Sabtu, 26 September 2015

Ketemu Pesohor


Masih ramai diberitakan di media saat ini soal pimpinan dewan yang bertemu, kemudian ikut tampil dalam jumpa pers yang digelar seorang pengusaha USA super terkenal dan, tentu saja, kaya raya, dan lagi berambisi menjadi pemimpin negeri. Jangan salah, saya menulis kali ini bukan untuk ikut meramaikan silang pendapat tentang benar atau tidaknya tindakan itu. Jujur, saya sedang tidak mood membicarakannya dari sisi tersebut. Toh, sudah banyak sekali yang berpendapat ini itu, dan yang bersangkutan juga sudah membela diri dengan alasan segala rupa.

Saya lebih tertarik membicarakan ekspresi wajah dua pimpinan dewan yang jelas tertangkap kamera dan videonya diunggah di youtube. Selalu geli saya melihat ekspresi wajah mereka. Lihat, betapa mereka tersenyum-senyum, yang menurut opini saya pribadi itu adalah senyum bangga. Lihat kilatan mata sang orang kedua, kilatan mata yang begitu hidup! Mungkin jika mata itu bisa bicara, dia bakal ngomong, “hei, lihat! Saya sedang dengan dia yang terkena! Hebat kan saya? Kamu nggak bisa begini kan? Silahkan iri!” Sementara si orang pertama yang tampak sedikit lebih kalem. Memang selama tampil di media sebelum-sebelum ini, dia menurut saya lebih kalem ketimbang si orang kedua yang selalu tampak antusias jika diwawancara, terlebih ketika berkepentingan membela bosnya. Tapi kalem bukan berarti tak bangga lho. Lihat senyumnya yang agak malu-malu kucing itu. Lihat kilau matanya. Kalau mata itu bisa bicara maka menurut saya inti kalimatnya tak beda jauh dengan yang diucapkan oleh mata si orang kedua, sama-sama bangga ada di sana. Hahahahahaha.... sungguh, berkali-kali rekaman itu ditayangkan, berkali-kali saya melihatnya dan selalu tertawa. Seorang rekan mereka yang dimintai pendapat oleh wartawan agaknya juga berpikir sama dengan saya. Intinya kurang lebih sang rekan ini bilang bahwa wajar-wajar saja mereka di situ bersama si bule yang terkenal seantero dunia. Masih kata sang rekan, tak perlu diperbesar-besarkan toh si bule belum resmi jadi kandidat presiden dan kalaupun sampai jadi presiden pun itu bakal jadi memori tersendiri bagi kedua pimpinan dewan itu. Nah lho, berarti benar soal kebanggaan yang saya sebut di atas tadi. Soal benar atau salah menurut kode etik yaaa embuhlah! Namanya juga mumpung lagi ketemu mereka yang terkenal ya mosok dibiarkan saja momen itu berlalu? Begitu ya, Pak? Hehehehehhe.....

Ketemu orang terkenal memang sesuatu. Apalagi jika orang itu termasuk yang  diidolakan, wah tambah lebih dari sesuatulah. Cuma kok saya sering berpikir sebaliknya ya? Ketika ketemu orang beken saya bukan termasuk yang buru-buru mendekat meminta foto bersama. Saya lebih suka diam-diam mengamati dari jarak aman, mencari momen-momen khusus yang menunjukkan bahwa sebeken apapun dia tetaplah manusia biasa.

Satu kali saya tengah menunggu kereta malam untuk pulang ke Surabaya dari Jakarta. Lalu saya lihat satu sosok bule tinggi yang wajahnya sering tampil di koran. Saya mengenali rohaniawan sekaligus budayawan itu. Agak tertunduk-tunduk dia membawa tasnya masuk ke gerbong. Wajahnya ramah biasa, tidak menantang sekitar untuk mengenalinya. Juga sabar menunggu antrian, tampak maklum ketika orang mendesaknya. Oh jadi begitu ya dia kesehariannya, cukup sama dengan apa yang selama ini ditulisnya di artikelnya. Teman yang sedari tadi duduk di sebelah saya menunjuknya dengan dagu, apakah saya kenal siapa dia. Entah mengapa dia agak terkejut ketika saya sanggup menyebut lengkap nama beliau. Ah, kau pikir aku tak pernah baca koran ya, Kang? Lalu dia bertanya apakah saya akan menyambangi gerbongnya sekedar minta tanda tangan atau apa karena toh kami ada di kereta yang sama cuma beda gerbong saja. Tak saya lakukan hal itu, cukup sudah melihat sosoknya menjejak peron yang sama dengan saya.

Kali lain selesai menikmati midnight show di bioskop, saya pindah bersama rombongan teman pindah nongkrong ke restoran cepat saji yang buka 24 jam. Baru saja menempelkan pantat ke kursi, muka saya berhadapan dengan wajah terkenal. Penyanyi laki-laki. Jarak kami dipisahkan dengan satu meja kosong. Dan kami saling menatap. Saya sempat menimbang-nimbang apakah perlu menyenyuminya dengan girang, atau diam-diam saja. Akhirnya dia yang memberi saya senyum tipis sebelum mengalihkan pandangan ke foto menu. Seorang teman menyenggol siku saya sambil membisikkan nama si pesohor. Ah, tak perlu dibisiki saya juga sudah tahu. Kali ini pun saya tak berminat mendekat. Cukup menyaksikannya tersenyum enggan meladeni mbak-mbak yang datang menyapa. Ya wajarlah kalau dia enggan. Waktu itu dini hari, mungkin dia mengantuk dan lapar sekaligus. “Nggak nyamperi?” tanya teman saya. Saya menggeleng. Kenapa? Ehmmmm kenapa ya? Salah satunya karena saya juga mulai mengantuk dan lapar. Sebab lain mungkin juga karena saya tak terlalu suka dengan lagu-lagu sedihnya.... hehhehehehehehe.... Mendapat senyum tipis cukuplah, lalu biarlah dia mengisi perutnya dengan tenang seperti saya.

Eh tapi pernah juga lho saya berfoto dan minta tanda tangan pesohor. Itu terjadi pas saya terpilih untuk ikut dalam semacam klinik menulis yang diadakan oleh penulis fiksi terkenal yang saya gandrungi. Sumpah, senengggggggggggg sekali. Saya sampai sanggup duduk menunggu selama lebih dari satu jam sebelum sang penulis ini datang. Dan seperti biasa, saya mencari momen kecil tentangnya dan saya dapatkan itu. Saya tengah mengangkat kamera, menunggu momen untuk memotretnya. Waktu itu dia masih berdiri di pinggir ruangan, menunggu sang pembawa acara yang masih memberi prolog untuk memperkenalkannya. Sang bintang yang berdiri santai memegang kertas catatannya tiba-tiba menoleh kepada saya dan tersenyum. Saya langsung menjepretnya sambil berucap terima kasih. Bukan foto yang bagus karena tak terlalu fokus, tapi saya senang dengan aksi kecilnya itu. Selepas acara, peserta  menedekat, rata-rata membawa minimal dua buku untuk dia tandatangani. Sementara saya sudah merasa cukup membawa satu saja. Bukan karena saya tak mengkoleksi bukunya, tapi karena tak mau membuat tangannya pegal saja. Apalagi toh bukan tanda-tangannya yang saya butuhkan. Setelahnya kami berfoto bersama. Bisa ditebak, itu bukan foto yang bagus karena saya bingung bagaimana harus berpose dan menata wajah agar tak kalah cantik dengannya . Dan ketika peserta lain mengunggah foto mereka di media sosial, saya cukup menyimpannya di dalam komputer saja.

Yang terakhir ketika saya ikut workshop gratisan tempo hari. Pematerinya seorang fotografer profesional terkenal. Saya datang awal sehingga sempat melihat sesi persiapan sebelum acara dimulai. Agaknya si beken ini tipikal yang tak segan terlibat dalam pekerjaan persiapan walau tentu sudah ada tim ataupun orang kepercayaannya. Buktinya dia sudah hadir di lokasi lebih dari dua jam sebelum acara dimulai, berbaur melakukan ini itu dengan panitia dan timnya. Saya melihat dia mondar-mandir, diekori dan mengekori orang lain. Jadi begini ya cara kerja fotografer profesional nan terkenal... Saya senang saja melihatnya ikut repot, tak berlaku sebagai orang penting yang mesti dilayani. Oh iya, saya juga senang melihat interaksinya dengan istrinya yang ikut mendampingi. Senang melihat mereka berjalan rapat-rapat dan berbaju sewarna, hitam semua. Sengaja atau tidak ya soal bajunya? Embuhlah. Dan soal baju ini saya sempat kecele karena berpikir si beken ini akan salin nantinya. Ternyata tidak. Celana yang dipakainya tetaplah celana sepanjang setengah betis yang memang sudah dipakai sejak datang tadi. Jadi acara workshop itu dibonusi pemandangan betis telanjangnya .... hheheheheh... ya wislah ga papa. Seusai acara begitu banyak yang bergerombol menunggu kesempatan minta foto bersama, termasuk teman-teman saya. Sementara saya memilih tempat di depan seluruh adegan itu terjadi sambil mengunyah kue yang diberikan panitia. “Nggak ikut foto?” tanya teman saya. Tidak usahlah, jawab saya sembari mencomot kue kedua. Sementara di depan sana si beken membuat pose yang diulang-ulang terus : merangkul ringan bahu seseorang dan tersenyum menatap kamera. Diam-diam saya berdoa semoga dia tak bosan melakukannya.

Iya, sungguh ketika melihat pesohor meladeni pengagum bin penggemarnya saya selalu bertanya dalam hati dia bosan nggak ya, atau menikmati dikagumi gitu nggak ya? Masalahnya yang pada minta foto, tanda tangan, atau semacamnya pasti senang hati bisa ketemu muka dengan idolanya. Tapi apa sang idola juga berpikiran sama? Jangan-jangan malah sebel karena mesti berbasa-basa dan menjaga sikap baik demi tak kehilangan penggemar ...... Jangan-jangan lho..... Kan mereka juga manusia biasa......


Gambar dipinjam dari http://www.shutterstock.com/s/celebrity/search.html?page=1&inline=115442800