Kamis, 31 Desember 2015

Terompet

Tet tetet tetetttttttttttttttttt...... begitulah bunyinya ....
Terompet di malam tahun baru apa artinya? Resolusi baru? Ehmmm.... silahkan, tapi pastikan untuk tidak jadi resolusi hangat-hangat tahi ayam ... hehehhehehe...

Tet tetet tetettttttttttttttttttttttt

Senin, 30 November 2015

Puasa Media

Tempo hari seorang teman menyarankan agar saya meninggalkan koran, buku, dan televisi selama sebulan.  Katanya ini dimaksudkan agar saya bisa mulai belajar mendengarkan ‘suara’ dari dalam diri sendiri. Sebulan penuh, mulai sejak dia mengucapkan itu pada pertemuan kami. Saya melongo. Sebulan penuh tanpa media alias puasa media, begitu pendeknya. Saat itu yang terpikir adalah mampukah dan apa enaknya hidup tanpa media seperti itu? Teman saya tersenyum, berkata bahwa dia tahu itu bakal berat buat saya tapi di akhir puasa saya akan merasakan manfaatnya.  Baiklah saya akan lakukan, jawab saya. Lagi dia tersenyum senang. Dan dengan sangat baik dan murah hati dia memberikan tiga buku agama dan beberapa barang. Buku agama itu katanya sebagai ganti dari buku-buku yang dilarangnya saya baca karena selama masa sebulan itu saya cuma boleh membaca buku agama dan buku cerita anak-anak.

Jadilah sejak keesokan harinya saya puasa media. Berat karena walau tak tergantung pada televisi, saya punya kebiasaan makan di depan layar gelas itu, sekedar menonton berita. Juga saat itu sedang berlangsung ajang kompetisi pencarian bakat yang tayang seminggu sekali dan saya tonton tiap minggunya. Dengan berat saya meninggalkannya. Tempat makan pindah ke teras. Saya berusaha keras untuk tidak mendengar suara apapun dari televisi. Kalau pas lewat ruangan duduk dan kebetulan televisi menyala karena ditonton bapak atau ibu saya maka saya akan memalingkan muka dan menulikan telinga. Saya juga jadi rajin mematikan televisi yang sering dinyalakan oleh ibu saya ketika beliau memasak. Saya juga yang mematikan televisi yang ditinggalkan begitu saja oleh bapak saya. Pokoknya begitu pegang remote maka satu-satunya tombol yang saya pencet adalah power, lalu plas matilah dia.

Koran. Nah, ini juga hal berat untuk ditinggalkan.  Saya bukan termasuk pembaca koran yang melahap habis seluruh halamannya. Tidak, selama ini saya pembaca yang pemilih. Headline tentu saya baca. Kolom-kolom opini kalau tidak terlalu ruwet juga akan saya baca. Berita ekonomi dan bisnis asal ulasannya tak penuh variabel yang njelimet juga jadi pilihan saya. Berita luar negeri termasuk pilihan utama. Berita sosial budaya termasuk minat saya. Berita olah raga juga jarang saya lewatkan terutama jika menyangkut tenis. Jadi jelas terasa ada yang hilang ketika koran tak boleh lagi saya baca. Alhasil apa yang saya kerjakan adalah sekedar melipat koran yang ditinggalkan tak beraturan oleh bapak atau kakak saya. Tak itu saja, saya juga tak membaca berita dari situs online, pun rupa-rupa berita yang di-share di media sosial.

Buku. Sungguh ini luar biasa berat karena ketika teman saya memberikan tantangan itu, saya sedang menyimpan beberapa novel pemberian teman yang belum terbaca. Yes, novel ada godaan besar. Saya termasuk yang mengeloni buku di tempat tidur. Buku juga hampir selalu menjadi teman menjelang tidur. Begitu mulai puasa media, yang pertama saya lakukan adalah menyingkirkan semua itu dari atas tempat tidur. Sengaja saya balik susunan buku sehingga tak terbaca judulnya.
Seminggu pertama berat sekali melakoni itu semua. Saya terus menerus memimpikan masa sebulan itu segera lewat. Masuk minggu kedua mulai terasa ringan. Merajut; kegiatan yang diijinkan teman saya dan sangat disarankan; jadi pengalihan yang menyenangkan. Minggu ketiga dan keempat terasa longgar. Buku, koran, dan televisi tak tampak menarik. Begitu genap sebulan yang artinya sudah boleh buka puasa saya juga tak jadi kemaruk segala hal itu.

Ya, informasi ataupun berita atau apalah namanya terkadang bukan sesuatu yang memberikan energi positif bagi saya. Sebulan tanpa semua itu saya jadi mulai mengerti betapa semua itu bisa menggiring saya ke arah-arah tertentu. Semua itu juga bisa memicu kemarahan, kecewa, sedih, putus asa, pikiran negatif, dan apapun tanpa saya sadari. Sebagai contoh jika saya menonton berita politik negeri ini yang selalu gaduh sana gaduh sini. Akan timbul paling kemarahan, dan kecewa karena perilaku orang-orang yang sebenarnya tak saya kenal. Mereka sih santai-santai saja wong sudah pekerjaannya begitu. Sementara saya diam-diam menumpuk banyak hal negatif di bawah sadar saya, teracuni, tergiring ke arah yang entah menuju kemana atau siapa, dan sebagainya. Ini kurang lebih yang disebut teman saya bahwa perlu belajar lagi mendengarkan suara dari dalam diri, suara nurani sendiri. Terlalu riuhnya suara-suara luar membuat saya tak bisa mendengar suara dalam diri saya sendiri.

Sekarang di tengah segala kegaduhan negeri ini, seakan saya punya alternatif untuk keluar darinya, yaitu menutup semua akses berita agar tak bisa menyentuh saya, agar tak terpengaruh menjadi keruh. Sungguh sampai sekarang tak putus rasa terima kasih saya pada teman yang mengajarkan ini.


Mau coba juga ? 

Sabtu, 31 Oktober 2015

MAJEK

Satu kegiatan yang jamak diperani ibu-ibu seangkatan saya adalah menjadi majek. Majek alias mama ojek yaitu mengantar jemput anak-anaknya kemana saja, tak cuma ke sekolah tapi juga les ini itu, belajar kelompok, ekskul, dan sebagainya. Seorang teman yang anaknya lebih dari dua dengan umur yang berbeda-beda bisa kisaran lima kali sehari pulang pergi karena masing-masing anak punya jadwal kegiatan sendiri-sendiri yang bisa berarti beda jam dan beda tempat. Capek nggak, begitu tanya saya. Katanya capek juga sih, tapi mau bagaimana lagi wong memang kondisinya begitu. Katanya untung dia tak kerja kantoran jadi gampang saja melakukan yang begitu. Tapi tak kerja kantoran bukan berarti dia tak bekerja lho. Si ibu ini punya kegiatan usaha di rumah dan tak punya asisten rumah tangga. Dan tugas ngojek ini tak bisa dibagi dengan sang bapak karena beliaunya mengantor yang tentu tak memungkinkan untuk keluar seenak udelnya.

Saya jadi membandingkan kondisi ini dengan jaman saya sekolah TK, SD, SMP, dan SMA puluhan tahun yang lalu. Tua amat yaaaa...? Hahahahaha.... Saya menghabiskan keempat masa sekolah itu di kota kecil, cuma sebuah kabupaten yang sedang-sedang saja tingkat keramaiannya. Saya ingat betul jaman TK orangtua mengabonemenkan becak untuk kami bertiga. Waktu itu kedua kakak saya sudah masuk SD. Untuk menghemat tenaga pak tukang becak karena jarak rumah dengan sekolah lebih dari lima kilometet, saya mesti ikut berangkat pada jam yang sama dengan kedua kakak berangkat walau sebenarnya jam masuk saya setengah jam lebih lambat dari mereka. Cuma pulangnya saya dijemput sendiri. Terus waktu SD hanya sebentar  abonemen becaknya. Sebab keluarga kami pindah ke kota lain dan sekolah jadi lebih dekat. Kedua kakak diijinkan untuk berangkat sendiri bersama teman-teman mereka. Sementara saya masih naik becak tapi tidak abonemen. Masuk kelas tiga, seingat saya makin jarang naik becak, dan lebih sering pergi bareng dengan kakak, jalan kaki. Waktu seumur itu saya tak punya kegiatan kursus atau les seingat saya. Paling belajar atau tugas kelompok yang sering-sering dikerjakan di rumah saya dengan teman-teman datang bersepeda. Mulai kelas lima saya sudah diijinkan untuk berjalan atau bersepeda sendiri ke sekolah. Kakak-kakak sudah masuk SMP waktu itu. SMP dan SMA juga saya lakoni dengan berjalan kaki dan bersepeda, dan semakin banyak teman seperjalanan.

Seperti saya bilang, saya tak sendirian. Banyak teman saya melakukan hal serupa. Sebagian malah dengan jarak rumah yang berlipat-lipat lebih jauh. Ada yang rumahnya berjarak lebih dari dua belas kilometer dari sekolah dan dilakoni dengan sepeda onthel karena memang tak ada kendaraan umum yang bisa digunakan. Alhasil setiap kali sampai sekolah rata-rata punggung mereka basah dan bedaknya luntur. Tapi ya dilakoni terus wong namanya nggak ada pilihan lain. Pernah satu kali saya bersepeda ke rumah teman yang jauhnya kisaran sepuluh kilometer dari rumah saya. Waktu itu sekolah masuk siang dan harus membawa kecebong untuk pelajaran biologi. Karena tak menemukan kecebong di sekitar rumah, nekadlah saya ke rumah teman tersebut. Lumayan juga pegalnya mengayuh pedal dua kali sepuluh kilometer. Lha padahal teman saya melakoninya setiap hari, bisa dalam kondisi panas terik ataupun hujan deras. Mengingat iku sekarang saya jadi begitu salut pada mereka. Mengayuh sepeda duapuluhan kilometer sehari demi sekolah tentu belum apa-apa karena sekarang pun kenyataannya masih banyak anak-anak di negeri ini yang mesti melintasi jembatan yang nyaris ambrol atau berjalan kaki puluhan kilometer. Tapi membandingkannya dengan mereka yang diantar jemput dengan majek tentu terasa lain.


Hai, jangan salah ya, saya tidak sedang menjustifikasi mereka yang punya fasilitas majek itu bagaimana bagaimana. Tidak, sama sekali bukan begitu. Saya sekedar membandingkan apa yang saya alami dulu dengan saat ini. Sejak dua tahun lalu saya kembali ke kota yang sama dengan yang saya tinggali ketika jaman SD hingga SMA. Memandangi kembali bekas sekolah saya yang sekarang lebih mentereng membuat teringat semua itu. Tapi di jalan-jalan tak lagi banyak saya temui pelajar bersepeda, apalagi berjalan. Bersepeda masihlah ada, tapi tak sebanyak dulu jaman saya. Kalau yang berjalan, ehmmmmm kok rasanya tak pernah lagi ya menemukannya? Pelajar-pelajar SMU rata-rata sudah mengemudikan motor sendiri. Beberapa malah mengendarai mobil. Sementara yang lebih muda ya itu tadi, pakai layanan majek, mama ojek. 

Sabtu, 26 September 2015

Ketemu Pesohor


Masih ramai diberitakan di media saat ini soal pimpinan dewan yang bertemu, kemudian ikut tampil dalam jumpa pers yang digelar seorang pengusaha USA super terkenal dan, tentu saja, kaya raya, dan lagi berambisi menjadi pemimpin negeri. Jangan salah, saya menulis kali ini bukan untuk ikut meramaikan silang pendapat tentang benar atau tidaknya tindakan itu. Jujur, saya sedang tidak mood membicarakannya dari sisi tersebut. Toh, sudah banyak sekali yang berpendapat ini itu, dan yang bersangkutan juga sudah membela diri dengan alasan segala rupa.

Saya lebih tertarik membicarakan ekspresi wajah dua pimpinan dewan yang jelas tertangkap kamera dan videonya diunggah di youtube. Selalu geli saya melihat ekspresi wajah mereka. Lihat, betapa mereka tersenyum-senyum, yang menurut opini saya pribadi itu adalah senyum bangga. Lihat kilatan mata sang orang kedua, kilatan mata yang begitu hidup! Mungkin jika mata itu bisa bicara, dia bakal ngomong, “hei, lihat! Saya sedang dengan dia yang terkena! Hebat kan saya? Kamu nggak bisa begini kan? Silahkan iri!” Sementara si orang pertama yang tampak sedikit lebih kalem. Memang selama tampil di media sebelum-sebelum ini, dia menurut saya lebih kalem ketimbang si orang kedua yang selalu tampak antusias jika diwawancara, terlebih ketika berkepentingan membela bosnya. Tapi kalem bukan berarti tak bangga lho. Lihat senyumnya yang agak malu-malu kucing itu. Lihat kilau matanya. Kalau mata itu bisa bicara maka menurut saya inti kalimatnya tak beda jauh dengan yang diucapkan oleh mata si orang kedua, sama-sama bangga ada di sana. Hahahahahaha.... sungguh, berkali-kali rekaman itu ditayangkan, berkali-kali saya melihatnya dan selalu tertawa. Seorang rekan mereka yang dimintai pendapat oleh wartawan agaknya juga berpikir sama dengan saya. Intinya kurang lebih sang rekan ini bilang bahwa wajar-wajar saja mereka di situ bersama si bule yang terkenal seantero dunia. Masih kata sang rekan, tak perlu diperbesar-besarkan toh si bule belum resmi jadi kandidat presiden dan kalaupun sampai jadi presiden pun itu bakal jadi memori tersendiri bagi kedua pimpinan dewan itu. Nah lho, berarti benar soal kebanggaan yang saya sebut di atas tadi. Soal benar atau salah menurut kode etik yaaa embuhlah! Namanya juga mumpung lagi ketemu mereka yang terkenal ya mosok dibiarkan saja momen itu berlalu? Begitu ya, Pak? Hehehehehhe.....

Ketemu orang terkenal memang sesuatu. Apalagi jika orang itu termasuk yang  diidolakan, wah tambah lebih dari sesuatulah. Cuma kok saya sering berpikir sebaliknya ya? Ketika ketemu orang beken saya bukan termasuk yang buru-buru mendekat meminta foto bersama. Saya lebih suka diam-diam mengamati dari jarak aman, mencari momen-momen khusus yang menunjukkan bahwa sebeken apapun dia tetaplah manusia biasa.

Satu kali saya tengah menunggu kereta malam untuk pulang ke Surabaya dari Jakarta. Lalu saya lihat satu sosok bule tinggi yang wajahnya sering tampil di koran. Saya mengenali rohaniawan sekaligus budayawan itu. Agak tertunduk-tunduk dia membawa tasnya masuk ke gerbong. Wajahnya ramah biasa, tidak menantang sekitar untuk mengenalinya. Juga sabar menunggu antrian, tampak maklum ketika orang mendesaknya. Oh jadi begitu ya dia kesehariannya, cukup sama dengan apa yang selama ini ditulisnya di artikelnya. Teman yang sedari tadi duduk di sebelah saya menunjuknya dengan dagu, apakah saya kenal siapa dia. Entah mengapa dia agak terkejut ketika saya sanggup menyebut lengkap nama beliau. Ah, kau pikir aku tak pernah baca koran ya, Kang? Lalu dia bertanya apakah saya akan menyambangi gerbongnya sekedar minta tanda tangan atau apa karena toh kami ada di kereta yang sama cuma beda gerbong saja. Tak saya lakukan hal itu, cukup sudah melihat sosoknya menjejak peron yang sama dengan saya.

Kali lain selesai menikmati midnight show di bioskop, saya pindah bersama rombongan teman pindah nongkrong ke restoran cepat saji yang buka 24 jam. Baru saja menempelkan pantat ke kursi, muka saya berhadapan dengan wajah terkenal. Penyanyi laki-laki. Jarak kami dipisahkan dengan satu meja kosong. Dan kami saling menatap. Saya sempat menimbang-nimbang apakah perlu menyenyuminya dengan girang, atau diam-diam saja. Akhirnya dia yang memberi saya senyum tipis sebelum mengalihkan pandangan ke foto menu. Seorang teman menyenggol siku saya sambil membisikkan nama si pesohor. Ah, tak perlu dibisiki saya juga sudah tahu. Kali ini pun saya tak berminat mendekat. Cukup menyaksikannya tersenyum enggan meladeni mbak-mbak yang datang menyapa. Ya wajarlah kalau dia enggan. Waktu itu dini hari, mungkin dia mengantuk dan lapar sekaligus. “Nggak nyamperi?” tanya teman saya. Saya menggeleng. Kenapa? Ehmmmm kenapa ya? Salah satunya karena saya juga mulai mengantuk dan lapar. Sebab lain mungkin juga karena saya tak terlalu suka dengan lagu-lagu sedihnya.... hehhehehehehehe.... Mendapat senyum tipis cukuplah, lalu biarlah dia mengisi perutnya dengan tenang seperti saya.

Eh tapi pernah juga lho saya berfoto dan minta tanda tangan pesohor. Itu terjadi pas saya terpilih untuk ikut dalam semacam klinik menulis yang diadakan oleh penulis fiksi terkenal yang saya gandrungi. Sumpah, senengggggggggggg sekali. Saya sampai sanggup duduk menunggu selama lebih dari satu jam sebelum sang penulis ini datang. Dan seperti biasa, saya mencari momen kecil tentangnya dan saya dapatkan itu. Saya tengah mengangkat kamera, menunggu momen untuk memotretnya. Waktu itu dia masih berdiri di pinggir ruangan, menunggu sang pembawa acara yang masih memberi prolog untuk memperkenalkannya. Sang bintang yang berdiri santai memegang kertas catatannya tiba-tiba menoleh kepada saya dan tersenyum. Saya langsung menjepretnya sambil berucap terima kasih. Bukan foto yang bagus karena tak terlalu fokus, tapi saya senang dengan aksi kecilnya itu. Selepas acara, peserta  menedekat, rata-rata membawa minimal dua buku untuk dia tandatangani. Sementara saya sudah merasa cukup membawa satu saja. Bukan karena saya tak mengkoleksi bukunya, tapi karena tak mau membuat tangannya pegal saja. Apalagi toh bukan tanda-tangannya yang saya butuhkan. Setelahnya kami berfoto bersama. Bisa ditebak, itu bukan foto yang bagus karena saya bingung bagaimana harus berpose dan menata wajah agar tak kalah cantik dengannya . Dan ketika peserta lain mengunggah foto mereka di media sosial, saya cukup menyimpannya di dalam komputer saja.

Yang terakhir ketika saya ikut workshop gratisan tempo hari. Pematerinya seorang fotografer profesional terkenal. Saya datang awal sehingga sempat melihat sesi persiapan sebelum acara dimulai. Agaknya si beken ini tipikal yang tak segan terlibat dalam pekerjaan persiapan walau tentu sudah ada tim ataupun orang kepercayaannya. Buktinya dia sudah hadir di lokasi lebih dari dua jam sebelum acara dimulai, berbaur melakukan ini itu dengan panitia dan timnya. Saya melihat dia mondar-mandir, diekori dan mengekori orang lain. Jadi begini ya cara kerja fotografer profesional nan terkenal... Saya senang saja melihatnya ikut repot, tak berlaku sebagai orang penting yang mesti dilayani. Oh iya, saya juga senang melihat interaksinya dengan istrinya yang ikut mendampingi. Senang melihat mereka berjalan rapat-rapat dan berbaju sewarna, hitam semua. Sengaja atau tidak ya soal bajunya? Embuhlah. Dan soal baju ini saya sempat kecele karena berpikir si beken ini akan salin nantinya. Ternyata tidak. Celana yang dipakainya tetaplah celana sepanjang setengah betis yang memang sudah dipakai sejak datang tadi. Jadi acara workshop itu dibonusi pemandangan betis telanjangnya .... hheheheheh... ya wislah ga papa. Seusai acara begitu banyak yang bergerombol menunggu kesempatan minta foto bersama, termasuk teman-teman saya. Sementara saya memilih tempat di depan seluruh adegan itu terjadi sambil mengunyah kue yang diberikan panitia. “Nggak ikut foto?” tanya teman saya. Tidak usahlah, jawab saya sembari mencomot kue kedua. Sementara di depan sana si beken membuat pose yang diulang-ulang terus : merangkul ringan bahu seseorang dan tersenyum menatap kamera. Diam-diam saya berdoa semoga dia tak bosan melakukannya.

Iya, sungguh ketika melihat pesohor meladeni pengagum bin penggemarnya saya selalu bertanya dalam hati dia bosan nggak ya, atau menikmati dikagumi gitu nggak ya? Masalahnya yang pada minta foto, tanda tangan, atau semacamnya pasti senang hati bisa ketemu muka dengan idolanya. Tapi apa sang idola juga berpikiran sama? Jangan-jangan malah sebel karena mesti berbasa-basa dan menjaga sikap baik demi tak kehilangan penggemar ...... Jangan-jangan lho..... Kan mereka juga manusia biasa......


Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800


Senin, 31 Agustus 2015

Guyonan Yang Jadi Tak Lucu

Beberapa hari setelah lebaran , sebuah pesan singkat berisi ucapan masuk ke ponsel saya, setelah sekali menelepon tapi terlewatkan. Saya tak bisa mengenali siapa pengirimnya karena nomornya tak ada dalam  phone book. Jadilah saya balas dengan ucapan serupa sambil menanyakan identitas pengirimnya. Terkejutlah saya ketika dia mengaku sebagai mantan bos saya di perusahaan yang terakhir saya tinggalkan. Dengan menjaga sopan santun, saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya dan saya menghargai itu. Saya pikir urusannya selesai sampai disitu. Ternyata tidak. Di pesan berikutnya dia memberikan penawaran untuk kembali bekerja di kantornya. Kagetlah saya. Bukan alasan apa-apa, hanya saja saya tidak berpikir untuk kembali bekerja di luar kota lagi karena kondisi yang menurut saya tak memungkinkan. Saya mencoba menolak dengan halus, dengan menjabarkan kondisi dan fokus utama saya saat ini. Tapi ternyata si mantan bos ini terus mendesak. Demi menjaga hubungan baik saya memutuskan untuk tidak menjawab penawaran tersebut malam itu juga. Jadi saya putuskan untuk tidak membalas pesannya.

Pembiaran semalam sebelumnya membebani pikiran saya. Saya menganggap pembiaran sama dengan membuat persoalan menggantung tanpa solusi. Saya tak suka itu. Di sisi lain saya juga merasa wajib untuk menjaga hubungan baik dengan mantan bos. Akhirnya malam hari berikutnya saya kirim pesan permohonan maaf tidak bisa menerima tawarannya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepadanya. Sehari itu berlalu tanpa balasan. Saya lega karena artinya si mantan bos sudah menerima jawaban saya dan mengerti. Saya pikir masalah selesai sudah dan leluasa kembali fokus pada urusan saya.

Ternyata  saya salah. Hari berikutnya ketikas sedang dalam perjalanan ke luar kota bersama seorang teman untuk suatu urusan, ponsel saya berbunyi terus menerus. Si mantan bos menelepon. Sungguh saya tak siap dan tak ingin bernegosiasi di dalam bus yang sedang berjalan dan di depan teman saya. Jadi saya abaikan saja panggilan itu. Dan karenanya dia jadi menghujani saya dengan pesan yang isinya masih seputar penawaran dan malah ditambah dengan ajakan untuk bertemu. Sumpah saya jengah. Saya sedang dalam satu urusan, dan tak siap membicarakan urusan baru dengannya. Seharian itu saya abaikan semua telepon dan pesan darinya, dengan janji pada diri sendiri akan mengirimkan email kepadanya berisi penjelasan lebih detail bahwa saya tak bisa menerima tawaranny. Saya putuskan berkirim email karena dengan masih mengejar-ngejar seperti itu artinya dia tak cukup bisa menerima penjelasan saya lewat pesan singkat. Dengan email saya punya lebih banyak ruang untuk memberikan penjelasan. Alasan lain ya saya enggan bernegosiasi langsung dengannya ketika jawaban saya negatif untuknya.

Dua hari setelah itu, email saya melayang padanya. Saya tunggu beberapa jam ternyata tak ada balasan. Saya pikir sekarang email saya mengena sasaran dengan sempurna. Saya lega. Tapi ternyata tak lama. Menjelang siang ponsel saya kembali berbunyi dan dari nomer yang sama. Mau tak mau saya terimalah itu panggilan. Dan terkejutlah saya ketika ternyata dari suara dan pengakuannya si penelepon bukanlah mantan bos tetapi mantan teman sekantor. Saya gagu seketika, teringat email yang sudah kadung saya kirim pagi sebelumnya. Sementara teman saya di seberang terkekeh-kekeh, merasa berhasil mengerjai saya. Saya marah besar. Sungguh itu guyonan yang sama sekali tak lucu. Saya masih bisa menerima dikerjai seperti itu jika saja tak sampai berlarut-larut begitu.jika dia berniat guyon dengan sehat seharusnya dia berhenti ketika saya benar-benar percaya bahwa si penelepon adalah mantan bos seperti pengakuannya. Seharusnya dia berhenti dan menyelesaikan guyonan itu dengan manis. Tapi yang dilakukannya justru mempermainkan ketidaktahuan dan kepercayaan saya dengan semena-mena, tanpa berpikir efeknya. Saya kecam habis-habisan dia tanpa peduli masih dalam suasana lebaran dimana orang biasa memaafkan segala kesalahan dengan mudah. Kesalahannya terlalu besar untuk dimaafkan secepat itu. Apalagi terbukti dia tak berani ketika saya minta untuk berkirim email ke saya dan bos untuk menjelaskan email yang saya kirimkan itu karena ulahnya. Dengan marah sekali saya bilang padanya bahwa dia cuma tahu berguyon tapi tak tahu kapan harus berhenti. Dari nadanya meminta maaf sekali lagi, saya tahu dia takut dan menyesal. Tapi itu tak cukup untuk meredakan saya. Apa yang dilakukannya buruk sekali. Sejak kejadian itu kami belum berhubungan lagi. Saya masih menganggapnya teman tentu saja, tapi dengan catatan negatif. Bukan mendendam, hanya tak bisa memberi respek padanya seperti sebelum kejadian ini.


Jadi kesimpulannya adalah berguyon boleh, tapi harus tahu kapan harus berhenti. Saya camkan juga hal itu untuk diri saya sendiri. 

Jumat, 31 Juli 2015

Tante Pelit

Ya, itu kalimat yang terlontar dari mulut keponakan saya, yang ditujukan pada tantenya, yaitu saya..... hahahahhaaha... Tak cuma sekali dia mengatakan itu pada saya, tapi entah kenapa saya tak pernah marah karenanya. Tak pernah saya tersinggung. Reaksi saya selalu antara nyengir, tersenyum, atau tertawa. Tidak marah bukan karena takut terhadap emak si bocah yang notabene kakak kandung saya. Hanya setiap kali kalimat itu keluar dari mulutnya saya selalu merasa geli, juga menang karena berhasil membuatnya jengkel karena tak bisa memperoleh apa yang diinginkannya.

Sebenarnya masalahnya sepele sih, masalah sangu yang kadang diberikan oleh yangkung dan yangtinya ketika dia datang berkunjung. Besarnya kisaran antara lima puluh sampai seratus ribu perorang. Saya memaknainya sebagai ekspresi senang yangkung-yangti yang telah dikunjungi oleh cucu-cucunya. Dan jumlah cucu yang cuma tiga orang itu membuat orang tua saya tak merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah itu. Dan tak cuma yangkung-yangti yang memberi. Kadang pada saat tertentu tante yang lain; selain saya tentu saja; juga memberikan sangu untuk mereka. Alhasil saya yang tak berpartisipasi dalam kegiatan itu jadi dianggap pelit. Pernah satu kali ketika semua memberikan sangu kecuali saya, si bocah yang paling vokal terus terang bertanya kepada saya, “Tante sebenarnya punya uang atau tidak sih?” Dan lagi-lagi saya cuma tertawa. Saya jawab bahwa saya sebenarnya juga berniat memberikan sangu tapi berhubung sudah banyak yang menyangoninya dan uang yang dia dapat sudah cukup banyak untuk anak SD maka saya batalkan niat tersebut. Apa yang keluar dari mulutnya gampang ditebak: Tante Ina pelitttt ! Ahahahahahaha.....

Pelitkah saya? Entahlah. Hanya saya memang tak suka memberikan uang pada anak-anak. Saya lebih suka memberikan bentuk lain seperti buku, mainan, atau makanan pada mereka. Semuanya asal sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ada kalanya saya bawa mereka untuk membeli es krim untuk semua. Saat yang lain saya belikan mainan. Jika ada buku yang tak mereka temukan toko buku di kota tempat mereka tinggal, lalu meminta saya mencarikannya, dengan senang hati saya lakukan dan tak saya tagihkan biayanya. Bagi mereka mungkin ini tak terasa sama dengan menerima uang walau sebenarnya untuk membayar semua itu tentu saya menggunakan uang.

Kenapa saya tak suka memberikan uang? Entahlah, saya tak bisa menjabarkannya secara gamblang. Hanya saya selalu ngeri setiap kali melihat anak-anak mempunyai uang berlebih, lalu membelanjakannya sesuka hati, termasuk untuk barang-barang tak perlu. Melihat yang begitu saya selalu bertanya dalam hati tahukah mereka bagaimana proses mendapatkan rupiah-rupiah yang mereka belanjakan tanpa banyak berpikir itu? Tahukah mereka bahwa ada orang-orang yang harus jungkir-balik demi sekian rupiah yang mereka belanjakan dengan enteng tanpa berpikir itu? Ketika dengan senang hati mereka mengobral uangnya, ada anak-anak lain yang justru harus mengumpulkan peseran untuk sekedar mengisi perut yang belum tentu mengenyangkan. Oh iya satu lagi, setiap kali melihat anak-anak yang berlebih seperti itu saya jadi membandingkan dengan diri sendiri. Pada saat seumur mereka, saya tak punya kelebihan seperti itu walau tak juga jadi yang selalu lapar. Seorang teman ketika mendengar ini berkomentar bahwa sebenarnya saya mengiri dengan keponakan karena saya tak punya apa yang mereka punya. Mengiri .... ehmmmm .... mungkin juga ya? Ahahahahaha....


Baiklah, mungkin saja sebenarnya saya mengiri pada keponakan. Tapi tetap ada lho sisi baiknya. Saya berharap mereka tahu proses, tahu ada banyak hal di luar mereka yang patut diperhatikan. Kalau efeknya adalah menjadi tante yang pelit ehmmmm mohon dimaafkan sajalah yaaaa... 

Senin, 29 Juni 2015

Mengurai Benang Kesalahan ....

Beberapa tahun yang lalu seorang teman mengajarkan merajut dengan haken atau bahasa bulenya crocheting kepada saya. Langsung deh jatuh cintrong sayanya. Saya termasuk manusia yang mencintai warna, plus cenderung norak dalam hal ini. Dan crocheting membuat saya bergaul rapat dengan benang aneka warna. Pas deh! Jadilah saya asyik mengkait-kaitkan benang warna-warni dengan haken. Kadang hasil akhirnya berupa benda yang bisa digunaka, tapi tak jarang pula hasilnya putus di tengah jalan karena macam-macam alasan, termasuk salah satunya tak menemukan benang dengan warna yang sama dan juga bosan. Nah, susah kalau alasan bosan yang membuat sebuah proyek merajut cuthel di tengah jalan. Tapi ya bagaimana lagi, wong memang pada dasarnya hobi dan prinsipnya digunakan untuk mengalihkan fokus dari hal rutin ke hal lain dengan maksud rekreasi alias refreshing.

Tempo hari saya membaca di salah satu harian bahwa seorang mantan aktris Hollywood yang kini menekuni olah raga yoga juga merupakan pehobi merajut. Diajatuh cinta pada merajut juga tak sengaja. Katanya, sesuai yang saya ingat dan semoga masih akurat, suatu hari dia berada di satu wilayah di Amerika sana dan entah mengapa terdorong masuk ke dalam semacam toko kecil yang tampak dari luarnya tenang. Didorongnyalah pintu toko itu dan masuk sesuai kata hatinya. Saat itulah dia mendapati beberapa perempuan dengan benang dan haken di tangan, merajut dengan tenang. Mereka memberikan senyum ramah begitu melihatnya masuk. Hari itu juga dia belajar merajut dan mencintainya. Saat itu dia sudah menjadi guru yoga dan mempunyai sanggar sendiri. Katanya, merajut merupakan salah satu bentuk meditasi untuknya. Karena dalam merajut ada fokus, juga latihan kesabaran. Aih aih ..... Saya sepakat soal fokus dan latihan kesabaran. Tapi soal meditasi, ehmmm...  saya tak tahu. Mungkin ada benarnya. Karena selama ini saya juga tak bisa merajut sambil mengoceh. Mulut saya selalu tak aktif ketika merajut, pun jika itu bersama teman. Sementara pikiran saya memang tak selamanya berfokus pada rajutan. Seringkali jika itu merupakan pola berulang maka pikiran saya terbang kesana-kemari. Ya, kesana-kemari, tapi dengan alur yang lambat. Tak grusa-grusu karena emosi. Mungkin karena begini maka disebut sebagai latihan kesabaran. Ehmmmm tapi mungkin juga karenanya si aktris dan guru yoga itu sekaligus menyebutnya sebagai satu bentuk meditasi. Mungkin pada orang-orang seperti dia pikiran yang pada saya melambat bisa berbentuk lain, berefek lebih besar. Ya ya ya, masuk akal sih.

Gara-gara si aktris sekaligus guru yoga itu memaknai merajut begitu rupa dan dalam, saya jadi terpancing juga untuk berpikir lebih dalam mengenai merajut. Dan saya menemukan pemaknaan saya. Satu hal dalam merajut adalah tak ada kesalahan yang sungguh fatal dan tak bisa diperbaiki. Sepertinya ini hal yang baru saya sadari akhir-akhir ini. Dalam merajut tak perlu takut salah. Kenapa? Karena jika salah pun si benang dapat diurai kembali. Awal belajar merajut dulu saya membeli satu gulung benang katun. Dan benang itulah yang saya gunakan untuk berlatih membuat, rantai, single crochet, double crochet, dan sebagainya. Tak langsung berhasil, berkali-kali gagal. Dan setiap kali saya tinggal mengurai kembali benang itu. Memang efeknya si benang jadi kusut dan agak pudar warnanya. Tapi secara keseluruhan dia baik-baik saja, dalam artian tak sampai membuatnya sia-sia dan saya harus membuangnya. Tak terjadi seperti itu. Bahkan setelah akhirnya saya lebih pintar merajut, benang tersebut saya buat menjadi satu tas kecil yang sampai sekarang masih saya gunakan untuk menyimpan piranti pribadi.

Ya, dalam merajut saya percaya tak pernah ada kesalahan yang sangat fatal dan tak bisa diperbaiki. Semua kesalahan bisa diatasi dengan mengurai kembali. Selalu ada kesempatan kedua. Mungkin juga ketiga dan seterusnya. Saya jadi yakin karena inilah saya suka merajut. Memang ada faktor kompensasi akan kegilaan atas warna. Tapi kenyataan bahwa tak pernah ada salah yang mutlak dan tak dapat diperbaiki, saya yakin adalah hal utama yang membuat saya mencintai merajut, walaupun kesadaran ini datang begitu belakang. Mengapa hal itu penting bagi saya? Karena itulah yang saya harapkan dari sebuah kehidupan. Saya yakin ada banyak kesalahan sudah saya buat sekian puluh tahun hidup. Tak akan terhitung jumlahnya, baik yang saya sadari maupun yang tidak. Tapi dari semua kesalahan itu saya selalu berharap ada hal yang bisa saya lakukan untuk membuatnya lebih baik dan akhirnya jadi benar. Ya, kesempatan kedua dan selanjutnya. Bahkan kalaupun tak ada yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya, saya tetap berharap akan pemaafan. Pemaafan tak bisa otomatis membuat yang salah jadi benar. Tapi pemaafan mengurangi atau bahkan menghilangkan beban yang artinya tetap akan membuat keadaan jadi lebih baik.


Yes, I love crocheting. Dan selalu berharap kesalahan dalam hidup selayak benang yang dapat diurai kembali....... 

Sabtu, 30 Mei 2015

Jeprat-Jepret

Saya termasuk yang suka memotret dan menganggap memotret adalah pekerjaan serius  yang susah. Pendapat ini dilandasi bukti bahwa sampai detik ini saya tak bisa menguasai kamera dengan baik. Hasil foto yang saya buat selalu saja ada salahnya. Salah fokus atau malah tidak fokus, komposisi tak betul, terlalu gelap atau sebaliknya terlalu terang, dan sebagainya dan sebagainya. Intinya saya belum mampu menguasai kamera dengan baik. Kadang ada juga foto saya yang dipuji oleh teman. Tentu menyenangkan. Tapi kemudian saya mengerti bahwa foto yang dipuji itu pada dasarnya lebih karena kebetulan saja, bukan karena kepintaran teknis saya memegang kamera sehingga dengan sadar bisa menghasilkan foto yang begitu. Dan lagi pemuji adalah orang awan yang mungkin secara pengetahuan dan ketrampilan fotografinya tak lebih bagus dari saya. Jadi intinya tetap, saya bukan pemotret yang handal. Saya sekedar suka jeprat-jepret tapi tak bertanggung-jawab soal kualitas hasilnya.

Tapi apa iya saya harus selalu mumet memikirkan kualitas hasil jepretan? Sebab saat ini orang memotret dengan sangat aktif. Apa-apa dipotret. Bahkan diri sendiri pun dipotret. Fungsinya apa? Ya apalagi kalau tidak diunggah di media sosial atau grup chatting, lalu para penonton foto tersebut akan memberikan komentar ini itu, baik yang berhubungan dengan foto tersebut ataupun tidak. Kegiatan ini sedang amat sangat marak pakai banget dan sekali saat ini. Jujur saja, tak selamanya saya maklum dan senang hati terhadapa hal ini. Sering malah berpikir kok begini saja pakai difoto sih? Atau di saat yang lain saya malah jengkel dan berpikir negatif terhadap di pengunggah. Misalnya saja ada teman yang mengunggah fotonya saat plesir ke luar negeri, berpose di tempat-tempat terkenal macam menara Eifel, singa Merlion, atau tengah main salju atau memegang sakura. Menanggapi yang begitu bisa saja saya sekedar berpikir wahhhh dia sudah sampai di sana, enak betul ya, terus saya kapan? Tapi di lain waktu dan lain pengunggah saya juga menanggapinya dengan satu kalimat singkat yang negatif : pamer dia! Nah lho jadi dosa kan saya? Lain waktu ada yang mengunggah foto menu makanan yang siap disantapnya yang jelas-jelas menunjukkan dia tak sedang makan di rumah. Yang begini juga bisa positif dan negatif respon saya. Yang positf berupa : eh kok kayaknya enak ya, kapan-kapan nyoba juga ah. Sementara yang negatif wujudnya : halah mentang-mentang lagi makan enak diumumkan ke seluruh dunia! Nah, dosa lagi deh saya.

Terus soal selfi.... Wah, saya sering heran sekaligus kagum dengan mereka yang doyan sekali selfi. Saya kagum dengan kepercayaan diri mereka. Juga ketrampilannya. Karena saya sendiri tak pernah pede untuk berfoto diri kecuali jika memang wajib semisal pas daftar KTP atau semacamnya. Itupun hasilnya juga tak pernah baik dan benar, dengan kata lain tak pernah kelihatan lebih cantik ketimbang aslinya... hahahahaha... Karena itu saya heran dan kagum dengan mereka yang hobi selfi. Kok bisa ya fotonya cantik-cantik begitu? Ngaturnya bagaimana? Posenya kok bisa pas ya? Dan kok ya begitu pedenya. Dan ternyata itu lebih seperti hobi. Seorang teman mengaku menyimpan foto selfi sebanyak dua ribuan di handphone-nya. Saya terbeliak. Wowwww .... Buat apa? Ya buat seneng-senengan saja, jawabnya. Dia berselfi dengan alasan macam-macam. Dia akan berselfi kapanpun merasa cantik. Jadi bisa saja setelah facial, potong rambut, ber-make-up, atau bahakan sebelum tidur asal merasa cantik maka berselfilah dia. Juga ketika sedang ada dalam momen-momen tertentu. Misal pas kumpul-kumpul, berselfilah dia dan mereka sekedar untuk seru-seruan. Ehmmmm begitu ya, pikir saya. Lha terus kenapa saya tak pernah merasa pede dan perlu untuk berselfi? Apa saya tak pernah merasa cantik? Atau tak pernah merasa berada dalam momen yang perlu diseru-serukan dengan selfi? Embuhlah ....

Ah ya, saya punya pengalaman menggelikan soal selfi. Beberapa bulan yang lalu, bersama sahabat yang juga sedang keranjingan memotret, saya ke Yogya. Tujuan utamanya adalah menyaksikan dan memotret Borobudur saat matahari terbit. Jadi, bergabunglah kami dengan rombongan yang bertujuan sama yang ternyata entah mengapa seluruhnya turis dari manca negara. Adzan subuh baru selesai berkumandang ketika kami berangkat ke lokasi. Dan karena modal saya cuma kamera prosumer biasa, maka saya masih harus menunggu ketika yang lain yang bermodal kamera profesional sudah mulai jeprat-jepret. Waktu itu saya sudah senewen, takut kehilangan momen. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Matahari mulai mengintip dan naik pelan-pelan. Semua bergumam kagum dalam bahasanya sendiri-sendiri. Dan memang momen itu indah sekali. Detik-detik awal saya malah bingung memutuskan mana yang lebih baik saya lakukan, memotret atau sekedar menikmatinya terus dengan mata saja saking indahnya. Akhirnya saya angkat juga kamera, mulai menjepret. Demikian juga dengan sahabat saya. Tapi ternyata tak gampang. Saya semula membayangkan foto yang bersih tanpa kepala-kepala penonton. Tapi kenyataan di lapangan ada penonton dimana-mana dan tak bisa dihindari, juga tak bisa disuruh minggir. Nyaris tak mungkin mendapatkan foto yang bersih dari manusia. Tapi kami berdua masih ngotot berusaha. Sampai akhirnya kami menemukan posisi yang bagus yang relatif sepi dari manusia. Kami berdua mulai mengintip di balik kamera dengan serius. Dan pas ketika tombol hampir ditekan seorang turis entah bangsa apa tahu-tahu masuk dalam frame kami, dan dengan tongsis panjang dia berfoto selfi, tersenyum dan bergaya tanpa merasa berdosa. Sementara di depannya, ada dua orang kecewa yang saling berpandangan lalu berteriak ‘asemmmmm!’ ..... Ahahahahah ...

So, memotret sekarang makin jamak. Tak  perlu menjadi fotografer terlebih dahulu untuk bisa melakukannya. Tak perlu ngincang-nginceng di balik kamera profesional karena toh handphone juga sudah dilengkapi dengan kamera yang sangat memadai. Tak perlu berpikir serius tentang teori dan teknik, yang penting jepret aja langsung. Tak perlu repot mencari-cari atau bengong menunggu momen. Toh apa saja bisa jadi obyek, termasuk diri sendiri. Dan tak perlu malu dengan hasilnya, toh begitu diunggah di media sosial ataupun grup ngobrol pasti ada saja yang akan mengomentari. Jadi, tunggu apalagi? Bingung akan apalagi?


Jepret pret pret pretttttt.....

Sabtu, 04 April 2015

Ilmu dari Dee Lestari

What I Talk About When I Talk About Running. Itu judul memoar Haruki Murakami yang saya tuntaskan kisaran dua bulan lalu. Buku yang tipis-tipis saja, tapi kemudian menjadi salah satu favorit saya. Di dalamnya seorang Haruki Murakami yang tersohor itu merelasikan menulis dengan lari, hal yang digemarinya. Untuk jadi kuat lari jarak jauh musti latihan bertahap. Setengah kilometer, terus sekilometer, terus nambah sampai akhirnya kuat bermaraton. Penulis juga begitu. Menulis, menulis, dan menulis. Siapkan waktu yang terjadwal, dan fokus. Seorang Haruki Murakami tidak pusing memikirkan apakah bukunya akan jadi bestseller atau tidak. Dia mulai menulis buku pertama ketika ide itu datang. Lalu mengirimkan ke satu kompetisi bahkan tanpa membuat salinannya. Katanya: After I finished it I felt great. I had no idea what to do with the novel once I finished it, but I just sort of let the momentum carry me and sent it in to be considered for a literary magizine’s new-writers prize. I shipped it off without making a copy, so it seems I didn’t much care if it wasn’t selected and vanished forever. Kemudian ternyata novel pertama itu; Hear The Wind Sing; berhasil menang. Sungguh saya tercerahkan oleh buku ini. Dan kisaran dua bulan setelahnya, pada 29 Maret 2015 di Perpustaan Bank Indonesia yang luar biasa indah, Dee seakan mengulang pencerahan itu, dan ibarat sebuah masakan, dia sekaligus memberikan ‘bumbu-bumbu’ tambahannya melalui Dee’s Coaching Clinic.

Mengkonkritkan apa yang abstrak. Berpikir kreatif adalah memperluas medan kesadaran. Menggali sampai menemukan unique voice. Ade Rai tak jadi kekar dalam semalam. Gatal yang tak kunjung usai. Celengan ide. Verisimilitute. Pemetaan. Struktur tiga babak. Teknik ciprat-ciprat. Tidak ada alter ego. Bersahabat dengan deadline..... Dan hari itu, di dalam gedung Perpustakaan Bank Indonesia yang sangat mengesankan, Dee mendetailkan semuanya, berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Dan sungguh ini jadi jauh lebih menarik dari sekedar membaca memoar Haruki Murakami karena apa yang disampaikan sangat bisa diterapkan oleh siapa saja yang menyimpan cita-cita menjadi penulis.

Mau jadi penulis? Ya mulailah menulis. Jangan sekadar berhenti di cita-cita yang abstrak. Konkritkan. Menulis, menulis, dan menulis. Seperti Ade Rai yang mengangkat barbel demi membentuk otot-ototnya. Apa yang ditulis? Ya apa saja. Tulis apa yang ingin ditulis, atau apa yang ingin sekali dibaca. Setiap penulis punya unique voice. Cuma seringnya si unique voice itu bagai harta karun yang tertanam di dalam tanah. Butuh usaha ekstra untuk menemukannya. Dan bentuk usaha itu tak lain dan tak bukan adalah terus menulis. Menulislah, tanpa beban macam-macam, termasuk ambisi menjadi bestseller. Seperti Haruki Murakami yang menulis buku pertamanya sekedar mengikuti kata hati. Seperti Dee menulis Supernova : Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sekedar untuk memberi kado ulangtahun ke-25 bagi diri sendiri. Keduanya tak dengan sengaja menulis untuk jadi bestseller. Dan ketika akhirnya menjadi seperti itu adalah buah dari kesungguhan mengkonkritkan apa yang abstrak. Tujuan tetap harus ada, terukur dan jelas, sehingga jalan menuju kesana terpetakan dengan mudah. Mengikuti dan memuaskan kata hati dan membuat kado untuk diri sendiri contohnya. Tapi beban wajib dihilangkan. Karena beban hanya akan membuat macet segalanya. Intinya mau jadi penulis ya menulislah. Tulis yang apa yang kita sangat ingin tulis. Tulis apa yang kita sangat ingin baca. Tulis saja, tak perlu menunggu alter ego muncul. Dan ketika itu terwujud maka yang terasa adalah kelegaan karena seakan telah menuntaskan gatal yang selama ini tak kunjung usai.

Soal ide bagaimana? Jangan memitoskan ide. Ide datang darimana saja. Tak perlu sibuk dengan ritual khusus untuk mencari ide termasuk semedi dan termenung-menung. Penulis adalah pengamat. Amati sekitar. Perluas medan kesadaran. Karena pada dasarnya menjadi kreatif bukanlah semuluk membuat sesuatu yang berbeda sama sekali dan belum pernah ada. Menjadi kreatif bisa berupa keluar dari rutin, menjadi yang bukan kita biasanya. Dan ide akan hadir dengan sendirinya. Ide datang bertubi-tubi ketika tengah berhasil fokus menulis? Tak masalah. Ide-ide itu bukan musuh yang merusak fokus kita. Mereka adalah teman. Kumpulkan saja dan catat. Masukan dalam celengan ide. Lalu kembali fokus pada yang mempunyai deadline di depan mata. Begitu deadline tercapai, buka celengan ide. Pilah-pilih ide-ide yang di dalam sana untuk proyek menulis selanjutnya. Jadi tak ada ide yang terbuang pecuma kan?

Ah, soal deadline juga dikulik secara khusus.  Tentukan deadline dan pegang komitmentnya. Deadline bukan untuk mengancam, tapi untuk memberikan kepastian bahwa tujuan akan tercapai. Pecah deadline menjadi satuan terkecil berupa target harian. Jadi semisal berniat membuat tulisan 25000 kata. Jelas bahwa setahun ada 52 minggu. Jadi seminggu tanggungan Cuma 500 kata. Kalau di-break-down lagi misal seminggu cuma menulis 5 hari saja maka sehari hanya harus menulis 100 kata. Bayangkan, cuma 100 kata sehari dan di tahun berikutnya sudah ada satu buku siap tangan! Ehmmm, kalau sudah begitu apa yang menakutkan dari sebuah deadline? Tak ada.
Meramu cerita. Bagian ini sangat menarik karena Dee mengingatkan pada kebencian bersama akan yang namanya kerangka karangan. Okay, baiklah, mari sadari bahwa kerangka karangan itu mutlak perlu ketika yang ditulis sepanjang novel. Biar bisa mulai mencintai kerangka karangan, mari sebut saja namanya jadi pemetaan. Bentuknya terserah masing-masing. Yang harus diingat adalah fungsi pentingnya yaitu sebagai pulau-pulau transisi. Ibarat renang jarak jauh, pulau transisi adalah tempat tempat perhentian sejenak agar tak kehabisan nafas. Pulau-pulau ini juga turut menjaga perenang tetap ada di dalam jalur menuju tujuan. Oh iya, buat pemetaannya berdasarkan struktur tiga babak, yaitu :
1.       Babak I, yang isinya segala macam ‘perkenalan’ juga ‘dunia yang seharusnya’. Ini adalah babak awal cerita
2.       Babak II terbagi dalam babak IIA dan IIB. Babak IIA adalah ketika konflik mulai merambat naik dan sang tokoh terlempar keluar zona amannya. Sementara babak IIB berisi pertikaian seru antara ‘dunia seharusnya’ versus ‘dunia yang tak seharusnya’
3.       Babak III adalah ‘jawaban’ atas semua pertanyaan atau persoalan yang telah dimunculkan dalam babak-babak sebelumnya. Bisa meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban di babak ini jika memang berencana membuat sekuelnya.
Dee punya cara jitu untuk pembabakan itu, yaitu divisualkan menjadi empat karton (I, IIA, IIB, III). Tempel keempatnya di dinding. Lalu setiap kali mendapatkan ide adegan, kalimat, kata, dialog, atau apapun, tuliskan di kertas post it, lalu tempelkan di karton pada babak mana itu akan kita taruh. Kenapa post it? Untuk memudahkan kita menukar atau mengatur ulang urutannya jika memang diperlukan. Praktis sekali!

Mau tips-tips lain? Pertama, teknik ciprat-ciprat. Apaan tuh? Ini teknik ajib menulis darimanapun. Tak perlu selalu dari depan ke belakang. Dari tengah pun boleh. Dari ujung akhir pun oke. Toh nanti bisa digabung-gabungkan dengan edit. Berikutnya riset. Riset tak selalu harus datang mendatangi obyek walau mungkin itu yang terbaik. Mendapatkan data bisa dilakukan dengan riset pustaka (termasuk film), browsing di internet, dan wawancara terhadap orang-orang yang berkompeten. Lalu padukan semuanya, uji kebenarannya, baru masukkan ke dalam cerita. Ingat selalu bahwa fiksi dengan penggabungan sedikit fakta akan meningkatkan kepercayaan pembaca. Risetlah untuk mendapatkan fakta-fakta yang akan menguatkan fiksimu. Verisimilitute. Buat cerita seakan nyata bagi pembaca, tak hanya dengan ramuan fakta, tapi juga melibatkan panca indera. Gunakan dan libatkan panca indera dalam menulis cerita dan ternyata indera penciuman paling kuat untuk merangsang pembaca berimajinasi. Terapannya bisa berupa deskripsi sesuatu tak hanya berdasarkan pengamatan mata tapi juga dari penciuman (bau, tekstur). Penting untuk membawa pembaca berimajinasi sebab bagaimanapun pembaca perlu ruang untuk membentuk sendiri bayangannya sendiri tanpa terlalu didoktrin penulis.

Sekarang tips tentang pembentukan karakter. Buat karakter yang masih lekat dengan ciri-ciri kemanusiawiannya. Artinya, dia punya kebiasaan, keistimewaan, dan juga kelemahan. Lalu buat dia beraksi. Karakter yang sama sekali sempurna seringkali malah tak dipercaya nyata oleh pembaca. Sementara karakter yang bersifat selfness dan berkorban justru sangat mudah menarik hati dan perhatian.

Sekarang tips pamungkas. Buat naskah rapi, baik dalam hal ketikan maupun tanda baca. Pastikan halaman pertama sudah mampu merebut hati penerbit atau dewan juri jika naskah itu akan dikirimkan ke penerbit atau kompetisi. Sebab untuk kondisi seperti ini halaman pertama adalah segalanya.

Nah, bagaimana? Sekarang merasa sangat berenergi untuk menuliskah? Itulah yang saya rasakan!


Untuk Dee, terima kasih pakai banget nget nget nget.... *bungkukin badan*. 
Terima kasih Bentang Pustaka.... *bungkukin badan lagi*.



Jumat, 27 Maret 2015

Yang Tak Akan Putus....

Dalam dua bulan ini saya menonton tiga film yang semuanya punya dua kesamaan, yaitu bicara tentang hubungan keluarga dan ceritanya benar menyentuh hati. Film-film tersebut adalah The Judge, After Shock, dan Still Alice. Mungkin sebenarnya menonton ketiganya adalah ketidaksengajaan karena toh alasannya juga beda-beda. The Judge memang saya tonton karena si pemain; Robert Downey Jr; adalah aktor gandrungan saya. Bukan secara kualitas akting, tapi lebih ke fisiknya .... Pendek kata, ganteng nian gitu lhooohh.... Sementara After Shock dikirimkan oleh seorang sahabat dengan embel-embel musti nonton karena efek buatan untuk peristiwa gempanya menurut dia bagus. Agak heran juga dengan kata pengantar itu karena toh saya bukan orang yang tergila-gila dengan efek-efek film seperti itu. Tapi saya tonton juga. Sementara Still Alice juga saya dapatkan dari sahabat yang lain sebagai gift bersama dua film lain berikut dua bungkus biskuit coklat yang enak. Dan sebenarnya film tersebut hanya sebagai pengganti karena film yang saya inginkan tak bisa didapatkannya.

Mulai dari The Judge ya. Ehmmmm, tak perlulah membahas betapa ganteng dan keren si RDJ di situ. Yang satu itu dikalahkan oleh makna dari keseluruhan cerita tentang hubungan ayah dan anak lelakinya. Seorang ayah pada dasarnya tak jauh beda dengan ibu. Ayah juga punya kecintaan terhadap anak-anaknya walau mungkin tak seekspresif ibu. Dengan caranya sendiri, seorang ayah mencintai dan melindungi keluarganya, bahkan terhadap anak yang dirasa tak mampu diatasinya sekalipun. Dan seperti biasa, butuh waktu bagi anak untuk mengerti semua itu dengan bijak. Dan sering waktu disini berarti belasan tahun.

After Shock. Saya tak tahu film ini diputar di bioskop Indonesia atau tidak. Saya meragukannya karena sebelumnya saya tak pernah mendengar judulnya dan lagi film ini produksi Tiongkok. Tapi mungkin juga saya salah. Film ini bercerita tentang akibat gempa besar di Tiongkok. Akibat tertimbun puing, seorang ibu harus memilih mana di antara dua anaknya yang diselamatkan karena tak mungkin menyelamatkan keduanya dalam kondisi minim bantuan dan tak ada alat berat. Sebuah permintaan yang muskil tapi harus diputuskan. Setelah mengulur waktu akhirnya sang ibu memilih menyelamatkan anak lelakinya yang berarti mengorbankan si anak perempuan. Putusan yang menyakitkan bagi semuanya, tak hanya bagi si ibu tapi juga untuk kedua anak yang di dalam puing masih mendengar itu. Mukjizat bekerja, si anak perempuan yang terpaksa ditinggalkan di bawah puing dan dikira mati ternyata bisa selamat ketika bala bantuan yang lebih besar dan lengkap datang. Namun pilihan sang ibu membuatnya memutuskan hidup tanpa keluarga kandungnya. Puluhan tahun kemudian baru terbukti tak ada yang menjalani hidup dengan normal dan bahagia setelah itu. Tidak sang ibu, tidak si saudara laki-laki, dan tentu tidak pula si anak perempuan.

Film ketiga, Still Alice, tentang seorang intelektual terkemuka, ahli linguistik yang kemudian mendapati dirinya mengidap alzheimer. Pukulan yang berat, tak hanya untuknya yang kasarnya mengandalkan kemampuan otaknya untuk bekerja. Dan lebih berat lagi ketika ternyata alzheimer yang dideritanya termasuk langka dan bisa menurun ke anak-anaknya. Tragedi berlanjut. Alice tak lagi punya kuasa atas memori di otaknya, semua hilang dengan bertahap tapi pasti. Saat seperti itulah kekuatan sebuah hubungan diuji. Kekuatan hubungan pernikahan dengan suaminya, kekuatan hubungan darah dengan anak-anaknya. Dan Alice termasuk yang menurut saya cukup beruntung dalam hal ini. Ada suami yang relatif tetap ada disampingnya, ada anak-anak yang dengan sadar pulang kepadanya.

Menonton ketiganya membuat saya tersindir, lalu diam-diam mengevaluasi hubungan dengan orangtua. Saya termasuk yang percaya bahwa hubungan orangtua dan anak itu hubungan tak putus. Naik turun iya, tapi tak akan putus. Saya melihat apa yang terjadi pada diri sendiri. Sungguh saya merasa bukan pribadi yang sama dengan yang dulu keluar dari rumah orangtua saya. Lebih dari dua puluh tahun hidup sendiri membuat saya berubah. Dan sebagai manusia biasa tentu tak semua perubahan itu baik. Salah satu yang menonjol adalah keras kepala dan temperamental. Saya sadar betul ini tapi juga kesulitan mengendalikannya. Ketika akhirnya memutuskan pulang kembali tinggal bersama orangtua, hal itu langsung terasa oleh orangtua saya. Dan terjadilah apa yang tadi saya sebut hubungan yang fluktuatif naik turun. Kadang saya percaya bahwa sebenarnya bukan cuma saya yang berubah, tapi orangtua saya juga. Tapi saya tak bisa memastikan itu. Yang jelas inilah saya sekarang. Saya tetap anak mereka walau sudah mengalami aneka ragam modifikasi sesuai masa hidup saya. Hal yang saya yakini tak terelakkan.

Yes, sampai detik ini saya berusaha memperbaiki diri demi hubungan yang harmonis dengan orangtua. Ah, mari saya luruskan dulu tentang kualitas hubungan yang saya maksud. Dari dulu memang saya bukan termasuk anak baik yang selalu patuh. Saya termasuk yang nakal walau masih jauh dari kriminal. Orangtua masih punya kekuasaan penuh atas saya dan mengakui itu. Lalu tiba saatnya untuk keluar dari rumah demi kuliah, terus bekerja dan mampu menghidupi diri sendiri. Apapun yang saya lalui selama kurun waktu itu membuat saya berproses menjadi pribadi hari ini. Dan saya percaya orangtua saya juga berproses ketika kami tak sedang bersama. Dan ketika berkumpul kembali jadinya mesti belajar lagi mengenali satu sama lain, memetakan perubahan yang terjadi. Lalu terjadi debat-debat yang dulu tak pernah terjadi. Tak sampai fatal, tapi bagaimanapun pasti menyisakan kecewa di masing-masing dari kami. Sungguh, sampai detik ini saya percaya it takes two to tango, butuh kontribusi dua belah pihak untuk mebuat hubungan yang harmonis. Tapi sungguh saya juga sadar posisi saya sebagai anak. Bukan posisi yang subordinat sebenarnya, hanya posisi yang membuat saya seharusnya lebih merendahkan ego karena mereka; orangtua saya; telah berbuat jauh lebih banyak ketimbang yang pernah saya lakukan untuk mereka. Balas budi? Saya termasuk yang tak percaya orangtua yang baik meminta balas budi dari anaknya. Tapi saya termasuk yang percaya seorang anak harus menghargai banyak hal yang dilakukan orangtuanya.

Sekali lagi, saya sangat percaya hubungan orangtua dan anak tak akan putus, hanya naik dan turun. Lihat contoh di adegan di The Judge ketika seorang Hank yang membenci ayahnya akhirnya luluh juga ketika mendapati yang dibenci bahkan tak cukup mampu membersihkan ceceran kotorannya sendiri. After Shock juga mencontohkan bagaimana seorang Deng berbalik membenci dirinya ketika melihat sang ibu menepati janji, puluhan tahun menaruh tomat di meja saji bersama dupa di depan foto ayah dan dirinya yang disangka telah mati. Lihat juga adegan terakhir di Still Alice yang menggambarkan Alice yang tak mampu lagi mengerti kata-kata Lidya dan ngawur menjawab bahwa apa yang diucapkan anaknya adalah tentang cinta. Dan Lidya pun menyetujuinya, yes, it’s about love.
 

Ya, ini adalah jenis cinta yang tak pernah putus, hanya saja seperti laut, dia mengalami pasang surut. Saya percaya ini. Setuju? 

gambar ilustrasi dipinjam dari http://www.clipartpanda.com/clipart_images/mother-daughter-conflict-56266909

Sabtu, 14 Maret 2015

Menanti Sebuah Grand Design

Judul  buku               : GELOMBANG
Pengarang                : Dee Lestari
Penerbit                     : Bentang
Tebal                          : x + 482 halaman
Cetakan                     : 2014




            Sampai hari ini, hanya satu buku yang sanggup memaksa saya untuk pre-order. Dan satu buku itu adalah Gelombang karya Dee Lestari. Ya, Gelombang, bukan sekuel-sekuel Harry Potter, bukan Inferno-nya Dan Brown. Dan begitu menyelesaikan halamana terakhir saya juga langsung mengirimkan kicauan pada sang penulis berupa pertanyaan dimana saya bisa pre-order sekuel selanjutnya. Cuma sayangnya tak dibalas.

            Dee Lestari, atau aslinya Dewi Lestari, termasuk yang disebut kalangan kritikus sebagai bagian dari sastra wangi ketika pertama kali muncul dengan Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Dan dari sekian para sastra(wan) wangi itu hanya Dee Lestari dan Ayu Utami yang saya ikuti sampai sekarang. Tapi bukan berarti saya selalu puas dengan semua buku Dee. Jujur saja, ketika banyak yang memuji Perahu Kertas, saya tidak termasuk di dalamnya walau tak juga bilang itu jelek. Saya cuma menganggap tidak menemukan seorang Dee yang sesungguhnya di dalam Perahu Kertas. Atau mungkin kalimat seharusnya adalah saya tidak menemukan Dee yang saya inginkan di dalam sana? Entahlah. Yang pasti, Dee yang sesungguhnya menurut saya dan tentu yang saya inginkan adalah Dee yang ‘melahirkan’ sekian keping Supernova.

            Kini Gelombang telah lahir. Begitu menerima dari kurir ekspedisi, saya tak tahan untuk segera menuntaskan semua tanggungan pekerjaan hari itu, lalu naik ke tempat tidur, menyangga kepala dengan tiga bantal, dan membacanya. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya (sehari lebih sedikit) walau sebenarnya saya berniat mengirit-irit. Hasilnya? Ehmmmmm ... ingin sekali melihat sosok hidup dari Alfa, dr Kalden, dan Nicky.

            Alfa dan dunia mimpinya lagi-lagi membius. Dan seperti sebelum-sebelumnya, saya mempercayai setiap kata yang ditulis oleh Dee. Membuat saya memandang tidur dan mimpi dengan persepsi yang berbeda dari biasanya. Tidur tak lagi sekedar rebah lalu vakum selama beberapa jam. Dan mimpi jadi tak lagi sekedar bunga dari tidur yang tak berarti banyak. Saya jadi kagum pada yang namanya tidur dan mimpi. Lalu bertanya-tanya, darimana Dee punya ide untuk menulis tentang dua hal itu? Dan selanjutnya, bagaimana dia bisa begitu pintar mengolahnya menjadi cerita ratusan halaman yang akhirnya membius saya? Bagaimana risetnya? Bagaimana mikirnya? Bagaimana...? Bagaimana ...? Berapa banyak bagaimana saya tak tahu persis. Yang pasti banyak!

            Tapi sebenarnya saya juga punya uneg-uneg tentang Gelombang walau tetap menyanjung dan menyukainya. Gelombang bagi saya agak terlalu kental kesamaannya dengan Partikel. Ketebalan yang mirip-mirip tentu tak masuk hitungan. Saya tak tahu apa sebutan yang tepat, yang pasti saya merasa menemukan pola yang sama dalam Partikel dan Gelombang, hal yang tak saya rasakan dalam tiga buku terdahulunya. Buku pertama, Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh jelas sekali beda. Mudah dipahami karena dia adalah buku pertama, ibarat peletak dasar segalanya. Lalu Akar, Petir, dan Partikel. Sampai empat buku saya tak merasakan rasa yang sama ataupun pengulangan. Sampai akhirnya Gelombang membuat saya merasakannya.

            Ya, saya merasakan Zarah dan Alfa punya banyak kesamaan. Keduanya punya sifat ngotot yang setara, juga kecerdasan di atas rata-rata. Jalan hidup yang digariskan untuk mereka juga tak berbeda: sukses di usia muda di negeri orang. Di Partikel Zarah punya Paul dan Zach sebagai teman-teman sejati. Sementara di Gelombang seorang Alfa punya Troy dan Carlos. Soal percintaan pun mirip. Lihat saja bagaimana Paul diam-diam berharap pada Zarah, persis seperti Nicky diam-diam berharap pada Alfa. Bahkan ada adegan ciuman yang lokasi dan adegan yang prinsipnya sama. Paul mencium Zarah di terminal bus lalu melangkah pergi. Sementara Nicky mencium Alfa di bandara lalu lari berurai air mata karena kesal. Dan bahkan pada prinsipnya Zarah dan Alfa sama-sama travelling ke dimensi lain.  Bukankah semua itu kesamaan?

            Anggap saja jawaban dari pertanyaan saya di atas adalah ya. Muncul pertanyaan berikutnya: untuk apa? Nah untuk pertanyaan lanjutan tersebut sementara seri lanjutannya; Inteligensi Embun Pagi; belum terbit saya merasa harus puas dengan jawaban rekaan sendiri yaitu karena Dee mendesainnya seperti itu. Ya, Dee menginginkan kesamaan itu. Secara keseluruhan saya yakin Dee telah membuat sebuah grand design untuk Supernova. Grand design itu dituangkan detail-detailnya dalam lima buku yang telah lahir. Ibarat sebuah desain rumah, lima buku itu adalah ruang-ruang di dalamnya. Mereka mungkin mewakili ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur, dan kamar mandi. Keterhubungannya  membentuk sebuah rumah. Ketika masih berada dalam tiap-tiap ruang, tentu tak terlihat bentuk rumah itu. Baru ketika keluar dan menjelajah, lalu berdiri di halamannya maka tampaklah rumah utuh itu. Bisa jadi saat itu adalah ketika Inteligensi Embun Pagi lahir.


            Ya, apapun kesan saya setelah membaca Gelombang, saya tetap yakin semuanya by design, bukan kecelakaan tak terencana. Artinya itu adalah pertanda yang ditebar Dee demi menuju ke grand design yang telah disiapkannya. Semua ada artinya, semua ada alasannya. Saya yakin Dee menghidupkan semua karakternya dengan peran uniknya masing-masing. Dan semuanya akan terlihat pada waktunya. Yes, in Dee I trust. 

Jumat, 06 Februari 2015

A FORT OF NINE TOWERS ~ Review Buku

Judul  buku               : A FORT OF NINE TOWERS
Pengarang                 : Qais Akbar Omar
Penerbit                    : Picador
Tebal                        : 396 halaman
Cetakan                    : 2014


Seorang teman memberikan buku ini kepada saya dengan keterangan bahwa dia sendiri belum sempat membacanya. Bukan hal biasa sebenarnya karena dia adalah termasuk yang sangat rajin membaca. Tapi, lanjutnya, dia yakin buku ini bagus karena ada komentar seorang Khaled Hosseini yang berbunyi ‘poetic, powerful, and unforgettable’ di sampul depan. Kami berdua sama-sama menggemari Khaled Hosseini dan ucapannya membuat saya paling tidak enam puluh persen percaya buku tersebut layak dibaca. Dan jujur saja, ketika mulai membacanya, saya tak tahu bahwa ini sebuah memoar. Sampai hampir sepertiga buku saya masih mengira buku ini adalah sebuah novel. Baru setelahnya saya sadar yang sedang saya baca adalah sebuah memoar dari si penulis. Dan sejak itu pula cara saya memandang buku ini jadi berbeda, karena bagaimanapun sebuah memoar jauh berjarak dengan sebuah novel yang fiksi.

Qais memulai ceritanya dengan hanya sekilas kehidupan masa kininya, dan langsung flash back ke masa ketika umurnya tujuh tahun. Masa yang digambarkan sebagai masa yang penuh kebahagiaan. Berasal dari keluarga terhormat dan berada, Qais kecil tinggal di rumah kebun yang dibangun oleh kakeknya di kawasan pegunungan kota Kabul Afganistan. Disitu Qais dan keluarga besar ayahnya tinggal dengan sang kakek sebagai magnet utama. Gambaran masa kanak bersama sepupu-sepupu laki-laki lengkap dengan layang-layangnya langsung mengingatkan saya pada masa kecil Amir dan saudara tirinya Hasan dalam Kite Runner karya Khaled Hosseini. Sama sekali bukan kemiripan yang mengganggu mengingat keduanya menggunakan latar belakang tempat dan kurun waktu yang saya rasa tak jauh beda. Dan masa kecil yang indah itu akhirnya koyak oleh perang saudara yang pecah di Afganistan, seiring dengan pecahnya Mujahidin yang saat itu berkuasa menjadi faksi-faksi atas dasar etnis dan pandangan politik yang bertikai satu sama lain. Langit kota Kabul tak lagi indah berhias layang-layang, tapi berganti dengan roket yang bisa datang kapan saja, mendarat di mana saja, dan menghancurkan apa saja.

Perang memaksa keluarga Qais meninggalkan rumah kebun kebanggaan mereka. Tempat pengungsian pertama adalah sebuah rumah benteng yang konon mempunyai sembilan menara ketika pertama kali dibangun lebih dari seabad yang lalu, Qala-e-Noborja (fort of nine towers). Dan bahkan di benteng dengan dinding tinggi itu pun mereka tak mendapatkan sekedar keamanan. Qais sekeluarga berubah menjadi keluarga nomaden yang berpindah dari satu tempat ke lainnya, berdesakan dalam sebuah mobil Volga hanya demi bertahan hidup. Perjalanan panjang yang berawal di Qala-e-Noborja; dan kelak berakhir di tempat yang sama; tak hanya memberikan pelajaran hidup bagi Qais, tapi juga membantunya memahami diri juga negaranya, Afganistan.

Perang memang tak pernah membawa kebahagiaan. Pun ketika dikatakan perang adalah jalan terjal menuju perdamaian, tetap saja menyebabkan luka-luka fisik dan yang lebih parah lagi luka-luka batin yang sulit terobati. Dan selalu rakyat yang paling banyak menjadi korban. Lebih ironis lagi, perang saudara kerap membuat rakyat tak sepenuhnya mengerti apa yang dipertikaikan dan bagaimana harus bersikap. Perbedaan, semisal etnis, pada tataran jelata yang tak bersentuhan langsung dengan tampuk kekuasaan sering tak berarti banyak. Namun di tangan pemegang kekuasaan atau yang berambisi untuk berkuasa, adalah hal krusial yang berarti segalanya, bahkan setara dengan pertumpahan darah.  

Membaca memoar ini, saya seakan disadarkan kembali betapa manusia adalah makhluk yang begitu susah untuk menghargai perbedaan. Selalu ada perbedaan yang pada akhirnya memicu perang. Sejarah dunia membuktikan hal itu. Tapi tetap manusia tak juga menjadi cukup pintar ketika dihadapkan kembali dengan persoalan yang sama. Perang, perang, dan perang nyaris terus dianggap sebagai solusi.

Ada hal yang menggelitik saya dalam buku ini. Yaitu kalimat yang diucapkan oleh ayah Qais, “We have long tradition of raiding and plundering each other. But two things unite us: love for Allah, and hatred for our invaders and enemies.....”. Pada akhirnya selalu ada yang menyatukan sebuah bangsa. Namun saya jadi berpikir betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah persatuan jika itu harus menunggu adanya pihak luar yang datang menyerang.

Secara keseluruhan buku ini memang terasa senada dengan karya fiksi Khaled Hosseini. Senada juga keberpihakan keduanya. Namun sebagai memoar, buku ini tetap mempunyai tempat yang berbeda karena perekam semua kejadian adalah mata, telinga, dan hati Qais Akbar Omar sebagai saksi hidup dalam satu babak sejarah sebuah negara bernama Afganistan.