Ya, itu kalimat yang terlontar dari mulut keponakan saya, yang ditujukan
pada tantenya, yaitu saya..... hahahahhaaha... Tak cuma sekali dia mengatakan
itu pada saya, tapi entah kenapa saya tak pernah marah karenanya. Tak pernah
saya tersinggung. Reaksi saya selalu antara nyengir, tersenyum, atau tertawa.
Tidak marah bukan karena takut terhadap emak si bocah yang notabene kakak
kandung saya. Hanya setiap kali kalimat itu keluar dari mulutnya saya selalu merasa
geli, juga menang karena berhasil membuatnya jengkel karena tak bisa memperoleh
apa yang diinginkannya.
Sebenarnya masalahnya sepele sih, masalah sangu yang kadang diberikan oleh
yangkung dan yangtinya ketika dia datang berkunjung. Besarnya kisaran antara
lima puluh sampai seratus ribu perorang. Saya memaknainya sebagai ekspresi
senang yangkung-yangti yang telah dikunjungi oleh cucu-cucunya. Dan jumlah cucu
yang cuma tiga orang itu membuat orang tua saya tak merasa berat untuk
mengeluarkan sejumlah itu. Dan tak cuma yangkung-yangti yang memberi. Kadang
pada saat tertentu tante yang lain; selain saya tentu saja; juga memberikan
sangu untuk mereka. Alhasil saya yang tak berpartisipasi dalam kegiatan itu
jadi dianggap pelit. Pernah satu kali ketika semua memberikan sangu kecuali
saya, si bocah yang paling vokal terus terang bertanya kepada saya, “Tante
sebenarnya punya uang atau tidak sih?” Dan lagi-lagi saya cuma tertawa. Saya
jawab bahwa saya sebenarnya juga berniat memberikan sangu tapi berhubung sudah banyak
yang menyangoninya dan uang yang dia dapat sudah cukup banyak untuk anak SD
maka saya batalkan niat tersebut. Apa yang keluar dari mulutnya gampang
ditebak: Tante Ina pelitttt ! Ahahahahahaha.....
Pelitkah saya? Entahlah. Hanya saya memang tak suka memberikan uang pada
anak-anak. Saya lebih suka memberikan bentuk lain seperti buku, mainan, atau
makanan pada mereka. Semuanya asal sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ada
kalanya saya bawa mereka untuk membeli es krim untuk semua. Saat yang lain saya
belikan mainan. Jika ada buku yang tak mereka temukan toko buku di kota tempat
mereka tinggal, lalu meminta saya mencarikannya, dengan senang hati saya lakukan
dan tak saya tagihkan biayanya. Bagi mereka mungkin ini tak terasa sama dengan
menerima uang walau sebenarnya untuk membayar semua itu tentu saya menggunakan
uang.
Kenapa saya tak suka memberikan uang? Entahlah, saya tak bisa
menjabarkannya secara gamblang. Hanya saya selalu ngeri setiap kali melihat
anak-anak mempunyai uang berlebih, lalu membelanjakannya sesuka hati, termasuk
untuk barang-barang tak perlu. Melihat yang begitu saya selalu bertanya dalam
hati tahukah mereka bagaimana proses mendapatkan rupiah-rupiah yang mereka
belanjakan tanpa banyak berpikir itu? Tahukah mereka bahwa ada orang-orang yang
harus jungkir-balik demi sekian rupiah yang mereka belanjakan dengan enteng
tanpa berpikir itu? Ketika dengan senang hati mereka mengobral uangnya, ada
anak-anak lain yang justru harus mengumpulkan peseran untuk sekedar mengisi
perut yang belum tentu mengenyangkan. Oh iya satu lagi, setiap kali melihat
anak-anak yang berlebih seperti itu saya jadi membandingkan dengan diri
sendiri. Pada saat seumur mereka, saya tak punya kelebihan seperti itu walau
tak juga jadi yang selalu lapar. Seorang teman ketika mendengar ini berkomentar
bahwa sebenarnya saya mengiri dengan keponakan karena saya tak punya apa yang
mereka punya. Mengiri .... ehmmmm .... mungkin juga ya? Ahahahahaha....
Baiklah, mungkin saja sebenarnya saya mengiri pada keponakan. Tapi tetap
ada lho sisi baiknya. Saya berharap mereka tahu proses, tahu ada banyak hal di
luar mereka yang patut diperhatikan. Kalau efeknya adalah menjadi tante yang
pelit ehmmmm mohon dimaafkan sajalah yaaaa...