Move on rasanya kata yang saat ini sedang happening banget, disamping kata
galau. Ya, move on yang terjemahan bebasnya menurut saya adalah lanjut alias
tidak berhenti di satu titik. Kata ini bisa mengacu ke banyak konteks. Saya
ingat betul kata itu yang saya gunakan untuk bicara kepada seorang teman yang
suaminya baru saja meninggal dunia. Mengenal mereka berdua sebagai pasangan
yang kompak, juga mengetahui apa yang dialami si suami pada saat-saat akhir
hidupnya dan perjuangan yang sudah dilakukan mereka, membuat saya merasa perlu
mengambil waktu khusus untuk bicara pada istri yang ditinggalkan. Waktu itu
saya bilang padanya untuk segera move on, mengingat ada hidup yang harus
dilanjutkan, tidak hanya hidupnya tapi juga hidup anak-anak yang kini tak punya
tempat bergantung selain ibunya. Saya sengaja menekankan kata move on ini
karena dari apa yang sudah pernah saya lihat, perempuan lebih lama move on-nya
ketimbang laki-laki ketika pasangannya meninggal. Memang banyak kisah perempuan
yang berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan setelah suaminya
meninggal. Itu tentu move on yang berhasil. Tapi menurut saya tak sepenuhnya
berhasil jika dalam diri perempuan itu sendiri masih ada ruang sakral khusus
untuk mendiang yang membuat hidupnya jika di zoom tak lengkap. Bukan maksud
saya bahwa setelah seorang janda harus menikah kembali untuk membuktikan
ke-move-on-annya. Tak harus. Tapi jika dia masih menyisakan ruang sakral untuk sang
mendiang, lalu menganggap kehidupan pribadinya telah selesai dan yang sisa
adalah kewajiban terhadap anak-anak mereka, maka saya anggap itu bukan move on
yang manis.
Balik kepada teman saya tadi. Ketika saya bilang padanya untuk segera move
on, jawaban yang keluar dari mulutnya sungguh mantap dan cepat. Katanya tentu
dia akan segera bangkit dan tak akan diam di titik ini lama-lama. Baguslah
pikir saya, walau jujur agak ragu juga. Tapi kemudian ucapan itu terbukti. Tak
sampai setahun berlalu dengan wajah cerah dia menggandeng seseorang, calon
suaminya. Sekali lagi saya berpikir baguslah. Tapi ternyata tak semua orang
sependapat dengan saya. Suara-suara mencela muncul, intinya mereka bilang
terlalu cepat dan mengabaikan perasaan anak-anak. Mereka mulai berpedapat tanpa
diminta, juga mengenang betapa baik si mendiang. Ehmmmm .... jujur saya malas
berkomentar soal yang begini. Soal baik atau tidak rasanya tak berhak menilai.
Saya mah percaya-percaya saja keputusan seperti itu telah melalui proses
berpikir yang serius. Dia berhasil move on. Lhah kok ternyata justru
orang-orang di sekitarnya yang masih belum berhasil move on ya?
Masalah move on ternyata tidak melulu masalah hati perorangan. Move on juga
dikenal dalam masalah politik. Tidak percaya? Mari saya jelaskan. Pilpres 2014
yang lalu bagi saya adalah Pilres yang sangat brutal. Bangsa ini seakan
terbelah menjadi dua kubu sesuai kandidat jagoannya. Dan parahnya, suasana jadi
panas sekali karena keduanya saling menjelekkan demi mengangkat pamor
jagoannya. Dunia maya bagaikan medan perang; panas dan kejam. Berita negatif
bertebaran dimana-mana. Entah apakah itu kampanye model seperti itu berhasil
menarik pemilih dan membuat para kandidat terlihat luar biasa, yang pasti itu
malah membuat saya berbalik arah. Awalnya saya cukup bersemangat menyambut
Pilpres dan berniat menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan kandidat. Tapi
kemudian kebrutalannya membuat saya muak. Saya putuskan tidak memilih siapapun
dan menerima siapapun asal semuanya segera berlalu. Puji syukur ada event World
Cup. Jadilah saya memfokuskan perhatian pada sepak bola.
Begitu Pilpres usai eh ternyata suasana masih panas juga. Gonjang-ganjing
penghitungan suara yang dinilai penuh rekayasa yang berbuntut ini itu. Lalu ribut-ribut
di parlemen yang sampai ketika saya menulis ini masih tak selesai juga. Itu level
elit politik. Di level-level bawahnya lagi para anggota partai tak kalah giat
dalam hal memanaskan suasana. Lagi-lagi dunia maya menjadi arenanya. Lihat bagaimana
media sosial penuh dengan berita ini itu yang nadanya miring terhadap
pemerintah. Okay saya mengerti maksudnya adalah mereka berperan sebagai oposisi
bagi pemerintah yang berkuasa yang notabene kubu mantan lawan mereka semasa
Pilpres tempo hari. Tapi kok ya menjadi oposannya begitu amat. Saya tidak membela
siapa-siapa. Cuma saya kok merasa sebagai oposisi para politikus di media
sosial ini kurang elegan mainnya, kalau tidak mau dibilang kurang cerdas. Lihat
cara mereka yang seragam : men-share berita yang sumbernya satu, yaitu situs
partai mereka sendiri. Jadi mereka sekedar membenarkan apa yang diomongkan oleh
partai lalu membelanya mati-matian seakan itu adalah hal benar yang sudah
tertulis dalam kitab suci. Oalahhhh.... mbok ya lebih elegan tho, sekali lagi
kalau tidak mau dibilang mbok ya lebih cerdas. Dan parahnya, sering sekali yang
dibahas adalah hal remeh temeh yang tak penting dan tak bermutu sama sekali,
yang akhirnya malah jadi penyerangan terhadap pribadi atau malah pembunuhan
karakter. Saya jadi mikir apa mereka tak punya cukup otak untuk berpikir
sehingga ketika disuruh elit partainya untuk men-share berita langsung saja
dilakukan tanpa ada merasa perlu untuk membaca dan mempertimbangkannya lagi? Satu
logika saja, jika kita berniat untuk menjadi oposan yang berbobot, ya paling
tidak rujukannya nggak cuma satu sumber yang subyektif begitu dong.... Apa
mereka paling tidak merasa anehlah ketika sebagai oposisi yang dikritisi cuma hal-hal
remeh temeh yang tak mendasar seperti itu?
Jawaban atas pertanyaan saya di atas cuma satu : banyak yang secara politik
belum berhasil move on. Kalau mau jadi oposisi yang bermutu ya move on dululah
biar hati dan pikiran jernih.... Begituuuu....