Jumat, 22 Mei 2009

Kesehatan, Persahabatan, dan Umur

Tiga minggu penuh Allah SWT mengajarkan kepada saya tentang kesehatan, persahabatan, dan umur. Lewat seorang sahabat yang terbaring sakit Allah menunjuk.

Awalnya saya tak berprasangka ketika satu Sabtu pagi sahabat mengirim pesan singkat, kabar bahwa dia sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Siang itu juga saya pergi menengoknya. Saya terkejut. Yang saya temui adalah tubuh kurus yang tak banyak daya. Padahal dia adalah seorang yang saya kenal sebagai pribadi yang aktif, supel, energik, dan cerdas bertahun lalu. Apa yang terjadi, tanya saya dengan air mata yang nyaris jatuh. Sahabat bilang, dia terlalu banyak aktifitas hingga urusan kesehatan agak terbengkalai, jadi levernya menjadi korban. Saya tercenung, teringat kecerewetan ibu saya saat mengingatkan untuk makan teratur. Kecerwetan yang biasanya saya pungkas dengan kalimat "iya...ngerti ..saya kan sudah bukan bayi yang tidak bisa urus diri sendiri ...." Pelajaran pertama.


Sepulang dari sana saya berpikir betapa mahalnya menjadi sakit. Betapa tak ada harganya uang ketika sakit menyerang, karena yang diperebutkan adalah nyawa. Lalu sahabat lain yang tinggal nun jauh disana tiba-tiba menelepon. Dan ide yang disampaikannya pada saya membuat saya berpikir betapa cerdasnya dia dan betapa bebalnya saya. Sahabat ini berinisiatif mengabarkan sakitnya sahabat kami ke sahabat-sahabat yang lain agar sama-sama berdoa dan membantu. Dengan bodoh saya bertanya "akankah mereka mau menyisihkan sebagian hasil keringat untuk membantu?" Dia menukas "percaya saya, pasti banyak yang peduli!" Ahhhh .... lihat hinanya saya ketika meragukan nurani sahabat-sahabat yang lain. Lalu kami mulai bergerilya, berkabar kepada banyak sahabat lewat SMS, Facebook, e-mail, chatting. Dan saya memang layak percaya pada sahabat saya. Tumpah ruah air mata saya ketika sahabat-sahabat merespon dengan sangat cepat kabar kami. Perhatian, doa, dan bantuan mengalir di luar prediksi saya. Dengan bukti respon seperti itu pikiran saya bahwa tak akan ada yang peduli terpatahkan sudah. Saya malu. Maafkan saya, sahabat-sahabat. Betapa saya nyaris tak ingat bahwa ada banyak hati nurani dalam diri sahabat-sahabat, tak peduli berapa lama tak bersua. Pelajaran kedua.

Lalu di depan mata saya, sahabat saya mengalami masa kritis. Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menangis dan ling lung. Dan betapa dalam ling lung itu saya lupa bagaimana memanjatkan doa. Saya cuma pintar mematung sambil terisak. lalu saya teringat sahabat-sahabat. Merekalah yang saya minta berdoa karena saya tak mampu. Beruntung hari itu saya tidak perlu menyaksikan yang lebih buruk. Lima hari kemudian kembali saya menengoknya. Dan rupanya tak ada daya yang tersisa dari sahabat saya. Saya tercenung menangisi kemudaannya. Betapa waktu begitu cepat berjalan, tanpa banyak jejak, tanpa banyak rasa pula. Kemarin-kemarin saya tidak menghitung umur. Tapi hari itu saya berhitung dengan miris. Tapi umur adalah rahasiaNya. Kita cuma tahu pertanda. Dan dalam pertanda itupun seringkali masih ada mukjizat kuasaNya. Saya berharapNya menimbang kemudaan sahabat saya. Tapi Dia menunjukkan lain. Sore ini sebuah pesan singkat membuat tangis saya pecah. Dia mengambilnya, di umur yang belum genap 34 tahun. Begitu pendek. Atau sudah cukup panjang menurutNya? Ahhh ..... itu kuasaNya. Pelajaran ketiga.

Life is too short. Katanya begitu. Mungkin benar, mungkin tidak. Panjang atau pendeknya relatif. Tapi dalam hidup ada banyak hal pastinya. Kesehatan. Persahabatan. Umur. Tiga minggu saya belajar itu. Dan dalam sedih itu saya mulai menyadari benang merah yang ditarikNya.

Minggu, 03 Mei 2009

diam

bukankah sudah kukatakan padamu berulang bahwa rasa selayak bongkah kapur barus, menghablur, menukar massa dengan kabut.
dan bukankah sudah kau pahami bahwa waktu adalah sesuatu yang menggerus ? membubukkan raksasa, membungkam ada

sementara yang kau punya hanyalah renik tak daya

rasa,
waktu

diam.



surabaya, 3 mei 2009 untuk sang hujan