Selasa, 29 April 2008

kau ......... (ada dimana?)




kukangeni baumu
yang tak kutemukan lagi di ruang udaraku
dan sedetik lalu
kubertanya dosa untuk itu .........................
(karena menjejaknya di ingatan telah membuatku tersenyum begitu lengkung)





Selasa, 15 April 2008

Surabaya Saya ......



Seorang teman dari Turki mengirimkan foto hasil karyanya kepada saya lewat skype. Dan mungkin karena saya mengaku sebagai penikmat foto maka dia mengirimkannya banyak foto, secara bertubi-tubi, dalam format ukuran cukup besar pula. Saking bersemangat katanya ...... hehhehe iya dia semangat, disini komputer saya berkedip-kedip berusaha menerima bombardir foto itu sembari memproses perintah-perintah saya lainnya.


Foto yang bagus, kata saya. Terimakasih, sahutnya menanggapi pujian saya. Dia bilang seperti itulah adanya Turki, indah. Dia bilang akan membawa saya ke Istambul kalau saya datang mengunjunginya satu saat kelak. Kau pasti akan jatuh cinta dengan Istambulku, katanya. Ahh.....


Berikutnya, seorang patner kerja dari negeri jiran datang untuk rapat koordinasi. Setelah melewati serangkaian acara, saya bertugas mengantarnya ke bandara. Sepanjang jalan matanya tak lepas memandangi jalan-jalan Surabaya. Teman saya membuyarkan pikirannya dengan berkata bukankah Surabaya mirip dengan Johor. Dia sontak membantah. No, no ... Johor is better...., katanya. Saya tersenyum tanpa menoleh padanya dengan pikiran bahwa itu sekedar bantahan karena tidak mau kalah saja. Tapi senyum saya langsung lenyap seketika ketika dia melanjutkan kalimatnya dengan 'no .... Johor is much better than this....'. Ahhhh ...... kali ini saya langsung menoleh padanya. Saya lihat mukanya sedikit merona. Saya jadi mengerti muka merah itu karena dia malu tidak bisa menyenangkan tuan rumah yang sudah berusaha ramah padanya padahal bisa dilakukannya hanya dengan menyetujui pernyataan teman saya bahwa Surabaya mirip dengan Johor. Agaknya dia menyesal telah berkata jujur.

Istambul dan Johor milik mereka. Surabaya punya saya. Adakah kalian yang di Istambul mengalami banjir sepangkal paha seperti saya tempo hari di Surabaya? Adakah kalian yang di Johor mengalami macet di jalan menuju kantor seperti saya di Surabaya hanya karena dua trailer yang masing-masing memuat container 40 feet lewat bersama dengan sepeda motor, sepeda pancal, becak, mobil pribadi, angkot, dan gerobak pedagang? Adakah rumah berimpit-impit dan gang tikus yang menyesatkan di Istambul? Adakah bangunan komersial yang menyerobot jatah taman kota di Johor? Adakah tumpukan sampah di tengah kota Istambul karena TPS sedang diblokir oleh warga sekitar? Adakah keharusan untuk bergelantungan jika ber-angkot di Istambul? Adakah rombongan pengemis dan anak-anak jalanan di perempatan-perempatan jalan di Johor?


Teman dari Turki yang mengirimkan foto tadi , Yilmaz Yurt namanya, bilang bahwa semua tempat di belahan bumi ini sebenarnya indah, karena pada dasarnya apa yang di alam ini tak ada yang jelek. Masih menurutnya, semua tergantung bagaimana manusia di sekitarnya bersikap terhadap alam. Dia bilang begitu ketika saya menjanjikan akan mengirim foto yang bakal menjadi kontradiksi atas foto-fotonya. Just send me anything, lanjutnya. Tentu saja saya bisa send him anything. Toh dengan gampang saya bisa men-scan kartu pos tentang budaya adi luhung dan pemandangan hijau hutan kita, lalu mengirimkannya. Tapi saya tak berselera melakukannya. Karena toh mata saya tetap harus melihat realita.

Saya tak berniat mengecam tempat dimana saya tinggal dan mencari hidup. Justru saya jadi menghitung dosa yang telah saya lakukan terhadapnya. Pasti tak terhitung lagi berapa kali saya buang sampah sembarangan, padahal setiap kali banjir datang saya selalu mengomel. Tak terhitung berapa kali saya menghentikan angkot sembarangan sehingga membuat panik pemakai jalan lainnya, padahal saya selalu menyumpahi mereka yang menyeberang tanpa tengak-tengok. Tak terhitung berapa kali saya membiarkan tanaman mati, padahal selalu mengeluh kepanasan ketika kemarau terik tiba. Tak terhitung berapa lembar kertas saya buang percuma, padahal saya selalu ikut menyumpah setiap kali ada berita dalang illegal logging tertangkap ..... Ahhhh .... lihat betapa banyak dosa saya ..... Jadi benar kata Yilmaz tentang alam tadi .... Saya termasuk dalam golongan si perusak....huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa .........


Akhirnya kemarin saya putuskan untuk mengirimkan foto berisi beberapa realitas tentang Surabaya saya. Dan balasan yang saya terima dari Yilmaz adalah “thanks for the pictures ....” Tak ada kata pujian di belakangnya ......


Minggu, 13 April 2008

kita



lihat sayang,
musim semi telah usai
di luar sana
entah apa yang menunggu
untuk dituai
mungkin hampa jiwa,
lara,
atau sekedar mimpi indah


tak tahu kita akan dimana
takut berharap untuk selalu ada
..........................

lihat sayang,
kita cuma manusia biasa .........



Jumat, 04 April 2008

Kartini

Bulan April bagi saya identik dengan hari Kartini. Jadi teringat ketika masa sekolah dulu. Pada masa itu tanggal 21 April adalah hari yang menakutkan bagi saya karena satu hal : harus berkebaya dan berkain panjang. Alhasil berhari-hari sebelumnya otak saya selalu sibuk bekerja untuk mendapatkan alasan paling jitu agar terhindar dari ritual berpakaian khusus pada hari itu. Waktu itu alasan saya menghindar cuma satu : berpakaian seperti itu merupakan bentuk siksaan fisik, walaupun cuma beberapa jam saja. Berlebihan? Memang ...hahhahaha ... maaf saya tidak bermaksud melecehkan jenis pakaian yang sudah jadi identitas nasional.

Sekarang masa itu telah lewat. Saya tak perlu lagi deg deg plas menghadapi tanggal keramat itu. Juga jadi berusaha melihat makna sebenarnya.


Jujur, Kartini bukanlah tokoh idola saya. Haji Agus Salim justru lebih mempesona saya dengan segala kesederhanaan, kepintaran, dan pemberontakannya. Saya selalu mengagumi bagaimana laki-laki kecil ini menolak pendidikan formal untuk anak-anaknya dan memilih memberikan pelajaran sendiri kepada mereka semua di rumah. Betapa laki-laki kecil nan cerdas ini sudah melakukan apa yang saat ini sedang tren yaitu home schooling, dengan alasan yang bagi saya sangat keren dan konon hasilnya juga kereeeeennnn ....

Kartini tidak keren? Hehheheeh .... Maaf saya tidak bermaksud seperti itu. Cuma saya baru akhir-akhir ini mengerti dengan apa yang ada di kepalanya saat itu. Betapa ilmu dan pendidikan memang sungguh sesuatu tak kasat mata yang bisa memperkaya manusia. Kartini yang terkungkung adat yang konon adi luhung itu merinduinya. Dan berharap bisa mengecapnya seperti mereka yang lain. Di jaman sekarang tentu keinginan seperti itu hanyalah biasa adanya. Toh sekarang sekolah sudah begitu banyak macam dan ragamnya termasuk tarifnya. Itu baru yang formal, belum termasuk yang informal. Mau sekolah untuk sekedar agar bisa berjalan zig zag dengan indahnya pun ada. Bahkan tempo hari seorang rekan saya memasukkan anaknya yang belum genap empat tahun ke sekolah modelling khusus untuk bocah. Bagi saya itu hal yang sangat 'dahsyat'. Apalagi tak lama setelah teman saya bercerita tentang anaknya yang sudah pintar berpose, saya membaca Laskar Pelangi tulisan Andrea Hirata. Ahhhh ...hati saya terasa mak nyussssss oleh dua realita yang seolah bumi dan langit itu. Saya jadi sibuk membayangkan si jenius Lintang dan mulai dengan cengeng menangisinya. Saya jadi menyesali tindakan mencontek, membolos, menakali guru, dan hal-hal lain yang biasanya saya ceritakan dengan nada bangga. Jika saya adalah Lintang, pasti dia tidak akan membuang waktu seperti itu. Kartini pasti juga tidak akan berlaku bodoh seperti saya. Dia pasti akan berlaku seperti Lintang yang terus berusaha mengisi sel-sel kelabunya dengan barang tak kasat mata itu.


Seperti inilah saya melihat seorang Kartini. Tak terlalu penting bagi saya apakah dia seorang feminis atau bukan. Saya juga tidak terlalu peduli tentang kata emansipasi yang begitu lekat dengannya. Bagi saya dia adalah perempuan hebat yang sangat sadar akan arti penting dari apa yang biasa disebut dengan ilmu dan pendidikan. Bayangkan betapa hebatnya sebuah bangsa jika semua perempuannya yang notabene adalah para ibu dan calon ibu punya kesadaran seperti itu. Tentu tak akan ada lagi pendidikan yang terlambat atau pun jenius-jenius yang terlantar seperti Lintang. Dan tentu saja yang dimaksud pendidikan adalah tidak melulu yang harus duduk tenang di bangku sekolah. Karena teladan yang baik pun satu bentuk pendidikan yang sangat sederhana.


Jadi, maafkan saya jika saya tak mengagumi dia sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan. Sekali lagi maaf, karena ada agenda lain yang tak kalah besarnya daripada emansipasi perempuan .....


Terima kasih atas inspirasinya, Kartini ....