Selasa, 11 September 2012

Tetangga, Oh Tetangga.......


Seminggu yang lalu, saya merayakan malam Sabtu dengan menonton televisi hingga jauh malam. Pukul 01.30 dini hari saya baru benar-benar tak tahan tidak tidur. Dan rasanya baru beberapa saat terlelap, tiba-tiba saya terbangun oleh suara keras dan lampu bercahaya merah yang menerangi kamar secara tidak merata. Saya bangun dalam kondisi bingung, malah sempat berfantasi ada pesawat ruang angkasa sedang mendarat untuk menciduk saya. Butuh beberapa menit untuk sadar bahwa hari bahkan belum menyentuh Subuh, masih pukul 02.30. Tapi karena di luar terdengar ramai seperti pasar maka saya memaksakan diri keluar. Teman kos penghuni kamar sebelah dan induk semang saya tersenyum menyambut. “Akhirnya bangun juga ...” Demikian komentar mereka. Ternyata ada kebakaran. Rumah tetangga yang berjarak kisaran lima rumah dari kos saya terbakar habis. Beruntung sedang tidak ada angin sehingga penjalaran api relatif tidak terlalu cepat. Beruntung juga tetangga segera bangun dan menelepon PMK. Jadi walau rumah hangus tapi paling tidak, tak ada korban jiwa. Sambil berjongkok bersama yang lain, saya berpikir bagaimana jika angin cukup besar dan kebakaran merambat ke kos saya sementara saya tidak bangun juga. Apa jadinya? Apa teman dan induk semang saya tetap tidak berpikir untuk membangunkan saya lebih awal? Diam-diam saya kecewa, karena merasa tak cukup diingat. Diam-diam saya berpikir mungkin saya bukan orang yang baik jadi ada kejadian seperti itu mudah sekali dilupakan. Ahhh.... saya jadi miris....

Beberapa malam lalu saya tengah bersiap mematikan komputer ketika panggilan masuk ke ponsel saya. Dari kakak yang tinggal di lain kota. Dan di waktu menjelang tengah malam itu dia minta agar saya mencari tiket pesawat tujuan Pekanbaru untuk keberangkatan esok hari atau paling lambat lusa pagi. Dia memberikan pilihan kota keberangkatan, yaitu Surabaya, Solo, atau Yogyakarta. Masih terbengong-bengong saya menancapkan kembali modem internet, mulai searching, sambil bertanya untuk siapa tiket tersebut. Jadi ceritanya tetangga kakak saya jatuh sakit ketika tengah dinas tugas ke Pekanbaru. Jadilah malam-malam si istri yang shock mengetuk rumah kakak saya, minta dibantu solusi. Tiket ini diperuntukkan istri dan anak perempuannya. Kakak saya bilang malam ini harus dapat. Lha buyarlah kantuk yang tadi sempat menggandoli mata saya, berganti dengan kegiatan browsing kanan kiri, menelepon kesana kemari, karena booking tiket malam itu entah mengapa jadi tak semudah biasanya. Entah mengapa banyak sekali orang bepergian dengan rute Jakarta – Pekanbaru saat itu sehingga beberapa kali booking yang saya lakukan patah, didahului orang lain ketika tengah mengisi data diri. Belum lagi masalah kurangnya dana di rekening bank saya. Hadduuhhh.... pokoknya hal yang biasanya terasa sederhana saja itu, kali ini terasa begitu susah. Membeli tiket pesawat saja kok harus berlomba seperti mengejar bus mudik lebaran..... padahal musim mudik dan arus balik sudah usai..... Lewat setengah tiga pagi saya baru bisa lega ketika sebuah e-ticket masuk ke email address saya. Berhasil.... berhasil..... saya berjingkrak ala Dora. Hehehehehee ..... begitu kakak saya konfirmasi e-ticket itu sudah masuk ke inbox-nya, saya langsung menyurukkan kepala mencium bantal. Sebelum benar-benar lelap saya sempat mengucapkan sederet panjang alhamdulillah. Alhamdulillah internet saya mau berkompromi malam ini, alhamdulillah tagihan ponsel pasca bayar yang sempat menunggak sudah saya lunasi, alhamdulillah kakak saya berhasil mendapatkan pinjaman rekening bank yang sama dengan rekening saya untuk transfer, alhamdulillah penjaga kantor kakak saya tidak bolos jadi bisa menumpang faksimili .... alhamdulillah .... alhamdulillah......... Terima kasih ya Allah.....

Bangun tidur setelah kehebohan malam sebelumnya, saya teringat apa yang terjadi bulan Juni kemarin. Kali ini setting-nya di rumah orangtua saya yang memang tinggal berdua saja. Ceritanya tensi darah Bapak saya naik jauh di atas batas normal. Malam itu begitu saya langsung bilang kalau dokter memerintahkan opname turuti saja, saya akan pulang subuh. Tapi dengan banyak pertimbangan Bapak saya menolak perintah opname tsb dan memilih rawat jalan. Si dokter tak kuasa memaksa. Jadi malam itu  Bapak saya tetap tinggal di rumah walau semua yang ada di bumi dalam pandangannya telah bergerak dan jungkir balik tak keruan. Petaka datang bersama Subuh. Bapak saya terjatuh dari tempat tidur ketika berniat bangun ke kamar mandi untuk buang air kecil dan wudlu. Pelipisnya sobek terantuk lemari jati. Dan selepas jatuh terlihat linglung. Ibu yang panik segera berlari menggedor rumah tetangga meminta bantuan. Segera satu dasa wisma bangun. Pemuda-pemuda yang baru turun dari mushola tak jadi pulang, malah harus berbelok ke rumah saya. Tetangga depan rumah sigap menelepon ambulance. Yang lain berupaya menghentikan pendarahan. Ketika dirasa ambulance tak kunjung datang, tetangga yang lain langsung membuka garasi, mengeluarkan sedan pribadinya, dan para pemuda menggotong Bapak saya, lalu melarikannya ke rumah sakit. Sejak masih di UGD, seorang tetangga lain sigap mem-booking kamar untuk opname. Sungguh seperti kerja tim yang kompak.  Sementara itu di waktu yang sama tempat yang berbeda, saya terbirit-birit ke terminal menaiki bus pertama yang bisa saya temukan, sambil tak putus berdoa, sekaligus dihujani telepon dan pesan singkat dari kakak-kakak yang memantau kondisi bapak dan juga posisi saya. Menit ke menit terasa begitu lambat. Dan ketika sampai di rumah sakit, sungguh lega melihat bapak saya terbaring walau lemah tapi jauh lebih baik dari bayangan saya. Di sekelilingnya ibu-ibu menjaga, menggantikan ibu saya yang tengah mengambil baju. Malamnya, dari beliau-beliau yang datang menjenguk, saya mendengar cerita lengkapnya. Dan tak ada yang bisa saya lakukan selain mengucapkan terima kasih banyak-banyak ... Bayangkan, saya yang anak kandungnya tidak terlibat semua keruwetan itu, dan tinggal terima beres .... Olala...... Alhamdulillah ada ‘tim’ yang begitu kompak tadi ..... hiks hiks hiks....

So, begitu ..... yang namanya bertetangga. Sungguh saya tak ingin menjadi tetangga yang dilupakan. Saya sudah pernah dilupakan seperti yang saya ceritakan di awal tadi. Rasanya tak enak sekali. Dan sungguh saya berdoa tak pernah terjadi lagi .......

Jumat, 07 September 2012

ASISTEN


Kemarin, di akhir libur Lebaran, saya membaca sebuah artikel di surat kabar nasional. Tentang fenomena tuan rumah yang terasing di rumahnya sendiri. Fenomena yang dialami oleh warga kota waktu lebaran karena ditinggal mudik oleh asisten rumah tangganya. Mereka yang di hari-hari biasa tidak pernah menyentuh urusan domestik rumah tangganya jadi terpaksa melakukannya dengan segala kekidungannya. Yang berkantong lebih tebal mengambil langkah seribu pindah sementara ke hotel atau villa demi tetap memperoleh pelayanan. Yang lain berstrategi dengan ‘menggandeng’ laundry kiloan, children day care, resto cepat saji, dan warteg. Intinya adalah menyederhanakan pekerjaan, meringankan beban. Ehmmmm ...jadi benar ya itu serupa beban. Seorang artis; diberitakan di koran yang sama; bilang pokoknya dia tidak mau repot-repot akibat ditinggal mudik asisten rumah tangganya. Jadi sebelum si asisten berangkat mudik dia sudah memenuhi kulkas dengan bahan makanan setengah matang. Untuk sajian lebaran dia menimbrung ke tetangganya yang memasak ketupat sayur. Dan jika akhirnya kulkas kosong sebelum sang asisten pulang maka jurusnya adalah menelepon depot dan warung makan. Ini dia yang dia sebut sebagai ‘pokoknya tidak mau repot-repot’.
Fenomena yang biasa ya sebenarnya di jaman yang seperti sekarang ini, apalagi di perkotaan yang menyedot sebagian besar waktu untuk dihabiskan di tempat kerja dan di jalan. Di jaman yang semuanya harus kompetitif ini seperti tak ada lagi pilihan selain keduanya harus sama-sama berangkat mencari nafkah. Hidup ini harus dimenangkan. Dan kemenangan tidaklah gratis. Semua ada harganya. Tak terhitung jumlah pasangan yang memilih untuk meninggalkan rumah demi kehidupan dan masa depan yang baik untuk anak-anaknya. Urusan domestik diserahkan kepada asisten rumah tangga, tentu dengan imbalan uang juga. Si asisten ini malah seringkali perannya lebih luas lagi, menjadi pengganti sosok ibu yang tak hadir selama jam kerja dan biasanya kelelahan begitu sampai rumah. Dan ini fenomena yang wajar.
Sungguh saya tak hendak mengkritisi ini semua. Toh hidup memang tak mudah. Cuma tempo hari saya sempat mengobrol ringan dengan seorang  teman sekantor. Sungguh saya terkesan dengan etos kerjanya. Dengan dua anak (satu masih balita), dia mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa bantuan seorang asisten pun. Kegiatannya dimulai pukul 04.30, berupa membersihkan rumah, belanja, dan memasak untuk sarapan dan makan siang. Lalu mengurus anak-anak yang akan berangkat sekolah, mengantar mereka sembari berangkat ke kantor. Mencuci baju dilakukan setiap hari sepulang kantor, dengan bantuan suami. Setrika dijadwal di akhir pekan. Katanya sungguh dia terbantu karena ada mertua yang tinggal bersama sehingga si anak balita tak perlu dititipkan kesana kemari di jam kerja. Kunci dari kesuksesannya adalah kerjasama dengan suami, bangun pagi, dan kulkas yang selalu penuh bahan makanan. Di kantorpun dia bisa bekerja cekatan, seperti tak terpengaruh dengan kelelahan akibat kerja domestik di jam sebelumnya.
Seorang teman yang lain menurut saya sedikit lebih diuntungkan oleh statusnya sebagai wiraswasta alias kerja sendiri yang tak terikat oleh jam kerja paten. Waktu saya bertandang, rumahnya dalam kondisi resik dan apik. Dua anaknya (lagi, salah satu masih balita) berlarian di dalam rumah. Kata teman saya, tak pernah ada asisten di dalam rumah tangganya. Semua dikerjakan sendiri, dari membersihkan rumah, memasak, dan mengantar jemput anak-anak. Kadang jika harus keluar sendiri karena urusan bisnis, dia menitipkan anaknya ke mertuanya. Selesai mengurus rumah tangganya dia menjalankan hal-hal terkait bisnisnya yang kontraktor bangunan dan jalan raya. Di luar bisnis inti itu, dia merintis bisnis perhiasan yang semuanya dia buat sendiri dengan tangan. Jujur saya sangat terkesan karena perhiasan yang dibuatnya cukup rumit bin njelimet. Sambil tertawa ditunjukkannya tang aneka ukuran. Bagaimana punya waktu? Katanya, sejak kecil dia membiasakan anak-anaknya untuk mandiri. Jadi tak satupun anaknya yang terbiasa digendong-gendong. Semuanya biasa ditaruh di kereta bayi sehingga ibunya tetap bebas bergerak dan berkegiatan sembari mengasuh. Dia juga disiplin menyimpan alat-alatnya dalam wadah-wadah tersendiri sehingga tidak gampang untuk dijangkau dan dimainkan oleh anak-anaknya. Ruang tamunya yang sekalian dijadikan showroom perhiasan pun aman. Semua ditata rapi di dalam showcase yang terkunci. Saya juga sempat melihat sendiri bagaimana si balita memegang botl susunya sambil berbaring di sofa lalu tertidur tanpa rewel ini itu. Ehmmmm.... semua ada kuncinya. Saya jadi ingat nenek saya yang anaknya 10 orang. Bagaimana ya dulu mengaturnya? Apakah beliau menggunakan kereta bayi berjajar-jajar begitu ya?
Saya yakin kedua teman saya tidak termasuk kategori ibu yang terasing dengan rumahnyaketika si asisten mudik. Dan saya juga tidak sedang menyebut bahwa rumah tangga dimana ada ibu yang terasing di rumahnya salah menerapkan manajemen. No no no ..... tidakkkkkk, sekali lagi saya tidak sedang mengadili. Saya malah sedang berpikir, ketika saatnya nanti datang, akan masuk kategori yang mana saya? Apakah saya bakal jadi seperti kedua teman saya? Atau termasuk yang terasing? Ohhhhhh ........ Jujur saya takut karena selama menjadi lajang saat ini saya lebih bisa bekerja di malam hari ketimbang di bangun awal terus langsung ‘on’. Karenanya sering sekali saya menyetrika baju tengah malam, sembari mensiasati listrik rumah kos yang gampang ‘njeglek’. Saya juga biasa mencuci baju selepas isya. Lha terus apa nantinya saya bakal memasak sarapan di tengah malam juga...??? Olala......