Jumat, 07 September 2012

ASISTEN


Kemarin, di akhir libur Lebaran, saya membaca sebuah artikel di surat kabar nasional. Tentang fenomena tuan rumah yang terasing di rumahnya sendiri. Fenomena yang dialami oleh warga kota waktu lebaran karena ditinggal mudik oleh asisten rumah tangganya. Mereka yang di hari-hari biasa tidak pernah menyentuh urusan domestik rumah tangganya jadi terpaksa melakukannya dengan segala kekidungannya. Yang berkantong lebih tebal mengambil langkah seribu pindah sementara ke hotel atau villa demi tetap memperoleh pelayanan. Yang lain berstrategi dengan ‘menggandeng’ laundry kiloan, children day care, resto cepat saji, dan warteg. Intinya adalah menyederhanakan pekerjaan, meringankan beban. Ehmmmm ...jadi benar ya itu serupa beban. Seorang artis; diberitakan di koran yang sama; bilang pokoknya dia tidak mau repot-repot akibat ditinggal mudik asisten rumah tangganya. Jadi sebelum si asisten berangkat mudik dia sudah memenuhi kulkas dengan bahan makanan setengah matang. Untuk sajian lebaran dia menimbrung ke tetangganya yang memasak ketupat sayur. Dan jika akhirnya kulkas kosong sebelum sang asisten pulang maka jurusnya adalah menelepon depot dan warung makan. Ini dia yang dia sebut sebagai ‘pokoknya tidak mau repot-repot’.
Fenomena yang biasa ya sebenarnya di jaman yang seperti sekarang ini, apalagi di perkotaan yang menyedot sebagian besar waktu untuk dihabiskan di tempat kerja dan di jalan. Di jaman yang semuanya harus kompetitif ini seperti tak ada lagi pilihan selain keduanya harus sama-sama berangkat mencari nafkah. Hidup ini harus dimenangkan. Dan kemenangan tidaklah gratis. Semua ada harganya. Tak terhitung jumlah pasangan yang memilih untuk meninggalkan rumah demi kehidupan dan masa depan yang baik untuk anak-anaknya. Urusan domestik diserahkan kepada asisten rumah tangga, tentu dengan imbalan uang juga. Si asisten ini malah seringkali perannya lebih luas lagi, menjadi pengganti sosok ibu yang tak hadir selama jam kerja dan biasanya kelelahan begitu sampai rumah. Dan ini fenomena yang wajar.
Sungguh saya tak hendak mengkritisi ini semua. Toh hidup memang tak mudah. Cuma tempo hari saya sempat mengobrol ringan dengan seorang  teman sekantor. Sungguh saya terkesan dengan etos kerjanya. Dengan dua anak (satu masih balita), dia mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa bantuan seorang asisten pun. Kegiatannya dimulai pukul 04.30, berupa membersihkan rumah, belanja, dan memasak untuk sarapan dan makan siang. Lalu mengurus anak-anak yang akan berangkat sekolah, mengantar mereka sembari berangkat ke kantor. Mencuci baju dilakukan setiap hari sepulang kantor, dengan bantuan suami. Setrika dijadwal di akhir pekan. Katanya sungguh dia terbantu karena ada mertua yang tinggal bersama sehingga si anak balita tak perlu dititipkan kesana kemari di jam kerja. Kunci dari kesuksesannya adalah kerjasama dengan suami, bangun pagi, dan kulkas yang selalu penuh bahan makanan. Di kantorpun dia bisa bekerja cekatan, seperti tak terpengaruh dengan kelelahan akibat kerja domestik di jam sebelumnya.
Seorang teman yang lain menurut saya sedikit lebih diuntungkan oleh statusnya sebagai wiraswasta alias kerja sendiri yang tak terikat oleh jam kerja paten. Waktu saya bertandang, rumahnya dalam kondisi resik dan apik. Dua anaknya (lagi, salah satu masih balita) berlarian di dalam rumah. Kata teman saya, tak pernah ada asisten di dalam rumah tangganya. Semua dikerjakan sendiri, dari membersihkan rumah, memasak, dan mengantar jemput anak-anak. Kadang jika harus keluar sendiri karena urusan bisnis, dia menitipkan anaknya ke mertuanya. Selesai mengurus rumah tangganya dia menjalankan hal-hal terkait bisnisnya yang kontraktor bangunan dan jalan raya. Di luar bisnis inti itu, dia merintis bisnis perhiasan yang semuanya dia buat sendiri dengan tangan. Jujur saya sangat terkesan karena perhiasan yang dibuatnya cukup rumit bin njelimet. Sambil tertawa ditunjukkannya tang aneka ukuran. Bagaimana punya waktu? Katanya, sejak kecil dia membiasakan anak-anaknya untuk mandiri. Jadi tak satupun anaknya yang terbiasa digendong-gendong. Semuanya biasa ditaruh di kereta bayi sehingga ibunya tetap bebas bergerak dan berkegiatan sembari mengasuh. Dia juga disiplin menyimpan alat-alatnya dalam wadah-wadah tersendiri sehingga tidak gampang untuk dijangkau dan dimainkan oleh anak-anaknya. Ruang tamunya yang sekalian dijadikan showroom perhiasan pun aman. Semua ditata rapi di dalam showcase yang terkunci. Saya juga sempat melihat sendiri bagaimana si balita memegang botl susunya sambil berbaring di sofa lalu tertidur tanpa rewel ini itu. Ehmmmm.... semua ada kuncinya. Saya jadi ingat nenek saya yang anaknya 10 orang. Bagaimana ya dulu mengaturnya? Apakah beliau menggunakan kereta bayi berjajar-jajar begitu ya?
Saya yakin kedua teman saya tidak termasuk kategori ibu yang terasing dengan rumahnyaketika si asisten mudik. Dan saya juga tidak sedang menyebut bahwa rumah tangga dimana ada ibu yang terasing di rumahnya salah menerapkan manajemen. No no no ..... tidakkkkkk, sekali lagi saya tidak sedang mengadili. Saya malah sedang berpikir, ketika saatnya nanti datang, akan masuk kategori yang mana saya? Apakah saya bakal jadi seperti kedua teman saya? Atau termasuk yang terasing? Ohhhhhh ........ Jujur saya takut karena selama menjadi lajang saat ini saya lebih bisa bekerja di malam hari ketimbang di bangun awal terus langsung ‘on’. Karenanya sering sekali saya menyetrika baju tengah malam, sembari mensiasati listrik rumah kos yang gampang ‘njeglek’. Saya juga biasa mencuci baju selepas isya. Lha terus apa nantinya saya bakal memasak sarapan di tengah malam juga...??? Olala......

Tidak ada komentar: