Minggu, 02 Maret 2008

Visit Indonesia Year.......





Seminggu yang lalu, saya sepakat untuk membuat pertemuan dengan teman baru, seorang bule berdarah Italia yang bermukim di Amerika dan sedang berlibur di Indonesia sembari menengok saudaranya yang memang bekerja di Surabaya. Kami berjanji untuk bertemu di restoran cepat saji di sebuah mal kecil tak jauh dari tempat saya tinggal. Kepadanya saya bilang bahwa kemungkinan saya akan datang terlambat lima atau sepuluh menit dari waktu yang saya janjikan. Saya katakan hal itu di awal karena di kepala saya ada stigma bahwa bule-bule itu adalah manusia-manusia yang menghargai waktu alias time is money. Dan ternyata saya memang terlambat lima menit. Tapi dia juga belum terlihat. Setelah menunggu lima belas menit saya memutuskan untuk menghubungi telepon genggamnya. Jawabannya adalah bahwa dia masih ada di dekat rumahnya, belum mendapatkan taksi. Dia minta saya memberi waktu sepuluh menit lagi untuk berusaha mendapatkan taksi. Saya hubungi lagi dia setelah memberi kelonggaran waktu hingga 15 menit. Dan ternyata dia masih berdiri sia-sia di tempat yang sama. Akhirnya saya putuskan untuk membatalkan pertemuan tersebut.




Keesokan harinya dia menghubungi saya kembali dan meminta untuk bertemu dengan embel-embel, “Saya pasti akan mendapatkan taksi”. Dan kali ini ternyata dia benar walaupun terlambat 20 menit. Dia bercerita kemarin malam benar-benar tidak ada taksi yang lewat di depan rumahnya. Saya bertanya kenapa tidak memesan lewat telepon saja. Dengan tersenyum dia mengingatkan bahwa dia tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Saya bilang bahwa operator penerima pasti bisa berbahasa Inggris. Dia menggeleng sambil berkata bahwa dia sudah pernah mencoba dan tidak berhasil.




Saya langsung teringat dengan kejadian ini ketika membaca kalimat Visit Indonesia Year di koran. Saya berpikir seharusnya dengan adanya program yang digaungkan begitu keras tidak perlu lagi ada bule yang tidak dapat memesan taksi cuma karena alasan bahasa. Lalu saya juga teringat ucapan teman saya tersebut bahwa orang Indonesia sungguh ramah tapi sulit untuk diajak berteman. Waktu itu saya mengkerutkan kening saya. Benarkah? Lalu saya tahu jawabannya : bahasa.




Berarti apakah semua orang Indonesia paling tidak harus bisa berbahasa Inggris? Saya tahu pentingnya bisa berbahasa asing. Tapi saya ngeri juga ketika seorang teman teman berkirim e-mail, bercerita tentang sebuah keluarga Indonesia yang seumur hidup tinggal di Indonesia tapi anak-anak mereka lebih lancar berbahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Menurut teman saya karena anak-anak tersebut selalu mengenyam pendidikan di sekolah internasional karena memang orang-tuanya sangat mampu untuk membayar sekolah macam itu. Saya jadi tersenyum membayangkan seorang dengan wajah 'lokal' berbicara dengan aksen kebarat-baratan. Ah, jadi ingat seorang pesinetron indo yang selalu beraksen bule jika berbicara dalam bahasa Indonesia. Lalu teman yang sama meneruskan ceritanya dengan keluhan tentang hampir tidak adanya situs hotel-hotel berbintang di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia. Saya termenung-menung, ketika teman saya itu bertanya ,” Terus bahasa Indonesia kita buat apa?” Pertanyaan itu jadi sangat menarik di telinga saya karena keluar dari mulut Indonesia yang fasih berbahasa Inggris dan Jepang.




Jadi bagaimana sebenarnya harus bersikap dengan adanya Visit Indonesia Year ini? Oh ya, terakhir saya sudah salah bersikap secara tidak sengaja. Saya memberikan CD berisi lagu grup musik Fourplay kepada teman Italia yang saya sebutkan di awal karena dia bilang dia suka musik-musik lembut. Waktu menerima CD tersebut dia bertanya “jadi bukan musik Indonesia?” Saya langsung menyesal kenapa tidak memikirkan kemungkinan tersebut. Seandainya saya memberikan CD berisi musik keroncong, angklung, atau tembang Jawa, pasti dia akan lebih senang.




Tapi sebenarnya itu bukan pertama kali saya salah bersikap. Sebelumnya seorang dari Timur Tengah masuk ke room chat saya. Dia bilang dia akan ke Indonesia dalam waktu dekat untuk keperluan studi dan bisnis sekaligus. Dia bertanya ini itu tentang Jakarta. Dan saya bagikan pengetahuan saya tentang Jakarta dengan bumbu promosi tentu saja. Kelihatannya dia tertarik dan otomatis percakapan kami jadi makin menarik. Saya bilang padanya untuk paling tidak meluangkan waktu berkunjung ke Yogjakarta, Bali, dan Lombok Ujung-ujungnya dia minta saya menemaninya dengan imbalan menanggung seluruh biaya perjalanan termasuk belanja saya nantinya. Ketika saya bilang tidak bisa, dia meminta saya untuk mencarikan orang lain, dengan syarat harus berjenis kelamin perempuan. Mendadak saya jadi kehilangan selera untuk meneruskan pembicaraan karena bisa menebak arahnya kemana. Dan menjadi makin muak ketika dengan enteng dia bilang,” Kata teman saya perempuan Indonesia seksi-seksi. Apakah kamu punya teman yang .....” Ah saya benar-benar tidak bisa lagi bertahan untuk meneruskan percakapan tersebut. Dan sialnya, beberapa hari kemudian seseorang dari India masuk ke room chat saya dengan permulaan yang sedikit berbeda tapi ujung-ujungnya berakhir sama. Saya jadi merasa sia-sia untuk bersikap ramah kepada calon-calon wisatawan seperti itu......




Jadi, bagaimana sebenarnya harus bersikap?

Tidak ada komentar: