Kamis, 31 Januari 2013

Lima Ribu Rupiah .....



Siang itu saya baru saja turun dari becak langganan yang mengantarkan ke tempat pemberhentian bus patas menuju surabaya. Biasanya setiap kali saya sampai nyaris selalu ada bus yang sudah 'njogrok' dengan pintu terbuka. Tapi kali ini lain, tak ada satupun disana. Cuma ada beberapa orang yang menurut perkiraan saya adalah calon penumpang yang setujuan dengan saya. Saya pikir wajar pasokan bus agak telat karena ini hari itu hari terakhir libur sekolah. Jadi saya harus rela menunggu.
Belum lima menit menunggu datang seorang laki-laki tua menanyakan tujuan saya. Lalu katanya saya seharusnya menunggu bus itu di tempat lain yang perkiraan saya sekitar 500
meter  dari tempat saya sekarang. Kemudian dia bilang bisa mengantar dengan imbalan 5000 rupiah saja. Rupanya si bapak ini tukang becak. Ketika saya bilang biasa menunggu disini, si bapak kembali bilang bahwa saya akan butuh waktu dua jam lebih untuk mendapatkan bus itu jika tetap disini. Masih katanya, di tempat yang dia sarankan saya akan lebih cepat mendapatkannya karena memang disitulah tempat seharusnya. Seorang gadis yang berdiri di dekat saya 'jump in' dengan bilang ini memang bukan tempat menunggu bus arah surabaya. Saya bantah keduanya dengan bilang saya biasa menunggu disini dan terakhir dua minggu yang lalu masih melakukan itu. Si gadis diam, mungkin karena sadar dia tidak terbiasa dengan rute Tulungagung - Surabaya. Sedangkan si bapak tetap berkeras mempengaruhi saya. Jujur saya jadi jengkel. Saya bilang dengan tegas bahwa saya akan menunggu dulu disini. Mendengar itu beliau masih berdiri dekat saya sambil bergumam sesuatu yang tidak tertangkap di kuping saya. Beruntung ada calon penumpang lain datang dan si bapak jadi beralih sasaran.

Sungguh saya jatuh kasihan ketika melihat keriput wajah dan kurus badan legamnya. Cuma saya juga tidak suka diintimidasi seperti itu. Dan karena saya tahu sedikit soal perhentian bus ini. Sejak terminal direnovasi, bus luber ke jalan. Dan bus patas mengambil tempat di sekitar depan terminal. Sementara bus non patas mengambil tempat di tempat yang disebutkan oleh bapak tadi. Saya tahu itu karena sempat survei pada dua kali mudik sebelum ini. Dalam dua kali mudik sebelum ini saya sudah menjajal kedua tempat itu. Karenanya saya berani berkeras untuk tetap tinggal.
Melihat si bapak mencoba lagi terhadap orang lain dan gagal, sungguh saya tak tega. Apalagi setelah setengah
jam menunggu pikiran saya mulai goyah. Kepikir untuk memanggil dan menggunakan jasanya. Tapi satu hal menahan saya : uang di dompet tinggal 50ribu. Dengan tarif bus patas yang 30ribu berarti sangu saya tinggal 20ribu saja. Kalau dikurangi lagi dengan jasanya maka cuma 15ribulah sisa sangu saya. Agak terlalu ngepres. Menyesal jadinya tidak mampir ke ATM saat berangkat tadi karena alasan malas. Satu hal lagi, uang 50ribu saya itu dalam satu lembar utuh. Saya tak yakin si bapak tua itu mempersiapkan uang kembalian untuk saya. Kalau tidak berarti saya harus membelanjakan dulu. Mungkin sekedar untuk membeli permen atau minuman. Tapi lagi-lagi artinya menggerus sangu saya. Sementara tak ada ATM di dekat sini. Jadi pilihannya adalah menunggu atau berjalan sejauh 500meter. Saya putuskan untuk menunggu setengah jam lagi. Kalau bus patas itu tak muncul juga maka saya akan berjalan untuk mengambil bus non patas. Berjalan melipir trotoar agar tak terlalu terlihat si bapak tua. Begitu rencananya. Tapi kemudian saya lihat si bapak menunggangi becaknya, pergi dari area tersebut, tanpa penumpang. Saya merasa berdosa.

Lalu tahu-tahu bus yang saya tunggu muncul. Kosong sama sekali pula. Duduk dalam bus idaman itu, pikiran saya tetap penuh rasa kasihan dan penyesalan pada si bapak tua. Mungkin uang lima ribu itu lebih berarti banyak buat dia. Sementara saya cuma menyikapinya sebagai penggerusan uang sangu akibat kemalasan berhenti lima atau sepuluh menit di ATM.....