Kira-kira setahun yang lalu, di satu petang yang saya lupa tanggal
persisnya, seorang kakek-kakek menaiki angkot yang sama dengan saya. Cuma bedanya
saya duduk di bangku pendek, sedang dia di bangku panjang. Kami nyaris
berhadapan, jadi saya bisa lihat dengan jelas keriput wajah putihnya, juga
selaput katarak di matanya. Tapi bukan dua hal ini yang kemudian menarik
perhatian saya. Tak lama setelah duduk si Kakek bicara pada bang sopir,
menyebutkan tempat dimana dia harus berhenti nanti. Kalimat ujungnya yang
membuat telinga saya seperti berdiri tegak. Si Kakek kurang lebih bilang begini
: “Mas, tolong ya, uang saya tinggal dua ribu. Tidak ada lagi yang lain. Tolong
ya, Mas. Saya habis kena musibah soalnya.”. Si Bang Sopir dengan santai
mengangguk dan si Kakek mengucapkan terima kasih berulang. Lalu seorang ibu
yang duduk di samping si Kakek bertanya soal musibah yang disebutnya tadi. Meluncurkan
cerita dari mulut si Kakek. Katanya dia ke Surabaya (saya lupa kota asalnya)
untuk menemui anaknya. Dan ketika sampai di alamat, ternyata si anak tak lagi
tinggal disitu dan tak ada keterangan pindah kemana. Jadi dengan sia-sia si
Kakek bermaksud pulang. Saat itu uang di kantongnya tinggal satu lembar seratus
ribuan, tak ada yang lain. Dengan uang itu dia mencegat angkot untuk membawanya
ke halte bis kota. Belum sampai di halte yang dituju, si Sopir Angkot meminta
bayaran dan si Kakek menyerahkan lembar uangnya. Sopir Angkot itu bilang akan
memberikan uang kembalinya nanti karena uang yang ada padanya belum cukup,
lagipula tujuan si Kakek masih jauh. Si Kakek percaya dan menunggu. Setelah
bermenit-menit perjalanan, si Sopir Angkot meminta si Kakek pindah ke Angkot
yang lain dengan alasan penumpang terlalu sedikit untuk meneruskan perjalanan. Dan
si Kakek turun, tanpa ingat untuk meminta kembaliannya. Beruntung dia menemukan
di slempitan celananya uang dua ribu rupiah, jadi dia berani untuk mencegat
angkot yang saya tumpangi tadi. Begitu ceritanya.
Bisa dibayangkan reaksi penumpang di kanan kiri saya yang semuanya
perempuan. Semuanya bersimpati dan menyayangkan tindakan si Sopir yang licik
itu. Lalu ada yang bertanya bagaimana nanti si Kakek bisa sampai ke rumahnya
yang luar kota itu. Si Kakek menjawab dengan wajah polos, “Semoga nanti ada
sopir truk yang bersedia saya nunuti gratisan. Biasanya mereka minta bayaran,
tapi semoga hari ini saya beruntung.” Jujur saya trenyuh melihat muka keriput
itu, juga berdoa semoga orang tua saya tidak akan pernah mengalami nasib
seperti ini. Diam-diam saya mengorek saku tas dan menyadari hanya dua lembar
uang yang saya punya; satu lembar lima puluh ribu dan satu lagi sepuluh ribu. Saya
memang tidak pernah berangkat kemana-mana dengan membawa uang cash banyak. Ini satu
cara saya untuk mengirit sebenarnya. Dan uang enampuluh ribu inipun sebenarnya
penggantian dari kantor untuk uang makan yang saya keluarkan waktu dinas luar
kota tempo hari. Saya genggamkan lembaran lima puluh ribu saya kepada si Kakek
sebelum saya turun. Dan rupanya ada penumpang yang melalukan hal yang sama. Saya
lega, si Kakek sepertinya punya uang yang cukup untuk pulang.
Sekali lagi, kejadian itu kisaran setahun yang lalu.
Pada petang seminggu yang lalu, saya naik angkot seperti biasa. Lalu seorang
kakek-kakek naik, tak lama setelah saya. Wajahnya putih, keriput, dan ada
selaput katarak di matanya. Saya yang lelah setelah seharian bekerja bersiap
menutup mata, mencuri waktu tidur sejenak. Lalu terdengar suara si Kakek
berbicara pada pak Sopir yang intinya meminta tolong diberikan dispensasi diskon
pembayaran karena uangnya tinggal dua ribu. Lalu seorang ibu yang penasaran
bertanya ada apa dengan si Kakek. Lalu saya seperti mendengar sebuah lagu yang
setahun lalu saya dengar dan kini diputar ulang. Saya tak jadi mencuri waktu
untuk tidur, berganti dengan mencari kepastian apakah benar lagu itu
dinyanyikan oleh penyanyi yang sama. Jujur saya tidak bisa benar-benar yakin
apakah dia orang yang sama. Saya cuma bisa tercenung, mendengarkan para
perempuan yang seangkot dengan saya berkomentar ini itu yang intinya semuanya
simpati.
Setelah beberapa menit saya menyadari satu hal, yaitu Tuhan sedang mengajak
saya bercanda. Topik candaanNYA adalah soal keikhlasan. Jelas sekali ini saya
tangkap karena saat itu juga saya sibuk menimbang apakah kali ini saya akan
menggenggamkan lagi rupiah ke tangan si Kakek, atau tidak. Sementara si Kakek
dengan demonstratif memperlihatkan dompet dan saku celana yang kosong melompong
kepada para penumpang. Ya, paling tidak jika dia orang yang sama yang saya
temui setahun lalu, atraksi dompet dan saku melompong ini jadi
pembedanya.
Lalu saya bisa tersenyum, mengingat uang di saku tas saya tinggal delapan
ribu saja. Saya butuh dua ribu untuk membayar jasa Angkot. Jadi sisanya cuma
tinggal enam ribu saja. Akhirnya saya putuskan menggenggamkan uang sisa itu ke
tangan si Kakek sebelum saya turun.
Tuhan telah memberi candaan yang lucu kepada saya. Demikian kesimpulan saya
untuk urusan ini. Dulu saya memberi lima puluh ribu dan waktu itu saya lega,
ikhlas, juga bangga. Lalu Tuhan membuat saya bertemu dengan seseorang yang
mungkin sama, mungkin tidak. Tuhan mencandai keikhlasan saya. Penjelasannya begini.
Jika saya kapok dan tidak memberi apapun kali ini, terus ternyata si Kakek yang
ini benar-benar mendapat musibah dan perlu bantuan, maka betapa berdosanya
saya. Kemungkinan kedua, saya tidak kapok, tetap berpikir positif, lalu
memberikan uang kepadanya, tapi ternyata semua itu hanyalah akting si Kakek saja,
maka betapa bodohnya saya yang tidak bisa melihat pertanda yang ada di depan
mata.
Begitu angkot melaju menjauh saya tertawa.
Tuhan, terima kasih atas candaannya. Saya cuma punya enam ribu kali ini. Jikapun
si Kakek benar pembohong, saya tidak banyak merugi karena cuma enam ribu yang
saya bisa berikan ..... Dan kalau ini memang sebuah kebodohan maka saya rela
menebus itu dengan enam ribu yang saya punya. Karena saya lebih kuatir dengan
kemungkinan bahwa musibah itu benar adanya dan si Kakek tak sedang
berakting.......
Jadi, silahkan tertawa, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang :D