Selasa, 29 Maret 2011

Sayang ..........

Sayang, betapa benar hidup tidaklah cukup sempurna. Setidaksempurna pertemuan untuk kita .... Sayang, menyesalkah kita? Sementara hidup adalah lingkaran yang harus kita putari. Bersama, lihatlah betapa besar lingkaran yang kau buat, sedangkan tanganku hanya menjangkaumu seperempat. Menyesalkah aku?

Ah Sayang, bukankah masa membuat tahu seperti itulah kita .... lingkaran besarmu, lingkaran kecilku, itulah yang kita genggam dalam tangan-tangan.... aku menangis dan tertawa dengannya.

Sayang, tak pernahkah kau punya redam dalam hati yang berlubang? dan mungkin yang kau inginkan kemudian adalah tidur yang dalam tanpa mimpi tentang harapan yang kian merayap pendar.......

Selasa, 08 Maret 2011

Senjata Andalan

Kakak perempuan saya tempo hari bercerita bahwa dia sempat dag dig dug ketika berkunjung ke Surabaya. Kala itu dia harus menghadiri rapat dinas di sebuah hotel di tengah kota Surabaya. Dari terminal Bungurasih dia menuju ke lokasi dengan menumpang bis kota patas AC. Dan katanya saat dia naik ke bis tersebut cuaca memang sudah mendung. Begitu bis berangkat hujan turun ke bumi seperti air yang tumpah, alias sangat deras. Nah, dag dig dug-lah kakak saya karena dia tidak membawa jas hujan, payung, atau sejenisnya. Pada saat yang sama dia juga tidak membawa baju ganti karena rapat memang dijadwalkan cuma sehari saja. Dalam bis yang melaju katanya dia terus memanjatkan doa agar hujan deras itu segera reda jadi dia bisa turun dan menghadiri rapat tanpa basah kuyup. Alhamdulillah doanya terkabul. Hujan deras itu reda tepat ketika bis mencapai pusat kota Surabaya dan kakak saya terhindar dari basah kuyup. Saya nasehatkan padanya untuk tidak pernah lupa membawa 'sejata' setiap kali ke Surabaya.

'Senjata'? Ehhheheheheh .... iya, saya menyebut begitu untuk beberapa barang yang menurut saya wajib. Barang tersebut adalah payung, sandal jepit, dan sepatu karet. Semuanya untuk 'berkompromi' untuk kondisi hujan dan banjir di Surabaya. Sekali lagi, hujan dan banjir. Sebab hujan bagi saya identik dengan banjir. Dan kalau bertanya daerah mana yang banjir, maka jawabannya adalah semua daerah! Mengapa begitu? Sebab rasanya memang susah sekali sekarang mencari kawasan bebas banjir di Surabaya. Kawasan yang katanya elit pun terkena banjir. Tengah kota juga. Dan kalaupun ada secuplik kawasan yang tidak tergenang banjir, saya yakin jalan menuju ke kawasan tersebut pasti tergenang banjir. Jadi tetap diperlukan perjuangan untuk mencapainya.

Nah, senjata pertama ada payung. Jelas fungsinya. Berubah menjadi jas hujan bagi mereka pengendara roda dua. Cuma bedanya payung bisa berfungsi di kala panas dan hujan. Sedangkan jas hujan hanya berfungsi pada saat hujan saja sebab rasanya bakal ada yang terbelalak jika ada yang mengenakan jas hujan di kala langit terang benderang dan panas terik. Jadi, bagi pejalan kaki atau pengguna angkutan umum seperti saya, tidak ada ruginya selalu menyiapkan payung. Seorang teman saya menyiapkan satu payung di rumah dan satu lagi di kantor sehingga tidak perlu membawa-bawa payung di dalam tasnya karena dia termasuk yang suka berganti tas. Sedangkan saya lebih memilih menyiapkannya di dalam tas saya, karena saya termasuk tipe yang tidak suka berganti tas. Terlebih lagi tas harian saya berupa ransel besar yang muat banyak barang termasuk laptop dan dokumen.

Senjata kedua adalah sandal jepit dan sepatu karet. Sebenarnya keduanya bisa saling menggantikan. Dulu sebelum punya sepatu karet saya selalu pakai sandal jepit di kala hujan, baik ketika berangkat maupun pulang kantor. Lalu pihak HRD kantor tempat saya berkerja memprotes dengan alasan karyawan dengan sandal jepit mencederai kehormatan perusahaan.... heeheheheheheh .... Ah kalau saya sih cuma bertindak berdasarkan kepraktisan saja. Dan lagi tak masuk akal rasanya jika tetap berjalan dalam bajir dengan sepatu kulit.

Nahhhhhhhhh ngomong-ngomong soal sepatu karet, saat ini banyak dijual barang ini dengan harga yang lumayan terjangkau. Dua sepatu karet saya harganya cuma lima belas ribu sepasang. Warna beragam. Demikian juga motif plastiknya. Kalau soal model sepengetahuan saya tidak terlalu banyak ragam, cuma hal ini tertutupi dengan motif dan warna yang beragam tadi. Jadi intinya saya saat ini saya lebih sering 'menunggangi' sepatu karet yang murah meriah itu ketimbang sepatu kulit atau keds. Awalnya tempo hari agak risih juga karena pernah punya pengalaman bertemu dengan tamu perusahaan yang rapi jali dan ketika berhadapan memandang saya dari atas kebawah. Ehmmmmmm .... walau tidak berkata apa-apa tapi nyaris rasa percaya diri saya drop ke level terendah. Untungnya saya ada di atas angin karena dia pada posisi menawarkan diri untuk menjadi pemasok. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka dengan penampilan saya, maka dia harus berusaha 'menyenangkan' saya ..... ahahahahahahah. Tapi tetap saja kejadian itu mempengaruhi saya, karena toh itu bukti nyata bahwa tak semua orang mematuhi kata-kata bijak 'don't judge the book from its cover'. Ah, saya jadi ingat sebuah film Hollywood yang dibintangi Robert Redford idola saya (waktu muda ehmmmmm .... dia amboi indahnya). Judul filmnya saya lupa. Cuma saya ingat sekali ada salah satu adegan dimana si tua yang ganteng itu menilai tamunya dari sepatu yang dikenakan mereka. Nah nah nah .... kalau sepatu benar-benar dapat digunakan untuk menilai kepribadian seseorang, lalu seperti apa kepribadian saya yang sekarang cinta mati dengan sepatu plastik yang cuma lima belas ribu perak sepasang itu? Ehmmmmm .... apakah saya akan dinilai sebagai seorang yang murahan? Ehmmmm entahlah .....

Soal sepatu plastik ini, seorang teman punya kecintaan yang kurang lebih sama dengan saya. Kami sama-sama suka mengenakannya. Kalau saya kadang masih malu mengenakannya di depan customer atau rekanan yang mentereng, teman saya itu sebaliknya. Dia cuek-cuek saja. Yang penting fungsinya. Juga otaknya. Demikian katanya. benar juga sih. Cuma kenyataannya dia lebih 'care' terhadap penampilan dibanding saya. Dia selalu memikirkan benar-benar komposisi warna yang melekat di badannya. Selalu memperhatikan model baju dengan seksama. Tak pernah mau terlihat seperti 'urap-urap' akibat tabrakan warna ataupun motif. Selalu seksama memilih warna, dan cenderung menghindari warna mencolok. Sedangkan saya, ehmmmmmm warna cerah selalu 'menggoda'. Jadi ketika dia memilih sepatu plastik warna coklat tua karena menurutnya lebih netral, maka saya dengan enteng mengambil warna merah ...... ahaahahahhaah ......

Oh iya, soal sepatu karet ini, saya pernah menemukan di satu mal terkenal sepatu dengan konsep yang sama tapi menggunakan merk asing yang telah mendunia. Warnanya hijau bening yang pasti cocok untuk sepasang kaki dengan kulit putih bersih (ehmmmmm ...kayaknya bukan kaki saya deh). Dan begitu saya dekati, wah wah wah ..... harganya membuat jantung saya melompat. Teman saya terkekeh-kekeh. Katanya, “ah saya mah ga butuh merk ...yang lima belas ribu aja dah top banget dehhhhh ...” Sedangkan saya? Ehmmm yang lima belas ribu juga dehhhhhhh ..... hhehhheeheheheh ....... Eh masih menurut teman saya, sepatu karet yang murah meriah ini sanggup memberikan perubahan karena harganya yang terjangkau di banyak kalangan membuat semakin banyak orang yang mengenakan sepatu pada saat keluar rumah. Alias tidak lagi mengenakan sandal. Jadi lebih rapi kan?

Anyway, satu pesan saya, jika berkunjung ke Surabaya sebaiknya persiapkan 'senjata' yang tepat.