Rabu, 31 Desember 2014

Am I A Writer ?

Seorang teman lama berkirim surel dengan subyek Hello Writer beberapa tahun yang lalu. Dia melakukannya karena melihat sebuah cerpen tertulis nama saya di bawah judulnya di sebuah majalah. Seingat saya itu cerpen kedua saya yang dianggap layak oleh majalah tersebut untuk diterbitkan. Saat membaca surel itu kontan saya bertanya pada diri sendiri, am I a writer? Lalu lama setelahnya seorang temannya teman menghubungi saya. Katanya dia minta saya untuk membaca naskah novelnya, ya semacam proof read-lah ya. Saya heran karena yang saya tahu dia cukup punya pengalaman di dunia jurnalistik walau bukan penulis novel. Kok saya? Jawabnya karena dia tahu saya penulis lepas dan senang sekali baca novel. Gandrung dengan novel saya akui betul. Tapi penulis lepas, ehmmmm... am I?

Menulis untuk saya memang salah satu hobi. Dan jadi lebih hobi lagi ketika sudah merasakan honornya... hehehhee... Yes, uang memang membuat hobi jadi lebih menarik lagi untuk dikerjakan. Berbahagialah mereka yang berhasil sukses secara finansial dengan mengerjakan hobinya. Rasanya itu pekerjaan idaman semua orang. Yes, paling tidak beberopa kali saya dapat uang dari menulis. Dan selama beberapa tahun ini saya cukup konsisten menulis ini itu termasuk cerita (tidak termasuk status di media sosial ya) sebanyak kisaran 40-80 halaman. Tapi apakah itu berarti saya cukup layak menyebut diri penulis? Aihhhh mengerikan ..... hahahaha...

Pokoknya intinya adalah saya merasa belum pantas menyebut diri sebagai penulis. Sebab bagi saya penulis itu lebih dilihat dari kualitas tulisannya ketimbang berapa banyak tulisan atau buku yang berhasil dia terbitkan. Karena kenyataannya sekarang menerbitkan tulisan atau buku rasanya semakin mudah saja. Lihat saja di toko-toko buku. Begitu banyak bertebaran anek judul ini itu segala macam topik, genre, atau apapun itu. Banyak sekali. Sebagian tentu termasuk bestseller. Tapi menurut saya belum tentu yang bestseller itu berkualitas. Paling tidak menurut standar kualitas saya ada saja bestseller yang kurang berkualitas ...heheheheh... maaf yaaaa.... Ya menurut saya begitu sih kenyataannya. Sebab bagaimanapun dunia tulis menulis juga adalah industri, sama dengan musik dan bidang-bidang lainnya. Jadi tetap ada tulisan-tulisan yang dibuat untuk keperluan industri, sekedar memuaskan selera umum yang begitu-begitu saja.


Jadi masalahnya adalah kualitas. Dan saya sadar diri bahwa apa yang saya hasilkan belum cukup berkualitas untuk bisa menyebut diri saya sebagai penulis. Saya masih sering terheran-heran setelah membaca karya penulis-penulis lain. Kok bisa ya mereka membuat seperti itu? Bagaimana proses kreatifnya? Bagaimana proses mikirnya? Bagaimana proses risetnya? Bagaimana ...? Bagaimana ...? Bagaimana ....? Entah berapa banyak bagaimana lainnya. Dan ujung dari rentetan bagaimana itu selalu ke satu hal : saya kok belum sampai segitu ya? Ya, ujung dari kalimat itu adalah sebuah tanda tanya, bukan titik. Tanda tanya karena di dalamnya ada kepenasaran, juga harapan, juga upaya untuk mencapai titik tersebut. Menghasilkan karya yang bestseller tentu jadi idaman. Tapi yang saya inginkan adalah bestseller yang bersanding dengan kualitas tinggi. Ambisius? Ehmmm.... tak apalah. Toh cita-cita harus setinggi langit. Kalau hanya setinggi mata kaki ya sebut saja putus asa...  Iya kan?

Kamis, 27 November 2014

MOVE ON

Move on rasanya kata yang saat ini sedang happening banget, disamping kata galau. Ya, move on yang terjemahan bebasnya menurut saya adalah lanjut alias tidak berhenti di satu titik. Kata ini bisa mengacu ke banyak konteks. Saya ingat betul kata itu yang saya gunakan untuk bicara kepada seorang teman yang suaminya baru saja meninggal dunia. Mengenal mereka berdua sebagai pasangan yang kompak, juga mengetahui apa yang dialami si suami pada saat-saat akhir hidupnya dan perjuangan yang sudah dilakukan mereka, membuat saya merasa perlu mengambil waktu khusus untuk bicara pada istri yang ditinggalkan. Waktu itu saya bilang padanya untuk segera move on, mengingat ada hidup yang harus dilanjutkan, tidak hanya hidupnya tapi juga hidup anak-anak yang kini tak punya tempat bergantung selain ibunya. Saya sengaja menekankan kata move on ini karena dari apa yang sudah pernah saya lihat, perempuan lebih lama move on-nya ketimbang laki-laki ketika pasangannya meninggal. Memang banyak kisah perempuan yang berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan setelah suaminya meninggal. Itu tentu move on yang berhasil. Tapi menurut saya tak sepenuhnya berhasil jika dalam diri perempuan itu sendiri masih ada ruang sakral khusus untuk mendiang yang membuat hidupnya jika di zoom tak lengkap. Bukan maksud saya bahwa setelah seorang janda harus menikah kembali untuk membuktikan ke-move-on-annya. Tak harus. Tapi jika dia masih menyisakan ruang sakral untuk sang mendiang, lalu menganggap kehidupan pribadinya telah selesai dan yang sisa adalah kewajiban terhadap anak-anak mereka, maka saya anggap itu bukan move on yang manis.

Balik kepada teman saya tadi. Ketika saya bilang padanya untuk segera move on, jawaban yang keluar dari mulutnya sungguh mantap dan cepat. Katanya tentu dia akan segera bangkit dan tak akan diam di titik ini lama-lama. Baguslah pikir saya, walau jujur agak ragu juga. Tapi kemudian ucapan itu terbukti. Tak sampai setahun berlalu dengan wajah cerah dia menggandeng seseorang, calon suaminya. Sekali lagi saya berpikir baguslah. Tapi ternyata tak semua orang sependapat dengan saya. Suara-suara mencela muncul, intinya mereka bilang terlalu cepat dan mengabaikan perasaan anak-anak. Mereka mulai berpedapat tanpa diminta, juga mengenang betapa baik si mendiang. Ehmmmm .... jujur saya malas berkomentar soal yang begini. Soal baik atau tidak rasanya tak berhak menilai. Saya mah percaya-percaya saja keputusan seperti itu telah melalui proses berpikir yang serius. Dia berhasil move on. Lhah kok ternyata justru orang-orang di sekitarnya yang masih belum berhasil move on ya?

Masalah move on ternyata tidak melulu masalah hati perorangan. Move on juga dikenal dalam masalah politik. Tidak percaya? Mari saya jelaskan. Pilpres 2014 yang lalu bagi saya adalah Pilres yang sangat brutal. Bangsa ini seakan terbelah menjadi dua kubu sesuai kandidat jagoannya. Dan parahnya, suasana jadi panas sekali karena keduanya saling menjelekkan demi mengangkat pamor jagoannya. Dunia maya bagaikan medan perang; panas dan kejam. Berita negatif bertebaran dimana-mana. Entah apakah itu kampanye model seperti itu berhasil menarik pemilih dan membuat para kandidat terlihat luar biasa, yang pasti itu malah membuat saya berbalik arah. Awalnya saya cukup bersemangat menyambut Pilpres dan berniat menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan kandidat. Tapi kemudian kebrutalannya membuat saya muak. Saya putuskan tidak memilih siapapun dan menerima siapapun asal semuanya segera berlalu. Puji syukur ada event World Cup. Jadilah saya memfokuskan perhatian pada sepak bola.

Begitu Pilpres usai eh ternyata suasana masih panas juga. Gonjang-ganjing penghitungan suara yang dinilai penuh rekayasa yang berbuntut ini itu. Lalu ribut-ribut di parlemen yang sampai ketika saya menulis ini masih tak selesai juga. Itu level elit politik. Di level-level bawahnya lagi para anggota partai tak kalah giat dalam hal memanaskan suasana. Lagi-lagi dunia maya menjadi arenanya. Lihat bagaimana media sosial penuh dengan berita ini itu yang nadanya miring terhadap pemerintah. Okay saya mengerti maksudnya adalah mereka berperan sebagai oposisi bagi pemerintah yang berkuasa yang notabene kubu mantan lawan mereka semasa Pilpres tempo hari. Tapi kok ya menjadi oposannya begitu amat. Saya tidak membela siapa-siapa. Cuma saya kok merasa sebagai oposisi para politikus di media sosial ini kurang elegan mainnya, kalau tidak mau dibilang kurang cerdas. Lihat cara mereka yang seragam : men-share berita yang sumbernya satu, yaitu situs partai mereka sendiri. Jadi mereka sekedar membenarkan apa yang diomongkan oleh partai lalu membelanya mati-matian seakan itu adalah hal benar yang sudah tertulis dalam kitab suci. Oalahhhh.... mbok ya lebih elegan tho, sekali lagi kalau tidak mau dibilang mbok ya lebih cerdas. Dan parahnya, sering sekali yang dibahas adalah hal remeh temeh yang tak penting dan tak bermutu sama sekali, yang akhirnya malah jadi penyerangan terhadap pribadi atau malah pembunuhan karakter. Saya jadi mikir apa mereka tak punya cukup otak untuk berpikir sehingga ketika disuruh elit partainya untuk men-share berita langsung saja dilakukan tanpa ada merasa perlu untuk membaca dan mempertimbangkannya lagi? Satu logika saja, jika kita berniat untuk menjadi oposan yang berbobot, ya paling tidak rujukannya nggak cuma satu sumber yang subyektif begitu dong.... Apa mereka paling tidak merasa anehlah ketika sebagai oposisi yang dikritisi cuma hal-hal remeh temeh yang tak mendasar seperti itu?


Jawaban atas pertanyaan saya di atas cuma satu : banyak yang secara politik belum berhasil move on. Kalau mau jadi oposisi yang bermutu ya move on dululah biar hati dan pikiran jernih.... Begituuuu.... 

Rabu, 29 Oktober 2014

Satu Saat Nanti

Dua hari lalu saya baru mulai membaca Physics Of The Future, How Science Will Shape Human Destiny And Our Daily Lives By The Year 2100 karya fisikawan dunia Michio Kaku. Baru dapat beberapa halaman saja, tapi kesannya sudah terasa. Dalam beberapa lembar yang sudah saya baca itu sang ilmuwan memberikan wawasan bahwa kehidupan manusia ala film-film futuristik besutan Holiwood tidak mustahil untuk menjadi satu kenyataan dalam waktu yang relatif singkat. Dia menyebut di tahun 2100 saja akan mulai terlihat kenyataan tersebut. Alasannya adalah karena teknologi canggih yang saat ini bagi orang awam hanya sekedar fantasi, sebenarnya sudah ada cikal bakalnya sekarang, saat ini. Bahkan prototipenya pun sudah ada. Ilmuwan memegang peranan penting. Mereka yang bekerja dalam senyap dan didanai oleh badan-badan pemerintah ataupun swasta yang tentu saja berkantung ekstra ekstra ekstra tebal. Dan pada saatnya hasil penelitian tersebut akan dipublikasikan dan diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh GPS dan internet. Awalnya Pentagon yang disebut mendanai penelitian dan pengembangan keduanya untuk kepentingan militer Amerika Serikat tentu saja. Dengan GPS dan internet sekedar menyebut  misil dapat ditembakkan ke sasaran yang tepat, medan perang bisa dipetakan dengan detail dan informasinya dapat diterima oleh tentara dengan cepat. Itu untuk sekedar menyebut fungsi dari GPS dan internet untuk militer. Dan ketika memasuki kehidupan masyarakat luas, GPS dan internet memberikan fungsi seperti yang kita alami sekarang, termasuk untuk mencari alamat danbersosial media. Dan selanjutnya Michio Kaku juga menyebutkan perkembangan teknologi akan terus terjadi. Sebut saja bagaimana dia menguraikan sebuah komputer berkembang :
  • ·         1950s vacum tube computers were gigantic contraptions filling entire room with jungles of wires, coils, and steel. Only military was rich enough to fund these monstrosities.
  • ·         1960s transistors replaced vacum tube computers, and mainframe computers gradually entered the commercial marketplace.
  • ·         1970s integrated circuit boards, containing hundreds of transistors, created this minicomputer, which was the size of a large desk.
  • ·         1980s chips, containing tens of millions of transistors, made possible personal computer that can fit inside a briefcase.
  • ·         1990s internet connected hundreds of millions of computer into a single, global computer network.
  • ·         2000s ubiquitous computing freed the chip from the computer, so chips were dispersed into environment.

Chips. Yes, akan datang masanya ketika chips terselip di mana-mana, tidak cuma di komputer dan handphone tapi juga di alat rumah tangga hingga kaca mata. Bayangkan sebuah kacamata diselipi chips dan lensanya bisa jadi layar. Berkomputer dan nonton film misalnya, tak lagi perlu layar monitor LCD. Jadi bakal bisa deh berkomputer secara virtual seperti Tonny Stark di Iron Man. Kerennnn.... Dannnn katanya selanjutnya retina manusia yang bakal menjadi layar, alias tak perlu lensa kaca mata lagi. Gambar langsung dikirim ke retina mata. Wowwww.... Itu baru satu hal. Sementara chips dan hasil teknologo tinggi akan menyisip ke banyak kehidupan manusia, menghasilkan alat-alat atau mesin-mesin canggih. Dan ketika masa itu datang maka mungkin semua alat rumah tangga telah berbentuk robot yang dikendalikan oleh manusia cukup hanya dengan mengedip saja. Hebat ya?

                Nah tengah asyik membayangkan masa itu, tahu-tahu telepon saya bergetar. SMS masuk dari seorang teman, mengeluhkan kegagalannya men-download satu aplikasi chatting untuk handphone-nya. Keluhan yang akhirnya merembet pada performa internet di negara ini. Kata teman saya, kita baru mulai akan masuk ke 4G padahal Jepang sudah 5G. Jujur saya tidak paham betul arti kalimatnya. Tapi jelas bagi saya ada kesenjangan dan jarak yang terbentang antara angka 3 atau 4 dengan 5. Lalu kesadaran memasuki pikiran saya. Semua yang dikatakan oleh Michio Kaku di beberapa lembar yang sudah saya baca terasa lebih mudah dibayangkan untuk mereka yang tinggal di negara maju seperti Jepang dan Amerika. Tapi bagaimana dengan saya yang ada di negara berkembang ini? Bukan bermaksud pesimistis, tapi realistis saja saat ini bangsa ini masih sekedar sebagai pengguna dari banyak hasil pengembangan teknologi. Pengguna dan cukup telat pula. Kita bukan termasuk bangsa yang ada di jajaran depan dan aktif dalam upaya penelitian dan pengembangan teknologi, walaupun kenyataannya ada juga orang-orang kita yang ambil bagian di dalam sana sebagai peneliti. Beberapa orang memang terlibat dan diakui kemumpunannya, tapi secara kolektif besar sebagai bangsa dan negara, menurut saya kita berperan apa-apa selain menjadi konsumen dan pasar. Itu yang membuat saya jadi berpikir, apa yang terjadi di negara ini ketika Jepang dan Amerika telah tumbuh menjadi seperti di film-film futuristik itu? Ketika mereka sudah dikelilingi oleh barang-barang robotik, bagaimana dengan kita? Ketika mereka sudah berkendaraan yang melayang-layang di udara ala-ala piring terbang mini, bagaimana dengan kita? Ketika mereka sudah bertamasya ke luar angkasa, bagaimana dengan kita? Embuh....

Ah ada satu hal yang membuat cerah pikiran saya. Saat ini saya sedang menekuni profesi sebagai pedagang online. Nah, saya bayangkan betapa keren saya ketika masa itu datang dan saya melakukan kegiatan dagang saya cukup dengan mengedip-ngedip karena layar sudah terpampang di lensa kacamata atau malah di retina saya. Kerennnnnn.... Saya akan bergaya ala-ala si Mr. Stark pastinya. Eh tapi kalau sekarang yang saya jual adalah baju-baju batik, terus baju macam apa yang saya perdagangkan saat itu? Overall ketat berwarna silver? Aih aih ..... 

Senin, 29 September 2014

Sayang Binatang

Saya baru menyadari satu fenomena menarik yang terjadi hampir tiap hari di halaman belakang rumah orangtua saya. Halaman tersebut sejak beberapa tahun terakhir seluruhnya ditutupi paving stone, hal yang sebenarnya saya kurang setuju karena alasan kasihan tanah jadi kurang mendapatkan asupan air. Tapi ya bagaimana lagi, wong pemegang hak milik menghendaki demikian dengan alasan praktis lebih gampang membersihkannya juga tidak licin ketika hujan. Nah, di area ini ternyata setiap hari ada saja lebah kecil yang datang menyambangi. Mereka kadang datang berdua atau bertiga, terbang rendah, lalu hinggap di lantai. Ketika saya perhatikan ternyata mereka datang untuk meminum air yang kami tumpahkan ketika berwudlu, mencuci, atau kegiatan lain yang menggunakan air. Mereka meminum air yang mengalir ke celah antara paving stone. Terakhir ketika saya lihat lebah-lebah kecil itu terbang berputar-putar tanpa landing, saya sadari lantai itu kering kerontang. Lalu saya buka kran dan menggenangkan sedikit air. Lebah-lebah itu rupanya sadar apa yang mereka cari telah tersedia. Segera mereka turun mendekat ke salah satu celah dan minum. Soal dari mana datangnya mereka, dan dimana sarangnya, tak seorangpun dari kami penghuni rumah yang tahu.

Ah, memikirkan sarang lebah, tiba-tiba terbersit pikiran dalam benak saya. Madu. Ehmmmm manisnya enak sekali untuk dioles ke permukaan roti tawar, atau sekedar dicampur dengan teh panas sebagai pengganti gula. Tergoda juga untuk mencari dimana sarang lebah-lebah yang mampir minum itu, siapa tahu mereka sudah punya simpanan madu yang banyak. Tapi entah kenapa saya jadi berpikir, betapa kasihan jika ketika mereka pulang dan menemukan sarangnya hilang berikut dengan simpanan si manis madu itu. Betapa sedihnya. Saya jatuh kasihan. Sebab, bukankah lebah dikenal sebagai hewan pekerja yang rajin? Kasihan kan kalau itu terjadi pada mereka? Tapi sampai disitu saya sadar, bahwa itulah yang selama ini terjadi. Para lebah bekerja keras, lalu saya dan manusia lainnya yang menikmatinya. Ehmmm.... kasihan ya.... Tapi kalau enggak gitu ya gimana dong? Ga minum madu dong? Wahhh syusyah.....

Pikiran tentang lebah mengingatkan saya pada seorang teman yang begitu cinta pada hewan, terutama anjing dan kucing. Saya ingat betul dia pernah berkata dia lebih mencintai para hewan tersebut ketimbang manusia. Karena hewan tak pernah neko-neko, tak pernah tendensius, beda sangat dengan manusia. Pernah satu hari teman saya ini sedang jalan di tengah kota, lalu masuk ke sebuah restoran cepat saji, memesan seporsi dada ayam. Jelas saya heran karena tahu persis dia bukan penyuka junk food seperti itu. Ternyata dia memberikan makanan itu kepada seekor anjing kampung yang tak tampak lapar dan kurang terawat. Pada kesempatan lain, ketika dengan beberapa teman saya berinisiatif mengumpulkan dana bantuan untuk korban bencana alam dan saya meminta donasi darinya, sambil memberikan uang dia mengusulkan agar kami juga mengurusi hewan-hewan yang terlantar akibat bencana tersebut. Dia berkomitmen akan menambah jumlah donasi jika kami bersedia melakukannya. Sayangnya ide tersebut tak bisa kami lakukan karena untuk penyaluran sumbangan ke lokasi pun kami meminta bantuan relawan yang lebih profesional mengingat keterbatasan tenaga dan kemampuan kami. Saat yang lain lagi, teman saya ini berduka dengan dalam ketika kucing peliharaannya meninggal. Saat yang lain, dia malam-malam sambil menangis, sibuk mencarikan ‘orang tua asuh’ untuk kucing sakit yang ditemukannya di jalan. Semuanya membuat saya bertanya pada diri saya, kok saya enggak begitu ya?

Ya, memang saya bukan pecinta hewan yang militan. Saya tega membunuh nyamuk dengan raket listrik. Saya mampu menginjak dengan mantap seekor kecoak karena dia berani mencoba masuk ke kamar saya. Saya bisa dengan jengkel menyemprotkan air ke arah dua kucing yang berkelahi malam-malam dan membuat saya terbangun. Saya enteng-enteng saja menyapu semut yang mengerubungi cemilan saya. Ehmmm..... bukan pecinta hewan ya? Eh tapi dulu waktu kecil saya punya anjing dan kucing yang saya sayangi lho.... Yang masih saya ingat nama anjing-anjing saya dulu Blacky, Asta, dan Dino. Sebenarnya ada lagi yang lain tapi lupa namanya. Sementara kucing saya memeliharanya ketika remaja. Nama-namanya saya lupa sama sekali karena untuk kucing sering sekali berganti. Saya ingat betul betapa saya menangis ketika mereka hilang atau meninggal. Sumpah, saya menangis. Karena selama itu saya tidak hanya berbagi makanan dengan mereka , tapi juga kerap mengeloninya. Masih belum termasuk pecinta binatang ya?

Teman saya ini satu hari dengan panjang lebar bertutur mengapa dia begitu sayang pada binatang. Alasan utama seperti yang saya sampaikan di atas. Katanya hewan juga punya perasaan. Ketika kita memberikan cinta, mereka akan membalasnya. Mereka juga bisa sakit hati ketika kita manusia memperlakukan mereka dengan semena-mena. Hewan, tumbuhan, dan alam ini memang boleh dinikmati oleh manusia. Tapi ga boleh serakah. Ga boleh semena-mena. Ga boleh menindas. Kalaupun mengkonsumsi mereka, manusia tak boleh berlebihan, tak boleh rakus, dan harus dilakukan dengan cara yang baik. “Coba bayangkan kalau ayam yang pahanya kau makan itu tak ikhlas dengan perbuatanmu.... Bagaimana?” katanya. Wah saya tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Pertanyaannya mengingatkan saya pada sebuah adegan di film sains fiksi Alvatar, ketika seorang perempuan Pandora meminta maaf dan menenangkan hewan yang tengah berhadapan dengan maut akibat tebasan senjata kawannya. Adegan itu lekat di pikiran saya, dan kini tampak begitu relevan dengan pertanyaan teman saya tadi. Lalu saya jadi tersadar juga betapa kita sebagai manusia suka sekali mem-PHP (memberi harapan palsu) pada para binatang itu. Contohnya ikan. Kita beri mereka tempat yang nyaman, makanan yang cukup sehingga menjadi gemuk dan berkembang biak. Tapi ujung-ujungnya ya tetap saja ke panci atau wajan kita sendiri. Coba pikir seandainya para ikan itu cukup punya otak dan daya untuk menolak tindakan PHP itu. Mungkin mereka akan mencibir sambil bilang ‘halah nipu!’. Atau mungkin mereka malah bakal bunuh diri dengan racun kuat agar kita tak bisa memakan dagingnya. Nah, kalau sudah begitu makan apa dong saya .....?


Yes, saya memang bukan pecinta hewan yang militan. Tapi rasanya saya cukup tersenggol dengan itu semua. Ketika ada cacing tanah di lantai kamar mandi, saya mengusirnya dengan siraman air. Ketika ada ada kecoak melintas di halaman dan tak menuju ruang dalam, saya tak menginjaknya. Saya juga tak dendam ketika tangan dan kaki saya dihiasi bercak-bercak merah hasil karya para nyamuk. Tempo hari ketika ibu meminta saya untuk memotong-motong seekor ayam yang telah bersih, saya melakukannya dengan hati digayuti rasa kasihan yang membuat saya berucap permintaan maaf kepada sang ayam karena saya butuh melakukannya untuk bisa mendapatkan sepanci kare lezat..... 

Sabtu, 30 Agustus 2014

"Pencurian"

Bulan lalu di depan loket pembayaran tagihan PDAM saya kaget sekali. Bagaimana tidak, tagihan yang bulan-bulan sebelumnya tak lebih dari 35ribu tiba-tiba sekarang membengkak secara fantastis menjadi 172rb. Padahal rumah itu belum saya tempati, alias masih kosong melompong, hanya sesekali saya tengok sebentar dua bentar. Dengan bijak, mbak petugas loket menyarankan saya untuk menunda pembayaran dan membuat pengaduan di meja sebelah. Saya lakukan, dan si mbak meja sebelah itu menyuruh saya mengecek meteran air, kendatipun saya sudah sampaikan bahwa rumah tersebut kosong, belum pernah saya tempati, dan belum pernah sekalipun saya memutar keran airnya. Oh pernah ding, tepatnya tukang-tukang yang saya minta membuat pagar belakang yang melakukannya, bukan saya. Jadi, akhirnya walau tidak suka, mau tak mau saya pergi menengok rumah tersebut, tepatnya menengok meteran airnya. Daaaannnnn begitu masuk halaman (belum membuka pintu rumah nih), langsung saya kudu emosi. Karena jelas terlihat ada selang plastik yang terulur panjang melintasi jalan menuju ke tetangga depan. Saat itu tetangga depan sedang berkegiatan membangun teras dan pagar. Lha kenapa juga airnya ambil dari saya? Tanpa ijin pula. Wajar dong saya mangkel. Apalagi siapapun yang ada di rumah itu diam di tempat kendati tahu kedatangan saya sebagai si pemilik air. Dengan atraktif saya membuka box meteran, lalu memegang selang plastik itu, bersiap untuk menariknya lepas. Saat itulah salah satu tukang angkat bicara, menjelaskan bahwa mereka sudah mendapat ijin dari tetangga depan untuk melakukan itu dan nantinya si tetangga itulah yang menyelesaikan urusannya dengan saya. Si bapak tukang menyampaikan itu tetap di tempatnya berdiri, dan tidak merasa perlu untuk menyeberang menemui saya. Jujur saja, saya merasa sudah dimalingi, eh ga dihormati pula. Dengan muka masam saya iyakan. Lalu saya berikan secarik kecil kertas berisi nomor telepon saya untuk disampaikan ke tuannya. Lalu saya tinggalkan mereka.

Sesiang itu hati saya sungguh dongkol. Sampai kemudian handphone saya berbunyi, dari nomor yang tak saya kenal. Ternyata tetangga depan. Dengan suara halus nan ceria si bapak meminta maaf telah menggunakan air saya tanpa ijin. Dia mengulang penjelasan yang sudah saya dengar dari si bapak tukang tadi bahwa dia akan bertanggungjawab terhadap tagihan yang diakibatkan. Saya tanya kenapa sampai menggunakan air dari saya, jawabnya karena tempo hari aliran air PDAM di rumahnya diputus sehingga tak ada sumber air. Saya tak berminat bertanya lebih jauh. Yang penting dia sudah berjanji akan bertanggungjawab terhadap tagihan tsb. Kali ini dia juga minta ijin untuk menggunakan air saya sampai pekerjaan pembangunan rumahnya selesai. Katanya sebentar lagi selesai. Dengan terpaksa saya setujui dan telepon kami sudahi.

Setelah beberapa hari saya merenungkan kembali kejadian itu dengan fokus pada kejengkelan saya. Ya, saya jengkel sekali karena seharusnya dia meminta ijin terlebih dulu, bukan langsung menggunakannya. Saya jengkel karena inisiatif meminta ijin itu datang dari saya, hal yang seharusnya datang dari dia. Seorang teman yang saya ajak merenung bersama bertanya apakah dia tahu bagaimana menghubungi saya. Menurut saya sih jika dia benar-benar berniat untuk meminta ijin, bisa saja dia meminta kontak saya ke developer kawasan. Toh itu bukan kawasan perumahan yang luas, malah hanya kecil saja. Jadi seharusnya tak akan terlalu merepotkan untuk menelepon ke kantor pemasaran dan meminta info nomor telepon saya. Masuk akal, kata teman saya. Lebih jauh dia berpendapat bahwa bisa jadi itu tanda bahwa si tetangga depan kurang menyenangkan karakternya. Saya terhenyak membayangkan bakal bertetangga dengan orang yang menyebalkan. Dengan antusias teman saya berkata, “satu tindakan ini menunjukkan dia punya kecenderungan untuk itu. Bagaimanapun tindakan yang benar tetaplah meminta ijin sebelum menggunakan. Kalau lewat dari itu berarti pencurian”. Benar juga sih..... tapi sejurus kemudian saya ingat satu hal, bahwa sekarang saya tidak tinggal di kota besar yang seperti bertahun-tahun kemarin. Ya, sejak setahun yang lalu saya meninggalkan Surabaya dan kembali menetap di kota kabupaten ini. Semuanya beda.

Harus saya akui bahwa kehidupan saya selama di Surabaya adalah kehidupan seorang urban yang berlingkup kecil dan individualistis. Bertahun-tahun saya hidup sebagai anak kos yang berdaerah kekuasaan cuma selingkup kamar tidur. Ritme kegiatan saya itu-itu saja. Bangun, pergi ngantor, pulang, tidur. Seminggu penuh berulang begitu. Sebagai anak kos dan pendatang saya tak pernah merasa perlu berakar di lingkungan kos. Toh saya bukan pemilik rumah, tak pernah tercatat sebagai warga tetap, dalam banyak hal tentu induk semanglah yang dianggap dan diperlakukan sebagai warga penuh. Bertahun-tahun saya merasa tetangga adalah penghuni samping kamar saya, bukan rumah sebelah kos saya. Dan celakanya sesama penghuni kos rasanya punya ritme hidup yang relatif sama. Jadi jangan apakah saya pernah berkegiatan dengan warga kampung. Pun acara kerja bakti kampung ya induk semang yang melakukan. Kewajiban saya terhadap kampung rasanya sekedar menyetor kopian KTP dan membayar iuran sampah dan kebersihan yang lagi-lagi itu nyetornya ke induk semang, bukan ke si bapak RT. Ya kalau sekedar menyapa tetangga depan kos sih saya lakukan, tapi tidak untuk mengobrol. Terlebih lagi tetangga kanan kiri juga lebih banyak kos-kosan. Kalaupun bergaul, saya malah bergaul dengan teman-teman yang diluar lingkungan kampung, baik itu teman kuliah dulu atau teman kantor dulu, atau temannya teman. Jadi yaaaaa begitu dehhhh.....

Hal lain yang kemudian saya sadari juga adalah betapa kehidupan urban di kota memaklumkan batas-batas kepemilikan yang jelas. Juga batasan ruang. Juga betapa kehidupan begitu materialistis. Alhasil saya jelas mengapa saya begitu terganggu dengan apa yang terjadi di atas. Ya karena hal seperti itu ada di luar kebiasaan hidup saya. Sementara bisa jadi yang semacam itu bukan masalah besar di kota kecil ini, toh yang penting pada akhirnya si pemakai bertanggungjawab, tho? Ingat betapa dalam kehidupan nenek moyang bangsa ini sikap tolong menolong adalah budaya. Betapa dalam kehidupan lampau bangsa ini, lingkup lingkaran keluargaanpun begitu besar. Lihat bagaimana dulu ada lumbung besar untuk simpanan makanan komunitas. Lihat juga betapa cara mereka membuat rumah adalah dengan gotong royong bersama. Lihat bagaimana sebuah perhelatan seperti pernikahan digelar. Masih banyak lagi contoh lainnya dan semuanya berintikan kebersamaan, kekeluargaaan, dan gotong royong.


“Tapi jaman sudah berubah. Mau tak mau ada budaya yang berubah karena toh manusia pelakunya juga berubah. Kondisi sekarang membuktikan semakin modern hidup, semakin materialistis jadinya. Jadi apa salah kalau aku tetap berpendapat tetangga depanmu telah mencuri? Toh terbukti dia tidak berusaha menghubungimu. Kalau misal dia melakukan hal semacam ini untuk hal lain, apakah tetap kita harus mentolerir?” begitu teman saya berujar. Sungguh saya tak tahu jawabab atas pertanyaan itu. Yang pasti kejadian itu telah mengingatkan saya kepada kehidupan dimana segalanya seperti tak penuh prasangka. 

Sabtu, 26 Juli 2014

BAJU BARU

Lebaran sebentar lagi tiba. Kemarin ketika lewat pertokoan terlihat jelas betapa toko yang penuh pengunjung adalah toko pakaian dan emas. Dari dulu selalu begitu. Lebaran identik dengan baju baru yang melekat di badan. Sementara perhiasan emas dimaksudkan untuk melengkapi penampilan dengan baju baru itu. Jujur saya termasuk yang sinis memandang kebiasaan soal emas itu sebagai hal pamer yang tak bermanfaat. Ah sudahlah, biar saja, toh apa urusan saya wong mereka beli juga pakai duit mereka sendiri.

               
Nahhhh kalau soal baju baru lain soal. Saya tak memandang miring hal itu kendati suka jengkel juga pada mereka yang memaksakan diri demi sehelai baju baru. Saya sendiri bukan termasuk yang mewajibkan diri pakai baju baru di hari lebaran. Dulu di masa kecil, berlebaran tanpa baju baru sungguh hal lumrah yang sering berulang. Tapi tetap saya mengingat momen ketika baju baru itu hadir. Saya ingat sekali ibu beberapa kali memesankan baju kembar untuk saya dan kakak perempuan. Salah satunya berwarna hijau yang hampir seperti hijau botol dengan motif polka dot putih. Modelnya rok terusan lebar yang panjangnya sedikit di atas lutut, berlengan pendek gembung dan ada pecah model di bagian dada. Itu salah satu baju favorit saya. Dari sekian kali event kembar dengan kakak, hanya rok hijau polkadot itu yang sampai sekarang masih saya ingat.

Lalu datang masa ketika baju baru adalah sesuatu yang tak selalu datang bersama Lebaran. Waktu itu dimulai ketika saya kisaran Sekolah Dasar. Baju Lebaran tak datang tiap tahun, lebih sering absennya. Dan kalaupun datang sering mepet sekali hadirnya. Pernah ibu baru menggiring kami ke toko pakaian di malam takbir. Tentu bukan hal yang menyenangkan karena malam tersebut toko pakaian luar biasa penuh sehingga susah untuk memilih dan juga sisa stok yang ada juga sudah terbatas. Dan keesokan harinya saya mengenakan baju baru tanpa dicuci ataupun disetrika terlebih dahulu. Terus ada lagi satu fenomena yang mengingatnya ketika dewasa membuat saya trenyuh. Fenomena mengkredit baju lebaran. Yessss .... sampai sekarang sebenarnya masih ada fenomena tersebut. Saya ingat ibu membelikan kami baju lebaran dari tetangga yang menjual baju anak-anak secara kredit, alias mengangsur. Saya ingat betul rok saya yang berwarna merah muda bergaris putih dengan gambar tokoh Disney termasuk dalam fenomena tersebut. Dan keesokan harinya ketika bersalam dengannya, si penjual yang notabene tetangga memuji saya tampak cantik dengan baju itu.... Malu sebenarnya karena waktu itu saya sudah cukup umur untuk mengerti baju yang saya kenakan belumlah lunas.

Menginjak masa remaja, baju lebaran semakin jarang datang. Malah bisa dibilang nyaris tak pernah datang. Tapi kami menganggap itu hal lumrah, hasil seringnya berlatih di masa lalu.... hehehehhe..... Malah saya mulai menganggap kebiasaan berbaju baru di hari lebaran sebagai hal kekanak-kanakan yang tak penting. Saya malah cenderung menolak ketika akhirnya ibu ada dana untuk baju baru di akhir Ramadan. Alasannya apalagi kalau bukan malas berdesak-desakan di toko pakaian lalu mengantri di kasir cuma demi sehelai baju baru. Dan ternyata kemalasan itu berlanjut sampai sekarang. Tak pernah rasanya punya keinginan kuat untuk membeli baju baru untuk lebaran, bahkan ketika dompet penuh dengan uang THR sekalipun. Saya justru cenderung menghindari toko pakaian. Kalaupun terpaksa harus mengantarkan teman ke mall untuk keperluan itupun saya tetap tak tertarik untuk ikut membeli. Malah jadi muak melihat antrian yang mengular di depan kasir. Alhasil lebaran saya tak pernah identik dengan baju baru. Seorang teman pernah bertanya apa susahnya membeli sehelai baju untuk memberi penghormatan pada sebuah lebaran? Ehmmm.... iya ya, apa susahnya coba? Toh kalau niat juga bisa dibeli di awal-awal Ramadan agar tak perlu ngantri dan desak-desakan. Tapiiii.... kok tetap saja saya tak tergerak ya....? Saya selalu saja merasa cukup puas mengenakan baju lama yang ada. Kadang datang juga omelan dari ibu. Tapi ya bagaimana lagi wong nggak kepengen?

Eh tapi tahun ini saya beli baju baru lhoooooo.... Sehelai kemeja. Belinya di online shop. Jadi tak perlu berdesakan dan mengantri. Bayarnya juga cash pakai transfer, tidak ala-ala mengangsur. Tapi setelah membayarnya saya berdoa semoga kemudahan tersebut tak membuat ketagihan pengen baju baru terus.......
               
Eid Mubarak, everyone :D
Mohon maaf lahir dan batin. 

Rabu, 18 Juni 2014

World Cup 2014 dan Robot

Saya bukan murni penggemar sepak bola. Tapi World Cup selalu jadi event sepak bola  yang lebih istimewa bagi saya, dibanding dengan aneka liga klub. Karena menurut saya dalam World Cup tidak ada belanja pemain seperti yang bisa dilakukan di liga klub. Kalau di liga klub saya meyakini bahwa kemenangan tidak cuma ditentukan oleh kepiawaian pelatih dan pemain saja, tapi juga oleh seberapa kaya kocek klub. Klub yang kaya dengan gampang bisa berburu pemain yang sedang mencorong untuk mengisi posisi-posisi dalam lini permainannya. Juga bisa membayar pelatih yang berkualitas nomor satu untuk meramu permainannya. Duit berpengaruh besar. Lihat saja klub-klub kaya seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, dan sebagainya. Lihat bagaimana serunya bursa transfer pemain. Hitung saja berapa triliun uang yang bermain di dalamnya. Klub kaya tentu lebih berpeluang dibanding klub yang pas-pasan.


Hal yang berbeda di World Cup. Pemainnya ya seadanya saja karena dibatasi oleh identitas asal. Kalaupun ada belanja pemain, paling banter bentuknya naturalisasi. Dan belum tentu juga pemainnya bersedia dinaturalisasi. Paling banter lagi membayar tim pelatih yang kompeten untuk memoles sumber daya yang ‘seadanya’ itu. Memang masih bisa saja satu tim negara bertabur bintang. Sebut saja Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia. Tapi banyak juga yang bintangnya cuma satu dua, atau malah tak ada sama sekali. Justru disini menariknya. Yang bertabur bintang bisa saja malah tidak berhasil padu karena banyak ego yang tak takluk. Akhirnya malah pulang awal. Di sisi lain ada juga yang bintangnya satu dua atau malah tak ada bisa berhasil jadi kuda hitam karena polesan dan kerjasama yang oke. Tapi ada juga bintang yang jadi tak bersinar karena sumber daya sekelilingnya tak cukup mampu mengimbangi. Atau sebaliknya, pemain yang bukan bintang karena mungkin nasionalisme dan patriotisme tinggi jadi bersinar karena mati-matian membela bendera negaranya. Menarik kan?


Dan, tahun ini saya sangat menantikan gelaran World Cup 2014. Sungguh, saya yang bukan murni penggemar sepak bola ini menantikannya dengan sangat tak sabar, lebih dari World Cup-World Cup sebelumnya. Dari awal-awal tahun saya sudah berharap Juni segera datang. Berharap dengan hati penuh kemuakan. Ya, kemuakan akan politik. Tahun 2014 yang juga tahun Pemilu Indonesia ini sungguh memuakkan saya. Kalau sekedar mencoblos tentu tak membuat saya begitu mual. Tahun ini lain. Kampanye politik sangat aktif memanfaatkan dunia maya, masuk ke segala macam lini termasuk media sosial. Dan ironisnya materi kampanyenya tak berkualitas, terlebih ketika masuk ke Pilpres. Sudah materi tak berkualitas masih ditambah dengan penyampainya yang tak berkualitas juga. Lihat saja, semua intinya adalah menjelek-jelekkan kubu lawan, dengan data yang entah datang darimana dan entah bagaimana kebenarannya. Saya yakin tujuannya adalah menarik massa mengikuti pilihan mereka. Tapi mungkin mereka semua lupa bahwa yang punya otak dan hati tak cuma rombongan mereka saja. Semua orang bisa berpikir dan merasa. Dan sampai disini kampanye dengan cara menjelek-jelekkan seperti itu bisa saja jadi tak efektif.


Kondisi Pilpres 2014 menurut saya diperparah dengan adanya simpatisan-simpatisan militan yang cukup puas dan percaya dengan apa yang didoktrinkan oleh elit parpol. Simpatisan robot ini banyak sekali ditemukan di sosial media. Mereka cuma meng-copy paste apa yang disuruhkan oleh elite parpol. Men-share link-link yang isinya ya itu-itu saja. Lalu mendebat tak karuan siapa saja yang punya pemikiran berbeda. Lihat bagaimana mereka membela jagoan masing-masing seakan jagoan itu adalah orang suci yang sempurna. Mereka membeberkan data-data yang tentu saja pasokannya dari parpol. Data-data yang saya yakin mereka sendiri tak pernah tahu validitasnya. Menyedihkan sekaligus menjijikkan karena para robot itu benar-benar lupa bahwa ini adalah politik. Apapun bisa terjadi dalam politik. Sekarang lawan, besok bisa jadi kawan; demikian sebaliknya. Hal benar bisa diplintir jadi salah. Hal salah bisa dipoles penyampaiannya sehingga jadi seperti benar.


Jujur saja, saya sering kasihan melihat para robot militan ini. Rata-rata mereka bukanlah termasuk jajaran elit parpol yang ikut menggariskan kebijakan. Mereka adalah lapisan terluar dari jajaran parpol yang pasti tak akan mendapat panggilan jadi menteri atau dubes jika jagoannya menang. Tapi lihat bagaimana mereka berjibaku membela, sampai menghilangkan nalar dan hatinya. Bagaimana tidak disebut menghilangkan nalar dan hati kalau jelas begitu patuh disuruh menyebarkan materi yang menjelek-jelekkan orang. Tidakkah mereka berpikir bahwa jika materi itu salah berarti fitnah? Tidakkah mereka berpikir bahwa data itu perlu divalidasi kebenarannya sebelum diwartakan? Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka hal yang benar harus diperjuangkan dengan cara yang benar juga? Tidakkah mereka berpikir bahwa para elit parpol bukanlah orang suci sempurna yang benar dalam segala tindakannya?


Melihat para robot berjibaku terutama dalam kampanye saling menjelekkan ini jujur selalu membuat saya tertawa. Ya, saya harus bilang saya mentertawakan kebodohan mereka. Lihat panggung politik bangsa ini. Bersihkah? Sempurnakah? Tanpa manuverkah? Tanpa kongkalikongkah? Dilakoni oleh para malaikatkah?  Halooooooooo Robot, gunakan akal dan hati, dongggggg..... !


Satu hal yang saya nantikan adalah hasil akhir dari ini semua, siapa yang keluar sebagai pemenang. Lalu apa yang terjadi setelahnya. Mari kita lihat apakah kubu yang kalah akan ada yang menyeberang, berintegrasi dengan sang pemenang, yang artinya menjilat ludah sendiri. Hal yang sangat mungkin terjadi dalam politik. Karena ujung dari politik adalah kekuasaan. Lihat sejarah politik bangsa ini, niscaya akan terpampang jelas bagaiman parpol dan elitnya bermanuver dengan segala cara demi terangkul pemegang kekuasaan. Dan sejarah membuktikan menjilat ludah bukan hal yang tabu dalam politik. Jika ada yang seperti ini apalagi yang akan didoktrinkan kepada para robot untuk jadi alasan yang heroik? Dan pertanyaan selanjutnya, apakah para robot yang aslinya manusia itu tetap tak tergugah akal dan hatinya?


Jadi, World Cup 2014 ibarat oase bagi saya. Sungguh saya berharap agar perhatian banyak orang teralihkan ke sepak bola saja. Sehingga dagangan politik tak lagi cukup laku. Biarkan saja semuanya basi di luar lapangan. Agar para robot dan tuannya tahu bahwa untuk membuat laku dagangan mereka tak perlu dengan menjelek-jelekkan kompetitor dengan begitu sengit. Lebih jauh lagi agar semuanya punya waktu untuk berkaca betapa tak ada manusia sempurna yang bisa dipilih untuk memimpin negeri ini. Yang ada tetaplah manusia biasa. Dan justru ketika manusia biasa itu tak pongahlah maka dia bisa menjadi pemimpin yang baik.



SO, IT'S FOOTBALL TIME, ROBOT !

Selasa, 27 Mei 2014

Tribute to Dolly

Dolly bakal segera ditutup. Pemkot Surabaya serius dengan hal itu dan penutupannya bakal dilakukan pada tanggal 19 Juni 2014. Aihhhh... tepat di hari ulang tahun saya. Mungkin karena itu saya jadi merenungkan kabar itu lebih dalam.

Bulan Agustus 2013 saya menuntaskan masa 12 tahun tinggal di Surabaya. Yes, 12 tahun. Masa yang tak terlalu pendek tapi juga tidak panjang. Paling tidak tak cukup panjang untuk mengenal Surabaya sampai ke akar-akarnya. Tapi cukup untuk mengenali searea Dolly, area prostitusi yang kabarnya terbesar se-Asia Tenggara itu. Dolly adalah nama gang yang padat dengan perumahan. Sementara nama area yang lebih luas adalah Jarak. Selama 12 tahun saya tinggal di tiga rumah kos di daerah Sukomanunggal yang tak jauh-jauh amat dari Dolly dan Jarak. Posisi itulah yang sering kali dijadikan alasan oleh teman-teman, seakan itulah satu-satunya akses jalan menuju kos saya.

Saya sendiri pertama kali melewatinya kisaran dua minggu setelah ngekos. Seorang teman yang motornya saya tumpangi melalui ruas jalan itu tanpa memberi-tahu sebelumnya, kecuali meminta saya menurunkan kaca helm. Sekejab kemudian saya terkagum-kagum dengan pemandangan rumah berkaca-kaca dengan para perempuan yang rata-rata mengenakan rok mini, gincu merah, dan alas kaki tinggi duduk berderet-deret. Sementara para laki-laki berkeliaran di jalan, sebagian menontoni para perempuan itu, sebagian yang lain menunjuk-nunjuk mereka dengan mata berkilat sambil berteriak, “Mampir, Bos?”. Tak hanya rumah berkaca, ruas jalan itu juga di sesaki dengan aneka klab yang dari jalan sudah terdengar hingar-bingar musiknya. Loggo merk minuman beralkohol ada dimana-mana. Juga rombong penjual obat dengan tempelan stiker merk kondom. Ruas jalan itu sibuk luar biasa. Kendaraan harus merambat. Begitu sampai di kos dengan senyum tengil teman saya berkata, “Sekarang kamu sudah tahu Dolly. Welcome to Surabaya.” Jadi itukah Dolly? Katanya sebenarnya kami tadi cuma melewati mulut gang terkenal itu. Jadi itu tadi masih area sekitar mulut gang kondang itu saja. Nah klo masih di mulutnya saja seperti itu, terus bagaimana di dalam gang Dolly sebenarnya? Tawa teman saya berderai-derai lalu pergi setelah mewanti-wanti untuk tidak pernah melewati jalan itu sendirian.

Itu bukan kali terakhir saya melewatinya. Selanjutnya saya jadi sering melewatinya, tak sendirian tentu saja. Awalnya karena teman yang asal Jakarta minta ditunjukkan, akhirnya kami jadi sering iseng melewatinya, sekedar untuk melihat perbedaan suasana siang, sore, dan malam. Siang sepi, mungkin pada tidur menyimpan tenaga. Agak sore mulai tampak yang duduk-duduk santai di teras, tentu masih belum dalam kondisi sedang ‘bertugas’. Wajah-wajah mereka masih pucat tanpa pulasan warna. Rambut diikat seadanya. Baju juga masih pakai baby doll atau celana pendek. Tampak tak jauh beda dengan perempuan lain. Mungkin gestur dan sorot mata yang agak beda. Satu kali teman saya menyetir sambil menontoni satu orang yang tengah menumpang becak dengan celana pendek dan singlet longgar. Merasa diperhatikan, si cantik langsung mengirimkan kerlingan menggoda yang membuat teman saya kontan blingsatan tak keruan.Oh iya, soal makelar yang berfungsi sebagai sales di Dolly menurut saya cukup unik juga. Mereka para laki-laki yang menyambut pengunjung, menawarkan para perempuan di balik kaca. Mereka yang mempromosikan. Dan tentu saja mereka dapat komisi untuk pekerjaan itu. Awal-awal dulu saya lihat para 'pager bagus' ini tidak menggunakan dress code tertentu. Tapi kemudian terakhir-terakhir saya lewat mereka mengenakan baju batik, rata-rata lengan panjang, persis seperti mau menghadiri kondangan. 

Surabaya setahu saya tak cuma punya Dolly. Masih ada Moro Seneng yang biasa diplesetkan jadi 'Morse', juga Kremil yang suka diguyonknan sebagai 'Kremlin'. Selain itu ada area pekuburan Kembang Kuning yang menurut saya realatif lebih horor daripada yang lain. Bukan lokasi pekuburannya yang membuat saya ngeri, tapi karena mereka yang menjajakan diri relatif berumur, dan konon tempat praktiknya pun di antara nisan-nisan itu. Lalu ada juga 'perdagangan bebas' di daerah tengah kota (seputaran jalan Panglima Sudirman). Pemandangan perempuan-perempuan berdiri di trotoar atau di boncengan motor makelar adalah hal lumrah ketika malam menjelang. Lalu akan ada mobil-mobil yang melaju pelan, merepet ke trotoar, untuk apalagi kalau bukan memilih mangsa.

Itulah Dolly di mata saya. Tak spesial, cuma sekedar iseng-isengan. Sementara kenyataannya begitu banyak jiwa yang menggantungkan hidupnya pada perputaran uang di daerah itu. Tak hanya germo, pelacur, dan makelarnya. Tapi juga para tukang  parkir, buruh cuci, pedagang, dan entah profesi apalagi yang yang terkait. Karena itu ada gerakan menolak penutupan lokalisasi itu. Gerakan yang pasti sangat mudah untuk disalahkan. Toh jelas-jelas prostitusi itu tak ada dalil pembenarannya. Ya, mereka hanyalah orang-orang yang merasa terancam terenggut zona nyamannya.

Sangat mudah bagi orang-orang tak terlibat seperti saya untuk mendukung penutupan Doly. Bagi saya esensinya adalah adanya tubuh-tubuh yang ditransaksikan diluar kehendak. Ada yang diakui atau tidak tengah dirudapaksa. Alasan kebutuhan memang susah untuk ditolak. Tapi tetap saja tak ada perempuan yang dengan enteng mengangkangkan kakinya dan mengijinkan sembarang laki-laki memasuki tubuhnya. Yang begitu normalnya selalu butuh konektivitas perasaan. Tak sekedar kebutuhan akan rupiah. Bayangkan jika diri kita sendiri yang harus melayani sepuluh orang dalam semalam. Sepuluh orang yang tak dikenal. Sepuluh orang aneka rupa. Sepuluh orang aneka perilaku dan karakter. Sepuluh orang aneka bau, aneka keringat. Betapa horornya suatu malam jika yang dilayani adalah orang-orang kasar, berwajah menyeramkan, berbau badan, berbau mulut, kotor, dan entah apalagi. Membayangkan itu saja rasanya sungguh ngeri. Sementara itu hal yang pasti dialami oleh perempuan-perempuan itu. Belum lagi pembagian hasil yang tak adil yang membuat mereka susah lepas dari lingkaran. Tambah lagi di luar sana tak pernah ada posisi mulia untuk profesi itu. Yang ada cuma cibiran dan caci maki.

Ya, mereka adalah perempuan-perempuan yang menggerakkan roda perputaran uang dengan selangkangannya. Tak banyak yang peduli bagaimana rasanya. Saya tak hendak menyalahkan mereka-mereka yang terhidupkan dari gerakan selangkang itu. Cuma mungkin kini saatnya mereka melihat dari sisi yang lain, dari sisi si pemilik selangkang, sebelum mengatakan bahwa menolak penutupan Dolly adalah harga mati.  

Rabu, 30 April 2014

Sarang

Yesssssss.... itu rumah saya. Ehmmmm sudah boleh belum ya disebut milik saya sementara cicilannya masih harus ditempuh sembilan tahun lagi? Aih aih.... masih lama. Berarti bisa dihitung deh aslinya berapa persen darinya yang sudah saya lunasi .... hehehehhe ....

Memang saya termasuk kategori yang terlambat dalam hal kepemilikan rumah. Beberapa teman begitu selesai kuliah dan dapat kerja kantoran langsung memutuskan untuk mengambil KPR, tak peduli gajinya cuma cukup untuk perumahan di pinggiran kota. Sementara saya saat itu lebih menikmati euforia punya uang sendiri dengan membeli buku dan makanan yang sebelumnya tak terjangkau. Saat itu juga terpikir bahwa untuk sebuah rumah saya belum mampu karena toh saya tak punya apa-apa untuk bayar DP-nya. Saya merasa tak layak untuk berhutang atau malah meminta dana hibah pada orang tua, seperti yang orang lain lakukan untuk memenuhi DP. Itu satu alasan. Alasan lainnya adalah saya waktu itu belum merasa terikat dengan satu kota sehingga tak merasa perlu sarang disana. Entah mengapa waktu itu saya merasa tak akan selamanya tinggal di Surabaya. Jadi tak perlu sarang yang berupa rumah, sebuah kamar kos cukuplah sudah. Dan tinggalah saya di kamar kos dengan daerah kekuasaan cuma sekitar sembilan meter persegi selama belasan tahun. Bayangkan, belasan tahun!

Sampai suatu hari saya tiba pada satu kesadaran bahwa saya sangat yakin saatnya pulang ke kampung halaman. Lalu seorang teman mengingatkan untuk ambil KPR sebelum meninggalkan kerja kantoran karena bank suka ga percaya dengan pekerja rumahan. Benar juga ide itu. Sekaligus menyadarkan saya bahwa sekian tahun bekerja penghasilan saya tak terlihat wujudnya selain berupa buku berkardus-kardus. Itu momen saat saya yakin saatnya untuk bersarang. Toh sudah jelas dimana saya akan terikat. Jadilah saya berburu. Cukup singkat, cuma butuh kisaran tiga bulan untuk menemukannya. Kebetulan ada teman juga yang membantu segala prosesnya. Orang bilang membeli rumah itu mirip dengan mencari jodoh, tidak bisa dipaksa, dan kalau sudah ‘jatahnya’ maka semua akan lancar jaya. Seperti itulah yang saya alami.

Nah, itu sarang saya. Sebenarnya masih belum benar-benar jadi sarang saya sesungguhnya karena toh saya masih tinggal di rumah orang tua. Kondisinya juga masih standar sekali, belum berbagar, apalagi berperabot. Ukurannya kecil saja (mampunya masih segitu), dan berembel-embel ‘subsidi pemerintah’. Tapi menyebutnya sebagai ‘rumah saya’ terasa menyenangkan. Membuat saya merasa lebih layak untuk disebut manusia dewasa yang mampu mengatur hidup. 

Yessssss .... dunia, itulah sarang saya! Oh iya, itu Bapak saya yang ada di foto :D

Kamis, 27 Maret 2014

Putih Putih Melati .....

Tahun politik, musim kampanye. Pilihan warna menjadi hal yang sensitif. Musti memilih satu, ga boleh sampai punya lima warna ala lagu Balonku. Yes, you are what color you choose .... Jadi apa pilihan warnamu?

Saya tidak ikut berpesta demokrasi untuk Pemilu Legislatif tahun ini. Pasalnya, nama saya tidak tercantum sebagai daftar pemilih. Dan jujur saja saya sedang tidak punya cukup minat dan semangat  untuk mengurus hak bersuara itu. Jadilah saya masuk yang disebut-sebut sebagai golongan putih, alias mereka yang tak bersuara. Pada awalnya saya tidak masalah digolong-golongkan seperti itu. Tapi kemudian jadi meradang juga ketika ada pernyataan ini itu yang ditujukan pada orang-orang seperti saya, termasuk juga mereka yang pada hari H tidak menunaikan suaranya. Dikatakan orang-orang seperti itu tak bertanggung-jawab, tidak care, tidak peduli dengan masa depan bangsa, cuma mau mengkritik tapi tidak mau bertindak. Terakhir ada indikasi untuk menyatakan pilihan sebagai golput adalah haram. 

Jadi pertanyaan besarnya adalah salahkah menjadi golput? Saya tidak tahu persis jawabannya. Cuma secara pribadi saya tidak menyalahkan mereka yang secara sengaja memilih menjadi golput. Lha bagaimana tidak, wong opsi pilihannya tidak menggugah selera begitu? Ibarat menu makanan, apa yang disajikan adalah makanan kemarin yang dihangatkan untuk dihidangkan hari ini. Kalau orang Jawa bilang makanan ‘nget-ngetan’. Lihat saja siapa-siapa yang maju, lebih banyak muka-muka lama yang prestasinya yaaaaaa begitulah adanya. Ada sih muka baru, yaitu para artis sinetron yang katanya merasa terpanggil hatinya untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Ya monggo lah yaaaa..... silahkan saja. Mau mengabdi kok dilarang.

Tak cuma urusan muka. Urusan janji kampanye ya tak beda-beda amat dengan yang dulu-dulu. Sama penuh manis madunya. Sama yang intinya menjanjikan perjuangan dan pengabdian demi rakyat semesta. Dari tahun ke tahun semuanya begitu kan? Paling kemasannya yang sedikit sedikit diubah. Kalau dulu pakai kemasan pertunjukan dangdut, sekarang ganti mengusung musik pop. Atau sebaliknya. Kalau dulu sawerannya sekian, sekarang dua atau tiga kian karena saingan juga lebih banyak. Seputar itulah. Sementara semua paham bahwa janji manis penuh madu itu bakal segera terlupakan dengan berbagai alasan, seperti janji-janji yang pernah dan telah ditebar tahun-tahun sebelumnya. Menebarnya selalu begitu murah, seakan begitu banyak persoalan bangsa dan negara ini bisa dituntaskan hanya dengan satu tindakan yaitu memilih mereka.

Jujur saja, sering saya mentertawakan mereka yang berkampanye. Mentertawakan mereka yang begitu percaya diri mengklaim telah berbuat banyak untuk negara dan bangsa ini. Mentertawakan mereka yang mengklaim dirinya adalah jawaban atas upaya penuntasan permasalahan negara dan bangsa. Mentertawakan mereka yang bermanis-manis  dan berakrab-akrab dengan rakyat kecil. Ah, betapa dunia politik adalah panggung kedua setelah panggung sandiwara kehidupan itu sendiri.

Seorang teman bilang saya sinis sekali. Juga skeptis. Ya bagaimana saya tidak sinis dan skeptis kalau waktu sudah membuktikan bahwa mereka tetaplah orang-orang yang doyan duit. Dan lihat saja dana kampanye mereka yang belasan, puluhan, dan ratusan juta itu. Bahkan ada yang kabarnya dana yang dibuang untuk kampanye mencapai satuan milyar. Duit semua lhoooo ituuuu.... Logikanya, apakah buang-buang seperti itu akan nutup dengan gaji resmi dan legal yang didapat ketika menjabat kelak? Logikanya lagi, kalau itu dianggap sebagai modal, apa tak mungkin selanjutnya mereka akan menarik profitnya?

Teman saya bilang saya marah karena disebut sebagai warga negara tak banyak guna jadi melampiaskan kemarahan dengan menyerang para manusia percaya diri tinggi itu. Ya ya ya, dia benar, saya memang marah. Dan lebih marah lagi kalau sampai benar disebut golput itu haram. Sebelum mereka mengharamkan golput maka mereka harus lebih dulu menghalalkan darah para legislator yang menyimpang dari janji-janji kampanye, termasuk mereka yang memakan duit rakyat.


Kali ini teman saya tertawa terpingkal-pingkal. Katanya saya hidup di awang-awang, terlalu menginginkan hal ideal yang saat ini jauh dari realitas. Katanya masih ada orang-orang baik dalam golongan itu selain mereka-mereka yang berurusan dengan KPK. Katanya betapapun jeleknya,  penyelenggaraan negara ini butuh mereka. Jadiiiii.... masih katanya, sebagai warga negara tetap diharapkan untuk memilih. Karena ini bagian dari demokrasi, tak peduli pilihannya adalah menu ‘nget-ngetan’. Pilihlah yang terbaik dari yang terburuk. Begitu teman saya berpesan. Ehmmmm..... sebentar, jangan-jangan ..... Teman saya mengangguk sambil mengulum senyum lalu menunjuk dadanya..... Alamakkkkk.... Nyanyi aja ahhh....  Putih-putih melati, merah-merah delima, siapa yang baik hati, tentu disayang Mama .....

Senin, 17 Maret 2014

Tukang Becak Plus Plus

Pak Ji. Begitu saya biasa menyapanya. Orang lain juga memanggilnya begitu. Profesinya resminya sebenarnya penarik becak. Sepanjang ingatan saya, Pak Ji sudah menjalankan profesi itu ketika saya masuk kuliah. Dan selama itu pula tempat mangkalnya tetap, pintu masuk perumahan tempat orang tua saya tinggal. Sekarang usia saya nyaris menyentuh kepala empat. Dan Pak Ji masih di sana, tetap dengan becaknya yang besar dan terawat bersih. Jadi bisa dibayangkan berapa lama beliau berkarya. Anak-anak yang dulu diantarnya ke TK sekarang sudah jauh dewasa. Kadang saya berpikir apa yang dirasakan oleh Pak Ji melihat perubahan kami-kami pelanggannya dulu.

Masa memang berjalan cepat, membuat semua berubah. Dulu orang tua mempercayakan anak-anaknya untuk diantar-jemput oleh Pak Ji. Sekarang saya melihat fenomenanya telah berbalik. Sekarang, banyak anak-anak, yang nota bene telah dewasa, merasa aman ketika Pak Ji yang mengantar jemput orang tua mereka. Ya, saya termasuk salah satu di dalam golongan itu. Dari sekian banyak becak yang telah tahunan mangkal di tempat itu, Pak Ji selalu jadi pilihan pertama. Malah sering-sering ibu saya rela mengurungkan niat bepergian dengan becak jika bukan Pak Ji yang mengantar.

Masa juga membuat peran Pak Ji berkembang, tak hanya sekedar pengantar jemput. Ya, para orang penghuni perumahan terus menua, sementara anak-anak yang telah berkehidupan sendiri. Alhasil keberadaan Pak Ji jadi lebih berarti. Ibu saya selalu mempercayakan urusan ke dokter kepada Pak Ji. Urusan ini meliputi mendaftar, mengantar ke dokter, menebus resep, lalu mengantarkan pulang. Jika ada acara di rumah semisa pengajian, Pak Ji juga yang akan mengambilkan karpet, menyingkirkan kursi, memasang karpet, dan menjemput konsumsi. Lalu ketika usai, beliau juga yang akan membereskan karpet dan mengembalikan kursi-kursi pada tempatnya. Tempo hari satu kusen di area jemur lapuk. Bisa ditebak, Pak Ji dipanggil. Beliau melepas pintu dan kusennya. Mencari tripleks dan papan untuk jadi penutup sementara, lalu mengantarkan pintu ke tukang kusen untuk dibuatkan kusen pengganti yang sesuai. Dan ketika kusen baru datang, Pak Ji juga yang membawa tukang dan sekaligus membantu memasangnya. Terus jika akan ada tamu datang berkunjung dan halaman samping diperlukan sebagai garasi, bisa ditebak siapa yang datang untuk menyingkirkan pot-pot bunga di tempat lain untuk sementara, dan tentu nantinya orang ini juga yang akan mengembalikan ke tempat semula setelah para tamu selesai berkunjung.

Ya, Pak Ji mengerjakan banyak hal, dari yang remeh-remeh hingga yang serius. Dan nyatanya orang tua saya bukan satu-satunya yang mengandalkannya. Ada masa ketika Pak Ji harus datang setiap hari ke rumah seorang tetangga yang lumpuh karena stroke. Tiap hari Pak Ji bertugas memapah si bapak agar bisa dimandikan. Kemudian membawanya ke teras untuk berjemur beberapa saat. Lalu membawanya kembali ke dalam rumah. Itu dilakukan tiap hari si bapak wafat.

Satu lagi kejadian. Suatu ketika bapak saya sakit dan menolak untuk opname walaupun dokter merekomendasikan. Esok paginya, ketika berusaha bangun untuk sholat subuh beliau jatuh. Dan orang pertama yang ditelepon ibu saya adalah Pak Ji. Pak Ji juga yang kemudian menghubungi tetangga dan membawa bapak saya ke rumah sakit. Baru setelah semuanya beres ibu menghubungi kami anak-anaknya yang semuanya ada di luar kota, mengabarkan apa yang terjadi.

Ya, itulah Pak Ji si tukang becak plus plus. Ibu saya selalu bilang beliau tahu bagaimana memperlakukan penumpangnya, seperti merendahkan becaknya agar ibu bisa naik atau turun dengan mudah. Ibu juga bilang beliau bisa mengetahui kemauan si pemberi order tanpa perlu diterangkan detail dan penuh inisiatif. Bapak bilang cuma Pak Ji tukang becak yang pintar dan tidak gampang canggung menghadapi situasi tertentu. Bapak juga bilang Pak Ji tahu bagaimana membawa dirinya, serta bisa dipercaya.

Ya ya ya, itulah Pak Ji. Memang semua memberikan upah atas tenaga yang diberikannya. Cuma jika dipikir-pikir beliau tidaklah sekedar penjual jasa. Beliau seperti telah menjadi bagian dari banyak keluarga. Karenanya ketika beliau bercerita anak perempuannya berhasil masuk sekolah Sandi Negara, bapak dan ibu saya bersama dengan para sepuh yang lain ikut larut dalam bahagia dan syukur, seakan anak kandung merekalah yang memiliki keberhasilan itu.


Terima kasih banyak, Pak Ji...... #bungkuk badan. 

Rabu, 29 Januari 2014

SUKSES

Bagaimana cara mengukur sukses? Selalu pertanyaan ini mengganggu saya dari dulu hingga detik ini, teruma ketika sedang galau akan hidup. Ya, hidup kata orang penuh dengan naik turun. Nah pas naik itulah yang namanya sukses. Cuma, naik setinggi apa yang bisa masuk kategori sukses? Ini pertanyaan besarnya.

Akhir-akhir ini saya sering bertemu teman-teman lama, mereka yang kisaran dua puluh tahun silam atau lebih menjadi teman seperjuangan di bangku sekolah. Ketika itu standar ukurannya jelas : nilai raport. Jadi ya yang nilainya selalu buruk berarti masuk kategori, maaf, tidak pandai. Sementara yang nilainya selalu baik tentu dilabeli pintar. Sistem pendidikan memungkinkan hal itu. Karenanya masih jelas dalam ingatan saya yang mana teman yang selalu berada di rangking atas dan mana yang jadi penghuni peringkat bawah. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu, bahkan lebih. Sekarang semuanya telah berubah, termasuk standarnya.

Hidup berjalan terus selepas dari bangku sekolah. Semua berproses. Semua berubah, tak lagi seperti dulu. Dan tak jarang saya jadi terkagum-kagum. Juga iri. Tapi enggak pakai dengki lhoooo.... Ya bagaimana tidak kagum dan iri sekaligus kalau teman yang dulu seperjuangan sekarang sudah jadi orang, punya rumah magrong-magrong, dan bermobil mulus gresssss...? Sementara saya, masih berjarak dari pencapaian tersebut. Lalu biasanya saya bakal memberikan label ‘sukses’ pada teman-teman seperti itu. Terus sejenak nelangsa dan tidak percaya diri untuk hadir di acara reuni .... ha ha ha ...... Tapi ya itu tadi, cuma sebentar. Setelah itu biasanya saya bisa terhibur dengan pikiran ‘ah, biar begini saya bahagia kok’. Naifkah? Atau mencerminkan tingginya tingkat kemalasan saya?

Ya, kekayaan materi adalah yang paling gampang untuk dijadikan tolok ukur kesuksesan seseorang. Dan nyatanya paling banyak digunakan juga. Iya, kan? Saya sering kok mendengar orang bilang ‘eh si fulan sudah punya ini itu. Sudah kaya. Sukses dia sekarang’. Tidak cuma sekali dua kali saya mendengarnya. Seringgggggggg banget. Atau contoh lain sungguh terasa ketika lebaran tiba. Ya, waktu lebaran biasanya generasi anak pulang kampung, sowan kepada orangtuanya. Saat inilah gongnya. Mereka pulang dengan segala atributnya. Pernah saya dengar tetangga saya bilang,”Bapak A enak, anak-anaknya pada sukses. Lihat saja, tiga anak mudik, tiga mobil kinclong berjajar di rumah Bapak A”. Nah, kan? So, kekayaan materi adalah satu tolok ukur kesuksesan. Dan berhubung jelas-jelas saya belum ada apa-apanya jika diukur dengan itu, maka teruslah saya mempertanyakan bagaimana mengukur kesuksesan......  ha ha ha.... Daripada stress gitu lhoooo.....

Sampai suatu hari seorang sahabat yang juga saya semati label ‘sukses’ karena karirnya wow banget berkata bahwa dia menilai kesuksesan seseorang salah satunya dengan indikator ‘life skill’, tidak melulu secara materi. Karena toh banyak orang mendapatkan kekayaan materi dengan cara yang salah. Kontan saya kepengen tahu dan bertanya apa itu life skill. Dia menguraikan intinya life skill adalah ketrampilan seseorang dalam menghadapi segala rintangan dalam hidupnya. Termasuk di dalamnya daya juang untuk hidup, kemauan terus bercita-cita, kemampuan mengatasi masalah-masalah hidup, dan hal-hal lain semacam itulah. Langsunglah hati saya mekar. Karena dengan tolok ukur tak berbau rupiah atau dollar seperti itu semua orang bisa saja masuk kategori sukses, termasuk saya. Saya bilang padanya saya pernah berhasil membebaskan diri dari belitan hutang bertahun-tahun. Katanya berarti bisa jadi saya termasuk orang sukses karena toh hutang adalah salah satu masalah hidup. Ya ya ya..... asyik juga tolok ukur tersebut .... he he he he.... Saya mulai berpikir berarti saya sukses dong.... Yaaa paling tidak pernah sukses membebaskan diri dari belenggu hutang.

Sahabat saya lalu bertanya apakah saya risau karena pandangan penilaian orang? Ehmmmm .... yaaa iyalah.... Bohong bangetlah kalau saya tak ingin merasa sukses dan dinilai orang sukses. Buktinya saya selalu iri dengan mereka yang saya anggap sukses. Tapi sekali lagi, tidak pakai dengki yaaaaa.... Dengan yakin teman saya bilang tak apa mengejar kesuksesan materi asal jangan lupa ada bentuk sukses-sukses yang lain, yang tak melulu berkaitan dengan materi. Contohnya mereka yang berguna bagi orang banyak semisal para relawan biasanya bukan orang-orang yang berlebih secara materi, tapi justru yang biasa-biasa saja. Sementara koruptor nyaris selalu mereka yang sudah kaya raya. Ehmmmm... betul juga, kan?


Jadiiii .... mulai saat itu jika risau saya akan menghibur diri dengan melihat sukses dalam bentuk yang lain. Tapi, tetap mesti bekerja keras untuk mengejar sukses materi dengan cara yang benar, jangan pakai korupsi. Karena pemalas itu hanya membebani orang lain. Begitu pesan lanjutan dari sahabat saya yang sungguh super itu. Okay dehhhhhh .....