Masih ramai diberitakan di media saat ini soal pimpinan dewan yang bertemu,
kemudian ikut tampil dalam jumpa pers yang digelar seorang pengusaha USA super
terkenal dan, tentu saja, kaya raya, dan lagi berambisi menjadi pemimpin negeri.
Jangan salah, saya menulis kali ini bukan untuk ikut meramaikan silang pendapat
tentang benar atau tidaknya tindakan itu. Jujur, saya sedang tidak mood
membicarakannya dari sisi tersebut. Toh, sudah banyak sekali yang berpendapat
ini itu, dan yang bersangkutan juga sudah membela diri dengan alasan segala
rupa.
Saya lebih tertarik membicarakan ekspresi wajah dua pimpinan dewan yang
jelas tertangkap kamera dan videonya diunggah di youtube. Selalu geli saya
melihat ekspresi wajah mereka. Lihat, betapa mereka tersenyum-senyum, yang
menurut opini saya pribadi itu adalah senyum bangga. Lihat kilatan mata sang
orang kedua, kilatan mata yang begitu hidup! Mungkin jika mata itu bisa bicara,
dia bakal ngomong, “hei, lihat! Saya sedang dengan dia yang terkena! Hebat kan
saya? Kamu nggak bisa begini kan? Silahkan iri!” Sementara si orang pertama
yang tampak sedikit lebih kalem. Memang selama tampil di media sebelum-sebelum
ini, dia menurut saya lebih kalem ketimbang si orang kedua yang selalu tampak
antusias jika diwawancara, terlebih ketika berkepentingan membela bosnya. Tapi
kalem bukan berarti tak bangga lho. Lihat senyumnya yang agak malu-malu kucing
itu. Lihat kilau matanya. Kalau mata itu bisa bicara maka menurut saya inti
kalimatnya tak beda jauh dengan yang diucapkan oleh mata si orang kedua,
sama-sama bangga ada di sana. Hahahahahaha.... sungguh, berkali-kali rekaman
itu ditayangkan, berkali-kali saya melihatnya dan selalu tertawa. Seorang rekan
mereka yang dimintai pendapat oleh wartawan agaknya juga berpikir sama dengan
saya. Intinya kurang lebih sang rekan ini bilang bahwa wajar-wajar saja mereka
di situ bersama si bule yang terkenal seantero dunia. Masih kata sang rekan,
tak perlu diperbesar-besarkan toh si bule belum resmi jadi kandidat presiden
dan kalaupun sampai jadi presiden pun itu bakal jadi memori tersendiri bagi
kedua pimpinan dewan itu. Nah lho, berarti benar soal kebanggaan yang saya
sebut di atas tadi. Soal benar atau salah menurut kode etik yaaa embuhlah!
Namanya juga mumpung lagi ketemu mereka yang terkenal ya mosok dibiarkan saja
momen itu berlalu? Begitu ya, Pak? Hehehehehhe.....
Ketemu orang terkenal memang sesuatu. Apalagi jika orang itu termasuk
yang diidolakan, wah tambah lebih dari
sesuatulah. Cuma kok saya sering berpikir sebaliknya ya? Ketika ketemu orang
beken saya bukan termasuk yang buru-buru mendekat meminta foto bersama. Saya
lebih suka diam-diam mengamati dari jarak aman, mencari momen-momen khusus yang
menunjukkan bahwa sebeken apapun dia tetaplah manusia biasa.
Satu kali saya tengah menunggu kereta malam untuk pulang ke Surabaya dari
Jakarta. Lalu saya lihat satu sosok bule tinggi yang wajahnya sering tampil di
koran. Saya mengenali rohaniawan sekaligus budayawan itu. Agak tertunduk-tunduk
dia membawa tasnya masuk ke gerbong. Wajahnya ramah biasa, tidak menantang
sekitar untuk mengenalinya. Juga sabar menunggu antrian, tampak maklum ketika
orang mendesaknya. Oh jadi begitu ya dia kesehariannya, cukup sama dengan apa
yang selama ini ditulisnya di artikelnya. Teman yang sedari tadi duduk di
sebelah saya menunjuknya dengan dagu, apakah saya kenal siapa dia. Entah
mengapa dia agak terkejut ketika saya sanggup menyebut lengkap nama beliau. Ah,
kau pikir aku tak pernah baca koran ya, Kang? Lalu dia bertanya apakah saya
akan menyambangi gerbongnya sekedar minta tanda tangan atau apa karena toh kami
ada di kereta yang sama cuma beda gerbong saja. Tak saya lakukan hal itu, cukup
sudah melihat sosoknya menjejak peron yang sama dengan saya.
Kali lain selesai menikmati midnight show di bioskop, saya pindah bersama
rombongan teman pindah nongkrong ke restoran cepat saji yang buka 24 jam. Baru
saja menempelkan pantat ke kursi, muka saya berhadapan dengan wajah terkenal.
Penyanyi laki-laki. Jarak kami dipisahkan dengan satu meja kosong. Dan kami saling
menatap. Saya sempat menimbang-nimbang apakah perlu menyenyuminya dengan
girang, atau diam-diam saja. Akhirnya dia yang memberi saya senyum tipis
sebelum mengalihkan pandangan ke foto menu. Seorang teman menyenggol siku saya
sambil membisikkan nama si pesohor. Ah, tak perlu dibisiki saya juga sudah
tahu. Kali ini pun saya tak berminat mendekat. Cukup menyaksikannya tersenyum
enggan meladeni mbak-mbak yang datang menyapa. Ya wajarlah kalau dia enggan.
Waktu itu dini hari, mungkin dia mengantuk dan lapar sekaligus. “Nggak
nyamperi?” tanya teman saya. Saya menggeleng. Kenapa? Ehmmmm kenapa ya? Salah
satunya karena saya juga mulai mengantuk dan lapar. Sebab lain mungkin juga
karena saya tak terlalu suka dengan lagu-lagu sedihnya.... hehhehehehehehe....
Mendapat senyum tipis cukuplah, lalu biarlah dia mengisi perutnya dengan tenang
seperti saya.
Eh tapi pernah juga lho saya berfoto dan minta tanda tangan pesohor. Itu terjadi
pas saya terpilih untuk ikut dalam semacam klinik menulis yang diadakan oleh
penulis fiksi terkenal yang saya gandrungi. Sumpah, senengggggggggggg sekali. Saya
sampai sanggup duduk menunggu selama lebih dari satu jam sebelum sang penulis
ini datang. Dan seperti biasa, saya mencari momen kecil tentangnya dan saya
dapatkan itu. Saya tengah mengangkat kamera, menunggu momen untuk memotretnya. Waktu
itu dia masih berdiri di pinggir ruangan, menunggu sang pembawa acara yang
masih memberi prolog untuk memperkenalkannya. Sang bintang yang berdiri santai
memegang kertas catatannya tiba-tiba menoleh kepada saya dan tersenyum. Saya langsung
menjepretnya sambil berucap terima kasih. Bukan foto yang bagus karena tak
terlalu fokus, tapi saya senang dengan aksi kecilnya itu. Selepas acara,
peserta menedekat, rata-rata membawa
minimal dua buku untuk dia tandatangani. Sementara saya sudah merasa cukup
membawa satu saja. Bukan karena saya tak mengkoleksi bukunya, tapi karena tak
mau membuat tangannya pegal saja. Apalagi toh bukan tanda-tangannya yang saya
butuhkan. Setelahnya kami berfoto bersama. Bisa ditebak, itu bukan foto yang
bagus karena saya bingung bagaimana harus berpose dan menata wajah agar tak
kalah cantik dengannya . Dan ketika peserta lain mengunggah foto mereka di
media sosial, saya cukup menyimpannya di dalam komputer saja.
Yang terakhir ketika saya ikut workshop gratisan tempo hari. Pematerinya
seorang fotografer profesional terkenal. Saya datang awal sehingga sempat
melihat sesi persiapan sebelum acara dimulai. Agaknya si beken ini tipikal yang
tak segan terlibat dalam pekerjaan persiapan walau tentu sudah ada tim ataupun
orang kepercayaannya. Buktinya dia sudah hadir di lokasi lebih dari dua jam
sebelum acara dimulai, berbaur melakukan ini itu dengan panitia dan timnya. Saya
melihat dia mondar-mandir, diekori dan mengekori orang lain. Jadi begini ya
cara kerja fotografer profesional nan terkenal... Saya senang saja melihatnya
ikut repot, tak berlaku sebagai orang penting yang mesti dilayani. Oh iya, saya
juga senang melihat interaksinya dengan istrinya yang ikut mendampingi. Senang
melihat mereka berjalan rapat-rapat dan berbaju sewarna, hitam semua. Sengaja
atau tidak ya soal bajunya? Embuhlah. Dan soal baju ini saya sempat kecele
karena berpikir si beken ini akan salin nantinya. Ternyata tidak. Celana yang
dipakainya tetaplah celana sepanjang setengah betis yang memang sudah dipakai
sejak datang tadi. Jadi acara workshop itu dibonusi pemandangan betis
telanjangnya .... hheheheheh... ya wislah ga papa. Seusai acara begitu banyak
yang bergerombol menunggu kesempatan minta foto bersama, termasuk teman-teman
saya. Sementara saya memilih tempat di depan seluruh adegan itu terjadi sambil
mengunyah kue yang diberikan panitia. “Nggak ikut foto?” tanya teman saya.
Tidak usahlah, jawab saya sembari mencomot kue kedua. Sementara di depan sana
si beken membuat pose yang diulang-ulang terus : merangkul ringan bahu
seseorang dan tersenyum menatap kamera. Diam-diam saya berdoa semoga dia tak
bosan melakukannya.
Iya, sungguh ketika melihat pesohor meladeni pengagum bin penggemarnya saya
selalu bertanya dalam hati dia bosan nggak ya, atau menikmati dikagumi gitu
nggak ya? Masalahnya yang pada minta foto, tanda tangan, atau semacamnya pasti
senang hati bisa ketemu muka dengan idolanya. Tapi apa sang idola juga
berpikiran sama? Jangan-jangan malah sebel karena mesti berbasa-basa dan
menjaga sikap baik demi tak kehilangan penggemar ...... Jangan-jangan lho.....
Kan mereka juga manusia biasa......
Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800
Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800