Satu siang kisaran seminggu lalu, saya mendatangi area parkir sebuah kantor yang sekaligus jadi
area berinternet gratis, dengan maksud mencari seorang teman. Setelah celingak-celinguk
di setiap meja orang yang saya cari tak ada. Padahal sebelum meluncur tadi saya
sempat bertelepon dengan ibunya dan mendapat informasi dia sedang berinternet
disitu. Mungkin masih dalam perjalanan, begitu pikir saya. Jadilah saya pergi
dulu ke toko beras, membeli dua kantong beras titipan ibu saya. Dengan dua
plastik beras di bagian pijakan kaki motor, saya kembali masuk ke area parkir
kantor tersebut, kembali celingak-celinguk mencari wajah yang saya kenal.
Hasilnya kembali nihil. Mungkin masih di perjalanan karena mampir terlebih dulu
ke satu tempat, begitu pikir saya sambil memarkir motor dan duduk di bangku.
Bangku dan motor cuma berjarak kisaran 2.5 meter saja. Sempat terpikir masuk ke
ATM sembari menunggu tapi urung karena ingat mesin tersebut hanya menyediakan
pecahan seratus ribuan sementara yang saya butuhkan lima puluh ribu saja. Tak
sampai lima menit menunggu telepon saya bergetar, ibu teman saya mengabarkan
bahwa ternyata anaknya tidak keluar rumah untuk berinternet. Tapi beliau juga
tak tahu kemana. Akhirnya saya bertitip pesan kepada beliau agar memintanya
menghubungi saya ketika sampai di rumah nanti. Motor saya tunggangi kembali dan
keluar dari area parkir tersebut. Satpam menatap dengan pandangan agak aneh
begitu saya melewatinya. Maaf Pak, saya memang tak bermaksud ngenet, makanya
nggak bawa piranti kayak yang lainnya, jadi nggak perlu heran deh.
Tujuan berikutnya adalah ATM di pelataran bank. Jaraknya sekitar 400 meter
dari tempat pertama. Jadi sebentar saja sudah sampai. Dan hal yang mengejutkan
saat memarkir motor di depan deretan mesin ATM itu adalah beras saya tinggal
satu plastik saja. Kaget dan tak mempercayai pandangan mata sendiri membuat
saya membolak-balik sekantong beras itu. Memang tinggal satu adanya. Berarti
hilang satu. Dimana hilangnya? Saya yakin sekali keluar dari toko beras tadi
mengangkut dua kantong plastik. Yakin karena keduanya membuat kaki saya susah
mendapatkan pijakan. Yakin karena sebelum masuk ke area ngenet tadi saya sempat
melihat lagi dua plastik beras dengan sedikit malu karena di saat yang lain
menggendong laptop dengan bangga eh saya malah membawa masuk beras. Berarti
hilangnya di pelataran ngenet tadi. Lha kapan? Berarti pas motor terparkir,
berjarak kisaran 2.5 meter dari bangku yang saya duduki tadi. Lha kok bisa kan
dekat sekali? Lha embuh! Perhatian saya memang teralihkan ketika menerima
telepon. Tapi tak lama, beberapa menit saja. Dan banyak orang di area tersebut
walau mereka sibuk dengan piranti masing-masing. Sebagian malah ada yang
duduknya menghadap ke arah saya. Berarti mereka mestinya tahu ketika seseorang
mengangkut sekantong beras dari motor yang saya parkir. Ya, seharusnya mereka
tahu.
Jelas saya jengkel sekali dengan kejadian itu. Ke ATM yang seharusnya hanya
untuk mengambil uang demi keperluan mengirim paket akhirnya mesti bertambah
jumlahnya untuk mengganti beras yang hilang tadi. Padahal saya sedang
memberlakukan kebijakan uang ketat terhadap diri saya sendiri. Tapi mau
apalagi? Toh, berasnya sudah kadung melayang, sementara tak mungkin memberikan
kepada ibu saya sekantong saja sambil berkata yang sekantong hilang. Dengan
dongkol saya kembali ke toko, membeli seplastik lagi, lalu menyerahkannya kepada ibu saya tanpa
cerita tentang seplastik lain yang baru saja raib.
Kenapa beras saya hilang? Apakah saya telah teledor dalam hal menjaganya? Lha
kan motor juga cuma 2.5 meter dari bangku? Apa ya harus saya duduk sambil
ngerangkul dua plastik beras? Jujur jengkel sekali. Dan nyaris saya menyumpahi
si pengambil. Satu hal yang menahan mulut dan hati untuk melakukannya
adalah kesadaran bahwa yang hilang itu adalah beras. Ya, beras yang makanan
pokok itu. Sebegitu laparkah dia hingga tak tahan untuk tidak mengambil beras
saya? Sangat laparkah? Pikiran itu membuat amarah reda. Saya jadi berpikir
beruntung sekali bisa makan kenyang dua kali sehari tanpa mencuri walau harus
memberlakukan kebijakan uang ketat pada diri sendiri akibat tabungan yang lagi setipis kertas. Jadi ingat cerita teman
dua hari sebelumnya. Katanya desanya mulai rusuh. Mulai marak pencurian dan
barang yang dicuri adalah yang praktis-praktis semacam unggas. Teman saya yang
juga peternak sudah mengalami itu. Masih kata teman saya, yang seperti ini bisa
jadi mengindikasikan satu hal, banyak orang lapar alias kondisi perekonomian
sedang susah.
Ya ya ya, saya pun merasakan kondisi sedang tak terlalu baik. Dan saya tak
hendak membuat sentimen politik tehadap si A si B. Males banget mikirin yang
begitu. Yang penting tetap berdoa dan berusaha. Dan untuk siapapun yang
mengambil seplastik beras itu, saya ikhlas untuk berdoa semoga itu cukup
mengenyangkan. Tak ada marah saya untuknya walau sempat jengkel setengah mati.
Teman lain mengusik dengan pertanyaan bagaimana kalau si pengambil bukan orang
yang kelaparan. Ehmmmm.... kalau sampai
beras saja diambil pasti dia lapar, mungkin bentuk laparnya saja yang bisa
beda-beda.