Saya baru menyadari satu fenomena menarik yang terjadi hampir tiap hari di
halaman belakang rumah orangtua saya. Halaman tersebut sejak beberapa tahun
terakhir seluruhnya ditutupi paving stone, hal yang sebenarnya saya kurang
setuju karena alasan kasihan tanah jadi kurang mendapatkan asupan air. Tapi ya
bagaimana lagi, wong pemegang hak milik menghendaki demikian dengan alasan
praktis lebih gampang membersihkannya juga tidak licin ketika hujan. Nah, di
area ini ternyata setiap hari ada saja lebah kecil yang datang menyambangi.
Mereka kadang datang berdua atau bertiga, terbang rendah, lalu hinggap di
lantai. Ketika saya perhatikan ternyata mereka datang untuk meminum air yang
kami tumpahkan ketika berwudlu, mencuci, atau kegiatan lain yang menggunakan
air. Mereka meminum air yang mengalir ke celah antara paving stone. Terakhir
ketika saya lihat lebah-lebah kecil itu terbang berputar-putar tanpa landing,
saya sadari lantai itu kering kerontang. Lalu saya buka kran dan menggenangkan
sedikit air. Lebah-lebah itu rupanya sadar apa yang mereka cari telah tersedia.
Segera mereka turun mendekat ke salah satu celah dan minum. Soal dari mana
datangnya mereka, dan dimana sarangnya, tak seorangpun dari kami penghuni rumah
yang tahu.
Ah, memikirkan sarang lebah, tiba-tiba terbersit pikiran dalam benak saya.
Madu. Ehmmmm manisnya enak sekali untuk dioles ke permukaan roti tawar, atau
sekedar dicampur dengan teh panas sebagai pengganti gula. Tergoda juga untuk
mencari dimana sarang lebah-lebah yang mampir minum itu, siapa tahu mereka
sudah punya simpanan madu yang banyak. Tapi entah kenapa saya jadi berpikir,
betapa kasihan jika ketika mereka pulang dan menemukan sarangnya hilang berikut
dengan simpanan si manis madu itu. Betapa sedihnya. Saya jatuh kasihan. Sebab,
bukankah lebah dikenal sebagai hewan pekerja yang rajin? Kasihan kan kalau itu
terjadi pada mereka? Tapi sampai disitu saya sadar, bahwa itulah yang selama
ini terjadi. Para lebah bekerja keras, lalu saya dan manusia lainnya yang
menikmatinya. Ehmmm.... kasihan ya.... Tapi kalau enggak gitu ya gimana dong?
Ga minum madu dong? Wahhh syusyah.....
Pikiran tentang lebah mengingatkan saya pada seorang teman yang begitu
cinta pada hewan, terutama anjing dan kucing. Saya ingat betul dia pernah
berkata dia lebih mencintai para hewan tersebut ketimbang manusia. Karena hewan
tak pernah neko-neko, tak pernah
tendensius, beda sangat dengan manusia. Pernah satu hari teman saya ini sedang
jalan di tengah kota, lalu masuk ke sebuah restoran cepat saji, memesan seporsi
dada ayam. Jelas saya heran karena tahu persis dia bukan penyuka junk food
seperti itu. Ternyata dia memberikan makanan itu kepada seekor anjing kampung
yang tak tampak lapar dan kurang terawat. Pada kesempatan lain, ketika dengan
beberapa teman saya berinisiatif mengumpulkan dana bantuan untuk korban bencana
alam dan saya meminta donasi darinya, sambil memberikan uang dia mengusulkan
agar kami juga mengurusi hewan-hewan yang terlantar akibat bencana tersebut.
Dia berkomitmen akan menambah jumlah donasi jika kami bersedia melakukannya.
Sayangnya ide tersebut tak bisa kami lakukan karena untuk penyaluran sumbangan
ke lokasi pun kami meminta bantuan relawan yang lebih profesional mengingat
keterbatasan tenaga dan kemampuan kami. Saat yang lain lagi, teman saya ini
berduka dengan dalam ketika kucing peliharaannya meninggal. Saat yang lain, dia
malam-malam sambil menangis, sibuk mencarikan ‘orang tua asuh’ untuk kucing
sakit yang ditemukannya di jalan. Semuanya membuat saya bertanya pada diri
saya, kok saya enggak begitu ya?
Ya, memang saya bukan pecinta hewan yang militan. Saya tega membunuh nyamuk
dengan raket listrik. Saya mampu menginjak dengan mantap seekor kecoak karena
dia berani mencoba masuk ke kamar saya. Saya bisa dengan jengkel menyemprotkan
air ke arah dua kucing yang berkelahi malam-malam dan membuat saya terbangun.
Saya enteng-enteng saja menyapu semut yang mengerubungi cemilan saya.
Ehmmm..... bukan pecinta hewan ya? Eh tapi dulu waktu kecil saya punya anjing
dan kucing yang saya sayangi lho.... Yang masih saya ingat nama anjing-anjing
saya dulu Blacky, Asta, dan Dino. Sebenarnya ada lagi yang lain tapi lupa
namanya. Sementara kucing saya memeliharanya ketika remaja. Nama-namanya saya
lupa sama sekali karena untuk kucing sering sekali berganti. Saya ingat betul betapa
saya menangis ketika mereka hilang atau meninggal. Sumpah, saya menangis.
Karena selama itu saya tidak hanya berbagi makanan dengan mereka , tapi juga
kerap mengeloninya. Masih belum termasuk pecinta binatang ya?
Teman saya ini satu hari dengan panjang lebar bertutur mengapa dia begitu
sayang pada binatang. Alasan utama seperti yang saya sampaikan di atas. Katanya
hewan juga punya perasaan. Ketika kita memberikan cinta, mereka akan
membalasnya. Mereka juga bisa sakit hati ketika kita manusia memperlakukan
mereka dengan semena-mena. Hewan, tumbuhan, dan alam ini memang boleh dinikmati
oleh manusia. Tapi ga boleh serakah. Ga boleh semena-mena. Ga boleh menindas. Kalaupun
mengkonsumsi mereka, manusia tak boleh berlebihan, tak boleh rakus, dan harus
dilakukan dengan cara yang baik. “Coba bayangkan kalau ayam yang pahanya kau
makan itu tak ikhlas dengan perbuatanmu.... Bagaimana?” katanya. Wah saya tak
punya jawaban untuk pertanyaan itu. Pertanyaannya mengingatkan saya pada sebuah
adegan di film sains fiksi Alvatar, ketika seorang perempuan Pandora meminta
maaf dan menenangkan hewan yang tengah berhadapan dengan maut akibat tebasan
senjata kawannya. Adegan itu lekat di pikiran saya, dan kini tampak begitu
relevan dengan pertanyaan teman saya tadi. Lalu saya jadi tersadar juga betapa
kita sebagai manusia suka sekali mem-PHP (memberi harapan palsu) pada para
binatang itu. Contohnya ikan. Kita beri mereka tempat yang nyaman, makanan yang
cukup sehingga menjadi gemuk dan berkembang biak. Tapi ujung-ujungnya ya tetap
saja ke panci atau wajan kita sendiri. Coba pikir seandainya para ikan itu
cukup punya otak dan daya untuk menolak tindakan PHP itu. Mungkin mereka akan
mencibir sambil bilang ‘halah nipu!’. Atau mungkin mereka malah bakal bunuh
diri dengan racun kuat agar kita tak bisa memakan dagingnya. Nah, kalau sudah
begitu makan apa dong saya .....?
Yes, saya memang bukan pecinta hewan yang militan. Tapi rasanya saya cukup
tersenggol dengan itu semua. Ketika ada cacing tanah di lantai kamar mandi,
saya mengusirnya dengan siraman air. Ketika ada ada kecoak melintas di halaman
dan tak menuju ruang dalam, saya tak menginjaknya. Saya juga tak dendam ketika
tangan dan kaki saya dihiasi bercak-bercak merah hasil karya para nyamuk. Tempo
hari ketika ibu meminta saya untuk memotong-motong seekor ayam yang telah bersih,
saya melakukannya dengan hati digayuti rasa kasihan yang membuat saya berucap
permintaan maaf kepada sang ayam karena saya butuh melakukannya untuk bisa
mendapatkan sepanci kare lezat.....