Tet tetet tetetttttttttttttttttt...... begitulah bunyinya ....
Terompet di malam tahun baru apa artinya? Resolusi baru? Ehmmm.... silahkan, tapi pastikan untuk tidak jadi resolusi hangat-hangat tahi ayam ... hehehhehehe...
Tet tetet tetettttttttttttttttttttttt
Ini tentang isi kepala. Isi kepala manusia biasa, perempuan. Mungkin akan campur aduk tak karuan, karena bukankah isi kepala banyak manusia memang begitu? Atau, adakah manusia teratur yang isi kepalanya rapi tertata dalam folder-folder dan nama file beraturan?
Mengenai Saya
Kamis, 31 Desember 2015
Senin, 30 November 2015
Puasa Media
Tempo hari seorang teman menyarankan agar saya meninggalkan koran, buku,
dan televisi selama sebulan. Katanya ini
dimaksudkan agar saya bisa mulai belajar mendengarkan ‘suara’ dari dalam diri
sendiri. Sebulan penuh, mulai sejak dia mengucapkan itu pada pertemuan kami.
Saya melongo. Sebulan penuh tanpa media alias puasa media, begitu pendeknya.
Saat itu yang terpikir adalah mampukah dan apa enaknya hidup tanpa media
seperti itu? Teman saya tersenyum, berkata bahwa dia tahu itu bakal berat buat
saya tapi di akhir puasa saya akan merasakan manfaatnya. Baiklah saya akan lakukan, jawab saya. Lagi
dia tersenyum senang. Dan dengan sangat baik dan murah hati dia memberikan tiga
buku agama dan beberapa barang. Buku agama itu katanya sebagai ganti dari
buku-buku yang dilarangnya saya baca karena selama masa sebulan itu saya cuma
boleh membaca buku agama dan buku cerita anak-anak.
Jadilah sejak keesokan harinya saya puasa media. Berat karena walau tak
tergantung pada televisi, saya punya kebiasaan makan di depan layar gelas itu,
sekedar menonton berita. Juga saat itu sedang berlangsung ajang kompetisi
pencarian bakat yang tayang seminggu sekali dan saya tonton tiap minggunya.
Dengan berat saya meninggalkannya. Tempat makan pindah ke teras. Saya berusaha
keras untuk tidak mendengar suara apapun dari televisi. Kalau pas lewat ruangan
duduk dan kebetulan televisi menyala karena ditonton bapak atau ibu saya maka
saya akan memalingkan muka dan menulikan telinga. Saya juga jadi rajin
mematikan televisi yang sering dinyalakan oleh ibu saya ketika beliau memasak.
Saya juga yang mematikan televisi yang ditinggalkan begitu saja oleh bapak
saya. Pokoknya begitu pegang remote maka satu-satunya tombol yang saya pencet
adalah power, lalu plas matilah dia.
Koran. Nah, ini juga hal berat untuk ditinggalkan. Saya bukan termasuk pembaca koran yang
melahap habis seluruh halamannya. Tidak, selama ini saya pembaca yang pemilih.
Headline tentu saya baca. Kolom-kolom opini kalau tidak terlalu ruwet juga akan
saya baca. Berita ekonomi dan bisnis asal ulasannya tak penuh variabel yang
njelimet juga jadi pilihan saya. Berita luar negeri termasuk pilihan utama.
Berita sosial budaya termasuk minat saya. Berita olah raga juga jarang saya
lewatkan terutama jika menyangkut tenis. Jadi jelas terasa ada yang hilang
ketika koran tak boleh lagi saya baca. Alhasil apa yang saya kerjakan adalah
sekedar melipat koran yang ditinggalkan tak beraturan oleh bapak atau kakak
saya. Tak itu saja, saya juga tak membaca berita dari situs online, pun
rupa-rupa berita yang di-share di media sosial.
Buku. Sungguh ini luar biasa berat karena ketika teman saya memberikan
tantangan itu, saya sedang menyimpan beberapa novel pemberian teman yang belum
terbaca. Yes, novel ada godaan besar. Saya termasuk yang mengeloni buku di
tempat tidur. Buku juga hampir selalu menjadi teman menjelang tidur. Begitu mulai
puasa media, yang pertama saya lakukan adalah menyingkirkan semua itu dari atas
tempat tidur. Sengaja saya balik susunan buku sehingga tak terbaca judulnya.
Seminggu pertama berat sekali melakoni itu semua. Saya terus menerus
memimpikan masa sebulan itu segera lewat. Masuk minggu kedua mulai terasa
ringan. Merajut; kegiatan yang diijinkan teman saya dan sangat disarankan; jadi
pengalihan yang menyenangkan. Minggu ketiga dan keempat terasa longgar. Buku,
koran, dan televisi tak tampak menarik. Begitu genap sebulan yang artinya sudah
boleh buka puasa saya juga tak jadi kemaruk segala hal itu.
Ya, informasi ataupun berita atau apalah namanya terkadang bukan sesuatu
yang memberikan energi positif bagi saya. Sebulan tanpa semua itu saya jadi
mulai mengerti betapa semua itu bisa menggiring saya ke arah-arah tertentu. Semua
itu juga bisa memicu kemarahan, kecewa, sedih, putus asa, pikiran negatif, dan
apapun tanpa saya sadari. Sebagai contoh jika saya menonton berita politik
negeri ini yang selalu gaduh sana gaduh sini. Akan timbul paling kemarahan, dan
kecewa karena perilaku orang-orang yang sebenarnya tak saya kenal. Mereka sih
santai-santai saja wong sudah pekerjaannya begitu. Sementara saya diam-diam
menumpuk banyak hal negatif di bawah sadar saya, teracuni, tergiring ke arah
yang entah menuju kemana atau siapa, dan sebagainya. Ini kurang lebih yang
disebut teman saya bahwa perlu belajar lagi mendengarkan suara dari dalam diri,
suara nurani sendiri. Terlalu riuhnya suara-suara luar membuat saya tak bisa
mendengar suara dalam diri saya sendiri.
Sekarang di tengah segala kegaduhan negeri ini, seakan saya punya
alternatif untuk keluar darinya, yaitu menutup semua akses berita agar tak bisa
menyentuh saya, agar tak terpengaruh menjadi keruh. Sungguh sampai sekarang tak
putus rasa terima kasih saya pada teman yang mengajarkan ini.
Mau coba juga ?
Sabtu, 31 Oktober 2015
MAJEK
Satu kegiatan yang jamak diperani ibu-ibu seangkatan saya adalah menjadi majek.
Majek alias mama ojek yaitu mengantar jemput anak-anaknya kemana saja, tak cuma
ke sekolah tapi juga les ini itu, belajar kelompok, ekskul, dan sebagainya.
Seorang teman yang anaknya lebih dari dua dengan umur yang berbeda-beda bisa
kisaran lima kali sehari pulang pergi karena masing-masing anak punya jadwal
kegiatan sendiri-sendiri yang bisa berarti beda jam dan beda tempat. Capek
nggak, begitu tanya saya. Katanya capek juga sih, tapi mau bagaimana lagi wong
memang kondisinya begitu. Katanya untung dia tak kerja kantoran jadi gampang
saja melakukan yang begitu. Tapi tak kerja kantoran bukan berarti dia tak
bekerja lho. Si ibu ini punya kegiatan usaha di rumah dan tak punya asisten
rumah tangga. Dan tugas ngojek ini tak bisa dibagi dengan sang bapak karena
beliaunya mengantor yang tentu tak memungkinkan untuk keluar seenak udelnya.
Saya jadi membandingkan kondisi ini dengan jaman saya sekolah TK, SD, SMP,
dan SMA puluhan tahun yang lalu. Tua amat yaaaa...? Hahahahaha.... Saya
menghabiskan keempat masa sekolah itu di kota kecil, cuma sebuah kabupaten yang
sedang-sedang saja tingkat keramaiannya. Saya ingat betul jaman TK orangtua
mengabonemenkan becak untuk kami bertiga. Waktu itu kedua kakak saya sudah
masuk SD. Untuk menghemat tenaga pak tukang becak karena jarak rumah dengan
sekolah lebih dari lima kilometet, saya mesti ikut berangkat pada jam yang sama
dengan kedua kakak berangkat walau sebenarnya jam masuk saya setengah jam lebih
lambat dari mereka. Cuma pulangnya saya dijemput sendiri. Terus waktu SD hanya
sebentar abonemen becaknya. Sebab
keluarga kami pindah ke kota lain dan sekolah jadi lebih dekat. Kedua kakak
diijinkan untuk berangkat sendiri bersama teman-teman mereka. Sementara saya
masih naik becak tapi tidak abonemen. Masuk kelas tiga, seingat saya makin
jarang naik becak, dan lebih sering pergi bareng dengan kakak, jalan kaki.
Waktu seumur itu saya tak punya kegiatan kursus atau les seingat saya. Paling
belajar atau tugas kelompok yang sering-sering dikerjakan di rumah saya dengan
teman-teman datang bersepeda. Mulai kelas lima saya sudah diijinkan untuk
berjalan atau bersepeda sendiri ke sekolah. Kakak-kakak sudah masuk SMP waktu
itu. SMP dan SMA juga saya lakoni dengan berjalan kaki dan bersepeda, dan
semakin banyak teman seperjalanan.
Seperti saya bilang, saya tak sendirian. Banyak teman saya melakukan hal
serupa. Sebagian malah dengan jarak rumah yang berlipat-lipat lebih jauh. Ada yang
rumahnya berjarak lebih dari dua belas kilometer dari sekolah dan dilakoni
dengan sepeda onthel karena memang tak ada kendaraan umum yang bisa digunakan. Alhasil
setiap kali sampai sekolah rata-rata punggung mereka basah dan bedaknya luntur.
Tapi ya dilakoni terus wong namanya nggak ada pilihan lain. Pernah satu kali
saya bersepeda ke rumah teman yang jauhnya kisaran sepuluh kilometer dari rumah
saya. Waktu itu sekolah masuk siang dan harus membawa kecebong untuk pelajaran
biologi. Karena tak menemukan kecebong di sekitar rumah, nekadlah saya ke rumah
teman tersebut. Lumayan juga pegalnya mengayuh pedal dua kali sepuluh kilometer.
Lha padahal teman saya melakoninya setiap hari, bisa dalam kondisi panas terik
ataupun hujan deras. Mengingat iku sekarang saya jadi begitu salut pada mereka.
Mengayuh sepeda duapuluhan kilometer sehari demi sekolah tentu belum apa-apa
karena sekarang pun kenyataannya masih banyak anak-anak di negeri ini yang
mesti melintasi jembatan yang nyaris ambrol atau berjalan kaki puluhan
kilometer. Tapi membandingkannya dengan mereka yang diantar jemput dengan majek
tentu terasa lain.
Hai, jangan salah ya, saya tidak sedang menjustifikasi mereka yang punya
fasilitas majek itu bagaimana bagaimana. Tidak, sama sekali bukan begitu. Saya sekedar
membandingkan apa yang saya alami dulu dengan saat ini. Sejak dua tahun lalu
saya kembali ke kota yang sama dengan yang saya tinggali ketika jaman SD hingga
SMA. Memandangi kembali bekas sekolah saya yang sekarang lebih mentereng
membuat teringat semua itu. Tapi di jalan-jalan tak lagi banyak saya temui
pelajar bersepeda, apalagi berjalan. Bersepeda masihlah ada, tapi tak sebanyak
dulu jaman saya. Kalau yang berjalan, ehmmmmm kok rasanya tak pernah lagi ya menemukannya?
Pelajar-pelajar SMU rata-rata sudah mengemudikan motor sendiri. Beberapa malah
mengendarai mobil. Sementara yang lebih muda ya itu tadi, pakai layanan majek,
mama ojek.
Sabtu, 26 September 2015
Ketemu Pesohor
Masih ramai diberitakan di media saat ini soal pimpinan dewan yang bertemu,
kemudian ikut tampil dalam jumpa pers yang digelar seorang pengusaha USA super
terkenal dan, tentu saja, kaya raya, dan lagi berambisi menjadi pemimpin negeri.
Jangan salah, saya menulis kali ini bukan untuk ikut meramaikan silang pendapat
tentang benar atau tidaknya tindakan itu. Jujur, saya sedang tidak mood
membicarakannya dari sisi tersebut. Toh, sudah banyak sekali yang berpendapat
ini itu, dan yang bersangkutan juga sudah membela diri dengan alasan segala
rupa.
Saya lebih tertarik membicarakan ekspresi wajah dua pimpinan dewan yang
jelas tertangkap kamera dan videonya diunggah di youtube. Selalu geli saya
melihat ekspresi wajah mereka. Lihat, betapa mereka tersenyum-senyum, yang
menurut opini saya pribadi itu adalah senyum bangga. Lihat kilatan mata sang
orang kedua, kilatan mata yang begitu hidup! Mungkin jika mata itu bisa bicara,
dia bakal ngomong, “hei, lihat! Saya sedang dengan dia yang terkena! Hebat kan
saya? Kamu nggak bisa begini kan? Silahkan iri!” Sementara si orang pertama
yang tampak sedikit lebih kalem. Memang selama tampil di media sebelum-sebelum
ini, dia menurut saya lebih kalem ketimbang si orang kedua yang selalu tampak
antusias jika diwawancara, terlebih ketika berkepentingan membela bosnya. Tapi
kalem bukan berarti tak bangga lho. Lihat senyumnya yang agak malu-malu kucing
itu. Lihat kilau matanya. Kalau mata itu bisa bicara maka menurut saya inti
kalimatnya tak beda jauh dengan yang diucapkan oleh mata si orang kedua,
sama-sama bangga ada di sana. Hahahahahaha.... sungguh, berkali-kali rekaman
itu ditayangkan, berkali-kali saya melihatnya dan selalu tertawa. Seorang rekan
mereka yang dimintai pendapat oleh wartawan agaknya juga berpikir sama dengan
saya. Intinya kurang lebih sang rekan ini bilang bahwa wajar-wajar saja mereka
di situ bersama si bule yang terkenal seantero dunia. Masih kata sang rekan,
tak perlu diperbesar-besarkan toh si bule belum resmi jadi kandidat presiden
dan kalaupun sampai jadi presiden pun itu bakal jadi memori tersendiri bagi
kedua pimpinan dewan itu. Nah lho, berarti benar soal kebanggaan yang saya
sebut di atas tadi. Soal benar atau salah menurut kode etik yaaa embuhlah!
Namanya juga mumpung lagi ketemu mereka yang terkenal ya mosok dibiarkan saja
momen itu berlalu? Begitu ya, Pak? Hehehehehhe.....
Ketemu orang terkenal memang sesuatu. Apalagi jika orang itu termasuk
yang diidolakan, wah tambah lebih dari
sesuatulah. Cuma kok saya sering berpikir sebaliknya ya? Ketika ketemu orang
beken saya bukan termasuk yang buru-buru mendekat meminta foto bersama. Saya
lebih suka diam-diam mengamati dari jarak aman, mencari momen-momen khusus yang
menunjukkan bahwa sebeken apapun dia tetaplah manusia biasa.
Satu kali saya tengah menunggu kereta malam untuk pulang ke Surabaya dari
Jakarta. Lalu saya lihat satu sosok bule tinggi yang wajahnya sering tampil di
koran. Saya mengenali rohaniawan sekaligus budayawan itu. Agak tertunduk-tunduk
dia membawa tasnya masuk ke gerbong. Wajahnya ramah biasa, tidak menantang
sekitar untuk mengenalinya. Juga sabar menunggu antrian, tampak maklum ketika
orang mendesaknya. Oh jadi begitu ya dia kesehariannya, cukup sama dengan apa
yang selama ini ditulisnya di artikelnya. Teman yang sedari tadi duduk di
sebelah saya menunjuknya dengan dagu, apakah saya kenal siapa dia. Entah
mengapa dia agak terkejut ketika saya sanggup menyebut lengkap nama beliau. Ah,
kau pikir aku tak pernah baca koran ya, Kang? Lalu dia bertanya apakah saya
akan menyambangi gerbongnya sekedar minta tanda tangan atau apa karena toh kami
ada di kereta yang sama cuma beda gerbong saja. Tak saya lakukan hal itu, cukup
sudah melihat sosoknya menjejak peron yang sama dengan saya.
Kali lain selesai menikmati midnight show di bioskop, saya pindah bersama
rombongan teman pindah nongkrong ke restoran cepat saji yang buka 24 jam. Baru
saja menempelkan pantat ke kursi, muka saya berhadapan dengan wajah terkenal.
Penyanyi laki-laki. Jarak kami dipisahkan dengan satu meja kosong. Dan kami saling
menatap. Saya sempat menimbang-nimbang apakah perlu menyenyuminya dengan
girang, atau diam-diam saja. Akhirnya dia yang memberi saya senyum tipis
sebelum mengalihkan pandangan ke foto menu. Seorang teman menyenggol siku saya
sambil membisikkan nama si pesohor. Ah, tak perlu dibisiki saya juga sudah
tahu. Kali ini pun saya tak berminat mendekat. Cukup menyaksikannya tersenyum
enggan meladeni mbak-mbak yang datang menyapa. Ya wajarlah kalau dia enggan.
Waktu itu dini hari, mungkin dia mengantuk dan lapar sekaligus. “Nggak
nyamperi?” tanya teman saya. Saya menggeleng. Kenapa? Ehmmmm kenapa ya? Salah
satunya karena saya juga mulai mengantuk dan lapar. Sebab lain mungkin juga
karena saya tak terlalu suka dengan lagu-lagu sedihnya.... hehhehehehehehe....
Mendapat senyum tipis cukuplah, lalu biarlah dia mengisi perutnya dengan tenang
seperti saya.
Eh tapi pernah juga lho saya berfoto dan minta tanda tangan pesohor. Itu terjadi
pas saya terpilih untuk ikut dalam semacam klinik menulis yang diadakan oleh
penulis fiksi terkenal yang saya gandrungi. Sumpah, senengggggggggggg sekali. Saya
sampai sanggup duduk menunggu selama lebih dari satu jam sebelum sang penulis
ini datang. Dan seperti biasa, saya mencari momen kecil tentangnya dan saya
dapatkan itu. Saya tengah mengangkat kamera, menunggu momen untuk memotretnya. Waktu
itu dia masih berdiri di pinggir ruangan, menunggu sang pembawa acara yang
masih memberi prolog untuk memperkenalkannya. Sang bintang yang berdiri santai
memegang kertas catatannya tiba-tiba menoleh kepada saya dan tersenyum. Saya langsung
menjepretnya sambil berucap terima kasih. Bukan foto yang bagus karena tak
terlalu fokus, tapi saya senang dengan aksi kecilnya itu. Selepas acara,
peserta menedekat, rata-rata membawa
minimal dua buku untuk dia tandatangani. Sementara saya sudah merasa cukup
membawa satu saja. Bukan karena saya tak mengkoleksi bukunya, tapi karena tak
mau membuat tangannya pegal saja. Apalagi toh bukan tanda-tangannya yang saya
butuhkan. Setelahnya kami berfoto bersama. Bisa ditebak, itu bukan foto yang
bagus karena saya bingung bagaimana harus berpose dan menata wajah agar tak
kalah cantik dengannya . Dan ketika peserta lain mengunggah foto mereka di
media sosial, saya cukup menyimpannya di dalam komputer saja.
Yang terakhir ketika saya ikut workshop gratisan tempo hari. Pematerinya
seorang fotografer profesional terkenal. Saya datang awal sehingga sempat
melihat sesi persiapan sebelum acara dimulai. Agaknya si beken ini tipikal yang
tak segan terlibat dalam pekerjaan persiapan walau tentu sudah ada tim ataupun
orang kepercayaannya. Buktinya dia sudah hadir di lokasi lebih dari dua jam
sebelum acara dimulai, berbaur melakukan ini itu dengan panitia dan timnya. Saya
melihat dia mondar-mandir, diekori dan mengekori orang lain. Jadi begini ya
cara kerja fotografer profesional nan terkenal... Saya senang saja melihatnya
ikut repot, tak berlaku sebagai orang penting yang mesti dilayani. Oh iya, saya
juga senang melihat interaksinya dengan istrinya yang ikut mendampingi. Senang
melihat mereka berjalan rapat-rapat dan berbaju sewarna, hitam semua. Sengaja
atau tidak ya soal bajunya? Embuhlah. Dan soal baju ini saya sempat kecele
karena berpikir si beken ini akan salin nantinya. Ternyata tidak. Celana yang
dipakainya tetaplah celana sepanjang setengah betis yang memang sudah dipakai
sejak datang tadi. Jadi acara workshop itu dibonusi pemandangan betis
telanjangnya .... hheheheheh... ya wislah ga papa. Seusai acara begitu banyak
yang bergerombol menunggu kesempatan minta foto bersama, termasuk teman-teman
saya. Sementara saya memilih tempat di depan seluruh adegan itu terjadi sambil
mengunyah kue yang diberikan panitia. “Nggak ikut foto?” tanya teman saya.
Tidak usahlah, jawab saya sembari mencomot kue kedua. Sementara di depan sana
si beken membuat pose yang diulang-ulang terus : merangkul ringan bahu
seseorang dan tersenyum menatap kamera. Diam-diam saya berdoa semoga dia tak
bosan melakukannya.
Iya, sungguh ketika melihat pesohor meladeni pengagum bin penggemarnya saya
selalu bertanya dalam hati dia bosan nggak ya, atau menikmati dikagumi gitu
nggak ya? Masalahnya yang pada minta foto, tanda tangan, atau semacamnya pasti
senang hati bisa ketemu muka dengan idolanya. Tapi apa sang idola juga
berpikiran sama? Jangan-jangan malah sebel karena mesti berbasa-basa dan
menjaga sikap baik demi tak kehilangan penggemar ...... Jangan-jangan lho.....
Kan mereka juga manusia biasa......
Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800
Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800
Senin, 31 Agustus 2015
Guyonan Yang Jadi Tak Lucu
Beberapa hari setelah lebaran , sebuah pesan singkat berisi ucapan masuk ke
ponsel saya, setelah sekali menelepon tapi terlewatkan. Saya tak bisa mengenali
siapa pengirimnya karena nomornya tak ada dalam phone book. Jadilah saya balas dengan ucapan
serupa sambil menanyakan identitas pengirimnya. Terkejutlah saya ketika dia
mengaku sebagai mantan bos saya di perusahaan yang terakhir saya tinggalkan. Dengan
menjaga sopan santun, saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya dan saya
menghargai itu. Saya pikir urusannya selesai sampai disitu. Ternyata tidak. Di pesan
berikutnya dia memberikan penawaran untuk kembali bekerja di kantornya. Kagetlah
saya. Bukan alasan apa-apa, hanya saja saya tidak berpikir untuk kembali
bekerja di luar kota lagi karena kondisi yang menurut saya tak memungkinkan. Saya
mencoba menolak dengan halus, dengan menjabarkan kondisi dan fokus utama saya
saat ini. Tapi ternyata si mantan bos ini terus mendesak. Demi menjaga hubungan
baik saya memutuskan untuk tidak menjawab penawaran tersebut malam itu juga. Jadi
saya putuskan untuk tidak membalas pesannya.
Pembiaran semalam sebelumnya membebani pikiran saya. Saya menganggap
pembiaran sama dengan membuat persoalan menggantung tanpa solusi. Saya tak suka
itu. Di sisi lain saya juga merasa wajib untuk menjaga hubungan baik dengan
mantan bos. Akhirnya malam hari berikutnya saya kirim pesan permohonan maaf
tidak bisa menerima tawarannya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepadanya. Sehari
itu berlalu tanpa balasan. Saya lega karena artinya si mantan bos sudah
menerima jawaban saya dan mengerti. Saya pikir masalah selesai sudah dan
leluasa kembali fokus pada urusan saya.
Ternyata saya salah. Hari berikutnya
ketikas sedang dalam perjalanan ke luar kota bersama seorang teman untuk suatu
urusan, ponsel saya berbunyi terus menerus. Si mantan bos menelepon. Sungguh saya
tak siap dan tak ingin bernegosiasi di dalam bus yang sedang berjalan dan di
depan teman saya. Jadi saya abaikan saja panggilan itu. Dan karenanya dia jadi
menghujani saya dengan pesan yang isinya masih seputar penawaran dan malah
ditambah dengan ajakan untuk bertemu. Sumpah saya jengah. Saya sedang dalam
satu urusan, dan tak siap membicarakan urusan baru dengannya. Seharian itu saya
abaikan semua telepon dan pesan darinya, dengan janji pada diri sendiri akan
mengirimkan email kepadanya berisi penjelasan lebih detail bahwa saya tak bisa
menerima tawaranny. Saya putuskan berkirim email karena dengan masih
mengejar-ngejar seperti itu artinya dia tak cukup bisa menerima penjelasan saya
lewat pesan singkat. Dengan email saya punya lebih banyak ruang untuk
memberikan penjelasan. Alasan lain ya saya enggan bernegosiasi langsung
dengannya ketika jawaban saya negatif untuknya.
Dua hari setelah itu, email saya melayang padanya. Saya tunggu beberapa jam
ternyata tak ada balasan. Saya pikir sekarang email saya mengena sasaran dengan
sempurna. Saya lega. Tapi ternyata tak lama. Menjelang siang ponsel saya
kembali berbunyi dan dari nomer yang sama. Mau tak mau saya terimalah itu
panggilan. Dan terkejutlah saya ketika ternyata dari suara dan pengakuannya si
penelepon bukanlah mantan bos tetapi mantan teman sekantor. Saya gagu seketika,
teringat email yang sudah kadung saya kirim pagi sebelumnya. Sementara teman
saya di seberang terkekeh-kekeh, merasa berhasil mengerjai saya. Saya marah
besar. Sungguh itu guyonan yang sama sekali tak lucu. Saya masih bisa menerima
dikerjai seperti itu jika saja tak sampai berlarut-larut begitu.jika dia
berniat guyon dengan sehat seharusnya dia berhenti ketika saya benar-benar
percaya bahwa si penelepon adalah mantan bos seperti pengakuannya. Seharusnya dia
berhenti dan menyelesaikan guyonan itu dengan manis. Tapi yang dilakukannya
justru mempermainkan ketidaktahuan dan kepercayaan saya dengan semena-mena,
tanpa berpikir efeknya. Saya kecam habis-habisan dia tanpa peduli masih dalam
suasana lebaran dimana orang biasa memaafkan segala kesalahan dengan mudah. Kesalahannya
terlalu besar untuk dimaafkan secepat itu. Apalagi terbukti dia tak berani
ketika saya minta untuk berkirim email ke saya dan bos untuk menjelaskan email
yang saya kirimkan itu karena ulahnya. Dengan marah sekali saya bilang padanya
bahwa dia cuma tahu berguyon tapi tak tahu kapan harus berhenti. Dari nadanya
meminta maaf sekali lagi, saya tahu dia takut dan menyesal. Tapi itu tak cukup
untuk meredakan saya. Apa yang dilakukannya buruk sekali. Sejak kejadian itu
kami belum berhubungan lagi. Saya masih menganggapnya teman tentu saja, tapi
dengan catatan negatif. Bukan mendendam, hanya tak bisa memberi respek padanya
seperti sebelum kejadian ini.
Jadi kesimpulannya adalah berguyon boleh, tapi harus tahu kapan harus
berhenti. Saya camkan juga hal itu untuk diri saya sendiri.
Jumat, 31 Juli 2015
Tante Pelit
Ya, itu kalimat yang terlontar dari mulut keponakan saya, yang ditujukan
pada tantenya, yaitu saya..... hahahahhaaha... Tak cuma sekali dia mengatakan
itu pada saya, tapi entah kenapa saya tak pernah marah karenanya. Tak pernah
saya tersinggung. Reaksi saya selalu antara nyengir, tersenyum, atau tertawa.
Tidak marah bukan karena takut terhadap emak si bocah yang notabene kakak
kandung saya. Hanya setiap kali kalimat itu keluar dari mulutnya saya selalu merasa
geli, juga menang karena berhasil membuatnya jengkel karena tak bisa memperoleh
apa yang diinginkannya.
Sebenarnya masalahnya sepele sih, masalah sangu yang kadang diberikan oleh
yangkung dan yangtinya ketika dia datang berkunjung. Besarnya kisaran antara
lima puluh sampai seratus ribu perorang. Saya memaknainya sebagai ekspresi
senang yangkung-yangti yang telah dikunjungi oleh cucu-cucunya. Dan jumlah cucu
yang cuma tiga orang itu membuat orang tua saya tak merasa berat untuk
mengeluarkan sejumlah itu. Dan tak cuma yangkung-yangti yang memberi. Kadang
pada saat tertentu tante yang lain; selain saya tentu saja; juga memberikan
sangu untuk mereka. Alhasil saya yang tak berpartisipasi dalam kegiatan itu
jadi dianggap pelit. Pernah satu kali ketika semua memberikan sangu kecuali
saya, si bocah yang paling vokal terus terang bertanya kepada saya, “Tante
sebenarnya punya uang atau tidak sih?” Dan lagi-lagi saya cuma tertawa. Saya
jawab bahwa saya sebenarnya juga berniat memberikan sangu tapi berhubung sudah banyak
yang menyangoninya dan uang yang dia dapat sudah cukup banyak untuk anak SD
maka saya batalkan niat tersebut. Apa yang keluar dari mulutnya gampang
ditebak: Tante Ina pelitttt ! Ahahahahahaha.....
Pelitkah saya? Entahlah. Hanya saya memang tak suka memberikan uang pada
anak-anak. Saya lebih suka memberikan bentuk lain seperti buku, mainan, atau
makanan pada mereka. Semuanya asal sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ada
kalanya saya bawa mereka untuk membeli es krim untuk semua. Saat yang lain saya
belikan mainan. Jika ada buku yang tak mereka temukan toko buku di kota tempat
mereka tinggal, lalu meminta saya mencarikannya, dengan senang hati saya lakukan
dan tak saya tagihkan biayanya. Bagi mereka mungkin ini tak terasa sama dengan
menerima uang walau sebenarnya untuk membayar semua itu tentu saya menggunakan
uang.
Kenapa saya tak suka memberikan uang? Entahlah, saya tak bisa
menjabarkannya secara gamblang. Hanya saya selalu ngeri setiap kali melihat
anak-anak mempunyai uang berlebih, lalu membelanjakannya sesuka hati, termasuk
untuk barang-barang tak perlu. Melihat yang begitu saya selalu bertanya dalam
hati tahukah mereka bagaimana proses mendapatkan rupiah-rupiah yang mereka
belanjakan tanpa banyak berpikir itu? Tahukah mereka bahwa ada orang-orang yang
harus jungkir-balik demi sekian rupiah yang mereka belanjakan dengan enteng
tanpa berpikir itu? Ketika dengan senang hati mereka mengobral uangnya, ada
anak-anak lain yang justru harus mengumpulkan peseran untuk sekedar mengisi
perut yang belum tentu mengenyangkan. Oh iya satu lagi, setiap kali melihat
anak-anak yang berlebih seperti itu saya jadi membandingkan dengan diri
sendiri. Pada saat seumur mereka, saya tak punya kelebihan seperti itu walau
tak juga jadi yang selalu lapar. Seorang teman ketika mendengar ini berkomentar
bahwa sebenarnya saya mengiri dengan keponakan karena saya tak punya apa yang
mereka punya. Mengiri .... ehmmmm .... mungkin juga ya? Ahahahahaha....
Baiklah, mungkin saja sebenarnya saya mengiri pada keponakan. Tapi tetap
ada lho sisi baiknya. Saya berharap mereka tahu proses, tahu ada banyak hal di
luar mereka yang patut diperhatikan. Kalau efeknya adalah menjadi tante yang
pelit ehmmmm mohon dimaafkan sajalah yaaaa...
Senin, 29 Juni 2015
Mengurai Benang Kesalahan ....
Beberapa tahun yang lalu seorang
teman mengajarkan merajut dengan haken atau bahasa bulenya crocheting kepada
saya. Langsung deh jatuh cintrong sayanya. Saya termasuk manusia yang mencintai
warna, plus cenderung norak dalam hal ini. Dan crocheting membuat saya bergaul
rapat dengan benang aneka warna. Pas deh! Jadilah saya asyik mengkait-kaitkan
benang warna-warni dengan haken. Kadang hasil akhirnya berupa benda yang bisa
digunaka, tapi tak jarang pula hasilnya putus di tengah jalan karena
macam-macam alasan, termasuk salah satunya tak menemukan benang dengan warna
yang sama dan juga bosan. Nah, susah kalau alasan bosan yang membuat sebuah
proyek merajut cuthel di tengah jalan. Tapi ya bagaimana lagi, wong memang pada
dasarnya hobi dan prinsipnya digunakan untuk mengalihkan fokus dari hal rutin
ke hal lain dengan maksud rekreasi alias refreshing.
Tempo hari saya membaca di salah satu harian bahwa seorang mantan aktris
Hollywood yang kini menekuni olah raga yoga juga merupakan pehobi merajut. Diajatuh
cinta pada merajut juga tak sengaja. Katanya, sesuai yang saya ingat dan semoga
masih akurat, suatu hari dia berada di satu wilayah di Amerika sana dan entah
mengapa terdorong masuk ke dalam semacam toko kecil yang tampak dari luarnya
tenang. Didorongnyalah pintu toko itu dan masuk sesuai kata hatinya. Saat
itulah dia mendapati beberapa perempuan dengan benang dan haken di tangan,
merajut dengan tenang. Mereka memberikan senyum ramah begitu melihatnya masuk. Hari
itu juga dia belajar merajut dan mencintainya. Saat itu dia sudah menjadi guru
yoga dan mempunyai sanggar sendiri. Katanya, merajut merupakan salah satu
bentuk meditasi untuknya. Karena dalam merajut ada fokus, juga latihan
kesabaran. Aih aih ..... Saya sepakat soal fokus dan latihan kesabaran. Tapi soal
meditasi, ehmmm... saya tak tahu. Mungkin
ada benarnya. Karena selama ini saya juga tak bisa merajut sambil mengoceh. Mulut
saya selalu tak aktif ketika merajut, pun jika itu bersama teman. Sementara
pikiran saya memang tak selamanya berfokus pada rajutan. Seringkali jika itu
merupakan pola berulang maka pikiran saya terbang kesana-kemari. Ya,
kesana-kemari, tapi dengan alur yang lambat. Tak grusa-grusu karena emosi. Mungkin
karena begini maka disebut sebagai latihan kesabaran. Ehmmmm tapi mungkin juga
karenanya si aktris dan guru yoga itu sekaligus menyebutnya sebagai satu bentuk
meditasi. Mungkin pada orang-orang seperti dia pikiran yang pada saya melambat
bisa berbentuk lain, berefek lebih besar. Ya ya ya, masuk akal sih.
Gara-gara si aktris sekaligus guru yoga itu memaknai merajut begitu rupa
dan dalam, saya jadi terpancing juga untuk berpikir lebih dalam mengenai
merajut. Dan saya menemukan pemaknaan saya. Satu hal dalam merajut adalah tak
ada kesalahan yang sungguh fatal dan tak bisa diperbaiki. Sepertinya ini hal
yang baru saya sadari akhir-akhir ini. Dalam merajut tak perlu takut salah. Kenapa?
Karena jika salah pun si benang dapat diurai kembali. Awal belajar merajut dulu
saya membeli satu gulung benang katun. Dan benang itulah yang saya gunakan
untuk berlatih membuat, rantai, single crochet, double crochet, dan sebagainya.
Tak langsung berhasil, berkali-kali gagal. Dan setiap kali saya tinggal
mengurai kembali benang itu. Memang efeknya si benang jadi kusut dan agak pudar
warnanya. Tapi secara keseluruhan dia baik-baik saja, dalam artian tak sampai
membuatnya sia-sia dan saya harus membuangnya. Tak terjadi seperti itu. Bahkan setelah
akhirnya saya lebih pintar merajut, benang tersebut saya buat menjadi satu tas
kecil yang sampai sekarang masih saya gunakan untuk menyimpan piranti pribadi.
Ya, dalam merajut saya percaya tak pernah ada kesalahan yang sangat fatal
dan tak bisa diperbaiki. Semua kesalahan bisa diatasi dengan mengurai kembali. Selalu
ada kesempatan kedua. Mungkin juga ketiga dan seterusnya. Saya jadi yakin
karena inilah saya suka merajut. Memang ada faktor kompensasi akan kegilaan
atas warna. Tapi kenyataan bahwa tak pernah ada salah yang mutlak dan tak dapat
diperbaiki, saya yakin adalah hal utama yang membuat saya mencintai merajut,
walaupun kesadaran ini datang begitu belakang. Mengapa hal itu penting bagi
saya? Karena itulah yang saya harapkan dari sebuah kehidupan. Saya yakin ada
banyak kesalahan sudah saya buat sekian puluh tahun hidup. Tak akan terhitung
jumlahnya, baik yang saya sadari maupun yang tidak. Tapi dari semua kesalahan
itu saya selalu berharap ada hal yang bisa saya lakukan untuk membuatnya lebih
baik dan akhirnya jadi benar. Ya, kesempatan kedua dan selanjutnya. Bahkan kalaupun
tak ada yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya, saya tetap berharap akan
pemaafan. Pemaafan tak bisa otomatis membuat yang salah jadi benar. Tapi pemaafan
mengurangi atau bahkan menghilangkan beban yang artinya tetap akan membuat
keadaan jadi lebih baik.
Yes, I love crocheting. Dan selalu berharap kesalahan dalam hidup selayak
benang yang dapat diurai kembali.......
Sabtu, 30 Mei 2015
Jeprat-Jepret
Saya termasuk yang suka memotret dan menganggap memotret adalah pekerjaan
serius yang susah. Pendapat ini
dilandasi bukti bahwa sampai detik ini saya tak bisa menguasai kamera dengan
baik. Hasil foto yang saya buat selalu saja ada salahnya. Salah fokus atau
malah tidak fokus, komposisi tak betul, terlalu gelap atau sebaliknya terlalu
terang, dan sebagainya dan sebagainya. Intinya saya belum mampu menguasai
kamera dengan baik. Kadang ada juga foto saya yang dipuji oleh teman. Tentu menyenangkan.
Tapi kemudian saya mengerti bahwa foto yang dipuji itu pada dasarnya lebih
karena kebetulan saja, bukan karena kepintaran teknis saya memegang kamera
sehingga dengan sadar bisa menghasilkan foto yang begitu. Dan lagi pemuji
adalah orang awan yang mungkin secara pengetahuan dan ketrampilan fotografinya
tak lebih bagus dari saya. Jadi intinya tetap, saya bukan pemotret yang handal.
Saya sekedar suka jeprat-jepret tapi tak bertanggung-jawab soal kualitas
hasilnya.
Tapi apa iya saya harus selalu mumet memikirkan kualitas hasil jepretan? Sebab
saat ini orang memotret dengan sangat aktif. Apa-apa dipotret. Bahkan diri
sendiri pun dipotret. Fungsinya apa? Ya apalagi kalau tidak diunggah di media
sosial atau grup chatting, lalu para penonton foto tersebut akan memberikan
komentar ini itu, baik yang berhubungan dengan foto tersebut ataupun tidak. Kegiatan
ini sedang amat sangat marak pakai banget dan sekali saat ini. Jujur saja, tak
selamanya saya maklum dan senang hati terhadapa hal ini. Sering malah berpikir
kok begini saja pakai difoto sih? Atau di saat yang lain saya malah jengkel dan
berpikir negatif terhadap di pengunggah. Misalnya saja ada teman yang
mengunggah fotonya saat plesir ke luar negeri, berpose di tempat-tempat
terkenal macam menara Eifel, singa Merlion, atau tengah main salju atau
memegang sakura. Menanggapi yang begitu bisa saja saya sekedar berpikir wahhhh
dia sudah sampai di sana, enak betul ya, terus saya kapan? Tapi di lain waktu
dan lain pengunggah saya juga menanggapinya dengan satu kalimat singkat yang
negatif : pamer dia! Nah lho jadi dosa kan saya? Lain waktu ada yang mengunggah
foto menu makanan yang siap disantapnya yang jelas-jelas menunjukkan dia tak
sedang makan di rumah. Yang begini juga bisa positif dan negatif respon saya.
Yang positf berupa : eh kok kayaknya enak ya, kapan-kapan nyoba juga ah.
Sementara yang negatif wujudnya : halah mentang-mentang lagi makan enak
diumumkan ke seluruh dunia! Nah, dosa lagi deh saya.
Terus soal selfi.... Wah, saya sering heran sekaligus kagum dengan mereka
yang doyan sekali selfi. Saya kagum dengan kepercayaan diri mereka. Juga
ketrampilannya. Karena saya sendiri tak pernah pede untuk berfoto diri kecuali
jika memang wajib semisal pas daftar KTP atau semacamnya. Itupun hasilnya juga
tak pernah baik dan benar, dengan kata lain tak pernah kelihatan lebih cantik
ketimbang aslinya... hahahahaha... Karena itu saya heran dan kagum dengan
mereka yang hobi selfi. Kok bisa ya fotonya cantik-cantik begitu? Ngaturnya
bagaimana? Posenya kok bisa pas ya? Dan kok ya begitu pedenya. Dan ternyata itu
lebih seperti hobi. Seorang teman mengaku menyimpan foto selfi sebanyak dua
ribuan di handphone-nya. Saya terbeliak. Wowwww .... Buat apa? Ya buat
seneng-senengan saja, jawabnya. Dia berselfi dengan alasan macam-macam. Dia akan
berselfi kapanpun merasa cantik. Jadi bisa saja setelah facial, potong rambut,
ber-make-up, atau bahakan sebelum tidur asal merasa cantik maka berselfilah
dia. Juga ketika sedang ada dalam momen-momen tertentu. Misal pas
kumpul-kumpul, berselfilah dia dan mereka sekedar untuk seru-seruan. Ehmmmm
begitu ya, pikir saya. Lha terus kenapa saya tak pernah merasa pede dan perlu
untuk berselfi? Apa saya tak pernah merasa cantik? Atau tak pernah merasa
berada dalam momen yang perlu diseru-serukan dengan selfi? Embuhlah ....
Ah ya, saya punya pengalaman menggelikan soal selfi. Beberapa bulan yang
lalu, bersama sahabat yang juga sedang keranjingan memotret, saya ke Yogya.
Tujuan utamanya adalah menyaksikan dan memotret Borobudur saat matahari terbit.
Jadi, bergabunglah kami dengan rombongan yang bertujuan sama yang ternyata
entah mengapa seluruhnya turis dari manca negara. Adzan subuh baru selesai
berkumandang ketika kami berangkat ke lokasi. Dan karena modal saya cuma kamera
prosumer biasa, maka saya masih harus menunggu ketika yang lain yang bermodal
kamera profesional sudah mulai jeprat-jepret. Waktu itu saya sudah senewen,
takut kehilangan momen. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Matahari mulai
mengintip dan naik pelan-pelan. Semua bergumam kagum dalam bahasanya
sendiri-sendiri. Dan memang momen itu indah sekali. Detik-detik awal saya malah
bingung memutuskan mana yang lebih baik saya lakukan, memotret atau sekedar
menikmatinya terus dengan mata saja saking indahnya. Akhirnya saya angkat juga
kamera, mulai menjepret. Demikian juga dengan sahabat saya. Tapi ternyata tak
gampang. Saya semula membayangkan foto yang bersih tanpa kepala-kepala
penonton. Tapi kenyataan di lapangan ada penonton dimana-mana dan tak bisa
dihindari, juga tak bisa disuruh minggir. Nyaris tak mungkin mendapatkan foto
yang bersih dari manusia. Tapi kami berdua masih ngotot berusaha. Sampai
akhirnya kami menemukan posisi yang bagus yang relatif sepi dari manusia. Kami
berdua mulai mengintip di balik kamera dengan serius. Dan pas ketika tombol
hampir ditekan seorang turis entah bangsa apa tahu-tahu masuk dalam frame kami,
dan dengan tongsis panjang dia berfoto selfi, tersenyum dan bergaya tanpa
merasa berdosa. Sementara di depannya, ada dua orang kecewa yang saling
berpandangan lalu berteriak ‘asemmmmm!’ ..... Ahahahahah ...
So, memotret sekarang makin jamak. Tak
perlu menjadi fotografer terlebih dahulu untuk bisa melakukannya. Tak
perlu ngincang-nginceng di balik kamera profesional karena toh handphone juga
sudah dilengkapi dengan kamera yang sangat memadai. Tak perlu berpikir serius
tentang teori dan teknik, yang penting jepret aja langsung. Tak perlu repot
mencari-cari atau bengong menunggu momen. Toh apa saja bisa jadi obyek,
termasuk diri sendiri. Dan tak perlu malu dengan hasilnya, toh begitu diunggah
di media sosial ataupun grup ngobrol pasti ada saja yang akan mengomentari.
Jadi, tunggu apalagi? Bingung akan apalagi?
Jepret pret pret pretttttt.....
Sabtu, 04 April 2015
Ilmu dari Dee Lestari
What I Talk About When I Talk About
Running. Itu judul memoar Haruki
Murakami yang saya tuntaskan kisaran dua bulan lalu. Buku yang tipis-tipis
saja, tapi kemudian menjadi salah satu favorit saya. Di dalamnya seorang Haruki
Murakami yang tersohor itu merelasikan menulis dengan lari, hal yang
digemarinya. Untuk jadi kuat lari jarak jauh musti latihan bertahap. Setengah
kilometer, terus sekilometer, terus nambah sampai akhirnya kuat bermaraton.
Penulis juga begitu. Menulis, menulis, dan menulis. Siapkan waktu yang
terjadwal, dan fokus. Seorang Haruki Murakami tidak pusing memikirkan apakah
bukunya akan jadi bestseller atau tidak. Dia mulai menulis buku pertama ketika
ide itu datang. Lalu mengirimkan ke satu kompetisi bahkan tanpa membuat
salinannya. Katanya: After I finished it
I felt great. I had no idea what to do with the novel once I finished it, but I
just sort of let the momentum carry me and sent it in to be considered for a
literary magizine’s new-writers prize. I shipped it off without making a copy,
so it seems I didn’t much care if it wasn’t selected and vanished forever. Kemudian
ternyata novel pertama itu; Hear The Wind Sing; berhasil menang. Sungguh saya
tercerahkan oleh buku ini. Dan kisaran dua bulan setelahnya, pada 29 Maret 2015 di Perpustaan Bank Indonesia yang luar biasa indah,
Dee seakan mengulang pencerahan itu, dan ibarat sebuah masakan, dia sekaligus
memberikan ‘bumbu-bumbu’ tambahannya melalui Dee’s Coaching Clinic.
Mengkonkritkan apa yang abstrak. Berpikir kreatif adalah memperluas medan
kesadaran. Menggali sampai menemukan unique voice. Ade Rai tak jadi kekar dalam
semalam. Gatal yang tak kunjung usai. Celengan ide. Verisimilitute. Pemetaan. Struktur tiga babak. Teknik
ciprat-ciprat. Tidak ada alter ego.
Bersahabat dengan deadline..... Dan hari itu, di dalam gedung Perpustakaan Bank
Indonesia yang sangat mengesankan, Dee mendetailkan semuanya, berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya. Dan sungguh ini jadi jauh lebih menarik dari
sekedar membaca memoar Haruki Murakami karena apa yang disampaikan sangat bisa
diterapkan oleh siapa saja yang menyimpan cita-cita menjadi penulis.
Mau jadi penulis? Ya mulailah menulis. Jangan sekadar berhenti di cita-cita
yang abstrak. Konkritkan. Menulis, menulis, dan menulis. Seperti Ade Rai yang
mengangkat barbel demi membentuk otot-ototnya. Apa yang ditulis? Ya apa saja.
Tulis apa yang ingin ditulis, atau apa yang ingin sekali dibaca. Setiap penulis
punya unique voice. Cuma seringnya si
unique voice itu bagai harta karun
yang tertanam di dalam tanah. Butuh usaha ekstra untuk menemukannya. Dan bentuk
usaha itu tak lain dan tak bukan adalah terus menulis. Menulislah, tanpa beban
macam-macam, termasuk ambisi menjadi bestseller.
Seperti Haruki Murakami yang menulis buku pertamanya sekedar mengikuti kata
hati. Seperti Dee menulis Supernova : Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sekedar
untuk memberi kado ulangtahun ke-25 bagi diri sendiri. Keduanya tak dengan
sengaja menulis untuk jadi bestseller.
Dan ketika akhirnya menjadi seperti itu adalah buah dari kesungguhan
mengkonkritkan apa yang abstrak. Tujuan tetap harus ada, terukur dan jelas,
sehingga jalan menuju kesana terpetakan dengan mudah. Mengikuti dan memuaskan
kata hati dan membuat kado untuk diri sendiri contohnya. Tapi beban wajib
dihilangkan. Karena beban hanya akan membuat macet segalanya. Intinya mau jadi
penulis ya menulislah. Tulis yang apa yang kita sangat ingin tulis. Tulis apa
yang kita sangat ingin baca. Tulis saja, tak perlu menunggu alter ego muncul. Dan
ketika itu terwujud maka yang terasa adalah kelegaan karena seakan telah
menuntaskan gatal yang selama ini tak kunjung usai.
Soal ide bagaimana? Jangan memitoskan ide. Ide datang darimana saja. Tak
perlu sibuk dengan ritual khusus untuk mencari ide termasuk semedi dan
termenung-menung. Penulis adalah pengamat. Amati sekitar. Perluas medan
kesadaran. Karena pada dasarnya menjadi kreatif bukanlah semuluk membuat
sesuatu yang berbeda sama sekali dan belum pernah ada. Menjadi kreatif bisa
berupa keluar dari rutin, menjadi yang bukan kita biasanya. Dan ide akan hadir
dengan sendirinya. Ide datang bertubi-tubi ketika tengah berhasil fokus
menulis? Tak masalah. Ide-ide itu bukan musuh yang merusak fokus kita. Mereka
adalah teman. Kumpulkan saja dan catat. Masukan dalam celengan ide. Lalu
kembali fokus pada yang mempunyai deadline
di depan mata. Begitu deadline tercapai, buka celengan ide. Pilah-pilih ide-ide
yang di dalam sana untuk proyek menulis selanjutnya. Jadi tak ada ide yang
terbuang pecuma kan?
Ah, soal deadline juga dikulik
secara khusus. Tentukan deadline dan
pegang komitmentnya. Deadline bukan untuk mengancam, tapi untuk memberikan
kepastian bahwa tujuan akan tercapai. Pecah deadline
menjadi satuan terkecil berupa target harian. Jadi semisal berniat membuat
tulisan 25000 kata. Jelas bahwa setahun ada 52 minggu. Jadi seminggu tanggungan
Cuma 500 kata. Kalau di-break-down lagi misal seminggu cuma menulis 5 hari saja
maka sehari hanya harus menulis 100 kata. Bayangkan, cuma 100 kata sehari dan
di tahun berikutnya sudah ada satu buku siap tangan! Ehmmm, kalau sudah begitu
apa yang menakutkan dari sebuah deadline? Tak ada.
Meramu cerita. Bagian ini sangat menarik karena Dee mengingatkan pada
kebencian bersama akan yang namanya kerangka karangan. Okay, baiklah, mari
sadari bahwa kerangka karangan itu mutlak perlu ketika yang ditulis sepanjang
novel. Biar bisa mulai mencintai kerangka karangan, mari sebut saja namanya
jadi pemetaan. Bentuknya terserah masing-masing. Yang harus diingat adalah
fungsi pentingnya yaitu sebagai pulau-pulau transisi. Ibarat renang jarak jauh,
pulau transisi adalah tempat tempat perhentian sejenak agar tak kehabisan
nafas. Pulau-pulau ini juga turut menjaga perenang tetap ada di dalam jalur menuju
tujuan. Oh iya, buat pemetaannya berdasarkan struktur tiga babak, yaitu :
1.
Babak I, yang
isinya segala macam ‘perkenalan’ juga ‘dunia yang seharusnya’. Ini adalah babak
awal cerita
2.
Babak II
terbagi dalam babak IIA dan IIB. Babak IIA adalah ketika konflik mulai merambat
naik dan sang tokoh terlempar keluar zona amannya. Sementara babak IIB berisi
pertikaian seru antara ‘dunia seharusnya’ versus ‘dunia yang tak seharusnya’
3.
Babak III
adalah ‘jawaban’ atas semua pertanyaan atau persoalan yang telah dimunculkan
dalam babak-babak sebelumnya. Bisa meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban di
babak ini jika memang berencana membuat sekuelnya.
Dee punya cara jitu untuk pembabakan itu, yaitu divisualkan menjadi empat
karton (I, IIA, IIB, III). Tempel keempatnya di dinding. Lalu setiap kali
mendapatkan ide adegan, kalimat, kata, dialog, atau apapun, tuliskan di kertas post it, lalu tempelkan di karton pada
babak mana itu akan kita taruh. Kenapa post it? Untuk memudahkan kita menukar
atau mengatur ulang urutannya jika memang diperlukan. Praktis sekali!
Mau tips-tips lain? Pertama, teknik ciprat-ciprat. Apaan tuh? Ini teknik ajib menulis darimanapun. Tak perlu selalu
dari depan ke belakang. Dari tengah pun boleh. Dari ujung akhir pun oke. Toh nanti
bisa digabung-gabungkan dengan edit. Berikutnya riset. Riset tak selalu harus
datang mendatangi obyek walau mungkin itu yang terbaik. Mendapatkan data bisa
dilakukan dengan riset pustaka (termasuk film), browsing di internet, dan
wawancara terhadap orang-orang yang berkompeten. Lalu padukan semuanya, uji
kebenarannya, baru masukkan ke dalam cerita. Ingat selalu bahwa fiksi dengan
penggabungan sedikit fakta akan meningkatkan kepercayaan pembaca. Risetlah
untuk mendapatkan fakta-fakta yang akan menguatkan fiksimu. Verisimilitute. Buat cerita seakan nyata
bagi pembaca, tak hanya dengan ramuan fakta, tapi juga melibatkan panca indera.
Gunakan dan libatkan panca indera dalam menulis cerita dan ternyata indera
penciuman paling kuat untuk merangsang pembaca berimajinasi. Terapannya bisa
berupa deskripsi sesuatu tak hanya berdasarkan pengamatan mata tapi juga dari
penciuman (bau, tekstur). Penting untuk membawa pembaca berimajinasi sebab
bagaimanapun pembaca perlu ruang untuk membentuk sendiri bayangannya sendiri
tanpa terlalu didoktrin penulis.
Sekarang tips tentang pembentukan karakter. Buat karakter yang masih lekat
dengan ciri-ciri kemanusiawiannya. Artinya, dia punya kebiasaan, keistimewaan,
dan juga kelemahan. Lalu buat dia beraksi. Karakter yang sama sekali sempurna
seringkali malah tak dipercaya nyata oleh pembaca. Sementara karakter yang
bersifat selfness dan berkorban justru sangat mudah menarik hati dan perhatian.
Sekarang tips pamungkas. Buat naskah rapi, baik dalam hal ketikan maupun
tanda baca. Pastikan halaman pertama sudah mampu merebut hati penerbit atau
dewan juri jika naskah itu akan dikirimkan ke penerbit atau kompetisi. Sebab untuk
kondisi seperti ini halaman pertama adalah segalanya.
Nah, bagaimana? Sekarang merasa sangat berenergi untuk menuliskah? Itulah
yang saya rasakan!
Untuk Dee, terima kasih pakai banget nget nget nget.... *bungkukin badan*.
Terima kasih Bentang Pustaka.... *bungkukin badan lagi*.
Jumat, 27 Maret 2015
Yang Tak Akan Putus....
Dalam dua bulan ini saya menonton tiga film yang semuanya punya dua
kesamaan, yaitu bicara tentang hubungan keluarga dan ceritanya benar menyentuh
hati. Film-film tersebut adalah The Judge, After Shock, dan Still Alice.
Mungkin sebenarnya menonton ketiganya adalah ketidaksengajaan karena toh
alasannya juga beda-beda. The Judge memang saya tonton karena si pemain; Robert
Downey Jr; adalah aktor gandrungan saya. Bukan secara kualitas akting, tapi
lebih ke fisiknya .... Pendek kata, ganteng nian gitu lhooohh.... Sementara
After Shock dikirimkan oleh seorang sahabat dengan embel-embel musti nonton
karena efek buatan untuk peristiwa gempanya menurut dia bagus. Agak heran juga
dengan kata pengantar itu karena toh saya bukan orang yang tergila-gila dengan
efek-efek film seperti itu. Tapi saya tonton juga. Sementara Still Alice juga
saya dapatkan dari sahabat yang lain sebagai gift bersama dua film lain berikut
dua bungkus biskuit coklat yang enak. Dan sebenarnya film tersebut hanya
sebagai pengganti karena film yang saya inginkan tak bisa didapatkannya.
Mulai dari The Judge ya. Ehmmmm, tak perlulah membahas betapa ganteng dan
keren si RDJ di situ. Yang satu itu dikalahkan oleh makna dari keseluruhan
cerita tentang hubungan ayah dan anak lelakinya. Seorang ayah pada dasarnya tak
jauh beda dengan ibu. Ayah juga punya kecintaan terhadap anak-anaknya walau
mungkin tak seekspresif ibu. Dengan caranya sendiri, seorang ayah mencintai dan
melindungi keluarganya, bahkan terhadap anak yang dirasa tak mampu diatasinya
sekalipun. Dan seperti biasa, butuh waktu bagi anak untuk mengerti semua itu
dengan bijak. Dan sering waktu disini berarti belasan tahun.
After Shock. Saya tak tahu film ini diputar di bioskop Indonesia atau
tidak. Saya meragukannya karena sebelumnya saya tak pernah mendengar judulnya
dan lagi film ini produksi Tiongkok. Tapi mungkin juga saya salah. Film ini
bercerita tentang akibat gempa besar di Tiongkok. Akibat tertimbun puing,
seorang ibu harus memilih mana di antara dua anaknya yang diselamatkan karena
tak mungkin menyelamatkan keduanya dalam kondisi minim bantuan dan tak ada alat
berat. Sebuah permintaan yang muskil tapi harus diputuskan. Setelah mengulur
waktu akhirnya sang ibu memilih menyelamatkan anak lelakinya yang berarti
mengorbankan si anak perempuan. Putusan yang menyakitkan bagi semuanya, tak
hanya bagi si ibu tapi juga untuk kedua anak yang di dalam puing masih
mendengar itu. Mukjizat bekerja, si anak perempuan yang terpaksa ditinggalkan
di bawah puing dan dikira mati ternyata bisa selamat ketika bala bantuan yang
lebih besar dan lengkap datang. Namun pilihan sang ibu membuatnya memutuskan
hidup tanpa keluarga kandungnya. Puluhan tahun kemudian baru terbukti tak ada
yang menjalani hidup dengan normal dan bahagia setelah itu. Tidak sang ibu, tidak
si saudara laki-laki, dan tentu tidak pula si anak perempuan.
Film ketiga, Still Alice, tentang seorang intelektual terkemuka, ahli
linguistik yang kemudian mendapati dirinya mengidap alzheimer. Pukulan yang
berat, tak hanya untuknya yang kasarnya mengandalkan kemampuan otaknya untuk
bekerja. Dan lebih berat lagi ketika ternyata alzheimer yang dideritanya
termasuk langka dan bisa menurun ke anak-anaknya. Tragedi berlanjut. Alice tak
lagi punya kuasa atas memori di otaknya, semua hilang dengan bertahap tapi
pasti. Saat seperti itulah kekuatan sebuah hubungan diuji. Kekuatan hubungan
pernikahan dengan suaminya, kekuatan hubungan darah dengan anak-anaknya. Dan
Alice termasuk yang menurut saya cukup beruntung dalam hal ini. Ada suami yang relatif
tetap ada disampingnya, ada anak-anak yang dengan sadar pulang kepadanya.
Menonton ketiganya membuat saya tersindir, lalu diam-diam mengevaluasi
hubungan dengan orangtua. Saya termasuk yang percaya bahwa hubungan orangtua
dan anak itu hubungan tak putus. Naik turun iya, tapi tak akan putus. Saya
melihat apa yang terjadi pada diri sendiri. Sungguh saya merasa bukan pribadi
yang sama dengan yang dulu keluar dari rumah orangtua saya. Lebih dari dua
puluh tahun hidup sendiri membuat saya berubah. Dan sebagai manusia biasa tentu
tak semua perubahan itu baik. Salah satu yang menonjol adalah keras kepala dan
temperamental. Saya sadar betul ini tapi juga kesulitan mengendalikannya.
Ketika akhirnya memutuskan pulang kembali tinggal bersama orangtua, hal itu
langsung terasa oleh orangtua saya. Dan terjadilah apa yang tadi saya sebut
hubungan yang fluktuatif naik turun. Kadang saya percaya bahwa sebenarnya bukan
cuma saya yang berubah, tapi orangtua saya juga. Tapi saya tak bisa memastikan
itu. Yang jelas inilah saya sekarang. Saya tetap anak mereka walau sudah
mengalami aneka ragam modifikasi sesuai masa hidup saya. Hal yang saya yakini
tak terelakkan.
Yes, sampai detik ini saya berusaha memperbaiki diri demi hubungan yang
harmonis dengan orangtua. Ah, mari saya luruskan dulu tentang kualitas hubungan
yang saya maksud. Dari dulu memang saya bukan termasuk anak baik yang selalu
patuh. Saya termasuk yang nakal walau masih jauh dari kriminal. Orangtua masih
punya kekuasaan penuh atas saya dan mengakui itu. Lalu tiba saatnya untuk keluar
dari rumah demi kuliah, terus bekerja dan mampu menghidupi diri sendiri. Apapun
yang saya lalui selama kurun waktu itu membuat saya berproses menjadi pribadi
hari ini. Dan saya percaya orangtua saya juga berproses ketika kami tak sedang
bersama. Dan ketika berkumpul kembali jadinya mesti belajar lagi mengenali satu
sama lain, memetakan perubahan yang terjadi. Lalu terjadi debat-debat yang dulu
tak pernah terjadi. Tak sampai fatal, tapi bagaimanapun pasti menyisakan kecewa
di masing-masing dari kami. Sungguh, sampai detik ini saya percaya it takes two
to tango, butuh kontribusi dua belah pihak untuk mebuat hubungan yang harmonis.
Tapi sungguh saya juga sadar posisi saya sebagai anak. Bukan posisi yang
subordinat sebenarnya, hanya posisi yang membuat saya seharusnya lebih
merendahkan ego karena mereka; orangtua saya; telah berbuat jauh lebih banyak
ketimbang yang pernah saya lakukan untuk mereka. Balas budi? Saya termasuk yang
tak percaya orangtua yang baik meminta balas budi dari anaknya. Tapi saya
termasuk yang percaya seorang anak harus menghargai banyak hal yang dilakukan
orangtuanya.
Sekali lagi, saya sangat percaya hubungan orangtua dan anak tak akan putus,
hanya naik dan turun. Lihat contoh di adegan di The Judge ketika seorang Hank
yang membenci ayahnya akhirnya luluh juga ketika mendapati yang dibenci bahkan
tak cukup mampu membersihkan ceceran kotorannya sendiri. After Shock juga
mencontohkan bagaimana seorang Deng berbalik membenci dirinya ketika melihat
sang ibu menepati janji, puluhan tahun menaruh tomat di meja saji bersama dupa
di depan foto ayah dan dirinya yang disangka telah mati. Lihat juga adegan
terakhir di Still Alice yang menggambarkan Alice yang tak mampu lagi mengerti
kata-kata Lidya dan ngawur menjawab bahwa apa yang diucapkan anaknya adalah
tentang cinta. Dan Lidya pun menyetujuinya, yes, it’s about love.
Ya, ini adalah jenis cinta yang tak pernah putus, hanya saja seperti laut,
dia mengalami pasang surut. Saya percaya ini. Setuju?
gambar ilustrasi dipinjam dari http://www.clipartpanda.com/clipart_images/mother-daughter-conflict-56266909
Sabtu, 14 Maret 2015
Menanti Sebuah Grand Design
Judul buku : GELOMBANG
Pengarang :
Dee
Lestari
Penerbit : Bentang
Tebal : x + 482 halaman
Cetakan : 2014
Sampai hari ini, hanya
satu buku yang sanggup memaksa saya untuk pre-order.
Dan satu buku itu adalah Gelombang karya Dee Lestari. Ya, Gelombang, bukan
sekuel-sekuel Harry Potter, bukan Inferno-nya Dan Brown. Dan begitu
menyelesaikan halamana terakhir saya juga langsung mengirimkan kicauan pada
sang penulis berupa pertanyaan dimana saya bisa pre-order sekuel selanjutnya. Cuma sayangnya tak dibalas.
Dee Lestari, atau aslinya
Dewi Lestari, termasuk yang disebut kalangan kritikus sebagai bagian dari
sastra wangi ketika pertama kali muncul dengan Kesatria, Putri, dan Bintang
Jatuh. Dan dari sekian para sastra(wan) wangi itu hanya Dee Lestari dan Ayu
Utami yang saya ikuti sampai sekarang. Tapi bukan berarti saya selalu puas
dengan semua buku Dee. Jujur saja, ketika banyak yang memuji Perahu Kertas, saya
tidak termasuk di dalamnya walau tak juga bilang itu jelek. Saya cuma
menganggap tidak menemukan seorang Dee yang sesungguhnya di dalam Perahu
Kertas. Atau mungkin kalimat seharusnya adalah saya tidak menemukan Dee yang saya inginkan di
dalam sana? Entahlah. Yang pasti, Dee yang sesungguhnya menurut saya dan tentu
yang saya inginkan adalah Dee yang ‘melahirkan’ sekian keping Supernova.
Kini Gelombang telah
lahir. Begitu menerima dari kurir ekspedisi, saya tak tahan untuk segera
menuntaskan semua tanggungan pekerjaan hari itu, lalu naik ke tempat tidur,
menyangga kepala dengan tiga bantal, dan membacanya. Tak butuh waktu lama untuk
menghabiskannya (sehari lebih sedikit) walau sebenarnya saya berniat
mengirit-irit. Hasilnya? Ehmmmmm ... ingin sekali melihat sosok hidup dari
Alfa, dr Kalden, dan Nicky.
Alfa dan dunia mimpinya
lagi-lagi membius. Dan seperti sebelum-sebelumnya, saya mempercayai setiap kata
yang ditulis oleh Dee. Membuat saya memandang tidur dan mimpi dengan persepsi
yang berbeda dari biasanya. Tidur tak lagi sekedar rebah lalu vakum selama
beberapa jam. Dan mimpi jadi tak lagi sekedar bunga dari tidur yang tak berarti
banyak. Saya jadi kagum pada yang namanya tidur dan mimpi. Lalu bertanya-tanya,
darimana Dee punya ide untuk menulis tentang dua hal itu? Dan selanjutnya,
bagaimana dia bisa begitu pintar mengolahnya menjadi cerita ratusan halaman
yang akhirnya membius saya? Bagaimana risetnya? Bagaimana mikirnya?
Bagaimana...? Bagaimana ...? Berapa banyak bagaimana saya tak tahu persis. Yang
pasti banyak!
Tapi sebenarnya saya juga
punya uneg-uneg tentang Gelombang walau tetap menyanjung dan menyukainya.
Gelombang bagi saya agak terlalu kental kesamaannya dengan Partikel. Ketebalan
yang mirip-mirip tentu tak masuk hitungan. Saya tak tahu apa sebutan yang
tepat, yang pasti saya merasa menemukan pola yang sama dalam Partikel dan
Gelombang, hal yang tak saya rasakan dalam tiga buku terdahulunya. Buku
pertama, Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh jelas sekali beda. Mudah dipahami
karena dia adalah buku pertama, ibarat peletak dasar segalanya. Lalu Akar,
Petir, dan Partikel. Sampai empat buku saya tak merasakan rasa yang sama
ataupun pengulangan. Sampai akhirnya Gelombang membuat saya merasakannya.
Ya, saya merasakan Zarah
dan Alfa punya banyak kesamaan. Keduanya punya sifat ngotot yang setara, juga kecerdasan
di atas rata-rata. Jalan hidup yang digariskan untuk mereka juga tak berbeda:
sukses di usia muda di negeri orang. Di Partikel Zarah punya Paul dan Zach
sebagai teman-teman sejati. Sementara di Gelombang seorang Alfa punya Troy dan
Carlos. Soal percintaan pun mirip. Lihat saja bagaimana Paul diam-diam berharap
pada Zarah, persis seperti Nicky diam-diam berharap pada Alfa. Bahkan ada
adegan ciuman yang lokasi dan adegan yang prinsipnya sama. Paul mencium Zarah
di terminal bus lalu melangkah pergi. Sementara Nicky mencium Alfa di bandara
lalu lari berurai air mata karena kesal. Dan bahkan pada prinsipnya Zarah dan
Alfa sama-sama travelling ke dimensi
lain. Bukankah semua itu kesamaan?
Anggap saja jawaban dari
pertanyaan saya di atas adalah ya. Muncul pertanyaan berikutnya: untuk apa? Nah
untuk pertanyaan lanjutan tersebut sementara seri lanjutannya; Inteligensi
Embun Pagi; belum terbit saya merasa harus puas dengan jawaban rekaan sendiri
yaitu karena Dee mendesainnya seperti itu. Ya, Dee menginginkan kesamaan itu. Secara
keseluruhan saya yakin Dee telah membuat sebuah grand design untuk Supernova. Grand
design itu dituangkan detail-detailnya dalam lima buku yang telah lahir.
Ibarat sebuah desain rumah, lima buku itu adalah ruang-ruang di dalamnya.
Mereka mungkin mewakili ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur, dan
kamar mandi. Keterhubungannya membentuk
sebuah rumah. Ketika masih berada dalam tiap-tiap ruang, tentu tak terlihat
bentuk rumah itu. Baru ketika keluar dan menjelajah, lalu berdiri di halamannya
maka tampaklah rumah utuh itu. Bisa jadi saat itu adalah ketika Inteligensi
Embun Pagi lahir.
Ya, apapun kesan saya
setelah membaca Gelombang, saya tetap yakin semuanya by design, bukan kecelakaan tak terencana. Artinya itu adalah
pertanda yang ditebar Dee demi menuju ke grand
design yang telah disiapkannya. Semua ada artinya, semua ada alasannya. Saya yakin Dee menghidupkan semua karakternya dengan peran uniknya masing-masing. Dan semuanya akan terlihat pada waktunya. Yes, in Dee I trust.
Jumat, 06 Februari 2015
A FORT OF NINE TOWERS ~ Review Buku
Judul buku : A FORT
OF NINE TOWERS
Pengarang :
Qais
Akbar Omar
Penerbit : Picador
Tebal : 396 halaman
Cetakan : 2014
Seorang teman memberikan
buku ini kepada saya dengan keterangan bahwa dia sendiri belum sempat
membacanya. Bukan hal biasa sebenarnya karena dia adalah termasuk yang sangat
rajin membaca. Tapi, lanjutnya, dia yakin buku ini bagus karena ada komentar
seorang Khaled Hosseini yang berbunyi ‘poetic,
powerful, and unforgettable’ di sampul depan. Kami berdua sama-sama
menggemari Khaled Hosseini dan ucapannya membuat saya paling tidak enam puluh
persen percaya buku tersebut layak dibaca. Dan jujur saja, ketika mulai
membacanya, saya tak tahu bahwa ini sebuah memoar. Sampai hampir sepertiga buku
saya masih mengira buku ini adalah sebuah novel. Baru setelahnya saya sadar
yang sedang saya baca adalah sebuah memoar dari si penulis. Dan sejak itu pula
cara saya memandang buku ini jadi berbeda, karena bagaimanapun sebuah memoar
jauh berjarak dengan sebuah novel yang fiksi.
Qais memulai ceritanya
dengan hanya sekilas kehidupan masa kininya, dan langsung flash back ke masa ketika umurnya tujuh tahun. Masa yang
digambarkan sebagai masa yang penuh kebahagiaan. Berasal dari keluarga
terhormat dan berada, Qais kecil tinggal di rumah kebun yang dibangun oleh
kakeknya di kawasan pegunungan kota Kabul Afganistan. Disitu Qais dan keluarga
besar ayahnya tinggal dengan sang kakek sebagai magnet utama. Gambaran masa
kanak bersama sepupu-sepupu laki-laki lengkap dengan layang-layangnya langsung mengingatkan
saya pada masa kecil Amir dan saudara tirinya Hasan dalam Kite Runner karya Khaled Hosseini. Sama sekali bukan kemiripan yang
mengganggu mengingat keduanya menggunakan latar belakang tempat dan kurun waktu
yang saya rasa tak jauh beda. Dan masa kecil yang indah itu akhirnya koyak oleh
perang saudara yang pecah di Afganistan, seiring dengan pecahnya Mujahidin yang
saat itu berkuasa menjadi faksi-faksi atas dasar etnis dan pandangan politik
yang bertikai satu sama lain. Langit kota Kabul tak lagi indah berhias
layang-layang, tapi berganti dengan roket yang bisa datang kapan saja, mendarat
di mana saja, dan menghancurkan apa saja.
Perang memaksa keluarga Qais meninggalkan rumah kebun kebanggaan
mereka. Tempat pengungsian pertama adalah sebuah rumah benteng yang konon
mempunyai sembilan menara ketika pertama kali dibangun lebih dari seabad yang
lalu, Qala-e-Noborja (fort of nine towers). Dan bahkan di
benteng dengan dinding tinggi itu pun mereka tak mendapatkan sekedar keamanan. Qais
sekeluarga berubah menjadi keluarga nomaden yang berpindah dari satu tempat ke
lainnya, berdesakan dalam sebuah mobil Volga hanya demi bertahan hidup. Perjalanan
panjang yang berawal di Qala-e-Noborja;
dan kelak berakhir di tempat yang sama; tak hanya memberikan pelajaran hidup bagi
Qais, tapi juga membantunya memahami diri juga negaranya, Afganistan.
Perang memang tak pernah membawa kebahagiaan. Pun ketika
dikatakan perang adalah jalan terjal menuju perdamaian, tetap saja menyebabkan
luka-luka fisik dan yang lebih parah lagi luka-luka batin yang sulit terobati. Dan
selalu rakyat yang paling banyak menjadi korban. Lebih ironis lagi, perang
saudara kerap membuat rakyat tak sepenuhnya mengerti apa yang dipertikaikan dan
bagaimana harus bersikap. Perbedaan, semisal etnis, pada tataran jelata yang
tak bersentuhan langsung dengan tampuk kekuasaan sering tak berarti banyak. Namun
di tangan pemegang kekuasaan atau yang berambisi untuk berkuasa, adalah hal
krusial yang berarti segalanya, bahkan setara dengan pertumpahan darah.
Membaca memoar ini, saya seakan disadarkan kembali betapa
manusia adalah makhluk yang begitu susah untuk menghargai perbedaan. Selalu ada
perbedaan yang pada akhirnya memicu perang. Sejarah dunia membuktikan hal itu.
Tapi tetap manusia tak juga menjadi cukup pintar ketika dihadapkan kembali
dengan persoalan yang sama. Perang, perang, dan perang nyaris terus dianggap
sebagai solusi.
Ada hal yang menggelitik saya dalam buku ini. Yaitu
kalimat yang diucapkan oleh ayah Qais, “We
have long tradition of raiding and plundering each other. But two things unite
us: love for Allah, and hatred for our invaders and enemies.....”. Pada
akhirnya selalu ada yang menyatukan sebuah bangsa. Namun saya jadi berpikir betapa
mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah persatuan jika itu harus menunggu
adanya pihak luar yang datang menyerang.
Secara keseluruhan buku ini memang terasa senada dengan
karya fiksi Khaled Hosseini. Senada juga keberpihakan keduanya. Namun sebagai memoar,
buku ini tetap mempunyai tempat yang berbeda karena perekam semua kejadian
adalah mata, telinga, dan hati Qais Akbar Omar sebagai saksi hidup dalam satu
babak sejarah sebuah negara bernama Afganistan.
Langganan:
Postingan (Atom)