Sabtu, 31 Oktober 2015

MAJEK

Satu kegiatan yang jamak diperani ibu-ibu seangkatan saya adalah menjadi majek. Majek alias mama ojek yaitu mengantar jemput anak-anaknya kemana saja, tak cuma ke sekolah tapi juga les ini itu, belajar kelompok, ekskul, dan sebagainya. Seorang teman yang anaknya lebih dari dua dengan umur yang berbeda-beda bisa kisaran lima kali sehari pulang pergi karena masing-masing anak punya jadwal kegiatan sendiri-sendiri yang bisa berarti beda jam dan beda tempat. Capek nggak, begitu tanya saya. Katanya capek juga sih, tapi mau bagaimana lagi wong memang kondisinya begitu. Katanya untung dia tak kerja kantoran jadi gampang saja melakukan yang begitu. Tapi tak kerja kantoran bukan berarti dia tak bekerja lho. Si ibu ini punya kegiatan usaha di rumah dan tak punya asisten rumah tangga. Dan tugas ngojek ini tak bisa dibagi dengan sang bapak karena beliaunya mengantor yang tentu tak memungkinkan untuk keluar seenak udelnya.

Saya jadi membandingkan kondisi ini dengan jaman saya sekolah TK, SD, SMP, dan SMA puluhan tahun yang lalu. Tua amat yaaaa...? Hahahahaha.... Saya menghabiskan keempat masa sekolah itu di kota kecil, cuma sebuah kabupaten yang sedang-sedang saja tingkat keramaiannya. Saya ingat betul jaman TK orangtua mengabonemenkan becak untuk kami bertiga. Waktu itu kedua kakak saya sudah masuk SD. Untuk menghemat tenaga pak tukang becak karena jarak rumah dengan sekolah lebih dari lima kilometet, saya mesti ikut berangkat pada jam yang sama dengan kedua kakak berangkat walau sebenarnya jam masuk saya setengah jam lebih lambat dari mereka. Cuma pulangnya saya dijemput sendiri. Terus waktu SD hanya sebentar  abonemen becaknya. Sebab keluarga kami pindah ke kota lain dan sekolah jadi lebih dekat. Kedua kakak diijinkan untuk berangkat sendiri bersama teman-teman mereka. Sementara saya masih naik becak tapi tidak abonemen. Masuk kelas tiga, seingat saya makin jarang naik becak, dan lebih sering pergi bareng dengan kakak, jalan kaki. Waktu seumur itu saya tak punya kegiatan kursus atau les seingat saya. Paling belajar atau tugas kelompok yang sering-sering dikerjakan di rumah saya dengan teman-teman datang bersepeda. Mulai kelas lima saya sudah diijinkan untuk berjalan atau bersepeda sendiri ke sekolah. Kakak-kakak sudah masuk SMP waktu itu. SMP dan SMA juga saya lakoni dengan berjalan kaki dan bersepeda, dan semakin banyak teman seperjalanan.

Seperti saya bilang, saya tak sendirian. Banyak teman saya melakukan hal serupa. Sebagian malah dengan jarak rumah yang berlipat-lipat lebih jauh. Ada yang rumahnya berjarak lebih dari dua belas kilometer dari sekolah dan dilakoni dengan sepeda onthel karena memang tak ada kendaraan umum yang bisa digunakan. Alhasil setiap kali sampai sekolah rata-rata punggung mereka basah dan bedaknya luntur. Tapi ya dilakoni terus wong namanya nggak ada pilihan lain. Pernah satu kali saya bersepeda ke rumah teman yang jauhnya kisaran sepuluh kilometer dari rumah saya. Waktu itu sekolah masuk siang dan harus membawa kecebong untuk pelajaran biologi. Karena tak menemukan kecebong di sekitar rumah, nekadlah saya ke rumah teman tersebut. Lumayan juga pegalnya mengayuh pedal dua kali sepuluh kilometer. Lha padahal teman saya melakoninya setiap hari, bisa dalam kondisi panas terik ataupun hujan deras. Mengingat iku sekarang saya jadi begitu salut pada mereka. Mengayuh sepeda duapuluhan kilometer sehari demi sekolah tentu belum apa-apa karena sekarang pun kenyataannya masih banyak anak-anak di negeri ini yang mesti melintasi jembatan yang nyaris ambrol atau berjalan kaki puluhan kilometer. Tapi membandingkannya dengan mereka yang diantar jemput dengan majek tentu terasa lain.


Hai, jangan salah ya, saya tidak sedang menjustifikasi mereka yang punya fasilitas majek itu bagaimana bagaimana. Tidak, sama sekali bukan begitu. Saya sekedar membandingkan apa yang saya alami dulu dengan saat ini. Sejak dua tahun lalu saya kembali ke kota yang sama dengan yang saya tinggali ketika jaman SD hingga SMA. Memandangi kembali bekas sekolah saya yang sekarang lebih mentereng membuat teringat semua itu. Tapi di jalan-jalan tak lagi banyak saya temui pelajar bersepeda, apalagi berjalan. Bersepeda masihlah ada, tapi tak sebanyak dulu jaman saya. Kalau yang berjalan, ehmmmmm kok rasanya tak pernah lagi ya menemukannya? Pelajar-pelajar SMU rata-rata sudah mengemudikan motor sendiri. Beberapa malah mengendarai mobil. Sementara yang lebih muda ya itu tadi, pakai layanan majek, mama ojek.