Rabu, 05 Desember 2012

Lelanange Jagad



Kemarin saya menonton sekuel James Bond, Skyfall. Jujur saya bukan termasuk dalam deretan pecinta sejati James Bond sebenarnya. Setiap kali ada tayangan film itu di televisi, saya menontonnya dengan datar-datar saja. Bahkan untuk edisi lamanya, saya memandangnya sekedar sebagai ‘film lama’. Betapapun diperlihatkan Bond menggunakan banyak alat-alat canggih, tetap saja bagi saya dia adalah film yang secara aksi terlihat ‘lama’ di mata saya. ‘Kelamaan’ ini tidak membuat saya ‘terkait’. Saya sekedar seneng-senengan membandingkan antara pemeran Bond yang satu dengan yang lain. Dan dari sederet pemeran Bond versi lama, saya paling suka oom Sean Connery. Lepas dari pendapat media yang menyebut Roger Moore dan satu nama lain; saya lupa; lebih pantas, bagi saya Connery paling pas. Saya suka gaya klimis rambut hitamnya. Saya suka bangun tubuhnya. Ukuran tubuhnya pas. Saya suka sorot matanya yang menurut saya terkesan cerdas, sekaligus cukup playboy jika digabungkan dengan senyumnya. Pokoknya dia yang menurut saya paling pas. Tapi teman saya membantah. Dia bilang saya memenangkan Connery karena memang dari awal saya suka dia. Teman saya mengingatkan bahwa saya pernah memenangkan Connery diatas Richard Gere waktu film First Knight. Saya katanya juga oke-oke saja ketika Connery yang sudah beruban berpasangan dengan Zeeta Jones di Entrapment, tapi protes ketika Brosnan pamer otot perut berpasangan dengan Salma Hayek di satu film (lupa judulnya). Padahal jelas-jelas si oom Brosnan itu masih berpanel-panel bidang perutnya, tetap saja saya tidak sreg. Saya mesam mesem mendengar protes teman saya. Ehmmmm benarkah begitu? Hehehehheeh .... berarti saya aslinya ngefans sudah ngefans dengan si oom Sean Connery itu yaaaaaa..... ?


Balik ke Bond deh. Jujur sebenarnya dulu saya benci film itu. Saya juga menganggap terlalu lebay ketika media selalu ramai memberitakan prediksi dan tebakan siapa pemeran Bond selanjutnya. Saya juga mencibir ketika Brosnan yang di benak saya lekat dengan Remington Steele terpilih menjadi salah satu Bond. Waktu itu saya geli membayangkan Bond yang sangat laki-laki itu diperankan oleh si resik feminin Mr. Steele. Kayak apa? Lha tapi ternyata kesinisan saya tidak terbukti. Brosnan ternyata bisa bertahan menjadi tokoh lelanange jagad itu. Lalu saya berkesimpulan ada garis merah antara Bond dan Steele dalam kasus Brosnan ini, yaitu keduanya sama-sama ‘bertugas’ dalam kostum jas yang licin. Cuma beda sedikit. Kalau Steele mengeluhkan kekhawatiran jasnya rusak bahkan ketika baru mulai berlari mengejar penjahat, maka Bond bisa bertinju dengan lanyah tanpa perlu membuka jasnya. Dan jika jas itu kotor ataupun koyak palingan dia cuma menepuk-nepuknya sebentar.


Saya juga sempat membenci Bond karena bagi saya dia terlalu sempurna sebagai seorang laki-laki. Yang begitu cuma ada dalam khayalan saja. Tapi bukankah semua orang berkhayal? Nahhhhh mungkin karena itu tokoh Bond tercipta dan langgeng. Dia adalah sosok yang semua laki-laki ingin menjadi. Laki-laki mana yang tak kepingin menjadi sosok yang ganteng, pinter, berduit, dan bertubuh prima baik secara bentuk maupun kekuatan. Selalu bisa diandalkan dan bertindak tepat. Dan dalam setiap aksinya selalu diekori oleh yang cantik jelita. Hayoooooo, adakah laki-laki yang tak ingin menjadi sesempurna itu? Saya  yakin setelah selesai menonton aksinya banyak laki-laki yang paling tidak berpikir ‘enak ya kalau jadi dia, bisa ini itu ...’. Dan yang perempuan juga tak kalah ngayalnya.... Andai punya laki-laki sehebat itu di sisi ....ehmmmmm amboi betapa tentram dan damai dunia ini... Hahahahaha ..... Ya ya ya .... Bond mewakili khayalan banyak orang. Khayalan tentang manusia lelanange jagad. Dan sebagai lelanange jagad maka sah sah saja kalau dia womanizer ...Ehmmm ... sah kan ya? Lha wong yang ditaklukkan juga tak merasa keberatan kok. Lihat saja, sudah begitu banyak ‘penaklukan’ dan rasanya tak ada yang memprotes. Malah para aktris itu rata-rata bangga begitu terpilih sebagai gadis Bond. Karena itu artinya dia setara dengan sang lelananging jagad. Amboi......


Tapi sekarang saya merasa Bond agak membumi. Rasanya sejak Daniel Craigh. Entah apakah Daniel Craigh-nya ataukah memang ceritanya yang sedikit berubah sehingga saya sampai mempunyai kesan seperti itu. Awalnya saya tidak terlalu tertarik menonton Casino Royale, dan berangkat nonton juga lebih karena terbawa euphoria. Di awal saya tertawa-tawa melihatnya berlari kian kemari tanpa lelah dan badannya bisa mental seperti bola bekel ketika ditimbukkan ke lantai keras. Sampailah ketika dia menangisi Vesper yang mati tenggelam. Hati saya tersentuh. Itu adegan yang biasa saja sebenarnya jika ada di film yang lain. Toh Vesper meninggal dengan gaya dan cantik sekali. Tapi itu jadi lain karena yang merasakan ‘kehilangan’ itu si James Bond, sang lelanange jagad ..... hehehheeh.... Saya jadi terkesannnnnnnnnnn sekali ...... Sekuel selanjutnya, Quantum of Solace, saya tidak menonton di bioskop dan pas diputar di televisi juga tidak sampai setengah jalan sudah tertidur. Tapi seorang teman sempat berkata pada saya Bond yang sekarang lebih ‘manusia’ dibanding dengan yang dulu-dulu. Berarti paling tidak saya tak terlalu salah kali yaaaaa....
Nah, kemarin ketika berangkat menonton Skyfall saya berharap menemukan kesan yang paling tidak mirip dengan kesan terhadap Mr. Bond, James Bond di Casino Royale. Dannnnnnn saya senang karena ketemu yang seperti itu juga. Saya senang melihat kantung mata dan kerut-kerut di kening si lelanange jagad ini. Menurut saya kantung mata dan kerut-kerut di wajah Daniel Craigh lebih ‘parah’ dibanding para pendahulunya. Justru disitu saya jadi menemukan ‘kemanusiaannya’. Saya juga senang sekali melihatnya menangis ketika M meninggal dalam pelukannya. Juga menyenangkan melihatnya berdiri memandangi kota dengan sentimentil setelah pemakaman M. Aiihhhhhh .... sungguh dia manusia biasa...... Ini tetap membuat saya senang dan mengabaikan betapa dia masih laki-laki yang dengah gaya ‘menaklukkan’ si cantik jelita berbadan lencir di scene yang lain....... ahahahaaha.....


Ah Bond, satu lagi yang membuat saya terkesan. Jasnya. Ehmmmmm ..... lihat, betapa gayanya dia bertinju di atas kereta dengan jas ketat tanpa merasa geraknya terbatas. Lihat juga bagaimana dia bisa berdiri tegak dengan satu tangan di saku celana di atas perahu yang tengah berjalan dengan jas yang melekat sempurna. Lihat garis celananya ketika dia berjalan ....... Sungguh saya baru dua kali terkesan dengan jas yang dipakai oleh seorang aktor dalam film. Yang pertama jas dan hem-hem yang dipakai Ryan Gosling di The Ides of March. Dan yang kedua ya jas yang dipakai Bond di Skyfall. Sungguh saya punya pertanyaan besar dalam benak saya. Siapa penjahit jas yang begitu mempesona itu? Hehehehheehhe .......


I’m Bond, Mrs. James Bond. ........ nah lho ...... pasti si James Bond langsung pingsan..... wkwkwkwkwkwkwk

Selasa, 11 September 2012

Tetangga, Oh Tetangga.......


Seminggu yang lalu, saya merayakan malam Sabtu dengan menonton televisi hingga jauh malam. Pukul 01.30 dini hari saya baru benar-benar tak tahan tidak tidur. Dan rasanya baru beberapa saat terlelap, tiba-tiba saya terbangun oleh suara keras dan lampu bercahaya merah yang menerangi kamar secara tidak merata. Saya bangun dalam kondisi bingung, malah sempat berfantasi ada pesawat ruang angkasa sedang mendarat untuk menciduk saya. Butuh beberapa menit untuk sadar bahwa hari bahkan belum menyentuh Subuh, masih pukul 02.30. Tapi karena di luar terdengar ramai seperti pasar maka saya memaksakan diri keluar. Teman kos penghuni kamar sebelah dan induk semang saya tersenyum menyambut. “Akhirnya bangun juga ...” Demikian komentar mereka. Ternyata ada kebakaran. Rumah tetangga yang berjarak kisaran lima rumah dari kos saya terbakar habis. Beruntung sedang tidak ada angin sehingga penjalaran api relatif tidak terlalu cepat. Beruntung juga tetangga segera bangun dan menelepon PMK. Jadi walau rumah hangus tapi paling tidak, tak ada korban jiwa. Sambil berjongkok bersama yang lain, saya berpikir bagaimana jika angin cukup besar dan kebakaran merambat ke kos saya sementara saya tidak bangun juga. Apa jadinya? Apa teman dan induk semang saya tetap tidak berpikir untuk membangunkan saya lebih awal? Diam-diam saya kecewa, karena merasa tak cukup diingat. Diam-diam saya berpikir mungkin saya bukan orang yang baik jadi ada kejadian seperti itu mudah sekali dilupakan. Ahhh.... saya jadi miris....

Beberapa malam lalu saya tengah bersiap mematikan komputer ketika panggilan masuk ke ponsel saya. Dari kakak yang tinggal di lain kota. Dan di waktu menjelang tengah malam itu dia minta agar saya mencari tiket pesawat tujuan Pekanbaru untuk keberangkatan esok hari atau paling lambat lusa pagi. Dia memberikan pilihan kota keberangkatan, yaitu Surabaya, Solo, atau Yogyakarta. Masih terbengong-bengong saya menancapkan kembali modem internet, mulai searching, sambil bertanya untuk siapa tiket tersebut. Jadi ceritanya tetangga kakak saya jatuh sakit ketika tengah dinas tugas ke Pekanbaru. Jadilah malam-malam si istri yang shock mengetuk rumah kakak saya, minta dibantu solusi. Tiket ini diperuntukkan istri dan anak perempuannya. Kakak saya bilang malam ini harus dapat. Lha buyarlah kantuk yang tadi sempat menggandoli mata saya, berganti dengan kegiatan browsing kanan kiri, menelepon kesana kemari, karena booking tiket malam itu entah mengapa jadi tak semudah biasanya. Entah mengapa banyak sekali orang bepergian dengan rute Jakarta – Pekanbaru saat itu sehingga beberapa kali booking yang saya lakukan patah, didahului orang lain ketika tengah mengisi data diri. Belum lagi masalah kurangnya dana di rekening bank saya. Hadduuhhh.... pokoknya hal yang biasanya terasa sederhana saja itu, kali ini terasa begitu susah. Membeli tiket pesawat saja kok harus berlomba seperti mengejar bus mudik lebaran..... padahal musim mudik dan arus balik sudah usai..... Lewat setengah tiga pagi saya baru bisa lega ketika sebuah e-ticket masuk ke email address saya. Berhasil.... berhasil..... saya berjingkrak ala Dora. Hehehehehee ..... begitu kakak saya konfirmasi e-ticket itu sudah masuk ke inbox-nya, saya langsung menyurukkan kepala mencium bantal. Sebelum benar-benar lelap saya sempat mengucapkan sederet panjang alhamdulillah. Alhamdulillah internet saya mau berkompromi malam ini, alhamdulillah tagihan ponsel pasca bayar yang sempat menunggak sudah saya lunasi, alhamdulillah kakak saya berhasil mendapatkan pinjaman rekening bank yang sama dengan rekening saya untuk transfer, alhamdulillah penjaga kantor kakak saya tidak bolos jadi bisa menumpang faksimili .... alhamdulillah .... alhamdulillah......... Terima kasih ya Allah.....

Bangun tidur setelah kehebohan malam sebelumnya, saya teringat apa yang terjadi bulan Juni kemarin. Kali ini setting-nya di rumah orangtua saya yang memang tinggal berdua saja. Ceritanya tensi darah Bapak saya naik jauh di atas batas normal. Malam itu begitu saya langsung bilang kalau dokter memerintahkan opname turuti saja, saya akan pulang subuh. Tapi dengan banyak pertimbangan Bapak saya menolak perintah opname tsb dan memilih rawat jalan. Si dokter tak kuasa memaksa. Jadi malam itu  Bapak saya tetap tinggal di rumah walau semua yang ada di bumi dalam pandangannya telah bergerak dan jungkir balik tak keruan. Petaka datang bersama Subuh. Bapak saya terjatuh dari tempat tidur ketika berniat bangun ke kamar mandi untuk buang air kecil dan wudlu. Pelipisnya sobek terantuk lemari jati. Dan selepas jatuh terlihat linglung. Ibu yang panik segera berlari menggedor rumah tetangga meminta bantuan. Segera satu dasa wisma bangun. Pemuda-pemuda yang baru turun dari mushola tak jadi pulang, malah harus berbelok ke rumah saya. Tetangga depan rumah sigap menelepon ambulance. Yang lain berupaya menghentikan pendarahan. Ketika dirasa ambulance tak kunjung datang, tetangga yang lain langsung membuka garasi, mengeluarkan sedan pribadinya, dan para pemuda menggotong Bapak saya, lalu melarikannya ke rumah sakit. Sejak masih di UGD, seorang tetangga lain sigap mem-booking kamar untuk opname. Sungguh seperti kerja tim yang kompak.  Sementara itu di waktu yang sama tempat yang berbeda, saya terbirit-birit ke terminal menaiki bus pertama yang bisa saya temukan, sambil tak putus berdoa, sekaligus dihujani telepon dan pesan singkat dari kakak-kakak yang memantau kondisi bapak dan juga posisi saya. Menit ke menit terasa begitu lambat. Dan ketika sampai di rumah sakit, sungguh lega melihat bapak saya terbaring walau lemah tapi jauh lebih baik dari bayangan saya. Di sekelilingnya ibu-ibu menjaga, menggantikan ibu saya yang tengah mengambil baju. Malamnya, dari beliau-beliau yang datang menjenguk, saya mendengar cerita lengkapnya. Dan tak ada yang bisa saya lakukan selain mengucapkan terima kasih banyak-banyak ... Bayangkan, saya yang anak kandungnya tidak terlibat semua keruwetan itu, dan tinggal terima beres .... Olala...... Alhamdulillah ada ‘tim’ yang begitu kompak tadi ..... hiks hiks hiks....

So, begitu ..... yang namanya bertetangga. Sungguh saya tak ingin menjadi tetangga yang dilupakan. Saya sudah pernah dilupakan seperti yang saya ceritakan di awal tadi. Rasanya tak enak sekali. Dan sungguh saya berdoa tak pernah terjadi lagi .......

Jumat, 07 September 2012

ASISTEN


Kemarin, di akhir libur Lebaran, saya membaca sebuah artikel di surat kabar nasional. Tentang fenomena tuan rumah yang terasing di rumahnya sendiri. Fenomena yang dialami oleh warga kota waktu lebaran karena ditinggal mudik oleh asisten rumah tangganya. Mereka yang di hari-hari biasa tidak pernah menyentuh urusan domestik rumah tangganya jadi terpaksa melakukannya dengan segala kekidungannya. Yang berkantong lebih tebal mengambil langkah seribu pindah sementara ke hotel atau villa demi tetap memperoleh pelayanan. Yang lain berstrategi dengan ‘menggandeng’ laundry kiloan, children day care, resto cepat saji, dan warteg. Intinya adalah menyederhanakan pekerjaan, meringankan beban. Ehmmmm ...jadi benar ya itu serupa beban. Seorang artis; diberitakan di koran yang sama; bilang pokoknya dia tidak mau repot-repot akibat ditinggal mudik asisten rumah tangganya. Jadi sebelum si asisten berangkat mudik dia sudah memenuhi kulkas dengan bahan makanan setengah matang. Untuk sajian lebaran dia menimbrung ke tetangganya yang memasak ketupat sayur. Dan jika akhirnya kulkas kosong sebelum sang asisten pulang maka jurusnya adalah menelepon depot dan warung makan. Ini dia yang dia sebut sebagai ‘pokoknya tidak mau repot-repot’.
Fenomena yang biasa ya sebenarnya di jaman yang seperti sekarang ini, apalagi di perkotaan yang menyedot sebagian besar waktu untuk dihabiskan di tempat kerja dan di jalan. Di jaman yang semuanya harus kompetitif ini seperti tak ada lagi pilihan selain keduanya harus sama-sama berangkat mencari nafkah. Hidup ini harus dimenangkan. Dan kemenangan tidaklah gratis. Semua ada harganya. Tak terhitung jumlah pasangan yang memilih untuk meninggalkan rumah demi kehidupan dan masa depan yang baik untuk anak-anaknya. Urusan domestik diserahkan kepada asisten rumah tangga, tentu dengan imbalan uang juga. Si asisten ini malah seringkali perannya lebih luas lagi, menjadi pengganti sosok ibu yang tak hadir selama jam kerja dan biasanya kelelahan begitu sampai rumah. Dan ini fenomena yang wajar.
Sungguh saya tak hendak mengkritisi ini semua. Toh hidup memang tak mudah. Cuma tempo hari saya sempat mengobrol ringan dengan seorang  teman sekantor. Sungguh saya terkesan dengan etos kerjanya. Dengan dua anak (satu masih balita), dia mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa bantuan seorang asisten pun. Kegiatannya dimulai pukul 04.30, berupa membersihkan rumah, belanja, dan memasak untuk sarapan dan makan siang. Lalu mengurus anak-anak yang akan berangkat sekolah, mengantar mereka sembari berangkat ke kantor. Mencuci baju dilakukan setiap hari sepulang kantor, dengan bantuan suami. Setrika dijadwal di akhir pekan. Katanya sungguh dia terbantu karena ada mertua yang tinggal bersama sehingga si anak balita tak perlu dititipkan kesana kemari di jam kerja. Kunci dari kesuksesannya adalah kerjasama dengan suami, bangun pagi, dan kulkas yang selalu penuh bahan makanan. Di kantorpun dia bisa bekerja cekatan, seperti tak terpengaruh dengan kelelahan akibat kerja domestik di jam sebelumnya.
Seorang teman yang lain menurut saya sedikit lebih diuntungkan oleh statusnya sebagai wiraswasta alias kerja sendiri yang tak terikat oleh jam kerja paten. Waktu saya bertandang, rumahnya dalam kondisi resik dan apik. Dua anaknya (lagi, salah satu masih balita) berlarian di dalam rumah. Kata teman saya, tak pernah ada asisten di dalam rumah tangganya. Semua dikerjakan sendiri, dari membersihkan rumah, memasak, dan mengantar jemput anak-anak. Kadang jika harus keluar sendiri karena urusan bisnis, dia menitipkan anaknya ke mertuanya. Selesai mengurus rumah tangganya dia menjalankan hal-hal terkait bisnisnya yang kontraktor bangunan dan jalan raya. Di luar bisnis inti itu, dia merintis bisnis perhiasan yang semuanya dia buat sendiri dengan tangan. Jujur saya sangat terkesan karena perhiasan yang dibuatnya cukup rumit bin njelimet. Sambil tertawa ditunjukkannya tang aneka ukuran. Bagaimana punya waktu? Katanya, sejak kecil dia membiasakan anak-anaknya untuk mandiri. Jadi tak satupun anaknya yang terbiasa digendong-gendong. Semuanya biasa ditaruh di kereta bayi sehingga ibunya tetap bebas bergerak dan berkegiatan sembari mengasuh. Dia juga disiplin menyimpan alat-alatnya dalam wadah-wadah tersendiri sehingga tidak gampang untuk dijangkau dan dimainkan oleh anak-anaknya. Ruang tamunya yang sekalian dijadikan showroom perhiasan pun aman. Semua ditata rapi di dalam showcase yang terkunci. Saya juga sempat melihat sendiri bagaimana si balita memegang botl susunya sambil berbaring di sofa lalu tertidur tanpa rewel ini itu. Ehmmmm.... semua ada kuncinya. Saya jadi ingat nenek saya yang anaknya 10 orang. Bagaimana ya dulu mengaturnya? Apakah beliau menggunakan kereta bayi berjajar-jajar begitu ya?
Saya yakin kedua teman saya tidak termasuk kategori ibu yang terasing dengan rumahnyaketika si asisten mudik. Dan saya juga tidak sedang menyebut bahwa rumah tangga dimana ada ibu yang terasing di rumahnya salah menerapkan manajemen. No no no ..... tidakkkkkk, sekali lagi saya tidak sedang mengadili. Saya malah sedang berpikir, ketika saatnya nanti datang, akan masuk kategori yang mana saya? Apakah saya bakal jadi seperti kedua teman saya? Atau termasuk yang terasing? Ohhhhhh ........ Jujur saya takut karena selama menjadi lajang saat ini saya lebih bisa bekerja di malam hari ketimbang di bangun awal terus langsung ‘on’. Karenanya sering sekali saya menyetrika baju tengah malam, sembari mensiasati listrik rumah kos yang gampang ‘njeglek’. Saya juga biasa mencuci baju selepas isya. Lha terus apa nantinya saya bakal memasak sarapan di tengah malam juga...??? Olala......

Senin, 20 Agustus 2012

MUDIK

Pada mudik lebaran yaaaaa......? Saya juga. Kebetulan tahun ini lumayan tepat penjadwalannya lumayan tepat. Alias libur di depan (sebelum lebarannya) ada, dan libur di belakang (setelah lebarannya) ada juga. Dan yang bikin enaknya lagi adalah penetapan tanggal lebarannya sama, alias tidak ada perbedaan hari antara 1 Syawal yang ditetapkan pemerintah dengan yang ditetapkan oleh ormas-ormas. Jadi yaaaaa mayan adeeeemmmmm walau awal mulai puasanya empo hari sempat berbeda. Alhamdulillah .....

So, saya mudik tepat hari kemerdekaan RI. Bus patas yang saya incar tidak nongol2, padahal jumlah penunggunya mulai melebihi kapasitas satu bus. Ya sudah, saya beralih ke bis ekonomi biasa. Dan dapat tempat duduk dan kipasan AC, walau sebenarnya ada diskriminasi diberlakukan oleh awak bus. Diskriminasinya berupa, yang tujuannya jauh boleh masuk duluan dan ambil tempat duduk. Sedangkan yang jarak dekat (sekitar sejam atau dua jam perjalanan) baru boleh masuk nanti setelah bangku bus terisi oleh yang perjalanan jauh. Nahhhhhh kan diskriminasi kan? Padahal sama-sama penumpang dan sama-sama bayar. Seorang calon penumpang sempat marah dan memprovokasi penumpang lain untuk memecahkan kaca bus. Tapi awak bus juga tak gentar. Mereka dengan garang mengusir sang provokator. Lalu bus berangkat dengan tenang. Mudik  oh mudik ......

Sampai di rumah ceritanya lain lagi. Saya nyaris selalu jadi yang pertama sampai di rumah orangtua. Kakak-kakak saya menyusul satu atau dua hari kemudian, membawa serta keluarganya. Ya ya ya .... sebenarnya anak-anak kakak saya inilah yang membuat ramai suasana. Dan inilah yang paling ditunggu oleh orang tua saya. Tapi yang menunggu krucil itu tentu bukan saja orang tua saya. Sebab masih ada eyang lain yang juga menantikan, alias para besan orang tua saya. Maka disinilah manajemen mudik diberlakukan.... hahahahahahah..... 

Kakak tertua saya menetapkan jika tahun ini lebaran ada di rumah mertua, maka tahun depan orang tua kandung yang mendapat giliran. Demikian sebaliknya. Dan karena tahun kemarin mereka sekeluarga sudah stand by di rumah orang tua saya sebelum sholat Ied dimulai, maka tahun ini giliran jatuh pada eyang satunya. Makanya eyang yang disini harus sabar menanti ..... hahhhahhaahah.... 

Jujur ini menggelikan buat saya. Karena tiap tahun saya menyaksikan kecemburuan-kecemburuan ibu saya mengenai hal ini. Yaaaa ...kecemburuan kecil sih sebenarnya. Beliau benar-benar menghitung berapa hari keluarga kakak saya menghabiskan waktu di rumah beliau, dan berapa hari ada di rumah besannya. Hahhaahhaahah ..... lucu kannnnn ....??? Dan ternyata kakak saya cukup mengerti itu dan setengah mati untuk berusaha adil .....  Nahhhh kalau sudah begini saya jadi bersyukur akan status saya sebagai si single fighter alias jomblo. Dengan status ini saya tak perlu membagi libur untuk orang tua dan mertua. Jadi begitu libur datng saya cuma punya satu tujuan pulang, tanpa kebingungan. Tapiiiiii ada juga susahnya lho..... Saya cuma dapat jatah kamar dan tempat tidur empuk sementara. Setelah keluarga yang lain datang nahhhh sofa dan gelaran depan tv menjadi tempat tidur saya.... hehehheheheee 

Selamat mudik everybody ..... 

Senin, 13 Agustus 2012

Para Penafsir (Lagi)


Akhir-akhir ini saya merasa dihadapkan pada satu fenomena yang terasa marak tapi tetap saja saya tergagap-gagap menghadapinya. Konsep spiritualisme yang makin bebas dan sekaligus individual. Semua orang seperti syah untuk menelurkan konsepnya. Semua orang seperti syah untuk menjadi penafsir. Mereka ada dimana-mana. Dan saya ternganga.

Mengapa saya jadi nyinyir dengan ini? Ehmmm .... hidup selalu tak tertebak, demikian kalau saya kepingin agak puitis. Hidup mempertemukan saya dengan masa yang berbeda dan tentu juga orang yang berbeda. Saya ingat betul jaman orde baru berkuasa, kata atheis seperti momok. Ini merujuk pada pengalaman sejarah tahun 65-an, dimana perang saudara pecah di negeri ini. Jujur saya bersyukur belum lahir masa itu. Dari cerita orang-orang yang mengalami saja, saya sudah bisa membayangkan kengeriannya. Yang memang atheis sebenarnya tidak sama dengan komunis. Cuma dari penafsiran-penafsiran politis, kedua kata itu terasa seperti kembar siam. Lalu dengan segala alasannya, orde baru bercokol dengan represif. Semua terasa seragam untuk banyak hal. Dan ini baru sangat terasa bagi saya sebenarnya justru ketika orde itu kolaps.

Lalu muncul orde yang lebih baru. Semua seperti dalam euforia kebebasan. Apa-apa yang sebelumnya dilarang, dituntut untuk dibebaskan. Atas nama apalagi kalau bukan demokrasi, kebebasan, dan juga HAM. Banyak hal yang sekarang saya rasakan kehilangan kesakralannya. Satu contoh dulu siapa yang berani mengkritik pemerintah yang berkuasa? Bandingkan dengan sekarang. Sungguh seperti bumi dan langit. Presiden bisa diparodikan tiap minggu, dan laku ditonton. Media jelas memprovokasi ini itu dan namanya adalah kebebasan pers. Demonstrasi seperti sudah jadi jalan jitu. Ehmmmm ... salahkah? Entahlah. Saya tak hendak menghakimi ini. Saya cuma seorang yang sedang mengamati dan berpikir.

Spiritualisme demikian juga. Agama ditangan banyak orang tak lagi sakral di istana gading. Begitu juga dengan Tuhan. Spiritualisme bukan lagi berarti agama mainstream. Mereka memandang agama dan Tuhan dengan kekritisan yang logis. Otak memang diciptakan dengan fungsi sebagai mesin pemikir. Dan itu benar-benar digunakan dalam arti sebenarnya. Jujur saya salut kepada kemauan mereka untuk terus berpikir, terus bertanya, terus mencari, tanpa gentar konsekuensi di depan. Dan jujur saya sering terperangah dan nelangsa, betapa sedikit isi dari kepala saya. Betapa saya cuma memfungsikan isi kepala saya untuk hal yang umum-umum saja. Sementara mereka, ehmmmm ... tak ada yang luput dari pandangan kritis. Kadang juga terasa sinis.

Para penafsir. Demikian saya pribadi menyebut mereka. Bukan bermaksud menjelekkan jika saya menggunakan kata dasar ‘tafsir’. Bagi saya seperti itulah adanya. Mereka berpikir, mereka menafsir, mereka menyimpulkan. Dan karena ini yang dikritisi adalah Tuhan dan agama, saya yakin kebenarannya tidak berupa Tuhan yang benar-benar datang dan menunjukkan benar salah buah pikiran makhluknya itu. Yang saya tahu yang muncul sebagai segala jawaban adalah pertanda-pertanda yang harus dibaca. Jadilah terjadi kegiatan tafsir menafsir yang tak akan pernah henti entah sampai kapan.

Salahkah? Lagi-lagi saya bilang saya tak hendak membuat pengadilan tentang benar salah. Saya benar-benar merasa tak punya modal untuk membuat penafsiran, apalagi membuat pengadilan. Tapi melihat publikasi yang dilakukan oleh para penafsir itu di banyak media, jujur hati saya sungguh miris. Apalagi banyak yang bentuknya berupa media yang menghibur semacam fiksi. Memang sebuah karya seperti fiksi adalah karya individual, awalnya. Tapi tak lagi menjadi sebuah individu yang tidak bisa mempengaruhi ketika barang itu dicetak banyak dan didistribusikan ke khalayak. Ada pembaca yang sadar atau tidak akan menentukan sikap terhadap tafsir tersebut. Penentuan sikap bisa saja sekedar setuju dan tidak setuju. Bisa juga lebih dari itu. Artinya bisa lebih dalam, bahkan jauh lebih dalam. Jadi tafsir ini bisa mempengaruhi sikap dan kerangka berpikir orang lain. Beruntung jika sang audiens mempunyai kesempatan, ilmu, dan kemauan untuk mengunyah terlebih dahulu. Tapi bagaimana dengan audiens yang tak punya semua itu? Apalagi yang dari sononya memang sudah malas berpikir dan mudah terbawa euforia. Semua ide yang marak akan terlihat keren dan wajib diikuti bagi mereka yang seperti ini. Dan jadilah mereka pengikut yang sebenarnya tanpa melalui proses berpikir mandiri. Mungkin sekedar mengikuti arus yang sedang in, tanpa tahu detail isi dan maksudnya. Terus....? Ya embuh.....

Para penafsir seringkali terlihat sebagai sosok yang berkilau, terutama ketika mereka  membuat tafsiran yang terasa mendobrak apa yang oleh banyak orang dimaknai sebagai belenggu. Semua akan silau dengan ide tersebut. Apalagi jika dikemukakan dengan percaya diri penuh, oleh sosok yang menarik dan mempunyai pengaruh. Lalu semua nilai lama, yg dianggap mainstream, jadi terlihat usang. Padahal jika direnungkan sebenarnya bukan masalah baru dan usang intinya. Kebenaranlah yang harus tetap bertahan. Cuma membuktikan kebenaran itu yang manalah yang menyeret semua pada tafsir-tafsir tiada akhir.

Saya gamang. Di sekitar saya beredar tafsir-tafsir itu. Ironisnya saya tak cukup pandai untuk menyeleksi. Padahal hati saya bilang saya harus menyeleksi. Logika saya juga berkata yang sama. Merenunglah saya. Jadi begini, sebenarnya tulisan ini saya buat lagi-lagi seusai membaca sebuah fiksi karya penulis yang memang sudah terkenal karena ‘ilmunya’. Kebetulan secara fisik dia sungguh menarik. Kloplah. Siapa yang tidak silau? Saya pun silau. Cuma terasa ada yang mengganjal. Ya, tafsir yang dibuatnya...... Membuat saya kagum dengan gamang. Kagum akan kemampuan berpikir hingga jadi karya yang indah, sekaligus gamang karena tafsir yang ada didalamnya. Sungguh perlu kedewasaan berpikir sebelum membacanya. Begitu kesimpulan saya......... dan saya berharap termasuk yang dewasa.

Selasa, 10 Juli 2012

Dokter


Minggu kemarin bapak saya harus tinggal lima hari penuh di rumah sakit karena hipertensi. Dan kami anak-anaknya; saya dan dua kakak;  yang tak lagi tinggal sekota dengan beliau bergegas-gegas pulang kampung. Jujur, lega sekali saya ketika melihat beliau cukup segar di ranjang rumah sakit dan semua fungsi tubuh masih berjalan normal. Padahal sebelumnya dokter sempat memberi ‘warning’ bisa jadi gejala awal stroke. Alhamdulillah segera mendapat penanganan dan tension headache akibat hipertensi itu tidak menjadi hal yang lebih buruk.

Setiap kali ada anggota keluarga yang sakit, selalu terselip penyesalan di hati saya, kenapa dulu tidak menjadi dokter saja. Dan rupanya kakak perempuan saya yang dulu mengambil jurusan biologi semasa SMA juga memikirkan hal yang sama. Iya ya ...kalau ada yang jadi dokter kan enak? Begitu saya dan kakak ‘grenengan’. Ya memang enak sih .... Bisa ditangani dokter yang notabene keluarga sendiri ... Lebih nyaman... Lebih percaya .... dan tentu saja lebih murah .... hehhehehehehe....

Saya pernah sihhh punya cita-cita jadi dokter. Dulu semasa kanak-kanak. Setelah SMP dan SMA saya menyadari betul profesi itu tidak cuma butuh otak encer, tapi juga hati dan duit. Sementara secara otak yaaaaaa isi kepala saya rasanya kok tidak kuat untuk bertarung memperebutkan bangku kuliah di PTN. Sementara untuk masuk ke PTS saya rasanya sudah silau dengan biayanya. Jaman SMA saya pernah dengar bahwa untuk masuk FK di PTS biaya setara dengan satu mobil ambulans. Lha bapak saya saja belum mampu beli mobil, masa’ saya harus membebaninya untuk membeli ambulans? Heheheheheh ..... Jadi saya lupakan semuanya. Dan sebenarnya juga karena pada masa SMA itu saya sungguh tergila-gila dengan gambar teknis (setelah menemukan diri tak berbakat dalam hal gambar senirupa). Maka profesi dokter tak masuk dalam ambisi saya. Apalagi setelah saya menemukan kesenangan dalam hal gambar-menggambar desain yang seperti dugaan saya memang mengasyikkan.

Nah, berarti seharusnya saya tidak boleh menyesal dong ..... Menyesal tidak sih .... Cuma kepikir selintas. Apalagi semua orang tua pasti bangga melihat anaknya berjas lab putih, menyandang stetoskop, dan menolong banyak orang seperti itu. Sungguh menyenangkan bukan? Seorang teman bilang, dokter tidak akan ditolak oleh calon mertua manapun .... hahahahahaa.... Jujur, yang ini saya sungguh percaya. Kendati profesi dokter konon bukan jaminan akan diikuti dengan kekayaan materi, toh dari awal secara fungsi dan penampilan sudah membanggakan. Pokoknya kereeeeennnnn .....

Pas saya berpikir tentang profesi mulia nan keren ini, seorang dokter yang saya ikuti akun twitter-nya bercerita soal serba-serbi masuk FK. Katanya bisa mahal, tapi bisa murah juga, bahkan gratis. Tergantung seberapa besar kapasitas otak kita dan seberapa keras kita berusaha. Nah nah nah.... berarti ada jalan untuk bisa jadi dokter dengan gratis lhoooooo .... Wahhh andai info ini saya dapat pas jaman SMA dulu mungkin saya sudah berbaju lab putih, menenteng stetoskop, dan menolong orang-orang sakit .... ahhaahhahaha.....

Oh iya, ngomong-ngomong saya baru menyadari bahwa Pak Dokter yang menangani hipertensi bapak saya ternyata punya senyum polos yang aduhai. Saya jadi tambah mahfum dengan pernyataan teman saya. Lha calon mertua mana yang sampai hati menolak dokter dengan senyum indah seperti itu? Hahhaaha..... Btw, makasih ya Dok, sudah merawat bapak saya .....