Senin, 23 Maret 2009

Glenn Doman, Anat Baniel, dan Ponari

Kemarin kakak saya berkirim pesan singkat, bertanya apa itu metode Anat Baniel. Karena saya sendiri merasa asing dengan nama itu jadi saya balas pesannya dengan janji akan mencarikan informasi melalui internet. Dan dengan Google ketemu juga apa itu Anat Baniel Methode, lengkap dengan testimonial dan tayangan youtube-nya. Cuma saya tidak menemukan apa yang saya cari disana, yaitu dimana dokter atau terapi atau rumah sakit yang menggunakan metode itu di Indonesia. Alamat yang saya temukan cuma seputaran USA. Lalu ketika saya sampaikan itu ke kakak saya jawaban dia adalah "iya, memang itu katanya adanya cuma di Amerika saja ..." Ehmmmmmmm ...... saya meneguk ludah.

Sebelumnya saya juga kelimpungan mencari mereka-mereka yang menggunakan metode Glenn Doman di Indonesia. Dan setelah mencari-cari, akhirnya ketemu juga nama sebuah lembaga/yayasan di Jakarta yang sedikit banyak merujuk ke metode itu. Juga setelah menghubungi website The Institute For Achievement of human Potential, akhirnya saya mendapat himbauan untuk menghubungi Singapura. Beberapa hari kemudian seseorang menelepon saya menginformasikan adanya lecturing dari Douglas Doman di Surabaya dan Jakarta.

Oh iya, saya belum menjelaskan kenapa saya membutuhkan itu semua. Beberapa tahun yang lalu seorang keponakan terkena enchepalitis. Karenanya keponakan saya mengalami gangguan pada fungsi otaknya dan membuat dia menjadi anak berkebutuhan khusus.

Kembali ke Anat Baniel Methode. Kemarin akhirnya saya menonton aksi Bu Anat Baniel di youtube. Seorang teman yang ikut menonton di belakang saya menyeletuk, "bukannya ini kayak pijat refleksi atau gabungan segala macam terapi modern dan pijat tradisional Indonesia?' Saya bingung menjawabnya karena toh kami sama-sama awam dengan hal itu. Tapi dalam hati saya berpikir," iya juga yaaaa..." Teman saya masih mengoceh lagi,"moso' kita bisanya cuma pijat mesum aja sih dan pijat-pijat ilmiah gini enggak ada yang mau belajar?" Lagi-lagi saya tidak tahu jawaban dari komentar yang sebenarnya terdengar seperti komentar bodoh itu.

Jadi kenapa semuanya ada di Amerika dan luar negeri lainnya? Bagaimana jika semua orang yang membutuhkan hal-hal yang ada di luar negeri itu tidak punya cukup uang? Untuk pertanyaan itu teman saya tadi punya jawaban jitu, yaitu "makanya, yang namanya sakit itu mahallll ...." Ehmmmmmm ...sebenarnya agak tidak nyambung ya jawaban 'jitu' ini. Tapi bukankah benar adanya bahwa menjadi sehat itu memang mahal? Dan seorang teman bule Amerika pun memberikan tips jitu yang cukup mengejutkan, yaitu "jika tidak punya asuransi, terus sakit di Amerika, maka lebih baik mati saja deh...." Ini masih ditambahi embel-embel cerita tenang istrinya yang tempo hari sakit dan perlu operasi dan biaya yang dia sebutkan membuat saya buru-buru mengambil kalkulator, mengalikan sekian ribu dolar dengan kurs yang saya buat dua belas ribu rupiah. Lalu saya mendelik. Wahhh .... yang Amerika saja bilang seperti itu, lha apalagi saya ........

Nahhhh ..... jadi bagaimana kalau seorang Indonesia mengalami sakit dan ternyata hal yang sekiranya bisa membantunya sembuh adanya di lur negeri nan mahal dan dia tidak punya cukup uang untuk mengejarnya? Kata teman saya (masih orang yang sama tadi),"ya nyari tahu di internet siapa yang pernah melakukan metode itu dan minta dia menyedekahkan ilmu itu..." Ehmmmm ...mungkin bisa kalau ini bentuknya semacam terapi fisik. Tapi bagaimana kalau itu berupa perawatan yang si pasien mau tak mau harus kesana? Teman saya bilang,"yaaaa.... mungkin Ponari bisa bantu ....." Ehmmmmmm .......

Minggu, 01 Maret 2009

Ibu Saya

Hari ini ibu saya berulang-tahun. Dan saya baru meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun sekitar setengah lima sore tadi. Tanpa kado dan kehadiran pula, cuma suara. Dan doa tentu saja. Dari suaranya saya tahu dia senang, walau mungkin juga berpikir saya terlambat. Lalu beliau bercerita dengan nada riang tentang cucu-cucunya yang menelepon tadi pagi. Saya merasa bersalah, merasa menjadi anak yang tidak cukup baik.

Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Konon dulu pernah bekerja kantoran tapi kemudian berhenti ketika memutuskan menikah dengan bapak saya. Jadi, yang ada dalam benak saya dari kecil hingga sekarang adalah bahwa ibu yang bukan perempuan berseragam, tanpa riasan wajah rapi, dan tanpa sepatu dan tas kantor. Ibu juga bukan perempuan yang sehari-hari duduk di depan meja, berkutat dengan komputer, dan sibuk memeriksa aneka berkas. Ibu saya jauh dari gambaran itu. Ibu saya adalah perempuan yang sehari-hari ada di rumah, membersihkannya, merawatnya, memasak, dan tetek bengek yang dengan bahasa sekarang diistilahkan sebagai berada dan berkutat dalam lingkungan domestik. Ibu adalah perempuan yang bergumul dengan panci, sapu, detergen, dan sesekali keluar untuk keperluan organisasi sederhana macam PKK dan Dharma Wanita.

Ibu saya juga bukan tipikal perempuan yang sibuk dengan urusan badan dan penampilan. Beliau tidak banyak memikirkan efek detergen pencuci baju dan piring untuk kulitnya. Beliau tidak menelan vitamin E dan mengoles anti aging untuk mencegah penuaan. Beliau juga tidak menjauh dari asap kompor karena takut kelembaban wajahnya rusak. Beliau tidak banyak berhitung tentang ostheoporosis ketika mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk ketika menggendong kami bertiga. Padahal jujur saja di masa mudanya ibu saya adalah perempuan yang sungguh cantik. Bahkan beberapa teman saya sempat berkomentar " kok kamu tidak minta turunan cantik dari ibumu?"

Itulah ibu saya. Perempuan yang seumur hidup saya kenal sebagai perempuan yang begitu-begitu saja. Dan kepada perempuan yang 'begitu-begitu saja' itu saya diam-diam sering berkaca dan bertanya dalam hati tentang banyak hal. Sering saya berpikir, akankah saya seperti dia ketika telah berkeluarga nantinya? Akankah saya mampu mengerjakan semuanya sendirian seperti yang dia mampu melakukannya bertahun-tahun? Akankah saya mampu menjadi tempat pulang yang menyenangkan bagi keluarga saya? Akankah saya mampu menjadi sosok yang kepadanya anak-anak saya memberikan respeknya? Akankah saya mampu membuat masakan yang mengenyangkan sekaligus menyenangkan? Akankah saya mampu dengan sengaja mendahulukan kepentingan keluarga saya di atas kepentingan pribadi saya? Ehmmmmm ..... masih banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya setiap kali saya ada di dekatnya. Dan setiap kali pula hati saya ciut, karena sadar betapa banyak hal yang saya lakukan dalam hidup saya sungguh berbeda dengan hal yang beliau lakukan dalam hidupnya. Rutinitas, pendidikan, cara pandang, pergaulan, cita-cita, ambisi, keinginan, ego, emosi, ........ sungguh berbeda. Dan saya merasa ngeri.

Semua mahfum dan percaya adanya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Manusia ; meminjam istilah seorang teman; tidak ada seimpit-impitnya. Tapi terus terang ada kalanya saya tidak sepakat dengan hal ini. Karena saya melihat ada yang sempurna, paling tidak di mata saya : ibu saya.

Selamat ulang tahun, bu. Semoga panjang umur, sehat, dan rahmat Allah senantiasa bersamamu. Dan tolong selalu buka pintu maafmu untuk semua hal salah yang saya lakukan, karena nanti, besok, lusa, dan lain waktu pasti saya akan bersalah kepadamu.

You're perfect.