Senin, 30 November 2015

Puasa Media

Tempo hari seorang teman menyarankan agar saya meninggalkan koran, buku, dan televisi selama sebulan.  Katanya ini dimaksudkan agar saya bisa mulai belajar mendengarkan ‘suara’ dari dalam diri sendiri. Sebulan penuh, mulai sejak dia mengucapkan itu pada pertemuan kami. Saya melongo. Sebulan penuh tanpa media alias puasa media, begitu pendeknya. Saat itu yang terpikir adalah mampukah dan apa enaknya hidup tanpa media seperti itu? Teman saya tersenyum, berkata bahwa dia tahu itu bakal berat buat saya tapi di akhir puasa saya akan merasakan manfaatnya.  Baiklah saya akan lakukan, jawab saya. Lagi dia tersenyum senang. Dan dengan sangat baik dan murah hati dia memberikan tiga buku agama dan beberapa barang. Buku agama itu katanya sebagai ganti dari buku-buku yang dilarangnya saya baca karena selama masa sebulan itu saya cuma boleh membaca buku agama dan buku cerita anak-anak.

Jadilah sejak keesokan harinya saya puasa media. Berat karena walau tak tergantung pada televisi, saya punya kebiasaan makan di depan layar gelas itu, sekedar menonton berita. Juga saat itu sedang berlangsung ajang kompetisi pencarian bakat yang tayang seminggu sekali dan saya tonton tiap minggunya. Dengan berat saya meninggalkannya. Tempat makan pindah ke teras. Saya berusaha keras untuk tidak mendengar suara apapun dari televisi. Kalau pas lewat ruangan duduk dan kebetulan televisi menyala karena ditonton bapak atau ibu saya maka saya akan memalingkan muka dan menulikan telinga. Saya juga jadi rajin mematikan televisi yang sering dinyalakan oleh ibu saya ketika beliau memasak. Saya juga yang mematikan televisi yang ditinggalkan begitu saja oleh bapak saya. Pokoknya begitu pegang remote maka satu-satunya tombol yang saya pencet adalah power, lalu plas matilah dia.

Koran. Nah, ini juga hal berat untuk ditinggalkan.  Saya bukan termasuk pembaca koran yang melahap habis seluruh halamannya. Tidak, selama ini saya pembaca yang pemilih. Headline tentu saya baca. Kolom-kolom opini kalau tidak terlalu ruwet juga akan saya baca. Berita ekonomi dan bisnis asal ulasannya tak penuh variabel yang njelimet juga jadi pilihan saya. Berita luar negeri termasuk pilihan utama. Berita sosial budaya termasuk minat saya. Berita olah raga juga jarang saya lewatkan terutama jika menyangkut tenis. Jadi jelas terasa ada yang hilang ketika koran tak boleh lagi saya baca. Alhasil apa yang saya kerjakan adalah sekedar melipat koran yang ditinggalkan tak beraturan oleh bapak atau kakak saya. Tak itu saja, saya juga tak membaca berita dari situs online, pun rupa-rupa berita yang di-share di media sosial.

Buku. Sungguh ini luar biasa berat karena ketika teman saya memberikan tantangan itu, saya sedang menyimpan beberapa novel pemberian teman yang belum terbaca. Yes, novel ada godaan besar. Saya termasuk yang mengeloni buku di tempat tidur. Buku juga hampir selalu menjadi teman menjelang tidur. Begitu mulai puasa media, yang pertama saya lakukan adalah menyingkirkan semua itu dari atas tempat tidur. Sengaja saya balik susunan buku sehingga tak terbaca judulnya.
Seminggu pertama berat sekali melakoni itu semua. Saya terus menerus memimpikan masa sebulan itu segera lewat. Masuk minggu kedua mulai terasa ringan. Merajut; kegiatan yang diijinkan teman saya dan sangat disarankan; jadi pengalihan yang menyenangkan. Minggu ketiga dan keempat terasa longgar. Buku, koran, dan televisi tak tampak menarik. Begitu genap sebulan yang artinya sudah boleh buka puasa saya juga tak jadi kemaruk segala hal itu.

Ya, informasi ataupun berita atau apalah namanya terkadang bukan sesuatu yang memberikan energi positif bagi saya. Sebulan tanpa semua itu saya jadi mulai mengerti betapa semua itu bisa menggiring saya ke arah-arah tertentu. Semua itu juga bisa memicu kemarahan, kecewa, sedih, putus asa, pikiran negatif, dan apapun tanpa saya sadari. Sebagai contoh jika saya menonton berita politik negeri ini yang selalu gaduh sana gaduh sini. Akan timbul paling kemarahan, dan kecewa karena perilaku orang-orang yang sebenarnya tak saya kenal. Mereka sih santai-santai saja wong sudah pekerjaannya begitu. Sementara saya diam-diam menumpuk banyak hal negatif di bawah sadar saya, teracuni, tergiring ke arah yang entah menuju kemana atau siapa, dan sebagainya. Ini kurang lebih yang disebut teman saya bahwa perlu belajar lagi mendengarkan suara dari dalam diri, suara nurani sendiri. Terlalu riuhnya suara-suara luar membuat saya tak bisa mendengar suara dalam diri saya sendiri.

Sekarang di tengah segala kegaduhan negeri ini, seakan saya punya alternatif untuk keluar darinya, yaitu menutup semua akses berita agar tak bisa menyentuh saya, agar tak terpengaruh menjadi keruh. Sungguh sampai sekarang tak putus rasa terima kasih saya pada teman yang mengajarkan ini.


Mau coba juga ?