Sabtu, 30 Agustus 2014

"Pencurian"

Bulan lalu di depan loket pembayaran tagihan PDAM saya kaget sekali. Bagaimana tidak, tagihan yang bulan-bulan sebelumnya tak lebih dari 35ribu tiba-tiba sekarang membengkak secara fantastis menjadi 172rb. Padahal rumah itu belum saya tempati, alias masih kosong melompong, hanya sesekali saya tengok sebentar dua bentar. Dengan bijak, mbak petugas loket menyarankan saya untuk menunda pembayaran dan membuat pengaduan di meja sebelah. Saya lakukan, dan si mbak meja sebelah itu menyuruh saya mengecek meteran air, kendatipun saya sudah sampaikan bahwa rumah tersebut kosong, belum pernah saya tempati, dan belum pernah sekalipun saya memutar keran airnya. Oh pernah ding, tepatnya tukang-tukang yang saya minta membuat pagar belakang yang melakukannya, bukan saya. Jadi, akhirnya walau tidak suka, mau tak mau saya pergi menengok rumah tersebut, tepatnya menengok meteran airnya. Daaaannnnn begitu masuk halaman (belum membuka pintu rumah nih), langsung saya kudu emosi. Karena jelas terlihat ada selang plastik yang terulur panjang melintasi jalan menuju ke tetangga depan. Saat itu tetangga depan sedang berkegiatan membangun teras dan pagar. Lha kenapa juga airnya ambil dari saya? Tanpa ijin pula. Wajar dong saya mangkel. Apalagi siapapun yang ada di rumah itu diam di tempat kendati tahu kedatangan saya sebagai si pemilik air. Dengan atraktif saya membuka box meteran, lalu memegang selang plastik itu, bersiap untuk menariknya lepas. Saat itulah salah satu tukang angkat bicara, menjelaskan bahwa mereka sudah mendapat ijin dari tetangga depan untuk melakukan itu dan nantinya si tetangga itulah yang menyelesaikan urusannya dengan saya. Si bapak tukang menyampaikan itu tetap di tempatnya berdiri, dan tidak merasa perlu untuk menyeberang menemui saya. Jujur saja, saya merasa sudah dimalingi, eh ga dihormati pula. Dengan muka masam saya iyakan. Lalu saya berikan secarik kecil kertas berisi nomor telepon saya untuk disampaikan ke tuannya. Lalu saya tinggalkan mereka.

Sesiang itu hati saya sungguh dongkol. Sampai kemudian handphone saya berbunyi, dari nomor yang tak saya kenal. Ternyata tetangga depan. Dengan suara halus nan ceria si bapak meminta maaf telah menggunakan air saya tanpa ijin. Dia mengulang penjelasan yang sudah saya dengar dari si bapak tukang tadi bahwa dia akan bertanggungjawab terhadap tagihan yang diakibatkan. Saya tanya kenapa sampai menggunakan air dari saya, jawabnya karena tempo hari aliran air PDAM di rumahnya diputus sehingga tak ada sumber air. Saya tak berminat bertanya lebih jauh. Yang penting dia sudah berjanji akan bertanggungjawab terhadap tagihan tsb. Kali ini dia juga minta ijin untuk menggunakan air saya sampai pekerjaan pembangunan rumahnya selesai. Katanya sebentar lagi selesai. Dengan terpaksa saya setujui dan telepon kami sudahi.

Setelah beberapa hari saya merenungkan kembali kejadian itu dengan fokus pada kejengkelan saya. Ya, saya jengkel sekali karena seharusnya dia meminta ijin terlebih dulu, bukan langsung menggunakannya. Saya jengkel karena inisiatif meminta ijin itu datang dari saya, hal yang seharusnya datang dari dia. Seorang teman yang saya ajak merenung bersama bertanya apakah dia tahu bagaimana menghubungi saya. Menurut saya sih jika dia benar-benar berniat untuk meminta ijin, bisa saja dia meminta kontak saya ke developer kawasan. Toh itu bukan kawasan perumahan yang luas, malah hanya kecil saja. Jadi seharusnya tak akan terlalu merepotkan untuk menelepon ke kantor pemasaran dan meminta info nomor telepon saya. Masuk akal, kata teman saya. Lebih jauh dia berpendapat bahwa bisa jadi itu tanda bahwa si tetangga depan kurang menyenangkan karakternya. Saya terhenyak membayangkan bakal bertetangga dengan orang yang menyebalkan. Dengan antusias teman saya berkata, “satu tindakan ini menunjukkan dia punya kecenderungan untuk itu. Bagaimanapun tindakan yang benar tetaplah meminta ijin sebelum menggunakan. Kalau lewat dari itu berarti pencurian”. Benar juga sih..... tapi sejurus kemudian saya ingat satu hal, bahwa sekarang saya tidak tinggal di kota besar yang seperti bertahun-tahun kemarin. Ya, sejak setahun yang lalu saya meninggalkan Surabaya dan kembali menetap di kota kabupaten ini. Semuanya beda.

Harus saya akui bahwa kehidupan saya selama di Surabaya adalah kehidupan seorang urban yang berlingkup kecil dan individualistis. Bertahun-tahun saya hidup sebagai anak kos yang berdaerah kekuasaan cuma selingkup kamar tidur. Ritme kegiatan saya itu-itu saja. Bangun, pergi ngantor, pulang, tidur. Seminggu penuh berulang begitu. Sebagai anak kos dan pendatang saya tak pernah merasa perlu berakar di lingkungan kos. Toh saya bukan pemilik rumah, tak pernah tercatat sebagai warga tetap, dalam banyak hal tentu induk semanglah yang dianggap dan diperlakukan sebagai warga penuh. Bertahun-tahun saya merasa tetangga adalah penghuni samping kamar saya, bukan rumah sebelah kos saya. Dan celakanya sesama penghuni kos rasanya punya ritme hidup yang relatif sama. Jadi jangan apakah saya pernah berkegiatan dengan warga kampung. Pun acara kerja bakti kampung ya induk semang yang melakukan. Kewajiban saya terhadap kampung rasanya sekedar menyetor kopian KTP dan membayar iuran sampah dan kebersihan yang lagi-lagi itu nyetornya ke induk semang, bukan ke si bapak RT. Ya kalau sekedar menyapa tetangga depan kos sih saya lakukan, tapi tidak untuk mengobrol. Terlebih lagi tetangga kanan kiri juga lebih banyak kos-kosan. Kalaupun bergaul, saya malah bergaul dengan teman-teman yang diluar lingkungan kampung, baik itu teman kuliah dulu atau teman kantor dulu, atau temannya teman. Jadi yaaaaa begitu dehhhh.....

Hal lain yang kemudian saya sadari juga adalah betapa kehidupan urban di kota memaklumkan batas-batas kepemilikan yang jelas. Juga batasan ruang. Juga betapa kehidupan begitu materialistis. Alhasil saya jelas mengapa saya begitu terganggu dengan apa yang terjadi di atas. Ya karena hal seperti itu ada di luar kebiasaan hidup saya. Sementara bisa jadi yang semacam itu bukan masalah besar di kota kecil ini, toh yang penting pada akhirnya si pemakai bertanggungjawab, tho? Ingat betapa dalam kehidupan nenek moyang bangsa ini sikap tolong menolong adalah budaya. Betapa dalam kehidupan lampau bangsa ini, lingkup lingkaran keluargaanpun begitu besar. Lihat bagaimana dulu ada lumbung besar untuk simpanan makanan komunitas. Lihat juga betapa cara mereka membuat rumah adalah dengan gotong royong bersama. Lihat bagaimana sebuah perhelatan seperti pernikahan digelar. Masih banyak lagi contoh lainnya dan semuanya berintikan kebersamaan, kekeluargaaan, dan gotong royong.


“Tapi jaman sudah berubah. Mau tak mau ada budaya yang berubah karena toh manusia pelakunya juga berubah. Kondisi sekarang membuktikan semakin modern hidup, semakin materialistis jadinya. Jadi apa salah kalau aku tetap berpendapat tetangga depanmu telah mencuri? Toh terbukti dia tidak berusaha menghubungimu. Kalau misal dia melakukan hal semacam ini untuk hal lain, apakah tetap kita harus mentolerir?” begitu teman saya berujar. Sungguh saya tak tahu jawabab atas pertanyaan itu. Yang pasti kejadian itu telah mengingatkan saya kepada kehidupan dimana segalanya seperti tak penuh prasangka.