Kemarin, di akhir
libur Lebaran, saya membaca sebuah artikel di surat kabar nasional. Tentang
fenomena tuan rumah yang terasing di rumahnya sendiri. Fenomena yang dialami
oleh warga kota waktu lebaran karena ditinggal mudik oleh asisten rumah
tangganya. Mereka yang di hari-hari biasa tidak pernah menyentuh urusan
domestik rumah tangganya jadi terpaksa melakukannya dengan segala kekidungannya.
Yang berkantong lebih tebal mengambil langkah seribu pindah sementara ke hotel
atau villa demi tetap memperoleh pelayanan. Yang lain berstrategi dengan
‘menggandeng’ laundry kiloan, children day care, resto cepat saji, dan warteg.
Intinya adalah menyederhanakan pekerjaan, meringankan beban. Ehmmmm ...jadi
benar ya itu serupa beban. Seorang artis; diberitakan di koran yang sama;
bilang pokoknya dia tidak mau repot-repot akibat ditinggal mudik asisten rumah
tangganya. Jadi sebelum si asisten berangkat mudik dia sudah memenuhi kulkas
dengan bahan makanan setengah matang. Untuk sajian lebaran dia menimbrung ke
tetangganya yang memasak ketupat sayur. Dan jika akhirnya kulkas kosong sebelum
sang asisten pulang maka jurusnya adalah menelepon depot dan warung makan. Ini
dia yang dia sebut sebagai ‘pokoknya tidak mau repot-repot’.
Fenomena yang
biasa ya sebenarnya di jaman yang seperti sekarang ini, apalagi di perkotaan
yang menyedot sebagian besar waktu untuk dihabiskan di tempat kerja dan di
jalan. Di jaman yang semuanya harus kompetitif ini seperti tak ada lagi pilihan
selain keduanya harus sama-sama berangkat mencari nafkah. Hidup ini harus
dimenangkan. Dan kemenangan tidaklah gratis. Semua ada harganya. Tak terhitung
jumlah pasangan yang memilih untuk meninggalkan rumah demi kehidupan dan masa
depan yang baik untuk anak-anaknya. Urusan domestik diserahkan kepada asisten
rumah tangga, tentu dengan imbalan uang juga. Si asisten ini malah seringkali
perannya lebih luas lagi, menjadi pengganti sosok ibu yang tak hadir selama jam
kerja dan biasanya kelelahan begitu sampai rumah. Dan ini fenomena yang wajar.
Sungguh saya tak
hendak mengkritisi ini semua. Toh hidup memang tak mudah. Cuma tempo hari saya
sempat mengobrol ringan dengan seorang teman
sekantor. Sungguh saya terkesan dengan etos kerjanya. Dengan dua anak (satu
masih balita), dia mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa bantuan
seorang asisten pun. Kegiatannya dimulai pukul 04.30, berupa membersihkan
rumah, belanja, dan memasak untuk sarapan dan makan siang. Lalu mengurus
anak-anak yang akan berangkat sekolah, mengantar mereka sembari berangkat ke
kantor. Mencuci baju dilakukan setiap hari sepulang kantor, dengan bantuan
suami. Setrika dijadwal di akhir pekan. Katanya sungguh dia terbantu karena ada
mertua yang tinggal bersama sehingga si anak balita tak perlu dititipkan kesana
kemari di jam kerja. Kunci dari kesuksesannya adalah kerjasama dengan suami,
bangun pagi, dan kulkas yang selalu penuh bahan makanan. Di kantorpun dia bisa
bekerja cekatan, seperti tak terpengaruh dengan kelelahan akibat kerja domestik
di jam sebelumnya.
Seorang teman
yang lain menurut saya sedikit lebih diuntungkan oleh statusnya sebagai
wiraswasta alias kerja sendiri yang tak terikat oleh jam kerja paten. Waktu
saya bertandang, rumahnya dalam kondisi resik dan apik. Dua anaknya (lagi,
salah satu masih balita) berlarian di dalam rumah. Kata teman saya, tak pernah
ada asisten di dalam rumah tangganya. Semua dikerjakan sendiri, dari
membersihkan rumah, memasak, dan mengantar jemput anak-anak. Kadang jika harus
keluar sendiri karena urusan bisnis, dia menitipkan anaknya ke mertuanya.
Selesai mengurus rumah tangganya dia menjalankan hal-hal terkait bisnisnya yang
kontraktor bangunan dan jalan raya. Di luar bisnis inti itu, dia merintis
bisnis perhiasan yang semuanya dia buat sendiri dengan tangan. Jujur saya
sangat terkesan karena perhiasan yang dibuatnya cukup rumit bin njelimet.
Sambil tertawa ditunjukkannya tang aneka ukuran. Bagaimana punya waktu?
Katanya, sejak kecil dia membiasakan anak-anaknya untuk mandiri. Jadi tak
satupun anaknya yang terbiasa digendong-gendong. Semuanya biasa ditaruh di
kereta bayi sehingga ibunya tetap bebas bergerak dan berkegiatan sembari
mengasuh. Dia juga disiplin menyimpan alat-alatnya dalam wadah-wadah tersendiri
sehingga tidak gampang untuk dijangkau dan dimainkan oleh anak-anaknya. Ruang
tamunya yang sekalian dijadikan showroom perhiasan pun aman. Semua ditata rapi
di dalam showcase yang terkunci. Saya juga sempat melihat sendiri bagaimana si
balita memegang botl susunya sambil berbaring di sofa lalu tertidur tanpa rewel
ini itu. Ehmmmm.... semua ada kuncinya. Saya jadi ingat nenek saya yang anaknya
10 orang. Bagaimana ya dulu mengaturnya? Apakah beliau menggunakan kereta bayi
berjajar-jajar begitu ya?
Saya yakin kedua
teman saya tidak termasuk kategori ibu yang terasing dengan rumahnyaketika si
asisten mudik. Dan saya juga tidak sedang menyebut bahwa rumah tangga dimana
ada ibu yang terasing di rumahnya salah menerapkan manajemen. No no no .....
tidakkkkkk, sekali lagi saya tidak sedang mengadili. Saya malah sedang
berpikir, ketika saatnya nanti datang, akan masuk kategori yang mana saya?
Apakah saya bakal jadi seperti kedua teman saya? Atau termasuk yang terasing?
Ohhhhhh ........ Jujur saya takut karena selama menjadi lajang saat ini saya
lebih bisa bekerja di malam hari ketimbang di bangun awal terus langsung ‘on’.
Karenanya sering sekali saya menyetrika baju tengah malam, sembari mensiasati
listrik rumah kos yang gampang ‘njeglek’. Saya juga biasa mencuci baju selepas
isya. Lha terus apa nantinya saya bakal memasak sarapan di tengah malam
juga...??? Olala......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar