Minggu, 23 Maret 2008

Menjadi Perempuan Itu Enak !!!


Ternyata, lebih enak menjadi perempuan daripada laki-laki. Tidak percaya? Lihat saja sekitar kita, begitu banyak laki-laki merubah jati dirinya menjadi perempuan. Saya tidak bermaksud mengolok atau menghujat mereka dengan menulis hal ini. Sebenarnya malah dalam rangka bertanya, apa yang membuat mereka berpikir untuk menjadi perempuan? Padahal sebagai perempuan tulen (hehehehe ....) saya sempat iri terhadap laki-laki karena dalam banyak hal di mata saya mereka bisa berlaku lebih bebas. Misalnya, mereka bisa bepergian tengah malam dan sendirian tanpa takut digoda, dicap miring, ataupun diperkosa. Sementara sebagai perempuan saya harus berpikir seribu kali hanya untuk melakukan hal sederhana itu.


Tapi kenyataannya ternyata sebaliknya. Begitu banyak laki-laki yang merasa lebih nyaman dengan menjadi kemayu ala perempuan. Dan mereka beredar di sekitar kita dengan biasa. Bahkan di kota yang katanya metropolis seperti Jakarta, hal itu katanya dianggap sebagai salah satu gaya hidup. Lihat saja sejumlah selebriti yang berlaku serupa.


Ada juga yang bilang bahwa hal seperti itu karena tuntutan pekerjaan. Misalnya untuk para laki-laki yang bekerja di bidang kecantikan (perempuan), semisal desainer busana, penata rambut, dan penata rias. Belakangan saya lihat seorang presenter pun cenderung mulai bergaya feminin. Konon karena pekerjaan-pekerjaan tersebut mereka menjadi lebih feminin daripada seharusnya. Dan konon mereka juga berganti orientasi seksual. Terus terang alasan karena tuntutan pekerjaan kurang 'klik' di otak saya. Karena jika mereka memang bersusah-susah untuk membuat perempuan menjadi cantik lalu kenapa setelah menjadi cantik kok malah terus kehilangan selera untuk 'menikmatinya', sehingga perlu 'obyek' baru untuk menggantikan obyek yang sudah sempurna?


Ah apapun alasan mereka, tapi bagi saya itu satu bukti bahwa menjadi perempuan itu enak. Kalau tidak pasti para laki-laki jantan itu tidak akan tergoda untuk jadi feminin, kemayu, dan berlaku seperti perempuan kan? Pasti mereka mengiri pada kita yang bisa mengenakan berbagai macam model pakaian, dari rok, setengah rok, sampai celana. Rambut pun pendek atau panjang tidak masalah. Sepatu, mau hak tinggi seberapa tetap sah-sah saja. Mau nangis kapan saja pun dimaklumi. Mau manja-manja juga oke. Mau bertingkah tegar dan mandiri juga banyak yang suka. Pinter masak pasti akan banyak yang naksir. Tidak pintar memasak pun masih dianggap wajar dan modern. Mau jadi ibu rumah tangga banyak yang mengamini. Ngotot bekerja di luar rumah pun masih tetap ada yang mendukung. Nah kurang apalagi? Enak kan?


Dan soal bepergian malam-malam, akhirnya saya bisa mengambil sisi positif untuk tak lagi iri dengan laki-laki. Karena dengan larangan itu berarti saya pasti akan punya seseorang yang menemani dan menjaga saya jika harus melakukannya. Nah, masih tidak merugi juga kan? Makanya, memang enak kok jadi perempuan !

Minggu, 16 Maret 2008

Saya Cantik !


Sudah bercermin hari ini? Sudah merasa cantik? Saya sudah ....... Maksudnya, saya sudah bercermin dan sudah merasa cantik ...hehehhehee ... Maaf, sama sekali tidak bermaksud untuk narsis, cuma itulah yang saya rasakan terhadap diri saya. Serius ...!!! Saya yakin bahwa saya cantik, walau hidung saya tidak lurus mancung dan dagu saya tidak berbelah. Tadi di kaca saya lihat alis yang tipis membayang, mata yang agak keruh (karena saya semalam begadang menonton tayangan film di teve), jerawat di pelipis, bawah mulut dan beberapa bekasnya di pipi, serta kulit muka yang coklat. Itulah saya. Dan saya cantik!


Sekali lagi maaf, saya tidak lagi termasuk dalam golongan orang yang menunggu datangnya pengakuan jutaan orang lain terlebih dahulu sebelum merasa cantik. Dulu memang iya, tapi sekarang tidak. Saya dengan sadar meninggalkan kebiasaan itu. Saya berhenti dari kesibukan membandingkan fisik diri sendiri dengan orang lain. Saya memutuskan berhenti mengiri terhadap para selebriti. Biar saja Dian Sastro, Naomi Watts, Drew Barrimore, Nicole Kidman, Sandra Dewi, Zhang Ziyi, dan para pesohor itu memiliki anugerah mereka, karena toh Tuhan tidak jadi lupa untuk menganugerahi saya pula.


Dulu saya sering terganggu karena berat badan yang cuma satu dua kilogram lebih berat dari satu zak semen. Saya berusaha menambah bobot saya dengan minum susu, vitamin, dan makan banyak. Tapi hasilnya nihil. Saya agak kecewa. Tapi kemudian kekecewaan itu pupus ketika seorang teman memandang kagum ke arah isi piring makan saya (yang porsinya dibilang mirip porsi kuli angkut) dan berkata,”Kau makan begitu banyak dan tidak bisa gemuk? Beruntung sekali...” Jadi sebenarnya saya beruntung hanya tidak cukup jeli untuk melihatnya. Padahal tiap hari saya melihat iklan Marie Body France di koran. Berapa banyak perempuan di muka bumi ini yang resah melihat makanan karena ukuran tubuh mereka? Teman saya bahkan sempat terkena penyakit lever gara-gara diet ketat dengan hanya makan dua butir apel selama berhari-hari. Sedangkan saya, memasukkan porsi kuli angkut pun tidak membuat tubuh saya melar. Saya sungguh beruntung.....


Jadi saya terima semua 'keindahan' yang telah dianugerahkanNya pada saya dengan senang hati. Saya tak lagi mau mendiskreditkan fisik saya sendiri ataupun terprovokasi oleh standar kecantikan yang dicanangkan oleh industri kosmetika. Biar saja mereka bilang bahwa cantik itu berarti tinggi, langsing, putih, rambut panjang hitam yang lurus, dan tetek bengek lainnya. Karena toh kenyataannya cantik tak terdefinisi sesempit itu. Rasa 'cantik' hampir selalu bersifat persepsi personal. Juga tidak melulu didominasi oleh keindahan fisik, tapi selalu dibarengi dengan keindahan 'organ dalam' diri yang tidak kasat mata tapi pasti bisa dirasakan keberadaannya. Kecantikan fisik yang sempurna tapi tidak dibarengi dengan iman, budi pekerti, dan kecerdasan hanya akan mengesankan sebagai boneka Barbie yang bernafas.


Jadi, kalau memang hari ini belum berkaca, saran saya segeralah temukan cermin dan berdiri di hadapannya. Akan banyak hal tak sempurna di pantulan yang kita lihat. Tapi kumpulan hal tak sempurna itu mampu membuat suatu harmoni yang pas. Tidak percaya? Coba saja pergi ke dokter bedah plastik dan minta dia mengubah bentuk hidung di pantulan itu dan lihat hasilnya. Pasti akan ada rasa aneh melihat barang hasil modifikasi itu nangkring disana bersama dengan yang lain. Mau mencoba? Silahkan saja ..... Coba lihat gambar di sebelah. Ini merupakan hasil rekayasa teman saya dari Bandung (sorry pak, photonya saya pakai, semoga tidak keberatan) untuk memadukan Nicole Kidman dan Drew Barrymore. Hasilnya memang tetap saja cantik. Tapi di mata saya ada hal yang terasa aneh, entah apa itu. Dan tetap yang aslilah yang lebih dahsyat.


Oh iya, saya hampir lupa..... minggu lalu saya membaca satu artikel di koran nasional. Dalam artikel itu disebutkan beberapa salah kaprah di dunia kecantikan. Misalnya istilah whitening yang saat ini begitu tren. Menurut seorang pakar tak ada cukup cara untuk mengubah warna kulit seseorang, apalagi jika dijanjikan hanya memerlukan waktu beberapa hari saja. Sebab warna kulit sangat berkaitan dengan pigmen. Dan masalah pigmen ini lagi-lagi adalah masalah anugerah dariNya. Lalu juga istilah sunblock yang katanya ampuh untuk mengblokir sinar matahari. Menurut pakar tersebut yang benar adalah sunscreen, karena lagi-lagi belum ada krim yang benar-benar mampu memblokir sinar yang datangnya dari langit itu. Ahhh.... benar-benar diperlukan logika untuk mencerna provokasi ..... Saya jadi ingat provokasi yang disampaikan satu produk kecantikan yang katanya berfungsi sebagai pemutih wajah. Produk itu di akhir tayangan iklannya memberikan pertanyaan apakah ingin punya kisah cinta seindah cerita di iklan yg tersebut. Sebagai pemirsa saya tergelitik untuk bertanya balik, apakah dengan menggunakan produk mereka dijamin kisah cinta saya akan berakhir indah seperti itu? Ahhhh.... enggak segitunya kaliiiiiii ..... hehehhehe ....


Masih belum juga berani bercermin dan tersenyum untuk mengakui bahwa pantulan yang nampak sungguh cantik adanya? Ahhh .... sayang sekali.... Padahal bercermin dan merasa cantik adalah salah satu cara sederhana untuk merasa bahagia.

Minggu, 09 Maret 2008

Sang Pengantar Madu


Ratri memasuki mal tetap dengan langkah santai walau tahu betul bahwa dirinya telah terlambat hampir dua puluh menit dari waktu yang telah dia sepakati. Dia tidak terlalu merasa bersalah, tidak juga berusaha mempercepat langkahnya. Dia juga cukup lega karena laki-laki itu tidak sibuk menelepon atau mengirimkan pesan ke ponselnya untuk menyuruhnya segera datang ke tempat pertemuan mereka. Mereka sepakat untuk bertemu di salah satu restoran fast food di mal ini. Ratri yang menentukan tempatnya, juga waktunya. Tapi Ratri juga yang dengan setengah sengaja keluar kantor lebih lambat dari seharusnya, sehingga terlambat pula sampai disini. Tadi dia sudah mengirim pesan ke ponsel laki-laki itu, bahwa dia terpaksa datang terlambat. Dan jawaban yang diterimanya singkat dan sungguh melegakan : OK, aku tunggu saja disini sampai kau datang.

Sebenarnya Ratri sangat enggan pergi. Andai saja Budhe Sekar tidak meneleponnya langsung dari Mataram hanya untuk memastikan pertemuan ini, pasti dia akan memberikan seribu alasan untuk menghindar. Mungkin alasan harus keluar kota mendadak. Atau ada makan malam sekaligus pembicaraan bisnis dengan buyer Eropanya. Atau alasan lupa. Tapi kali ini tidak bisa begitu. Pertama karena telepon Budhe Sekar yang sampai dua kali itu. Kedua karena ibunya sendiri ikut-ikutan berkeras mewajibkannya bertemu dengan laki-laki itu. Kalau Budhe mewajibkankkan dengan cara yang halus, pakai alasan menitipkan madu asli dari Sumbawa untuknya, ibunya malahan dengan terus terang menyuruhnya datang karena laki-laki itu adalah kandidat yang sangat layak untuk dipertimbangkan. Jadi, Ratri melupakan seribu macam alasan menghindar dari pertemuan itu. Sebagai gantinya dia memilih datang terlambat.

Sekarang dia sudah berdiri di depan restoran fast food itu. Ada tiga laki-laki yang duduk sendirian. Yang berkaus hijau army duduk di pojok, menyelonjorkan kakinya, acuh terhadap sekelilingnya, asyik dengan buku di tangannya. Yang seorang lagi berkemeja lengan pendek putih, duduk di dekat jendela tapi sama sekali tidak memperhatikan jendela yang menyuguhkan pemandangan kota di waktu malam karena asyik menyuapkan makanan ke mulutnya sambil mengetik sesuatu di PDA-nya dengan tangan kiri. Seorang lagi duduk di hanya beberapa langkah dari pintu masuk, berkaus ketat, asyik menggoyang-goyangkan tungkainya di bawah meja sambil mengamati sekelilingnya. Diam-diam Ratri mengeluh dalam hati karena merasa tidak tertarik pada ketiganya. Tapi dia sudah kadung berdiri disini, tidak mungkin lagi untuk mundur dan pergi. Dia bisa membayangkan omelan ibunya dan protes halus tapi tajam Budhe Sekar. Ratri memutuskan untuk menelepon. Begitu terdengar nada sambung, melihat seorang laki-laki berdiri dari kursinya, melambai-lambaikan tangannya ke arah Ratri. Laki-laki itu bukan salah satu dari tiga laki-laki yang tadi dilihat Ratri duduk sendirian. Sejenak Ratri merasa sedikit lega.

“Hai, aku Abi, Abimanyu sebenarnya”
Ratri menyambut uluran tangannya sambil menyebutkan namanya, dan meletakkan tas besar berisi notebook-nya di salah satu kursi kosong. Mata Ratri langsung tertuju pada seorang bocah perempuan lucu berambut ekor kuda yang duduk di depan Abi, asyik menyendoki es krim strawberry. Abi langsung dapat membaca apa yang dipikirkan Ratri.
“Namanya Sheila. Dia kesini dengan neneknya tadi. Tapi neneknya menitipkannya padaku karena Sheila tidak mau diajak ke supermarket di sebelah, padahal sang nenek lupa membeli susu. Jadi aku menjaganya sementara neneknya kembali ke supermarket sebentar.”
Ratri cuma ber-o saja lalu mengambil tempat duduk di sebelah Sheila.
“Maaf, lama ya menunggunya?.Ada hal yang harus kuselesaikan tadi.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak ada acara apa-apa, waktuku luang sama sekali malam ini.” Abi menanggapi permintaan maaf Ratri dengan senyuman santai. Tahu-tahu Ratri menyukai senyuman itu.
“Bunda Sekar mengirimkan salam untukmu. Juga ini.”
Sebotol madu disorongkan Abi ke arah Ratri. Hanya botol kecil, tidak lebih besar dari botol kecap ukuran sedang. Dalam hati Ratri tertawa, bukan madu dan volumenya yang penting, tapi justru pengantarnya yang perlu diperhatikan.
“Terima-kasih. Sering ke Mataram?”
“Tidak juga. Cuma kebetulan sedang diundang ke sana untuk memberi kuliah. Jadi sekalian menengok Bunda. Bunda Sekar adalah sahabat keluargaku. Bertahun-tahun kami tinggal bersebelahan semasa Bunda masih di Jakarta.”
“Bunda Sekar-mu itu kakak ibuku. Waktu SMP dulu aku beberapa kali menghabiskan liburan sekolahku di rumahnya di Jakarta.”
“Berarti seharusnya kita sudah pernah bertemu sebelum ini, bertahun-tahun yang lalu, karena rumah Bunda termasuk habitat masa kecilku. Kemarin Bunda juga bilang begitu.”
“Mungkin saja. Apakah aku harus meminta maaf karena melupakanmu?”
Abi tertawa kecil. “Tentu saja tidak perlu, karena rasanya kita memang tidak pernah benar-benar berkenalan waktu itu. Tadi ketika melihatmu, aku juga sempat berpikir wajahmu tidak terlalu asing bagiku. Mungkin ini bisa dijadikan bukti bahwa kita pernah bertemu semasa kecil dulu, tapi kita tidak menyimpannya baik-baik dalam memori kita. Atau bisa jadi ini indikasi yang lain.”
Pembicaraan terputus sejenak karena kedatangan nenek Sheila menjemput cucunya. Abi mencium pipi bocah lucu itu sebelum menyerahkan pada neneknya. Sang bocah pergi sambil melambaikan tangannya pada Abi.
“Lucu ya dia?”
Ratri cuma mengangguk. Dia agak terkesan pada adegan Abi mencium pipi Sheila tadi. Juga terkesan karena bocah itu kelihatannya menyukai Abi.
Sepeninggal Sheila, mereka memesan makanan dan segera mulai makan malam .
“Bunda bilang kau desainer interior.”
“Desainer furnitur tepatnya. Aku sebenarnya arsitek yang agak tersesat sehingga jadi desainer furnitur. Kau dosen apa?
“Sastra Inggris.”
“Ke Surabaya dalam rangka memberi kuliah juga?”
“Tidak. Tadi siang ada jadwal bertemu teman yang memintaku membantu proyek penelitiannya tentang perkembangan sastra China perantauan. Dan malam ini jadwalku adalah mengantar madu kepadamu.” Abi mengucapkan kalimat terakhir tadi sambil memasang mimik muka lucu.
Ratri langsung merasa wajahnya agak memanas, mengingat arti kata mengantar madu yang baru saja keluar dari mulut laki-laki yang baru dikenalnya ini.

“Kau selalu pulang kerja selarut ini?”
Giliran Ratri yang tertawa. “Kau akan marah jika kukatakan aku setengah sengaja berlambat-lambat? Mungkin jika aku sedikit lebih giat, aku bisa menemuimu tepat waktu. Tapi aku memilih untuk datang terlambat dengan sedikit memperlambat etos kerjaku hari ini. Aku harus minta maaf padamu untuk hal ini.”
“Sudah kuduga. Sebelum menerima pesanmu, aku sudah tahu kau akan datang terlambat. Aku tidak keberatan, karena seperti aku bilang tadi, aku sama sekali luang malam ini.”
“Kalau memang kau tidak ada keperluan lain, kenapa tidak mengambil pesawat sore untuk pulang ke Jakarta?”
“Kan sudah kubilang tadi bahwa aku harus mengantarkan madu untukmu.”
Mereka berdua serentak tertawa bersama seusai kalimat tadi.
“Kau bisa saja mengantarkan madu itu ke kantorku tadi siang kemudian langsung ke bandara.”
Abi menggeleng. “Tidak, aku memilih untuk menghadapimu.”
“Boleh aku tahu sudah berapa kali kau mendapat tugas 'mengantar madu' seperti ini?”
Abi mengerenyutkan mulutnya dengan lucu sebelum menjawab. “Yang benar-benar harus mengantarkan madu baru sekali ini. Yang lain bentuknya tidak seperti ini. Bisa berbentuk mengantarkan ibuku ke rumah salah satu kenalan baiknya, atau menemani orang tuaku ke acara teman mereka. Terakhir kali bentuknya adalah menjemput adikku di rumah salah satu sahabatnya. Dan kau pasti tahu apa yang kutemui pada semua bentuk acara tersebut.”
Kembali mereka tertawa serentak.
“Kau sendiri bagaimana? Sering mendapat 'kiriman madu'?”
“Sama sepertimu, beberapa kali. Mungkin jadwalnya bisa lebih padat jika aku masih tinggal sekota dan serumah bersama mereka. Kau tahu, salah satu yang kusukai dari kenyataan bahwa aku tinggal terpisah dari mereka adalah aku tidak perlu setiap saat dihadapkan pada hal seperti itu.”
“Bukankah itu salah satu wujud dari cinta mereka kepadamu?”
“Ya, cuma kadang aku merasa tidak nyaman. Aku merasa seperti komoditas yang dibawa kesana kemari untuk dicarikan pembelinya. Aku jadi tahu perasaan furnitur-furnitur yang kudesain ketika mereka kupertemukan dengan para calon buyer-nya.”
“Tentu saja tidak seperti itu!” sergah Abi sambil tertawa.
“Ya mungkin tidak persis sama, tapi paling tidak mirip seperti itu. Kau tidak pernah merasakannya? Tak pernah terganggu dengan hal itu?”
“Ya, ada kalanya aku terganggu. Terutama jika itu terjadi ketika aku sedang sibuk dan tidak punya banyak waktu. Tapi seringkali aku juga menikmatinya. Mendapatkan teman baru cukup menyenangkan bukan? Menyenangkan orang-tuaku juga. Toh semua keputusan tetap ada di tanganku. Kalau kau jadi tahu perasaan furniturmu, aku jadi tahu perasaan mahasiswaku jika mereka tahu-tahu; tanpa mereka duga; mendapatkan soal ujianku ternyata dalam bentuk pilihan ganda”
“Jadi kali ini pun kau datang juga dengan target utama menyenangkan orang-tuamu dan Budhe Sekar?”
“Hei, tolong jangan tersinggung! Aku tidak bermaksud buruk atau merendahkanmu.”
“Hei tenang saja! Aku sama sekali tidak tersinggung.”
“OK, seperti biasa, aku memang ingin membuat mereka senang karena aku patuh pada permintaan mereka. Tapi tidak itu saja. Aku ingin bertemu dengan perempuan yang sangat dijagokan dan direkomendasikan dengan begitu bersemangat oleh Bunda Sekar. Kau mau tahu apa saja yang diceritakan Bunda tentangmu padaku?”
Ratri menggeleng cepat-cepat. Dia tidak bisa menahan rasa gelinya terhadap cara Abi mengucapkan kata 'dijagokan dan direkomendasikan' tadi.
“Ingat, aku keponakan dari Bunda Sekar-mu itu. Sebagai keluarga tentu tidak etis jika mengumbar kejelekan keponakannya. Jadi yang kau dengar darinya adalah segudang sisi baikku. Penilaian yang sangat subyektif tentu saja.”
“Ya, karena itu aku datang untuk melakukan observasi. Dan harus kuakui kau sudah dapat poin plus karena sengaja datang terlambat, tidak gugup dan tetap apa adanya, juga tidak menutupi nafsu makanmu dengan memesan porsi kecil dan membuat suapan-suapan mini.”
Ratri benar-benar tergelak-gelak sekarang. Dia memang tidak melakukan apa-apa sebelum keluar dari kantor tadi. Tidak menghapus lapisan minyak di pipinya. Tidak juga berusaha memulaskan bedak baru ke wajahnya. Dia hanya mengganti sneaker yang digunakannya seharian di sample maker dengan sepatu mochasin dan membubuhkan lip gloss untuk bibirnya, dan menyisir rambutnya dengan jari sesaat sebelum masuk ke resto ini.
“Tolong jangan laporkan dosa-dosa tadi pada Bunda Sekar-mu! Aku bisa mendapatkan masalah jika dosa-dosa seperti itu sampai ke telinga ibuku.”
“Apakah kau selalu melakukan dosa-osa semacam itu setiap kali ada yang 'mengantarkan madu' padamu? Atau hanya kepadaku saja?”
“Tidak selalu, hanya jika proses itu tidak dalam 'pengawasan' yang ketat seperti ini. Jika pengantarnya datang sendirian dan aku harus menemuinya sendirian, aku hampir pasti melakukan dosa-dosa itu.”
“Kau membayangkan sosokku seperti apa?”
Ratri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sungkan untuk mengatakan bahwa tadi siang dia membayangkan sosok yang akan ditemuinya adalah sebagai laki-laki pendiam yang akan lebih banyak mendengarkannya berbicara dan akan mengiyakan nyaris seluruh pernyataannya. Dia juga membayangkan sosok itu dalam balutan kemeja lengan panjang dan celana kain model lama yang biasanya dikenakan dosen-dosennya dulu. Juga kaca mata tebal yang serius dan model rambut belah pinggir yang kelimis. Dia membayangkan laki-laki ini sebagai sosok yang membosankan!
“Sorry, aku punya stereotip negatif tentang orang-orang yang terlambat menikah seperti kita. Bagiku mereka rata-rata adalah orang-orang kuper yang sibuk dengan dirinya sendiri karena itulah upayanya untuk menutupi ketidak-percayaan akan dirinya dan juga ketidak-bahagiaannya.”
Abi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. “Mengerikan sekali ya gambaran tentang kita?”
Lagi-lagi mimik muka Abi membuat Ratri tidak dapat menahan tawanya.
“Hei, kenapa kau memilih cara seperti ini?”
“Mengantarkan madu kesana kemari maksudmu?”
“Ya. Bukankah kau ada di lingkungan yang sangat menguntungkan? Bukankah sebenarnya kau bisa menemukannya dari kalangan mahasiswimu sendiri? Aku yakin paling tidak ada satu atau dua mahasiswi yang mengidolakanmu.”
“Mungkin kau benar. Tapi aku punya perspektif pribadi mengenai hal itu. Mungkin sebenarnya tidak masalah menikah dengan mahasiswi sendiri. Cuma aku adalah orang yang sangat konservatif. Untuk hal yang satu ini aku selalu merasa kurang pas dengan yang jauh lebih muda. Mahasiswi-mahasiswi itu masih sangat dinamis. Sangat hidup dan bergerakpun sangat cepat. Sementara mentalitasku di umur ini tidak lagi sedinamis mereka. Sebagai dosen mereka, aku bisa mengiringi mereka. Tapi sebagai pasangan hidup, aku tidak yakin. Aku sudah melamban, sehingga bisa jadi pelamban bagi mereka. Itu yang aku tidak mau. Biarlah yang bergerak cepat sekarang, nanti melamban pada waktunya, secara alami, dan bukan karena terpaksa melamban.”
“Panjang juga ya uraiannya?” sindir Ratri.
“Ya. Dan kesimpulannya adalah bahwa aku lebih menyukai yang sebaya saja. Karena itu aku rela-rela saja 'mengantarkan madu' kesana-kemari.”
“Bagaimana dengan kekasih terakhirmu? Apakah tiba-tiba dia bergerak cepat dan melompat sehingga hilang tanpa bisa kau cegah?”
“Hmmmm ...... kalau yang itu bukan karena masalah gerakan. Waktu itu aku dapat beasiswa ke Inggris, sedangkan dia sedang menikmati karir pesatnya. Jadi aku berangkat tanpa dia, dengan perjanjian tidak akan ada yang berubah dengan hubungan kami. Tahun pertama berjalan lancar. Tahun kedua dia memutuskan menikah dengan salah satu kliennya dan pindah ke Australia bersama bule itu.”
“Wow .......!” Mata Ratri terbelalak.
Abi mengangguk-angguk. “Ya, dia menolak untuk menikah dan menemaniku di Inggris karena merasa sayang dengan karirnya. Tapi pada akhirnya pergi juga ke Australia tanpa karir itu.”
“Jadi membenci perempuan karir?”
“Awalnya. Tapi kemudian mengerti bahwa bukan karir atau yang lain masalahnya. Tapi karena kami memang tidak berjodoh. Kami berhubungan nyaris lima tahun lamanya. Sedangkan dia baru tujuh bulan kenal bule itu. Yaaaa..... itulah jodoh. Bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan cara yang kita tidak pernah sangka sekalipun.”
“Kau begitu patah hati sehingga tidak segera mencari penggantinya?”
“Bukan seperti itu. Awalnya aku cuma ingin istirahat sebentar. Lagipula tidak baik kan memaksakan diri? Tapi ternyata waktu berjalan cepat juga.”
“Merasa dikejar umur?”
“Tidak terlalu. Cuma kupikir ada benarnya jika mereka bilang aku sebaiknya segera menikah. Tidak ada jeleknya kan? Jadi ya kuikuti saja proses-proses seperti 'mengantar madu' ini. Ini kan salah satu upaya untuk menyempurnakan hidup.”
“Bagaimana kau bisa begitu menikmati hal seperti itu?” Ratri heran karena dia sendiri merasa kesulitan untuk menikmati prosesi-prosesi semacam itu.
“Kenapa harus membencinya? Keputusan toh tetap ada di tanganku. Dan lagi bukankah menyenangkan bertemu dengan rekan-rekan seperjuangan?”
Mau tidak mau Ratri tertawa karena istilah 'rekan-rekan seperjuangan' itu.
“Kau sendiri mengapa begitu membencinya?”
“Karena aku merasa seperti komoditas! Karena mereka semua tidak percaya bahwa hidupku bahagia dan baik-baik saja! Karena mereka semua ramai-ramai mengasihaniku, sementara susah sekali untuk aku membuktikan bahwa aku bahagia lahir dan batin!”
Abi terbahak-bahak hingga matanya menyipit. “Pasti kau terlalu melebih-lebihkan! Itu hanya sebuah ekspresi cinta mereka terhadapmu saja.”
Ratri menggeleng sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. “Aku rasa aku tidak berlebihan. Aku tidak suka pandangan semua anggota keluarga besarku ketika aku datang ke pernikahan sepupu-sepupuku yang lebih muda. Susah sekali memperlihatkan bahwa hidupku bahagia walau aku belum menemukan suamiku.”
“Hei hei......, tenang!”
“Aku tenang, mereka yang tidak tenang sehingga justru membuat hidupku tidak nyaman.”
“OK, jadi sekarang apa sebenarnya 'penyakitmu'?”
“Aku sudah hampir menikah dua tahun yang lalu. Kami sudah bertunangan. Kedua keluarga sudah bertemu dan menetapkan tanggal. Lalu tahu-tahu semua berubah. Kami sama-sama tidak tahu persis penyebabnya. Tapi hubungan jadi begitu buruk. Untuk hal-hal sepele kami bisa bertengkar begitu hebat, tidak ada yang mau mengalah, dan malahan saling menyakiti. Lalu timbul pikiran, jika sekarang saja bisa begitu mengerikan, bagaimana dengan nanti jika pernikahan itu benar-benar sudah terjadi? Kami jadi saling meragukan. Dan akhirnya kami memilih berpisah. Tentu saja semua keluarga kecewa. Tapi kami sudah terlanjur takut satu sama lain, dan berpisah sungguh terasa nyaman.”
“Lalu kau patah hati?”
“Entahlah. Rasanya tidak persis seperti itu. Toh itu bukan keputusan sepihak. Tapi semua orang bilang begitu. Sebenarnya yang aku merasakan hal yang sama sepertimu : ingin beristirahat sejenak. Tapi mereka malah menuduhku macam-macam. Dan yang juga menjengkelkan adalah orang-orang yang mereka bawa padaku adalah orang-orang yang panik dikejar umur, seakan cuma ada satu tujuan dalam hidup mereka, dan siap mencaplok apapun yang ada di depan mata, tanpa merasa perlu untuk mempelajarinya terlebih dulu, karena tidak ada cukup waktu lagi. Aku merasa aneh dengan semua hal itu.”
“Haaaa..... separah itu?!”
“Ya! Dan ketika aku menolak mereka, para comblang itu langsung menganggapku sebagai perempuan berhati dingin yang sangat pemilih tanpa peduli sisi baik para jagoan, dan tidak tahu prioritas hidup! Gila kan?”
“Jadi, segera menikah bukan prioritasmu sekarang?”
“Bukan begitu maksudku! Tentu saja aku tidak keberatan untuk segera menikah. Cuma aku juga tidak mau asal menikah. Aku tidak mau asal comot. Aku tidak mau kehilangan hakku untuk mencintai dan dicintai. Tidak salah kan jika aku ingin menata hidupku sendiri? Semasa lajang aku merasa bahagia. Aku mau nanti aku punya keluarga yang bahagia juga. Dan itu artinya tidak asal comot para jagoan yang putus asa itu!”
Ratri melihat Abi tertawa hingga matanya begitu menyipit.
“Kau benar-benar perempuan yang berenergi! Aku suka itu.”
“Kau pikir kau akan menemui perempuan putus asa ketika menungguku di sini tadi?”
“Deskripsi dari Bunda tidak seperti itu. Bunda hanya bilang kau perempuan pintar yang pekerja keras.”
“Kau tahu, itu cara lain untuk mengatakanku sebagai perempuan gila kerja.”
“Ayolah ......., jangan terlalu sinis! Mereka bermaksud membantu dengan mempertemukanmu dengan jagoan-jagoan itu.” Abi membuat tanda petik dengan kedua jari telunjuknya ketika sampai pada kata 'jagoan-jagoan'. “Mereka tidak menghilangkan hakmu sebagai decision maker kan? Kau tetap bisa menolak mereka semua. Bukankah itu satu win-win solution juga? Yaaaa .... walau kadang mereka tidak puas dengan keputusanmu, tapi mereka tetap menghargainya kan?”
“Ya, tapi juga diam-diam mengecamku.”
“Tapi tidak cuma mengecam kan? Mereka terus berusaha membantumu dengan terus mengirimkan 'pengantar-pengantar madu' padamu. Iya kan?”
“Ya, kau benar, mereka sungguh-sungguh mencintaiku.”
Abi menjentikkan jarinya dengan riang tanda setuju. Ratri jadi berpikir, bagaimana dia jika sedang dalam ruang kuliah? Apakah tetap riang, simpatik, dan menyenangkan seperti ini? Atau berubah arogan dan kalem? Ah, pasti ada saja mahasiswi yang jatuh hati pada laki-laki ini. Dengan postur tinggi ramping dan penampilan bersih seperti ini dia layak untuk diincar oleh gadis-gadis muda itu. Apalagi wajahnya walau sederhana tapi tampak cerah dan ramah karena senyumnya cukup murah. Dan bukankah banyak gadis yang menyukai laki-laki yang lebih tua?
“Sudah? Dapat nilai berapa aku?”
Ratri merasakan mukanya panas dan kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.
“Semoga kau berpikir aku lebih mendingan daripada 'pengantar madu' yang datang sebelumku.”
Untuk kedua kalinya Ratri merasa mukanya panas karena tebakan yang tepat itu.
“Hei dengar, nanti malam pasti Bunda meneleponku untuk bertanya apakah madu kirimannya sudah sampai ke tangan yang berhak. Aku sudah punya jawaban untuk itu. Tapi aku belum punya jawaban jika beliau bertanya kapan kita akan bertemu lagi.”
“Apakah kau mau kita bertemu lagi?”
“Ya. Kau keberatan?”
“Rasanya tidak.”
“Good! Tapi aku baru bisa datang lagi hari Sabtu tiga minggu yang akan datang. Ada ujian tengah semester mulai minggu depan. Tidak apa-apa ya? Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan itu.”
Ratri geli karena Abi meminta ijin seakan-akan mereka sudah jadi pasangan.
“Hei, aku serius!”
“OK OK, tentu saja tidak apa-apa!” jawab Ratri sambil menahan tawa.
“Ah, aku tahu..... kau tidak percaya padaku kan?”
“Apakah kau selalu bersikap seperti ini setiap kali melakukan tugas 'mengantar madu'?”
Abi menggeleng. “This is the first time. Apakah kau akan menolak bertemu denganku lagi karena meragukanku?”
Ratri memandang laki-laki yang ada di depannya. Dia harus mengakui bahwa laki-laki ini menarik. Dan dia juga menyukai pertemuan pertama ini. Tapi terlalu cepat untuk membuat sebuah keputusan pada pertemuan pertama.
“OK, aku mengerti kau ragu. Tapi marilah bertemu tiga minggu lagi, paling tidak sebagai teman, agar kita bisa saling melihat dengan lebih detail. Lihat, kita bisa bercakap-cakap dengan santai dan bersikap biasa seperti dua orang yang telah lama saling kenal. Bukankah itu ada artinya? Aku tidak akan berpikir untuk membuat janji pertemuan selanjutnya jika aku tidak merasa nyaman denganmu atau melihat kau tersiksa denganku selama pertemuan pertama ini. “
Ratri tahu apa yang dikatakan Abi benar. Dia juga menyukai pertemuan ini.
“Baiklah, kutunggu kau tiga minggu lagi.”
Senyum Abi mengembang. “Dan tolong jangan kaget karena aku akan agak sering meneleponmu.”
“OK.”
“Lalu, boleh aku antar kau pulang dengan taksi malam ini? Karena aku tidak mau menunggu di restoran seperti ini lagi tiga minggu nanti. Aku perlu alamat yang tepat.”
Lagi-lagi Ratri tertawa.
“Oh ya, masih satu lagi.”
“Ah, apalagi?”
“Boleh aku minta kau untuk berhenti menerima 'kiriman madu' dari siapapun untuk sementara ini, paling tidak sampai kita berhasil membuat satu kesepakatan?”
“Dan sementara itu kau juga akan berhenti menjadi 'pengantar madu'?”
“Deal !” jawab Abi mantap.

Minggu, 02 Maret 2008

Visit Indonesia Year.......





Seminggu yang lalu, saya sepakat untuk membuat pertemuan dengan teman baru, seorang bule berdarah Italia yang bermukim di Amerika dan sedang berlibur di Indonesia sembari menengok saudaranya yang memang bekerja di Surabaya. Kami berjanji untuk bertemu di restoran cepat saji di sebuah mal kecil tak jauh dari tempat saya tinggal. Kepadanya saya bilang bahwa kemungkinan saya akan datang terlambat lima atau sepuluh menit dari waktu yang saya janjikan. Saya katakan hal itu di awal karena di kepala saya ada stigma bahwa bule-bule itu adalah manusia-manusia yang menghargai waktu alias time is money. Dan ternyata saya memang terlambat lima menit. Tapi dia juga belum terlihat. Setelah menunggu lima belas menit saya memutuskan untuk menghubungi telepon genggamnya. Jawabannya adalah bahwa dia masih ada di dekat rumahnya, belum mendapatkan taksi. Dia minta saya memberi waktu sepuluh menit lagi untuk berusaha mendapatkan taksi. Saya hubungi lagi dia setelah memberi kelonggaran waktu hingga 15 menit. Dan ternyata dia masih berdiri sia-sia di tempat yang sama. Akhirnya saya putuskan untuk membatalkan pertemuan tersebut.




Keesokan harinya dia menghubungi saya kembali dan meminta untuk bertemu dengan embel-embel, “Saya pasti akan mendapatkan taksi”. Dan kali ini ternyata dia benar walaupun terlambat 20 menit. Dia bercerita kemarin malam benar-benar tidak ada taksi yang lewat di depan rumahnya. Saya bertanya kenapa tidak memesan lewat telepon saja. Dengan tersenyum dia mengingatkan bahwa dia tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Saya bilang bahwa operator penerima pasti bisa berbahasa Inggris. Dia menggeleng sambil berkata bahwa dia sudah pernah mencoba dan tidak berhasil.




Saya langsung teringat dengan kejadian ini ketika membaca kalimat Visit Indonesia Year di koran. Saya berpikir seharusnya dengan adanya program yang digaungkan begitu keras tidak perlu lagi ada bule yang tidak dapat memesan taksi cuma karena alasan bahasa. Lalu saya juga teringat ucapan teman saya tersebut bahwa orang Indonesia sungguh ramah tapi sulit untuk diajak berteman. Waktu itu saya mengkerutkan kening saya. Benarkah? Lalu saya tahu jawabannya : bahasa.




Berarti apakah semua orang Indonesia paling tidak harus bisa berbahasa Inggris? Saya tahu pentingnya bisa berbahasa asing. Tapi saya ngeri juga ketika seorang teman teman berkirim e-mail, bercerita tentang sebuah keluarga Indonesia yang seumur hidup tinggal di Indonesia tapi anak-anak mereka lebih lancar berbahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Menurut teman saya karena anak-anak tersebut selalu mengenyam pendidikan di sekolah internasional karena memang orang-tuanya sangat mampu untuk membayar sekolah macam itu. Saya jadi tersenyum membayangkan seorang dengan wajah 'lokal' berbicara dengan aksen kebarat-baratan. Ah, jadi ingat seorang pesinetron indo yang selalu beraksen bule jika berbicara dalam bahasa Indonesia. Lalu teman yang sama meneruskan ceritanya dengan keluhan tentang hampir tidak adanya situs hotel-hotel berbintang di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia. Saya termenung-menung, ketika teman saya itu bertanya ,” Terus bahasa Indonesia kita buat apa?” Pertanyaan itu jadi sangat menarik di telinga saya karena keluar dari mulut Indonesia yang fasih berbahasa Inggris dan Jepang.




Jadi bagaimana sebenarnya harus bersikap dengan adanya Visit Indonesia Year ini? Oh ya, terakhir saya sudah salah bersikap secara tidak sengaja. Saya memberikan CD berisi lagu grup musik Fourplay kepada teman Italia yang saya sebutkan di awal karena dia bilang dia suka musik-musik lembut. Waktu menerima CD tersebut dia bertanya “jadi bukan musik Indonesia?” Saya langsung menyesal kenapa tidak memikirkan kemungkinan tersebut. Seandainya saya memberikan CD berisi musik keroncong, angklung, atau tembang Jawa, pasti dia akan lebih senang.




Tapi sebenarnya itu bukan pertama kali saya salah bersikap. Sebelumnya seorang dari Timur Tengah masuk ke room chat saya. Dia bilang dia akan ke Indonesia dalam waktu dekat untuk keperluan studi dan bisnis sekaligus. Dia bertanya ini itu tentang Jakarta. Dan saya bagikan pengetahuan saya tentang Jakarta dengan bumbu promosi tentu saja. Kelihatannya dia tertarik dan otomatis percakapan kami jadi makin menarik. Saya bilang padanya untuk paling tidak meluangkan waktu berkunjung ke Yogjakarta, Bali, dan Lombok Ujung-ujungnya dia minta saya menemaninya dengan imbalan menanggung seluruh biaya perjalanan termasuk belanja saya nantinya. Ketika saya bilang tidak bisa, dia meminta saya untuk mencarikan orang lain, dengan syarat harus berjenis kelamin perempuan. Mendadak saya jadi kehilangan selera untuk meneruskan pembicaraan karena bisa menebak arahnya kemana. Dan menjadi makin muak ketika dengan enteng dia bilang,” Kata teman saya perempuan Indonesia seksi-seksi. Apakah kamu punya teman yang .....” Ah saya benar-benar tidak bisa lagi bertahan untuk meneruskan percakapan tersebut. Dan sialnya, beberapa hari kemudian seseorang dari India masuk ke room chat saya dengan permulaan yang sedikit berbeda tapi ujung-ujungnya berakhir sama. Saya jadi merasa sia-sia untuk bersikap ramah kepada calon-calon wisatawan seperti itu......




Jadi, bagaimana sebenarnya harus bersikap?