Minggu, 01 Maret 2009

Ibu Saya

Hari ini ibu saya berulang-tahun. Dan saya baru meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun sekitar setengah lima sore tadi. Tanpa kado dan kehadiran pula, cuma suara. Dan doa tentu saja. Dari suaranya saya tahu dia senang, walau mungkin juga berpikir saya terlambat. Lalu beliau bercerita dengan nada riang tentang cucu-cucunya yang menelepon tadi pagi. Saya merasa bersalah, merasa menjadi anak yang tidak cukup baik.

Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Konon dulu pernah bekerja kantoran tapi kemudian berhenti ketika memutuskan menikah dengan bapak saya. Jadi, yang ada dalam benak saya dari kecil hingga sekarang adalah bahwa ibu yang bukan perempuan berseragam, tanpa riasan wajah rapi, dan tanpa sepatu dan tas kantor. Ibu juga bukan perempuan yang sehari-hari duduk di depan meja, berkutat dengan komputer, dan sibuk memeriksa aneka berkas. Ibu saya jauh dari gambaran itu. Ibu saya adalah perempuan yang sehari-hari ada di rumah, membersihkannya, merawatnya, memasak, dan tetek bengek yang dengan bahasa sekarang diistilahkan sebagai berada dan berkutat dalam lingkungan domestik. Ibu adalah perempuan yang bergumul dengan panci, sapu, detergen, dan sesekali keluar untuk keperluan organisasi sederhana macam PKK dan Dharma Wanita.

Ibu saya juga bukan tipikal perempuan yang sibuk dengan urusan badan dan penampilan. Beliau tidak banyak memikirkan efek detergen pencuci baju dan piring untuk kulitnya. Beliau tidak menelan vitamin E dan mengoles anti aging untuk mencegah penuaan. Beliau juga tidak menjauh dari asap kompor karena takut kelembaban wajahnya rusak. Beliau tidak banyak berhitung tentang ostheoporosis ketika mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk ketika menggendong kami bertiga. Padahal jujur saja di masa mudanya ibu saya adalah perempuan yang sungguh cantik. Bahkan beberapa teman saya sempat berkomentar " kok kamu tidak minta turunan cantik dari ibumu?"

Itulah ibu saya. Perempuan yang seumur hidup saya kenal sebagai perempuan yang begitu-begitu saja. Dan kepada perempuan yang 'begitu-begitu saja' itu saya diam-diam sering berkaca dan bertanya dalam hati tentang banyak hal. Sering saya berpikir, akankah saya seperti dia ketika telah berkeluarga nantinya? Akankah saya mampu mengerjakan semuanya sendirian seperti yang dia mampu melakukannya bertahun-tahun? Akankah saya mampu menjadi tempat pulang yang menyenangkan bagi keluarga saya? Akankah saya mampu menjadi sosok yang kepadanya anak-anak saya memberikan respeknya? Akankah saya mampu membuat masakan yang mengenyangkan sekaligus menyenangkan? Akankah saya mampu dengan sengaja mendahulukan kepentingan keluarga saya di atas kepentingan pribadi saya? Ehmmmmm ..... masih banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya setiap kali saya ada di dekatnya. Dan setiap kali pula hati saya ciut, karena sadar betapa banyak hal yang saya lakukan dalam hidup saya sungguh berbeda dengan hal yang beliau lakukan dalam hidupnya. Rutinitas, pendidikan, cara pandang, pergaulan, cita-cita, ambisi, keinginan, ego, emosi, ........ sungguh berbeda. Dan saya merasa ngeri.

Semua mahfum dan percaya adanya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Manusia ; meminjam istilah seorang teman; tidak ada seimpit-impitnya. Tapi terus terang ada kalanya saya tidak sepakat dengan hal ini. Karena saya melihat ada yang sempurna, paling tidak di mata saya : ibu saya.

Selamat ulang tahun, bu. Semoga panjang umur, sehat, dan rahmat Allah senantiasa bersamamu. Dan tolong selalu buka pintu maafmu untuk semua hal salah yang saya lakukan, karena nanti, besok, lusa, dan lain waktu pasti saya akan bersalah kepadamu.

You're perfect.

Tidak ada komentar: