Minggu, 27 Maret 2016

Seplastik Beras

Satu siang kisaran seminggu lalu, saya mendatangi area parkir sebuah kantor yang sekaligus jadi area berinternet gratis, dengan maksud mencari seorang teman. Setelah celingak-celinguk di setiap meja orang yang saya cari tak ada. Padahal sebelum meluncur tadi saya sempat bertelepon dengan ibunya dan mendapat informasi dia sedang berinternet disitu. Mungkin masih dalam perjalanan, begitu pikir saya. Jadilah saya pergi dulu ke toko beras, membeli dua kantong beras titipan ibu saya. Dengan dua plastik beras di bagian pijakan kaki motor, saya kembali masuk ke area parkir kantor tersebut, kembali celingak-celinguk mencari wajah yang saya kenal. Hasilnya kembali nihil. Mungkin masih di perjalanan karena mampir terlebih dulu ke satu tempat, begitu pikir saya sambil memarkir motor dan duduk di bangku. Bangku dan motor cuma berjarak kisaran 2.5 meter saja. Sempat terpikir masuk ke ATM sembari menunggu tapi urung karena ingat mesin tersebut hanya menyediakan pecahan seratus ribuan sementara yang saya butuhkan lima puluh ribu saja. Tak sampai lima menit menunggu telepon saya bergetar, ibu teman saya mengabarkan bahwa ternyata anaknya tidak keluar rumah untuk berinternet. Tapi beliau juga tak tahu kemana. Akhirnya saya bertitip pesan kepada beliau agar memintanya menghubungi saya ketika sampai di rumah nanti. Motor saya tunggangi kembali dan keluar dari area parkir tersebut. Satpam menatap dengan pandangan agak aneh begitu saya melewatinya. Maaf Pak, saya memang tak bermaksud ngenet, makanya nggak bawa piranti kayak yang lainnya, jadi nggak perlu heran deh.

Tujuan berikutnya adalah ATM di pelataran bank. Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat pertama. Jadi sebentar saja sudah sampai. Dan hal yang mengejutkan saat memarkir motor di depan deretan mesin ATM itu adalah beras saya tinggal satu plastik saja. Kaget dan tak mempercayai pandangan mata sendiri membuat saya membolak-balik sekantong beras itu. Memang tinggal satu adanya. Berarti hilang satu. Dimana hilangnya? Saya yakin sekali keluar dari toko beras tadi mengangkut dua kantong plastik. Yakin karena keduanya membuat kaki saya susah mendapatkan pijakan. Yakin karena sebelum masuk ke area ngenet tadi saya sempat melihat lagi dua plastik beras dengan sedikit malu karena di saat yang lain menggendong laptop dengan bangga eh saya malah membawa masuk beras. Berarti hilangnya di pelataran ngenet tadi. Lha kapan? Berarti pas motor terparkir, berjarak kisaran 2.5 meter dari bangku yang saya duduki tadi. Lha kok bisa kan dekat sekali? Lha embuh! Perhatian saya memang teralihkan ketika menerima telepon. Tapi tak lama, beberapa menit saja. Dan banyak orang di area tersebut walau mereka sibuk dengan piranti masing-masing. Sebagian malah ada yang duduknya menghadap ke arah saya. Berarti mereka mestinya tahu ketika seseorang mengangkut sekantong beras dari motor yang saya parkir. Ya, seharusnya mereka tahu.

Jelas saya jengkel sekali dengan kejadian itu. Ke ATM yang seharusnya hanya untuk mengambil uang demi keperluan mengirim paket akhirnya mesti bertambah jumlahnya untuk mengganti beras yang hilang tadi. Padahal saya sedang memberlakukan kebijakan uang ketat terhadap diri saya sendiri. Tapi mau apalagi? Toh, berasnya sudah kadung melayang, sementara tak mungkin memberikan kepada ibu saya sekantong saja sambil berkata yang sekantong hilang. Dengan dongkol saya kembali ke toko, membeli seplastik lagi,  lalu menyerahkannya kepada ibu saya tanpa cerita tentang seplastik lain yang baru saja raib.

Kenapa beras saya hilang? Apakah saya telah teledor dalam hal menjaganya? Lha kan motor juga cuma 2.5 meter dari bangku? Apa ya harus saya duduk sambil ngerangkul dua plastik beras? Jujur jengkel sekali. Dan nyaris saya menyumpahi si pengambil. Satu hal yang menahan mulut dan hati untuk melakukannya adalah kesadaran bahwa yang hilang itu adalah beras. Ya, beras yang makanan pokok itu. Sebegitu laparkah dia hingga tak tahan untuk tidak mengambil beras saya? Sangat laparkah? Pikiran itu membuat amarah reda. Saya jadi berpikir beruntung sekali bisa makan kenyang dua kali sehari tanpa mencuri walau harus memberlakukan kebijakan uang ketat pada diri sendiri akibat tabungan yang lagi setipis kertas. Jadi ingat cerita teman dua hari sebelumnya. Katanya desanya mulai rusuh. Mulai marak pencurian dan barang yang dicuri adalah yang praktis-praktis semacam unggas. Teman saya yang juga peternak sudah mengalami itu. Masih kata teman saya, yang seperti ini bisa jadi mengindikasikan satu hal, banyak orang lapar alias kondisi perekonomian sedang susah.


Ya ya ya, saya pun merasakan kondisi sedang tak terlalu baik. Dan saya tak hendak membuat sentimen politik tehadap si A si B. Males banget mikirin yang begitu. Yang penting tetap berdoa dan berusaha. Dan untuk siapapun yang mengambil seplastik beras itu, saya ikhlas untuk berdoa semoga itu cukup mengenyangkan. Tak ada marah saya untuknya walau sempat jengkel setengah mati. Teman lain mengusik dengan pertanyaan bagaimana kalau si pengambil bukan orang yang kelaparan. Ehmmmm....  kalau sampai beras saja diambil pasti dia lapar, mungkin bentuk laparnya saja yang bisa beda-beda.