Satu kegiatan yang jamak diperani ibu-ibu seangkatan saya adalah menjadi majek.
Majek alias mama ojek yaitu mengantar jemput anak-anaknya kemana saja, tak cuma
ke sekolah tapi juga les ini itu, belajar kelompok, ekskul, dan sebagainya.
Seorang teman yang anaknya lebih dari dua dengan umur yang berbeda-beda bisa
kisaran lima kali sehari pulang pergi karena masing-masing anak punya jadwal
kegiatan sendiri-sendiri yang bisa berarti beda jam dan beda tempat. Capek
nggak, begitu tanya saya. Katanya capek juga sih, tapi mau bagaimana lagi wong
memang kondisinya begitu. Katanya untung dia tak kerja kantoran jadi gampang
saja melakukan yang begitu. Tapi tak kerja kantoran bukan berarti dia tak
bekerja lho. Si ibu ini punya kegiatan usaha di rumah dan tak punya asisten
rumah tangga. Dan tugas ngojek ini tak bisa dibagi dengan sang bapak karena
beliaunya mengantor yang tentu tak memungkinkan untuk keluar seenak udelnya.
Saya jadi membandingkan kondisi ini dengan jaman saya sekolah TK, SD, SMP,
dan SMA puluhan tahun yang lalu. Tua amat yaaaa...? Hahahahaha.... Saya
menghabiskan keempat masa sekolah itu di kota kecil, cuma sebuah kabupaten yang
sedang-sedang saja tingkat keramaiannya. Saya ingat betul jaman TK orangtua
mengabonemenkan becak untuk kami bertiga. Waktu itu kedua kakak saya sudah
masuk SD. Untuk menghemat tenaga pak tukang becak karena jarak rumah dengan
sekolah lebih dari lima kilometet, saya mesti ikut berangkat pada jam yang sama
dengan kedua kakak berangkat walau sebenarnya jam masuk saya setengah jam lebih
lambat dari mereka. Cuma pulangnya saya dijemput sendiri. Terus waktu SD hanya
sebentar abonemen becaknya. Sebab
keluarga kami pindah ke kota lain dan sekolah jadi lebih dekat. Kedua kakak
diijinkan untuk berangkat sendiri bersama teman-teman mereka. Sementara saya
masih naik becak tapi tidak abonemen. Masuk kelas tiga, seingat saya makin
jarang naik becak, dan lebih sering pergi bareng dengan kakak, jalan kaki.
Waktu seumur itu saya tak punya kegiatan kursus atau les seingat saya. Paling
belajar atau tugas kelompok yang sering-sering dikerjakan di rumah saya dengan
teman-teman datang bersepeda. Mulai kelas lima saya sudah diijinkan untuk
berjalan atau bersepeda sendiri ke sekolah. Kakak-kakak sudah masuk SMP waktu
itu. SMP dan SMA juga saya lakoni dengan berjalan kaki dan bersepeda, dan
semakin banyak teman seperjalanan.
Seperti saya bilang, saya tak sendirian. Banyak teman saya melakukan hal
serupa. Sebagian malah dengan jarak rumah yang berlipat-lipat lebih jauh. Ada yang
rumahnya berjarak lebih dari dua belas kilometer dari sekolah dan dilakoni
dengan sepeda onthel karena memang tak ada kendaraan umum yang bisa digunakan. Alhasil
setiap kali sampai sekolah rata-rata punggung mereka basah dan bedaknya luntur.
Tapi ya dilakoni terus wong namanya nggak ada pilihan lain. Pernah satu kali
saya bersepeda ke rumah teman yang jauhnya kisaran sepuluh kilometer dari rumah
saya. Waktu itu sekolah masuk siang dan harus membawa kecebong untuk pelajaran
biologi. Karena tak menemukan kecebong di sekitar rumah, nekadlah saya ke rumah
teman tersebut. Lumayan juga pegalnya mengayuh pedal dua kali sepuluh kilometer.
Lha padahal teman saya melakoninya setiap hari, bisa dalam kondisi panas terik
ataupun hujan deras. Mengingat iku sekarang saya jadi begitu salut pada mereka.
Mengayuh sepeda duapuluhan kilometer sehari demi sekolah tentu belum apa-apa
karena sekarang pun kenyataannya masih banyak anak-anak di negeri ini yang
mesti melintasi jembatan yang nyaris ambrol atau berjalan kaki puluhan
kilometer. Tapi membandingkannya dengan mereka yang diantar jemput dengan majek
tentu terasa lain.
Hai, jangan salah ya, saya tidak sedang menjustifikasi mereka yang punya
fasilitas majek itu bagaimana bagaimana. Tidak, sama sekali bukan begitu. Saya sekedar
membandingkan apa yang saya alami dulu dengan saat ini. Sejak dua tahun lalu
saya kembali ke kota yang sama dengan yang saya tinggali ketika jaman SD hingga
SMA. Memandangi kembali bekas sekolah saya yang sekarang lebih mentereng
membuat teringat semua itu. Tapi di jalan-jalan tak lagi banyak saya temui
pelajar bersepeda, apalagi berjalan. Bersepeda masihlah ada, tapi tak sebanyak
dulu jaman saya. Kalau yang berjalan, ehmmmmm kok rasanya tak pernah lagi ya menemukannya?
Pelajar-pelajar SMU rata-rata sudah mengemudikan motor sendiri. Beberapa malah
mengendarai mobil. Sementara yang lebih muda ya itu tadi, pakai layanan majek,
mama ojek.