Senin, 04 Juni 2012

Mengunyah

Semalam saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah novel yang kisahnya based on true story. Sebenarnya semacam riwayat hidup dari seseorang. Penulisanya termasuk sastrawan terkenal, dan jujur saya sangat menyukai cara menulisnya. Cuma kali ini saya tak hendak mengomongkan cara menulisnya yang menurut saya yahud itu. Saya mau mengomongkan isinya.

Ada bagian-bagian dari buku itu yang menurut saya begitu bebas. Maksudnya cara berpikir tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Mereka menafsir hidup, agama, dan Tuhan sesuai logika mereka sendiri dibantu dengan bahan bacaan sana-sini dan pengalaman hidup pribadi dan orang lain. Mereka berpikir dan menafsir dengan begitu mandiri. Dan saya tercenung. Sebelumnya, saya bertemu kembali dengan seorang teman lama jaman SMA. Dulu sebenarnya kami tidak terlalu dekat. Malah saya cenderung agak takut dengannya karena orangnya tipikal yang bisa ngomong tanpa tedeng aling-aling. Lalu kami bertemu lagi lewat media jejaring sosial. Dan entah bagaimana prosesnya, tahu-tahu kami malah dekat. Sering ngobrol-ngobrol secara maya sampai dini hari. Dan salah satu yang menarik bagi saya adalah kekritisannya terhadap hidup, agama, dan Tuhan. Kritis, logis, dan mandiri. Sungguh ini hal yang baru bagi saya. Tapi dengan tertawa dia bilang yang begitu sudah dilakoni oleh banyak orang, dia bukan yang pertama. Ada banyak komunitasnya juga. Dia membagi informasi referensi yang digunakan untuk itu. Banyak sekali. Dan juga porsi mikirnya juga banyak. Perlu merenung, mengendapkan pikiran. Tak perlu terburu-buru atau grusa-grusu dalam berpikir. Tapi harus berani. Demikian katanya. Dan saya tercenung. Saya bukan orang yang religius sekali. Iman saya naik turun, pasang surut. Menurut saya, saya tidak pernah belajar agama secara khusus dan intensif ataupun diformalkan. Benar saya pergi mengaji ketika kecil dulu. Tapi juga tak jadi pinter mengaji. Saya mempelajari agama saya dengan semangat yang hangat-hangat tahi ayam. Kadang punya semangat yang tinggi sekali, tapi lain waktu ngelokro seperti sarung tanpa pemakai. Dengan segala kekurangan itu saya berkehidupan, beragama, dan ber-Tuhan. Dengan segala kekurangan itu saya memaknai hidup, mencoba menjadi umat, dan menyembah Tuhan saya. Saya bukan penafsir, bukan pemikir. Saya mikirnya sepotong-sepotong. Kadang lain waktu segera ketemu dengan potongan berikutnya. Ada juga yang cuthel hingga sekarang. Saya bukan pemikir mandiri. Juga bukan orang yang gelisah mencari. Saya tidak banyak merenung ini itu. Sering saya mendoktrin diri sendiri ketika alasan logis di otak tak saya temukan tapi jelas tertulis di kitab suci yang saya yakini. Saya juga mengikuti kyai tertentu dan juga dengan sadar memilih mereka berdasarkan penilaian saya terhadap isi penyampaian mereka. Sekali lagi, saya membuat penilaian, tapi sangat terbatas dan tidak kritis. Saya juga sering diam-diam berbeda pendapat dengan penilaian kyai terkenal untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi di depan mata. Misal ketika ada pengeboman, kyai ini berkata A, kyai itu berkata B, masyarakat bilang C, dan saya pribadi dalam diam berpendapat D. Soal hijab, poligami, FPI, dan Lady Gaga juga begitu, saya punya pendapat sendiri. Dari semua itu, tetap saja satu hal yang jelas : saya bukan penafsir. Buah pikiran saya dangkal-dangkal saja. Kalaupun agak berbeda tapi tetap tidak sampai 180 derajat. Juga jauh dari otentik. Dengan segala kekurangan itu, saya menempatkan Tuhan saya dalam posisi yang sakral, tentu kadarnya juga menurut pribadi saya.

Jadi ada para penafsir di luar sana. Jujur saya salut dengan orang-orang yang berani seperti mereka. Salut mereka bisa teguh mengikuti pikiran dan naluri mereka, tak peduli tak ada seseorangpun yang memimpin atau meyetujui. Saya suka mendengarkan teman saya menguraikan isi kepalanya. Lepas dari setuju atau tidak, saya senang mendengar dan menanggapinya. Kadang saya malah mengorek-ngorek agar pikirannya keluar. Saya juga mencari dan membeli buku-buku yang dia sebutkan. Untuk mengerti jalan pikiran gelisahnya. Dan saya lakukan itu dengan sadar.

Tapi di sisi lain saya juga gamang. Semalam setelah menuntaskan membaca buku tsb, saya berpikir tak tentu arah. Bukan masalah saya menyalahkan ataupun membenarkan mereka. Saya cuma ingin mereka yang membaca juga menggunakan otaknya untuk mengunyah. Jadi bukan sekedar mengangguk, mengacungkan jempol, dan mengikuti. Mengunyah terlebih dahulu akan membuat ada proses berpikir. Juga check and recheck. Jadi bukan satu bentuk kesilauan terhadap sebuah opini. Bagi saya soal setuju atau tidak, menyalahkan atau membenarkan, itu urusan nanti. Itu cuma salah satu bentuk output setelah proses mengunyah tadi.

Jadi intinya, setelah menuntaskan buku semalam, saya mengunyah .......