Seminggu yang lalu, saya merayakan malam Sabtu dengan menonton televisi
hingga jauh malam. Pukul 01.30 dini hari saya baru benar-benar tak tahan tidak
tidur. Dan rasanya baru beberapa saat terlelap, tiba-tiba saya terbangun oleh
suara keras dan lampu bercahaya merah yang menerangi kamar secara tidak merata.
Saya bangun dalam kondisi bingung, malah sempat berfantasi ada pesawat ruang
angkasa sedang mendarat untuk menciduk saya. Butuh beberapa menit untuk sadar
bahwa hari bahkan belum menyentuh Subuh, masih pukul 02.30. Tapi karena di luar
terdengar ramai seperti pasar maka saya memaksakan diri keluar. Teman kos
penghuni kamar sebelah dan induk semang saya tersenyum menyambut. “Akhirnya
bangun juga ...” Demikian komentar mereka. Ternyata ada kebakaran. Rumah
tetangga yang berjarak kisaran lima rumah dari kos saya terbakar habis.
Beruntung sedang tidak ada angin sehingga penjalaran api relatif tidak terlalu
cepat. Beruntung juga tetangga segera bangun dan menelepon PMK. Jadi walau
rumah hangus tapi paling tidak, tak ada korban jiwa. Sambil berjongkok bersama
yang lain, saya berpikir bagaimana jika angin cukup besar dan kebakaran
merambat ke kos saya sementara saya tidak bangun juga. Apa jadinya? Apa teman
dan induk semang saya tetap tidak berpikir untuk membangunkan saya lebih awal?
Diam-diam saya kecewa, karena merasa tak cukup diingat. Diam-diam saya berpikir
mungkin saya bukan orang yang baik jadi ada kejadian seperti itu mudah sekali
dilupakan. Ahhh.... saya jadi miris....
Beberapa malam lalu saya tengah bersiap mematikan komputer ketika panggilan
masuk ke ponsel saya. Dari kakak yang tinggal di lain kota. Dan di waktu
menjelang tengah malam itu dia minta agar saya mencari tiket pesawat tujuan
Pekanbaru untuk keberangkatan esok hari atau paling lambat lusa pagi. Dia memberikan
pilihan kota keberangkatan, yaitu Surabaya, Solo, atau Yogyakarta. Masih terbengong-bengong
saya menancapkan kembali modem internet, mulai searching, sambil bertanya untuk
siapa tiket tersebut. Jadi ceritanya tetangga kakak saya jatuh sakit ketika
tengah dinas tugas ke Pekanbaru. Jadilah malam-malam si istri yang shock
mengetuk rumah kakak saya, minta dibantu solusi. Tiket ini diperuntukkan istri
dan anak perempuannya. Kakak saya bilang malam ini harus dapat. Lha buyarlah
kantuk yang tadi sempat menggandoli mata saya, berganti dengan kegiatan
browsing kanan kiri, menelepon kesana kemari, karena booking tiket malam itu
entah mengapa jadi tak semudah biasanya. Entah mengapa banyak sekali orang
bepergian dengan rute Jakarta – Pekanbaru saat itu sehingga beberapa kali
booking yang saya lakukan patah, didahului orang lain ketika tengah mengisi
data diri. Belum lagi masalah kurangnya dana di rekening bank saya.
Hadduuhhh.... pokoknya hal yang biasanya terasa sederhana saja itu, kali ini
terasa begitu susah. Membeli tiket pesawat saja kok harus berlomba seperti
mengejar bus mudik lebaran..... padahal musim mudik dan arus balik sudah
usai..... Lewat setengah tiga pagi saya baru bisa lega ketika sebuah e-ticket
masuk ke email address saya. Berhasil.... berhasil..... saya berjingkrak ala
Dora. Hehehehehee ..... begitu kakak saya konfirmasi e-ticket itu sudah masuk
ke inbox-nya, saya langsung menyurukkan kepala mencium bantal. Sebelum
benar-benar lelap saya sempat mengucapkan sederet panjang alhamdulillah. Alhamdulillah
internet saya mau berkompromi malam ini, alhamdulillah tagihan ponsel pasca
bayar yang sempat menunggak sudah saya lunasi, alhamdulillah kakak saya
berhasil mendapatkan pinjaman rekening bank yang sama dengan rekening saya
untuk transfer, alhamdulillah penjaga kantor kakak saya tidak bolos jadi bisa
menumpang faksimili .... alhamdulillah .... alhamdulillah......... Terima kasih
ya Allah.....
Bangun tidur setelah kehebohan malam sebelumnya, saya teringat apa yang
terjadi bulan Juni kemarin. Kali ini setting-nya di rumah orangtua saya yang
memang tinggal berdua saja. Ceritanya tensi darah Bapak saya naik jauh di atas
batas normal. Malam itu begitu saya langsung bilang kalau dokter memerintahkan
opname turuti saja, saya akan pulang subuh. Tapi dengan banyak pertimbangan
Bapak saya menolak perintah opname tsb dan memilih rawat jalan. Si dokter tak
kuasa memaksa. Jadi malam itu Bapak saya
tetap tinggal di rumah walau semua yang ada di bumi dalam pandangannya telah
bergerak dan jungkir balik tak keruan. Petaka datang bersama Subuh. Bapak saya
terjatuh dari tempat tidur ketika berniat bangun ke kamar mandi untuk buang air
kecil dan wudlu. Pelipisnya sobek terantuk lemari jati. Dan selepas jatuh
terlihat linglung. Ibu yang panik segera berlari menggedor rumah tetangga
meminta bantuan. Segera satu dasa wisma bangun. Pemuda-pemuda yang baru turun
dari mushola tak jadi pulang, malah harus berbelok ke rumah saya. Tetangga
depan rumah sigap menelepon ambulance. Yang lain berupaya menghentikan
pendarahan. Ketika dirasa ambulance tak kunjung datang, tetangga yang lain
langsung membuka garasi, mengeluarkan sedan pribadinya, dan para pemuda
menggotong Bapak saya, lalu melarikannya ke rumah sakit. Sejak masih di UGD,
seorang tetangga lain sigap mem-booking kamar untuk opname. Sungguh seperti
kerja tim yang kompak. Sementara itu di
waktu yang sama tempat yang berbeda, saya terbirit-birit ke terminal menaiki
bus pertama yang bisa saya temukan, sambil tak putus berdoa, sekaligus dihujani
telepon dan pesan singkat dari kakak-kakak yang memantau kondisi bapak dan juga
posisi saya. Menit ke menit terasa begitu lambat. Dan ketika sampai di rumah
sakit, sungguh lega melihat bapak saya terbaring walau lemah tapi jauh lebih
baik dari bayangan saya. Di sekelilingnya ibu-ibu menjaga, menggantikan ibu
saya yang tengah mengambil baju. Malamnya, dari beliau-beliau yang datang
menjenguk, saya mendengar cerita lengkapnya. Dan tak ada yang bisa saya lakukan
selain mengucapkan terima kasih banyak-banyak ... Bayangkan, saya yang anak
kandungnya tidak terlibat semua keruwetan itu, dan tinggal terima beres ....
Olala...... Alhamdulillah ada ‘tim’ yang begitu kompak tadi ..... hiks hiks
hiks....
So, begitu ..... yang namanya bertetangga. Sungguh saya tak ingin menjadi
tetangga yang dilupakan. Saya sudah pernah dilupakan seperti yang saya
ceritakan di awal tadi. Rasanya tak enak sekali. Dan sungguh saya berdoa tak
pernah terjadi lagi .......