Seminggu yang lalu, saya sepakat untuk membuat pertemuan dengan teman baru, seorang bule berdarah Italia yang bermukim di Amerika dan sedang berlibur di Indonesia sembari menengok saudaranya yang memang bekerja di Surabaya. Kami berjanji untuk bertemu di restoran cepat saji di sebuah
Keesokan harinya dia menghubungi saya kembali dan meminta untuk bertemu dengan embel-embel, “Saya pasti akan mendapatkan taksi”. Dan kali ini ternyata dia benar walaupun terlambat 20 menit. Dia bercerita kemarin malam benar-benar tidak ada taksi yang lewat di depan rumahnya. Saya bertanya kenapa tidak memesan lewat telepon saja. Dengan tersenyum dia mengingatkan bahwa dia tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Saya bilang bahwa operator penerima pasti bisa berbahasa Inggris. Dia menggeleng sambil berkata bahwa dia sudah pernah mencoba dan tidak berhasil.
Saya langsung teringat dengan kejadian ini ketika membaca kalimat Visit Indonesia Year di koran. Saya berpikir seharusnya dengan adanya program yang digaungkan begitu keras tidak perlu lagi ada bule yang tidak dapat memesan taksi cuma karena alasan bahasa. Lalu saya juga teringat ucapan teman saya tersebut bahwa orang Indonesia sungguh ramah tapi sulit untuk diajak berteman. Waktu itu saya mengkerutkan kening saya. Benarkah? Lalu saya tahu jawabannya : bahasa.
Berarti apakah semua orang Indonesia paling tidak harus bisa berbahasa Inggris? Saya tahu pentingnya bisa berbahasa asing. Tapi saya ngeri juga ketika seorang teman teman berkirim e-mail, bercerita tentang sebuah keluarga Indonesia yang seumur hidup tinggal di Indonesia tapi anak-anak mereka lebih lancar berbahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Menurut teman saya karena anak-anak tersebut selalu mengenyam pendidikan di sekolah internasional karena memang orang-tuanya sangat mampu untuk membayar sekolah macam itu. Saya jadi tersenyum membayangkan seorang dengan wajah 'lokal' berbicara dengan aksen kebarat-baratan. Ah, jadi ingat seorang pesinetron indo yang selalu beraksen bule jika berbicara dalam bahasa Indonesia. Lalu teman yang sama meneruskan ceritanya dengan keluhan tentang hampir tidak adanya situs hotel-hotel berbintang di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia. Saya termenung-menung, ketika teman saya itu bertanya ,” Terus bahasa Indonesia kita buat apa?” Pertanyaan itu jadi sangat menarik di telinga saya karena keluar dari mulut Indonesia yang fasih berbahasa Inggris dan Jepang.
Jadi bagaimana sebenarnya harus bersikap dengan adanya Visit Indonesia Year ini? Oh ya, terakhir saya sudah salah bersikap secara tidak sengaja. Saya memberikan CD berisi lagu grup musik Fourplay kepada teman Italia yang saya sebutkan di awal karena dia bilang dia suka musik-musik lembut. Waktu menerima CD tersebut dia bertanya “jadi bukan musik Indonesia?” Saya langsung menyesal kenapa tidak memikirkan kemungkinan tersebut. Seandainya saya memberikan CD berisi musik keroncong, angklung, atau tembang Jawa, pasti dia akan lebih senang.
Tapi sebenarnya itu bukan pertama kali saya salah bersikap. Sebelumnya seorang dari Timur Tengah masuk ke room chat saya. Dia bilang dia akan ke Indonesia dalam waktu dekat untuk keperluan studi dan bisnis sekaligus. Dia bertanya ini itu tentang Jakarta. Dan sa
Jadi, bagaimana sebenarnya harus bersikap?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar