Tempo hari seorang teman menyarankan agar saya meninggalkan koran, buku,
dan televisi selama sebulan. Katanya ini
dimaksudkan agar saya bisa mulai belajar mendengarkan ‘suara’ dari dalam diri
sendiri. Sebulan penuh, mulai sejak dia mengucapkan itu pada pertemuan kami.
Saya melongo. Sebulan penuh tanpa media alias puasa media, begitu pendeknya.
Saat itu yang terpikir adalah mampukah dan apa enaknya hidup tanpa media
seperti itu? Teman saya tersenyum, berkata bahwa dia tahu itu bakal berat buat
saya tapi di akhir puasa saya akan merasakan manfaatnya. Baiklah saya akan lakukan, jawab saya. Lagi
dia tersenyum senang. Dan dengan sangat baik dan murah hati dia memberikan tiga
buku agama dan beberapa barang. Buku agama itu katanya sebagai ganti dari
buku-buku yang dilarangnya saya baca karena selama masa sebulan itu saya cuma
boleh membaca buku agama dan buku cerita anak-anak.
Jadilah sejak keesokan harinya saya puasa media. Berat karena walau tak
tergantung pada televisi, saya punya kebiasaan makan di depan layar gelas itu,
sekedar menonton berita. Juga saat itu sedang berlangsung ajang kompetisi
pencarian bakat yang tayang seminggu sekali dan saya tonton tiap minggunya.
Dengan berat saya meninggalkannya. Tempat makan pindah ke teras. Saya berusaha
keras untuk tidak mendengar suara apapun dari televisi. Kalau pas lewat ruangan
duduk dan kebetulan televisi menyala karena ditonton bapak atau ibu saya maka
saya akan memalingkan muka dan menulikan telinga. Saya juga jadi rajin
mematikan televisi yang sering dinyalakan oleh ibu saya ketika beliau memasak.
Saya juga yang mematikan televisi yang ditinggalkan begitu saja oleh bapak
saya. Pokoknya begitu pegang remote maka satu-satunya tombol yang saya pencet
adalah power, lalu plas matilah dia.
Koran. Nah, ini juga hal berat untuk ditinggalkan. Saya bukan termasuk pembaca koran yang
melahap habis seluruh halamannya. Tidak, selama ini saya pembaca yang pemilih.
Headline tentu saya baca. Kolom-kolom opini kalau tidak terlalu ruwet juga akan
saya baca. Berita ekonomi dan bisnis asal ulasannya tak penuh variabel yang
njelimet juga jadi pilihan saya. Berita luar negeri termasuk pilihan utama.
Berita sosial budaya termasuk minat saya. Berita olah raga juga jarang saya
lewatkan terutama jika menyangkut tenis. Jadi jelas terasa ada yang hilang
ketika koran tak boleh lagi saya baca. Alhasil apa yang saya kerjakan adalah
sekedar melipat koran yang ditinggalkan tak beraturan oleh bapak atau kakak
saya. Tak itu saja, saya juga tak membaca berita dari situs online, pun
rupa-rupa berita yang di-share di media sosial.
Buku. Sungguh ini luar biasa berat karena ketika teman saya memberikan
tantangan itu, saya sedang menyimpan beberapa novel pemberian teman yang belum
terbaca. Yes, novel ada godaan besar. Saya termasuk yang mengeloni buku di
tempat tidur. Buku juga hampir selalu menjadi teman menjelang tidur. Begitu mulai
puasa media, yang pertama saya lakukan adalah menyingkirkan semua itu dari atas
tempat tidur. Sengaja saya balik susunan buku sehingga tak terbaca judulnya.
Seminggu pertama berat sekali melakoni itu semua. Saya terus menerus
memimpikan masa sebulan itu segera lewat. Masuk minggu kedua mulai terasa
ringan. Merajut; kegiatan yang diijinkan teman saya dan sangat disarankan; jadi
pengalihan yang menyenangkan. Minggu ketiga dan keempat terasa longgar. Buku,
koran, dan televisi tak tampak menarik. Begitu genap sebulan yang artinya sudah
boleh buka puasa saya juga tak jadi kemaruk segala hal itu.
Ya, informasi ataupun berita atau apalah namanya terkadang bukan sesuatu
yang memberikan energi positif bagi saya. Sebulan tanpa semua itu saya jadi
mulai mengerti betapa semua itu bisa menggiring saya ke arah-arah tertentu. Semua
itu juga bisa memicu kemarahan, kecewa, sedih, putus asa, pikiran negatif, dan
apapun tanpa saya sadari. Sebagai contoh jika saya menonton berita politik
negeri ini yang selalu gaduh sana gaduh sini. Akan timbul paling kemarahan, dan
kecewa karena perilaku orang-orang yang sebenarnya tak saya kenal. Mereka sih
santai-santai saja wong sudah pekerjaannya begitu. Sementara saya diam-diam
menumpuk banyak hal negatif di bawah sadar saya, teracuni, tergiring ke arah
yang entah menuju kemana atau siapa, dan sebagainya. Ini kurang lebih yang
disebut teman saya bahwa perlu belajar lagi mendengarkan suara dari dalam diri,
suara nurani sendiri. Terlalu riuhnya suara-suara luar membuat saya tak bisa
mendengar suara dalam diri saya sendiri.
Sekarang di tengah segala kegaduhan negeri ini, seakan saya punya
alternatif untuk keluar darinya, yaitu menutup semua akses berita agar tak bisa
menyentuh saya, agar tak terpengaruh menjadi keruh. Sungguh sampai sekarang tak
putus rasa terima kasih saya pada teman yang mengajarkan ini.
Mau coba juga ?