Bulan lalu di depan loket pembayaran tagihan PDAM saya kaget sekali.
Bagaimana tidak, tagihan yang bulan-bulan sebelumnya tak lebih dari 35ribu
tiba-tiba sekarang membengkak secara fantastis menjadi 172rb. Padahal rumah itu
belum saya tempati, alias masih kosong melompong, hanya sesekali saya tengok
sebentar dua bentar. Dengan bijak, mbak petugas loket menyarankan saya untuk
menunda pembayaran dan membuat pengaduan di meja sebelah. Saya lakukan, dan si
mbak meja sebelah itu menyuruh saya mengecek meteran air, kendatipun saya sudah
sampaikan bahwa rumah tersebut kosong, belum pernah saya tempati, dan belum
pernah sekalipun saya memutar keran airnya. Oh pernah ding, tepatnya
tukang-tukang yang saya minta membuat pagar belakang yang melakukannya, bukan
saya. Jadi, akhirnya walau tidak suka, mau tak mau saya pergi menengok rumah
tersebut, tepatnya menengok meteran airnya. Daaaannnnn begitu masuk halaman
(belum membuka pintu rumah nih), langsung saya kudu emosi. Karena jelas terlihat
ada selang plastik yang terulur panjang melintasi jalan menuju ke tetangga
depan. Saat itu tetangga depan sedang berkegiatan membangun teras dan pagar. Lha
kenapa juga airnya ambil dari saya? Tanpa ijin pula. Wajar dong saya mangkel. Apalagi
siapapun yang ada di rumah itu diam di tempat kendati tahu kedatangan saya
sebagai si pemilik air. Dengan atraktif saya membuka box meteran, lalu memegang
selang plastik itu, bersiap untuk menariknya lepas. Saat itulah salah satu
tukang angkat bicara, menjelaskan bahwa mereka sudah mendapat ijin dari
tetangga depan untuk melakukan itu dan nantinya si tetangga itulah yang
menyelesaikan urusannya dengan saya. Si bapak tukang menyampaikan itu tetap di
tempatnya berdiri, dan tidak merasa perlu untuk menyeberang menemui saya. Jujur
saja, saya merasa sudah dimalingi, eh ga dihormati pula. Dengan muka masam saya
iyakan. Lalu saya berikan secarik kecil kertas berisi nomor telepon saya untuk
disampaikan ke tuannya. Lalu saya tinggalkan mereka.
Sesiang itu hati saya sungguh dongkol. Sampai kemudian handphone saya
berbunyi, dari nomor yang tak saya kenal. Ternyata tetangga depan. Dengan suara
halus nan ceria si bapak meminta maaf telah menggunakan air saya tanpa ijin. Dia
mengulang penjelasan yang sudah saya dengar dari si bapak tukang tadi bahwa dia
akan bertanggungjawab terhadap tagihan yang diakibatkan. Saya tanya kenapa
sampai menggunakan air dari saya, jawabnya karena tempo hari aliran air PDAM di
rumahnya diputus sehingga tak ada sumber air. Saya tak berminat bertanya lebih
jauh. Yang penting dia sudah berjanji akan bertanggungjawab terhadap tagihan
tsb. Kali ini dia juga minta ijin untuk menggunakan air saya sampai pekerjaan
pembangunan rumahnya selesai. Katanya sebentar lagi selesai. Dengan terpaksa
saya setujui dan telepon kami sudahi.
Setelah beberapa hari saya merenungkan kembali kejadian itu dengan fokus
pada kejengkelan saya. Ya, saya jengkel sekali karena seharusnya dia meminta
ijin terlebih dulu, bukan langsung menggunakannya. Saya jengkel karena
inisiatif meminta ijin itu datang dari saya, hal yang seharusnya datang dari
dia. Seorang teman yang saya ajak merenung bersama bertanya apakah dia tahu
bagaimana menghubungi saya. Menurut saya sih jika dia benar-benar berniat untuk
meminta ijin, bisa saja dia meminta kontak saya ke developer kawasan. Toh itu
bukan kawasan perumahan yang luas, malah hanya kecil saja. Jadi seharusnya tak
akan terlalu merepotkan untuk menelepon ke kantor pemasaran dan meminta info
nomor telepon saya. Masuk akal, kata teman saya. Lebih jauh dia berpendapat
bahwa bisa jadi itu tanda bahwa si tetangga depan kurang menyenangkan
karakternya. Saya terhenyak membayangkan bakal bertetangga dengan orang yang
menyebalkan. Dengan antusias teman saya berkata, “satu tindakan ini menunjukkan
dia punya kecenderungan untuk itu. Bagaimanapun tindakan yang benar tetaplah
meminta ijin sebelum menggunakan. Kalau lewat dari itu berarti pencurian”. Benar
juga sih..... tapi sejurus kemudian saya ingat satu hal, bahwa sekarang saya
tidak tinggal di kota besar yang seperti bertahun-tahun kemarin. Ya, sejak
setahun yang lalu saya meninggalkan Surabaya dan kembali menetap di kota
kabupaten ini. Semuanya beda.
Harus saya akui bahwa kehidupan saya selama di Surabaya adalah kehidupan
seorang urban yang berlingkup kecil dan individualistis. Bertahun-tahun saya
hidup sebagai anak kos yang berdaerah kekuasaan cuma selingkup kamar tidur. Ritme
kegiatan saya itu-itu saja. Bangun, pergi ngantor, pulang, tidur. Seminggu penuh
berulang begitu. Sebagai anak kos dan pendatang saya tak pernah merasa perlu
berakar di lingkungan kos. Toh saya bukan pemilik rumah, tak pernah tercatat
sebagai warga tetap, dalam banyak hal tentu induk semanglah yang dianggap dan
diperlakukan sebagai warga penuh. Bertahun-tahun saya merasa tetangga adalah
penghuni samping kamar saya, bukan rumah sebelah kos saya. Dan celakanya sesama
penghuni kos rasanya punya ritme hidup yang relatif sama. Jadi jangan apakah
saya pernah berkegiatan dengan warga kampung. Pun acara kerja bakti kampung ya
induk semang yang melakukan. Kewajiban saya terhadap kampung rasanya sekedar
menyetor kopian KTP dan membayar iuran sampah dan kebersihan yang lagi-lagi itu
nyetornya ke induk semang, bukan ke si bapak RT. Ya kalau sekedar menyapa
tetangga depan kos sih saya lakukan, tapi tidak untuk mengobrol. Terlebih lagi
tetangga kanan kiri juga lebih banyak kos-kosan. Kalaupun bergaul, saya malah
bergaul dengan teman-teman yang diluar lingkungan kampung, baik itu teman
kuliah dulu atau teman kantor dulu, atau temannya teman. Jadi yaaaaa begitu
dehhhh.....
Hal lain yang kemudian saya sadari juga adalah betapa kehidupan urban di
kota memaklumkan batas-batas kepemilikan yang jelas. Juga batasan ruang. Juga betapa
kehidupan begitu materialistis. Alhasil saya jelas mengapa saya begitu
terganggu dengan apa yang terjadi di atas. Ya karena hal seperti itu ada di
luar kebiasaan hidup saya. Sementara bisa jadi yang semacam itu bukan masalah
besar di kota kecil ini, toh yang penting pada akhirnya si pemakai
bertanggungjawab, tho? Ingat betapa dalam kehidupan nenek moyang bangsa ini
sikap tolong menolong adalah budaya. Betapa dalam kehidupan lampau bangsa ini, lingkup
lingkaran keluargaanpun begitu besar. Lihat bagaimana dulu ada lumbung besar
untuk simpanan makanan komunitas. Lihat juga betapa cara mereka membuat rumah
adalah dengan gotong royong bersama. Lihat bagaimana sebuah perhelatan seperti
pernikahan digelar. Masih banyak lagi contoh lainnya dan semuanya berintikan
kebersamaan, kekeluargaaan, dan gotong royong.
“Tapi jaman sudah berubah. Mau tak mau ada budaya yang berubah karena toh
manusia pelakunya juga berubah. Kondisi sekarang membuktikan semakin modern
hidup, semakin materialistis jadinya. Jadi apa salah kalau aku tetap
berpendapat tetangga depanmu telah mencuri? Toh terbukti dia tidak berusaha
menghubungimu. Kalau misal dia melakukan hal semacam ini untuk hal lain, apakah
tetap kita harus mentolerir?” begitu teman saya berujar. Sungguh saya tak tahu
jawabab atas pertanyaan itu. Yang pasti kejadian itu telah mengingatkan saya
kepada kehidupan dimana segalanya seperti tak penuh prasangka.