku dan makanan yang sebelumnya tak terjangkau. Saat itu juga terpikir bahwa untuk sebuah rumah saya belum mampu karena toh saya tak punya apa-apa untuk bayar DP-nya. Saya merasa tak layak untuk berhutang atau malah meminta dana hibah pada orang tua, seperti yang orang lain lakukan untuk memenuhi DP. Itu satu alasan. Alasan lainnya adalah saya waktu itu belum merasa terikat dengan satu kota sehingga tak merasa perlu sarang disana. Entah mengapa waktu itu saya merasa tak akan selamanya tinggal di Surabaya. Jadi tak perlu sarang yang berupa rumah, sebuah kamar kos cukuplah sudah. Dan tinggalah saya di kamar kos dengan daerah kekuasaan cuma sekitar sembilan meter persegi selama belasan tahun. Bayangkan, belasan tahun!

Sampai suatu hari saya tiba pada satu kesadaran bahwa saya sangat yakin saatnya pulang ke kampung halaman. Lalu seorang teman mengingatkan untuk ambil KPR sebelum meninggalkan kerja kantoran karena bank suka ga percaya dengan pekerja rumahan. Benar juga ide itu. Sekaligus menyadarkan saya bahwa sekian tahun bekerja penghasilan saya tak terlihat wujudnya selain berupa buku berkardus-kardus. Itu momen saat saya yakin saatnya untuk bersarang. Toh sudah jelas dimana saya akan terikat. Jadilah saya berburu. Cukup singkat, cuma butuh kisaran tiga bulan untuk menemukannya. Kebetulan ada teman juga yang membantu segala prosesnya. Orang bilang membeli rumah itu mirip dengan mencari jodoh, tidak bisa dipaksa, dan kalau sudah ‘jatahnya’ maka semua akan lancar jaya. Seperti itulah yang saya alami.

Nah, itu sarang saya. Sebenarnya masih belum benar-benar jadi sarang saya sesungguhnya karena toh saya masih tinggal di rumah orang tua. Kondisinya juga masih standar sekali, belum berbagar, apalagi berperabot. Ukurannya kecil saja (mampunya masih segitu), dan berembel-embel ‘subsidi pemerintah’. Tapi menyebutnya sebagai ‘rumah saya’ terasa menyenangkan. Membuat saya merasa lebih layak untuk disebut manusia dewasa yang mampu mengatur hidup. 

Yessssss .... dunia, itulah sarang saya! Oh iya, itu Bapak saya yang ada di foto :D