Minggu, 15 Februari 2009

Sepeda

Siang tadi, seorang teman menyeret anaknya ke depan pintu kamar saya. Terang saja saya kaget. Ada apa ya, tanya saya dengan muka bodoh. Ternyata, teman saya ini bermaksud minta saya memarahi anaknya lantaran seringnya memakai sepeda saya tanpa ijin dan menggunakannya untuk berkeliaran ke sana kemari tanpa bisa dicegah oleh siapapun termasuk ibunya sendiri. Saya jadi termangu, bingung mau marah seperti apa pada bocah laki-laki tujuh tahun yang duduk meringkuk di lantai dengan badan mengkilat berkeringat hasil bersepeda barusan. Dan saya tidak tega melihatnya, walau saya tahu dia sudah melakukan kesalahan, termasuk membuat khawatir ibunya.

Jujur, kemarin-kemarin saya cukup terganggu dengan tingkah bocah itu, yang mengambil sepeda saya tanpa permisi walaupun pintu kamar saya jelas-jelas terbuka dan saya ada di dalamnya. Saya sempat berpikir sepatutnya orang-tuanya mengajarkan sopan santun kepadanya, bahwa meminjam barang orang lain harus didahului dengan permintaan ijin kepada si empunya. Ketika sempat menegurnya satu kali, saya bilang padanya bahwa itu milik saya dan dia harus minta ijin saya untuk bisa memakainya. Waktu itu si bocah cuma tersenyum, lalu berlari menuntun sepeda saya kembali ke tempat semula. Tapi itu cuma sekali terjadi. Setelahnya saya tak lagi ambil pusing dengan ketidaksopanan itu, sampai seorang tetangga memanggil ketika saya tengah berjalan pulang dari kantor. Si ibu tetangga bilang bahwa sepeda itu sering dibawa kemana-mana, termasuk ke jalan besar. Dia khawatir terjadi apa-apa, baik pada sepedanya maupun pada anaknya. Dia berpesan agar saya segera membeli kunci untuk sepeda itu. Waktu itu saya cuma tersenyum karena tak tahu harus bagaimana.

Apakah saya tidak peduli dengan keselamatan anak itu jika sampai hari ini tidak membeli kunci? Ahhhh .....demi Allah bukan itu maksud saya. Jujur saya tidak tega melakukannya. Saya ingat di masa kecil saya, sepeda adalah sebuah kesenangan, sebuah alat permainan yang sungguh menyenangkan sekaligus menyehatkan. Dulu hampir setiap minggu pagi saya bersepeda dengan teman-teman kecil saya, berkeliling kemana-mana, termasuk ke jalur-jalur yang biasanya dilalui kendaraan besar seperti bus dan truck. Memang cuma waktu itu saja orang tua kami semua mengijinkan melewati rute itu karena pada pagi buta jalur-jalur tersebut sepi. Jadi kalau sekarang seorang bocah seperti dia menikmati bermain dengan sepeda, walau bukan miliknya, sungguh saya bisa memakluminya. Wong saya sendiri masih suka kemana-mana pakai sepeda, termasuk ke kantor. Saya baru berhenti bersepeda ke kantor ketika laptop mulai terasa berat di punggung saya. Karena itu si bocah punya kesempatan paling tidak delapan jam untuk bebas bermain dengan sepeda itu, tanpa saya mengetahuinya.

Jadi, tadi saya cuma bisa bilang "jangan jauh-jauh, bawa sepedanya, sebab mobil banyak di luar sana, takutnya kamu tertabrak'. Mungkin bukan jenis marah yang diinginkan oleh ibunya. Tapi sungguh saya tidak tega lebih dari itu. Kemarin-kemarin sempat berniat untuk menguncinya. Tapi saya kasihan kepada si bocah. Sepeda saya adalah barang mainannya, barang yang mungkin bisa membuatnya sedikit senang. Dan saya merasa jahat sekali kalau sampai menguncinya, sementara saya tahu persis si bocah tidak punya cukup banyak mainan lainnya.

Jadi yaaaaa saya relakan saja, sambil diam-diam berharap si bocah mampu bertanggung-jawab dan menjaga keselamatan, terutama keselamatan dirinya. Ahhhhh ....mungkin saya berharap terlalu banyak pada seorang bocah tujuh tahun. Tapi saya juga tidak sampai hati merusak kesenangannya. Jadi bagaimana dong? Jadi, ya saya doakan saja semoga semuanya selamat dan semoga doa saya manjur adanya. Cukup bijakkah?

Tidak ada komentar: