Senin, 01 April 2013

Tuhan Mengajak Bercanda



Kira-kira setahun yang lalu, di satu petang yang saya lupa tanggal persisnya, seorang kakek-kakek menaiki angkot yang sama dengan saya. Cuma bedanya saya duduk di bangku pendek, sedang dia di bangku panjang. Kami nyaris berhadapan, jadi saya bisa lihat dengan jelas keriput wajah putihnya, juga selaput katarak di matanya. Tapi bukan dua hal ini yang kemudian menarik perhatian saya. Tak lama setelah duduk si Kakek bicara pada bang sopir, menyebutkan tempat dimana dia harus berhenti nanti. Kalimat ujungnya yang membuat telinga saya seperti berdiri tegak. Si Kakek kurang lebih bilang begini : “Mas, tolong ya, uang saya tinggal dua ribu. Tidak ada lagi yang lain. Tolong ya, Mas. Saya habis kena musibah soalnya.”. Si Bang Sopir dengan santai mengangguk dan si Kakek mengucapkan terima kasih berulang. Lalu seorang ibu yang duduk di samping si Kakek bertanya soal musibah yang disebutnya tadi. Meluncurkan cerita dari mulut si Kakek. Katanya dia ke Surabaya (saya lupa kota asalnya) untuk menemui anaknya. Dan ketika sampai di alamat, ternyata si anak tak lagi tinggal disitu dan tak ada keterangan pindah kemana. Jadi dengan sia-sia si Kakek bermaksud pulang. Saat itu uang di kantongnya tinggal satu lembar seratus ribuan, tak ada yang lain. Dengan uang itu dia mencegat angkot untuk membawanya ke halte bis kota. Belum sampai di halte yang dituju, si Sopir Angkot meminta bayaran dan si Kakek menyerahkan lembar uangnya. Sopir Angkot itu bilang akan memberikan uang kembalinya nanti karena uang yang ada padanya belum cukup, lagipula tujuan si Kakek masih jauh. Si Kakek percaya dan menunggu. Setelah bermenit-menit perjalanan, si Sopir Angkot meminta si Kakek pindah ke Angkot yang lain dengan alasan penumpang terlalu sedikit untuk meneruskan perjalanan. Dan si Kakek turun, tanpa ingat untuk meminta kembaliannya. Beruntung dia menemukan di slempitan celananya uang dua ribu rupiah, jadi dia berani untuk mencegat angkot yang saya tumpangi tadi. Begitu ceritanya.


Bisa dibayangkan reaksi penumpang di kanan kiri saya yang semuanya perempuan. Semuanya bersimpati dan menyayangkan tindakan si Sopir yang licik itu. Lalu ada yang bertanya bagaimana nanti si Kakek bisa sampai ke rumahnya yang luar kota itu. Si Kakek menjawab dengan wajah polos, “Semoga nanti ada sopir truk yang bersedia saya nunuti gratisan. Biasanya mereka minta bayaran, tapi semoga hari ini saya beruntung.” Jujur saya trenyuh melihat muka keriput itu, juga berdoa semoga orang tua saya tidak akan pernah mengalami nasib seperti ini. Diam-diam saya mengorek saku tas dan menyadari hanya dua lembar uang yang saya punya; satu lembar lima puluh ribu dan satu lagi sepuluh ribu. Saya memang tidak pernah berangkat kemana-mana dengan membawa uang cash banyak. Ini satu cara saya untuk mengirit sebenarnya. Dan uang enampuluh ribu inipun sebenarnya penggantian dari kantor untuk uang makan yang saya keluarkan waktu dinas luar kota tempo hari. Saya genggamkan lembaran lima puluh ribu saya kepada si Kakek sebelum saya turun. Dan rupanya ada penumpang yang melalukan hal yang sama. Saya lega, si Kakek sepertinya punya uang yang cukup untuk pulang.


Sekali lagi, kejadian itu kisaran setahun yang lalu.


Pada petang seminggu yang lalu, saya naik angkot seperti biasa. Lalu seorang kakek-kakek naik, tak lama setelah saya. Wajahnya putih, keriput, dan ada selaput katarak di matanya. Saya yang lelah setelah seharian bekerja bersiap menutup mata, mencuri waktu tidur sejenak. Lalu terdengar suara si Kakek berbicara pada pak Sopir yang intinya meminta tolong diberikan dispensasi diskon pembayaran karena uangnya tinggal dua ribu. Lalu seorang ibu yang penasaran bertanya ada apa dengan si Kakek. Lalu saya seperti mendengar sebuah lagu yang setahun lalu saya dengar dan kini diputar ulang. Saya tak jadi mencuri waktu untuk tidur, berganti dengan mencari kepastian apakah benar lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi yang sama. Jujur saya tidak bisa benar-benar yakin apakah dia orang yang sama. Saya cuma bisa tercenung, mendengarkan para perempuan yang seangkot dengan saya berkomentar ini itu yang intinya semuanya simpati.


Setelah beberapa menit saya menyadari satu hal, yaitu Tuhan sedang mengajak saya bercanda. Topik candaanNYA adalah soal keikhlasan. Jelas sekali ini saya tangkap karena saat itu juga saya sibuk menimbang apakah kali ini saya akan menggenggamkan lagi rupiah ke tangan si Kakek, atau tidak. Sementara si Kakek dengan demonstratif memperlihatkan dompet dan saku celana yang kosong melompong kepada para penumpang. Ya, paling tidak jika dia orang yang sama yang saya temui setahun lalu, atraksi dompet dan saku melompong ini jadi pembedanya. 


Lalu saya bisa tersenyum, mengingat uang di saku tas saya tinggal delapan ribu saja. Saya butuh dua ribu untuk membayar jasa Angkot. Jadi sisanya cuma tinggal enam ribu saja. Akhirnya saya putuskan menggenggamkan uang sisa itu ke tangan si Kakek sebelum saya turun. 


Tuhan telah memberi candaan yang lucu kepada saya. Demikian kesimpulan saya untuk urusan ini. Dulu saya memberi lima puluh ribu dan waktu itu saya lega, ikhlas, juga bangga. Lalu Tuhan membuat saya bertemu dengan seseorang yang mungkin sama, mungkin tidak. Tuhan mencandai keikhlasan saya. Penjelasannya begini. Jika saya kapok dan tidak memberi apapun kali ini, terus ternyata si Kakek yang ini benar-benar mendapat musibah dan perlu bantuan, maka betapa berdosanya saya. Kemungkinan kedua, saya tidak kapok, tetap berpikir positif, lalu memberikan uang kepadanya, tapi ternyata semua itu hanyalah akting si Kakek saja, maka betapa bodohnya saya yang tidak bisa melihat pertanda yang ada di depan mata.


Begitu angkot melaju menjauh saya tertawa. 


Tuhan, terima kasih atas candaannya. Saya cuma punya enam ribu kali ini. Jikapun si Kakek benar pembohong, saya tidak banyak merugi karena cuma enam ribu yang saya bisa berikan ..... Dan kalau ini memang sebuah kebodohan maka saya rela menebus itu dengan enam ribu yang saya punya. Karena saya lebih kuatir dengan kemungkinan bahwa musibah itu benar adanya dan si Kakek tak sedang berakting.......


Jadi, silahkan tertawa, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang :D