Kamis, 27 November 2014

MOVE ON

Move on rasanya kata yang saat ini sedang happening banget, disamping kata galau. Ya, move on yang terjemahan bebasnya menurut saya adalah lanjut alias tidak berhenti di satu titik. Kata ini bisa mengacu ke banyak konteks. Saya ingat betul kata itu yang saya gunakan untuk bicara kepada seorang teman yang suaminya baru saja meninggal dunia. Mengenal mereka berdua sebagai pasangan yang kompak, juga mengetahui apa yang dialami si suami pada saat-saat akhir hidupnya dan perjuangan yang sudah dilakukan mereka, membuat saya merasa perlu mengambil waktu khusus untuk bicara pada istri yang ditinggalkan. Waktu itu saya bilang padanya untuk segera move on, mengingat ada hidup yang harus dilanjutkan, tidak hanya hidupnya tapi juga hidup anak-anak yang kini tak punya tempat bergantung selain ibunya. Saya sengaja menekankan kata move on ini karena dari apa yang sudah pernah saya lihat, perempuan lebih lama move on-nya ketimbang laki-laki ketika pasangannya meninggal. Memang banyak kisah perempuan yang berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan setelah suaminya meninggal. Itu tentu move on yang berhasil. Tapi menurut saya tak sepenuhnya berhasil jika dalam diri perempuan itu sendiri masih ada ruang sakral khusus untuk mendiang yang membuat hidupnya jika di zoom tak lengkap. Bukan maksud saya bahwa setelah seorang janda harus menikah kembali untuk membuktikan ke-move-on-annya. Tak harus. Tapi jika dia masih menyisakan ruang sakral untuk sang mendiang, lalu menganggap kehidupan pribadinya telah selesai dan yang sisa adalah kewajiban terhadap anak-anak mereka, maka saya anggap itu bukan move on yang manis.

Balik kepada teman saya tadi. Ketika saya bilang padanya untuk segera move on, jawaban yang keluar dari mulutnya sungguh mantap dan cepat. Katanya tentu dia akan segera bangkit dan tak akan diam di titik ini lama-lama. Baguslah pikir saya, walau jujur agak ragu juga. Tapi kemudian ucapan itu terbukti. Tak sampai setahun berlalu dengan wajah cerah dia menggandeng seseorang, calon suaminya. Sekali lagi saya berpikir baguslah. Tapi ternyata tak semua orang sependapat dengan saya. Suara-suara mencela muncul, intinya mereka bilang terlalu cepat dan mengabaikan perasaan anak-anak. Mereka mulai berpedapat tanpa diminta, juga mengenang betapa baik si mendiang. Ehmmmm .... jujur saya malas berkomentar soal yang begini. Soal baik atau tidak rasanya tak berhak menilai. Saya mah percaya-percaya saja keputusan seperti itu telah melalui proses berpikir yang serius. Dia berhasil move on. Lhah kok ternyata justru orang-orang di sekitarnya yang masih belum berhasil move on ya?

Masalah move on ternyata tidak melulu masalah hati perorangan. Move on juga dikenal dalam masalah politik. Tidak percaya? Mari saya jelaskan. Pilpres 2014 yang lalu bagi saya adalah Pilres yang sangat brutal. Bangsa ini seakan terbelah menjadi dua kubu sesuai kandidat jagoannya. Dan parahnya, suasana jadi panas sekali karena keduanya saling menjelekkan demi mengangkat pamor jagoannya. Dunia maya bagaikan medan perang; panas dan kejam. Berita negatif bertebaran dimana-mana. Entah apakah itu kampanye model seperti itu berhasil menarik pemilih dan membuat para kandidat terlihat luar biasa, yang pasti itu malah membuat saya berbalik arah. Awalnya saya cukup bersemangat menyambut Pilpres dan berniat menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan kandidat. Tapi kemudian kebrutalannya membuat saya muak. Saya putuskan tidak memilih siapapun dan menerima siapapun asal semuanya segera berlalu. Puji syukur ada event World Cup. Jadilah saya memfokuskan perhatian pada sepak bola.

Begitu Pilpres usai eh ternyata suasana masih panas juga. Gonjang-ganjing penghitungan suara yang dinilai penuh rekayasa yang berbuntut ini itu. Lalu ribut-ribut di parlemen yang sampai ketika saya menulis ini masih tak selesai juga. Itu level elit politik. Di level-level bawahnya lagi para anggota partai tak kalah giat dalam hal memanaskan suasana. Lagi-lagi dunia maya menjadi arenanya. Lihat bagaimana media sosial penuh dengan berita ini itu yang nadanya miring terhadap pemerintah. Okay saya mengerti maksudnya adalah mereka berperan sebagai oposisi bagi pemerintah yang berkuasa yang notabene kubu mantan lawan mereka semasa Pilpres tempo hari. Tapi kok ya menjadi oposannya begitu amat. Saya tidak membela siapa-siapa. Cuma saya kok merasa sebagai oposisi para politikus di media sosial ini kurang elegan mainnya, kalau tidak mau dibilang kurang cerdas. Lihat cara mereka yang seragam : men-share berita yang sumbernya satu, yaitu situs partai mereka sendiri. Jadi mereka sekedar membenarkan apa yang diomongkan oleh partai lalu membelanya mati-matian seakan itu adalah hal benar yang sudah tertulis dalam kitab suci. Oalahhhh.... mbok ya lebih elegan tho, sekali lagi kalau tidak mau dibilang mbok ya lebih cerdas. Dan parahnya, sering sekali yang dibahas adalah hal remeh temeh yang tak penting dan tak bermutu sama sekali, yang akhirnya malah jadi penyerangan terhadap pribadi atau malah pembunuhan karakter. Saya jadi mikir apa mereka tak punya cukup otak untuk berpikir sehingga ketika disuruh elit partainya untuk men-share berita langsung saja dilakukan tanpa ada merasa perlu untuk membaca dan mempertimbangkannya lagi? Satu logika saja, jika kita berniat untuk menjadi oposan yang berbobot, ya paling tidak rujukannya nggak cuma satu sumber yang subyektif begitu dong.... Apa mereka paling tidak merasa anehlah ketika sebagai oposisi yang dikritisi cuma hal-hal remeh temeh yang tak mendasar seperti itu?


Jawaban atas pertanyaan saya di atas cuma satu : banyak yang secara politik belum berhasil move on. Kalau mau jadi oposisi yang bermutu ya move on dululah biar hati dan pikiran jernih.... Begituuuu.... 

Tidak ada komentar: