Minggu, 23 November 2008

Sadar Budaya

Kemarin, ketika bersiap untuk pulang kampung, secara acak saya memilih satu buku dari sekian koleksi saya, yaitu kumpulan cerpen Jhumpa Lahiri, Benua Ketiga dan Terakhir (hasil terjemahan dari buku yang berjudul asli Interpreter of Maladies). Sungguh, saya mencintai buku itu. Rasanya ini kali ketiga saya membaca ulang buku itu ...dan masih juga dia berhasil membuat saya termenung-menung.... juga menangis. Dari sembilan cerita pendek (percayalah, sebenarnya itu bukan cerita yg sangat pendek) dalam buku itu cerita terakhirlah yang paling menyentuh hati saya (dan selalu berhasil menghamburkan air mata saya). Itu cerita tentang seorang India yang merantau ke Inggris lalu ke Amerika. Jadi dia menghabiskan hidup di tiga benua. Perasaan asing dan proses adaptasinya, bahkan terhadap istri yang merupakan hasil perjodohan, membuat hati saya tersayat-sayat. Begitu sederhana .....

Tapi setelah pulih dari pilu, ganti rasa iri yang memenuhi hati saya. IRI. Sungguh saya iri karena seorang Jhumpa Lahiri yang berdarah India tapi lahir dan besar di Amerika masih begitu mengenal akarnya. Saya yang seumur hidup; sejak pertama kali bisa menghirup udara; tinggal di Indonesia tapi merasa tidak tahu apa-apa tentang akar saya sendiri. Padahal seharusnya saya bisa 'kaya' kalau saya mau mengenal akar saya. Sebab orang tua saya berasal dari dua suku yang berbeda, yaitu Sumbawa dan Jawa. Tapi kenyataannya saya merasa tidak mengenal banyak. Bahkan demi alasan takut salah dan dibilang tidak sopan, saya cenderung menghindari menggunakan bahasa Jawa terutama jika berhadapan dengan mereka yang lebih tua, dan lebih memilih memakai bahasa Indonesia.

Terus terang saya sangat salut jika orang-orang India yang sudah hijrah ke Amerika benar masih mempertahankan budayanya seperti yang diceritakan oleh Jhumpa Lahiri di buku tersebut dan juga bukunya yang lain yaitu Namesake. Mempertahankan budaya asal di sebuah negara se-'wah' Amerika tentu bukan hal yang mudah. Mungkin cuma generasi pertama yang berhasil. Generasi selanjutnya pasti lebih 'Amerika' daripada 'India'.

Dulu saya sering merasa terhina jika melihat bule-bule bercelana pendek menonton ritual-ritual tradisional suku-suku terasing dan antusias mengabadikannya dengan macam-macam kamera. Waktu itu saya tidak terlalu percaya, benarkah mereka benar-benar mengagumi 'ulah' saudara-saudara saya itu? Ataukan sekedar mengambil gambar untuk menunjukkan kepada teman-teman mereka bahwa ada sekumpulan orang 'gila dan terbelakang' di negara saya? Terang waktu itu saya cenderung bersikap skeptis terhadap pernyataan kekaguman mereka. Tapi sekarang rasanya saya lebih percaya. Karena sekarang paling tidak saya bisa berpikir bahwa mungkin saja apa yang bule-bule rasakan itu perasaan kagum yang sama seperti yang saya rasakan ketika saya mengagumi budaya yang disuguhkan oleh Jhumpa Lahiri. Dan saya sekarang jadi kagum terhadap budaya bangsa saya sendiri. Kagum terhadap nilai-nilai filosofis yang ada di dalamnya.

Jadi saat ini saya simpulkan bahwa saya sedikit lebih sadar budaya. Sadar dalam artian saya jadi tergelitik untuk mencari tahu tentang akar saya. Dan mungkin karena sedang ''hangat' dengan perasaan itu maka saya mengamuk ketika seorang teman yang saat ini tinggal dan bekerja menjadi seorang profesional di sebuah negara kaya raya mencaci-maki negara saya. Saya jengkel karena baru sebelas bulan negara kaya itu 'menyuapinya' tapi teman saya ribut mencaci-maki negara yang pernah menghidupinya selama 34 tahun, seakan kacang yang lupa akan kulitnya (maaf ya kawan kalau kau sampai membaca ini). Waktu itu dengan gagah saya bilang pada teman saya, "Right or wrong this is my country !!!"

:-)


Sabtu, 15 November 2008

cinta

cinta .....
kuingin dia tersungkur
merangkak-rangkak
menggelepar tak bernafas
hingga mengoyaki dirinya
dan menghamba
kepadamu

karena seperti itulah aku layu .........

Selasa, 04 November 2008

(Tidak) Sengaja Golput

Hari ini saya libur, tidak perlu masuk kerja. Dan saya tidak sendiri. Mungkin seluruh warga Jawa Timur, atau paling tidak sebagian besar libur seperti saya. Libur sehari, lumayan kan? Alhasil saya bisa pergi membeli stick dan benang rajut, dan mulai tahap pertama pelajaran merajut saya. Juga kemudian dengan santai chatting dengan teman-teman lama di internet.

Oh iya, hari ini saya libur karena ada acara Pilkada Gubernur Jawa Timur. Tadi sewaktu chatting, teman-teman saya bertanya kepada siapa saya memberi suara? Apakah kepada Ibu Khofifah atau kepada Bapak Karwo? Saya bilang bahwa saya tidak memberi suara pada siapa-siapa. Teman saya mengejek, saya cuma mau liburnya saja, enggak mau menyumbang suara. Teman saya yang lain malah bilang bahwa satu suara saya bisa menentukan nasib propinsi dimana saya bermukim. Woooooooooo ...... kok jadi seberat itu, pikir saya. Saya kan tidak bermaksud apa-apa selain kepingin menikmati hari senggang? Saya tidak bermaksud untuk tidak peduli kepada bangsa ini. Saya toh akan menerima dengan senang hari siapapun yang akan terpilih menjadi Gubernur Jawa Timur. Saya tidak akan melakukan tindakan anarkis apapun jika yang terpilih adalah calon yang sebenarnya jika jujur saya kurang sreg terhadapnya. Saya akan membiarkan saja siapapun yang menang dan besok akan kembali beraktivitas dan bekerja seperti biasa.

Tempo hari bapak saya bilang sebaiknya saya lebih sadar politik dan tidak melulu menjadi golput. Saya jadi berpikir, benarkah? Apakah menjadi golput adalah pernyataan politik saya? Aaaahhhh ...rasanya tidak seperti itu. Saya tidak memilih bukan karena apa-apa. Cuma sebenarnya salah satunya adalah karena KTP saya luar kota, dan saya tidak terdaftar sebagai pemilih di perantauan saya. Jadi kalau harus pulang kampung kok rasanya repot ya, karena toh libur cuma sehari dan posisinya tidak menempel di akhir minggu pula. lalu kenapa saya tidak berusaha mendaftar di perantauan? Nahhh ini juga agak susah dijelaskan ......sederhananya saya enggak mau repot kali yaaaaa ...... ehehehhehehehe .... Jadi saya salah ya? Tapi sumpah secara politis atau apa, saya tidak mempermasalahkan para calon. Kurang sreg-nya saya terhadap salah satu calon tidak cukup kuat untuk saya jadikan alasan utama untuk tidak memberikan suara.

Tapi agaknya lagi-lagi saya tidak sendirian. Tempo hari saya mengunjungi seorang rekan kerja di workshop sekaligus rumahnya untuk memesan satu barang. Ngobrol punya ngobrol akhirnya kami sampai pada topik Pilkada. Iseng saya tanya kepada siapa dia akan memberikan suaranya. Katanya, dia tidak perlu memilih, walau terdaftar. Kenapa? Karena menurutnya, siapapun yang akan jadi maka pengaruhnya akan sama saja. Kenapa? Karena ini jaman susah. Artinya? Artinya tidak akan ada seorang superman yang mampu mengubah kesulitan bangsa ini dalam sekejab. Siapapun perlu proses. Jadi kalau memberikan suara dengan pamrih jagoannya bisa mengubah keadaan dalam sekejab maka itu adalah harapan sia-sia. Jadiiiii ...dia lebih memilih tinggal di rumah, tetap bekerja mengerjakan semua order yang sudah masuk kepadanya daripada meluangkan barang setengah jam dari waktunya untuk antri di TPS. Apakah ini satu bentuk kearifan?

Nahhh sekarang pertanyaan saya yang lain adalah apakah orang-orang seperti saya dan teman saya tadi salah? Terus terang saya tidak merasa terlalu bersalah. ...... hehhehehehee .... Maaf ya Bapak dan Ibu para politisi. Dan terus terang saya sering merasa aneh jika melihat beberapa orang yang sibuk bertikai dan melakukan kekerasan yang berlarut-larut karena jagoannya kalah dalam suatu Pilkada. Apakah itu karena fanatisme? Ataukah karena jagoannya memang benar-benar ksatria paling hebat yang harus menang? Atau karena ada yang menggerakkan? Untuk yang terakhir ini pikiran kriminal saya yang berbicara.......

Ehmmmm ... mungkin saya memang salah ya? OK akan saya pikirkan untuk ikut menyumbang suara di Pilkada ataupun Pemilu selanjutnya ....... Insyaallah ....

Oh iya, selamat kepada siapapun yang menang di Pilkada Jawa Timur hari ini. Selamat bekerja dan semoga kuat mengemban amanat yang hebat ini.