Jumat, 31 Juli 2015

Tante Pelit

Ya, itu kalimat yang terlontar dari mulut keponakan saya, yang ditujukan pada tantenya, yaitu saya..... hahahahhaaha... Tak cuma sekali dia mengatakan itu pada saya, tapi entah kenapa saya tak pernah marah karenanya. Tak pernah saya tersinggung. Reaksi saya selalu antara nyengir, tersenyum, atau tertawa. Tidak marah bukan karena takut terhadap emak si bocah yang notabene kakak kandung saya. Hanya setiap kali kalimat itu keluar dari mulutnya saya selalu merasa geli, juga menang karena berhasil membuatnya jengkel karena tak bisa memperoleh apa yang diinginkannya.

Sebenarnya masalahnya sepele sih, masalah sangu yang kadang diberikan oleh yangkung dan yangtinya ketika dia datang berkunjung. Besarnya kisaran antara lima puluh sampai seratus ribu perorang. Saya memaknainya sebagai ekspresi senang yangkung-yangti yang telah dikunjungi oleh cucu-cucunya. Dan jumlah cucu yang cuma tiga orang itu membuat orang tua saya tak merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah itu. Dan tak cuma yangkung-yangti yang memberi. Kadang pada saat tertentu tante yang lain; selain saya tentu saja; juga memberikan sangu untuk mereka. Alhasil saya yang tak berpartisipasi dalam kegiatan itu jadi dianggap pelit. Pernah satu kali ketika semua memberikan sangu kecuali saya, si bocah yang paling vokal terus terang bertanya kepada saya, “Tante sebenarnya punya uang atau tidak sih?” Dan lagi-lagi saya cuma tertawa. Saya jawab bahwa saya sebenarnya juga berniat memberikan sangu tapi berhubung sudah banyak yang menyangoninya dan uang yang dia dapat sudah cukup banyak untuk anak SD maka saya batalkan niat tersebut. Apa yang keluar dari mulutnya gampang ditebak: Tante Ina pelitttt ! Ahahahahahaha.....

Pelitkah saya? Entahlah. Hanya saya memang tak suka memberikan uang pada anak-anak. Saya lebih suka memberikan bentuk lain seperti buku, mainan, atau makanan pada mereka. Semuanya asal sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ada kalanya saya bawa mereka untuk membeli es krim untuk semua. Saat yang lain saya belikan mainan. Jika ada buku yang tak mereka temukan toko buku di kota tempat mereka tinggal, lalu meminta saya mencarikannya, dengan senang hati saya lakukan dan tak saya tagihkan biayanya. Bagi mereka mungkin ini tak terasa sama dengan menerima uang walau sebenarnya untuk membayar semua itu tentu saya menggunakan uang.

Kenapa saya tak suka memberikan uang? Entahlah, saya tak bisa menjabarkannya secara gamblang. Hanya saya selalu ngeri setiap kali melihat anak-anak mempunyai uang berlebih, lalu membelanjakannya sesuka hati, termasuk untuk barang-barang tak perlu. Melihat yang begitu saya selalu bertanya dalam hati tahukah mereka bagaimana proses mendapatkan rupiah-rupiah yang mereka belanjakan tanpa banyak berpikir itu? Tahukah mereka bahwa ada orang-orang yang harus jungkir-balik demi sekian rupiah yang mereka belanjakan dengan enteng tanpa berpikir itu? Ketika dengan senang hati mereka mengobral uangnya, ada anak-anak lain yang justru harus mengumpulkan peseran untuk sekedar mengisi perut yang belum tentu mengenyangkan. Oh iya satu lagi, setiap kali melihat anak-anak yang berlebih seperti itu saya jadi membandingkan dengan diri sendiri. Pada saat seumur mereka, saya tak punya kelebihan seperti itu walau tak juga jadi yang selalu lapar. Seorang teman ketika mendengar ini berkomentar bahwa sebenarnya saya mengiri dengan keponakan karena saya tak punya apa yang mereka punya. Mengiri .... ehmmmm .... mungkin juga ya? Ahahahahaha....


Baiklah, mungkin saja sebenarnya saya mengiri pada keponakan. Tapi tetap ada lho sisi baiknya. Saya berharap mereka tahu proses, tahu ada banyak hal di luar mereka yang patut diperhatikan. Kalau efeknya adalah menjadi tante yang pelit ehmmmm mohon dimaafkan sajalah yaaaa...